BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 19 November 2009

UN Gengsi Semua Pihak

Oleh: Khaerudin

Mengingat UN adalah “hajat nasional”, yang sekaligus dipersepsikan sebagai rujukan dan kriteria keunggulan pendidikan kita, maka sangatlah wajar, keberhasilan dalam UN menjadi kebanggan dan prestige semua pihak. Siswa akan merasa bangga kalau ia dapat lulus dan mendapatkan nilai yang tinggi; Para orang tua juga merasa bangga kalau anak mereka dapat mengikuti dan lulus dengan baik setelah mengikuti UN; Para guru dan Kepala Sekolah merasa bangga dan puas kalau para siswanya, lebih-lebih kalau seluruh siswanya (100%), lulus dengan nilai di atas rata-rata, atau kalau sekolahnya menjadi 10 besar di kotanya; Para birokrat pendidikan di lingkungan kota (Kasie, sudin, bahkan walikota/bupati, dan tentunya Dinas Pendidikan dan para Gubernur) juga merasa bangga kalau anak-anak sekolah di lingkungan atau di wilayahnya dapat lulus dengan baik.
Oleh karena itu, sangatlah wajar kalau semua pihak yang berkepentingan dengan kesuksesan UN melakukan berbagai upaya agar UN yang diselenggarakan di lingkungannya mendapatkan hasil yang memuaskan. Karena kesuksesan ini akan menjadikan mereka dinilai pihak yang unggul dalam menyelenggarakan pendidikan. Siswa yang mendapat nilai bagus akan mendapat “cap” siswa unggul dan berhak mendapatkan “sekolah” yang lebih baik, sekolah yang juga unggul; Sekolah yang dapat meluluskan 100% siswanya dengan nilai tinggi akan di “cap” sebagai sekolah unggul yang menjadi angan-angan semua manajemen sekolah; Demikian seterusnya, sampai pada Kasie, Sudin (Walikota/Bupati), dan Dinas Pendidikan (Gubernur).
Kalau saja semua kebanggaan di atas menjadi pemicu dan motivasi untuk berbuat lebih (lebih keras, lebih baik, lebih tekun, lebih giat), maka tentunya UN akan dinilai sebagai sesuatu yang sangat positif. Namun kenyataannya, di era serba instant seperti saat ini — keberhasilan yang seharusnya diperoleh melalui perencanaan yang sistematis dan sistemik, perjuangan keras pada saat persiapan dan pelaksanaannya — maunya didapatkan dengan cara mudah dan jalan pintas.
Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan “cap” unggul pada saat menjelang terselenggaranya UN. Mulai dari upaya yang bersifat religius, seperti melakukan do’a bersama (istighosah) atau melakukan sembahyang di Pura, sampai upaya-upaya yang sangat memalukan dan “menjijikan” sebagaimana dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, mencari celah “bocoran” soal dan memberikannya kepada para siswa. Dengan menghalalkan berbagai cara, mereka berusaha mencapai tujuannya “menjadi yang unggul”, tanpa menghiraukan etika dan norma-norma yang ada, bahkan mungkin tidak terlintas dalam pikiran mereka akan dampak edukasi dari tindakannya terhadap perkembangan mental anak-anak didik kita.
Siapa yang bersalah?
Tentu tidak akan ada orang yang mau disalahkan. Untuk itu barangkali masing-masing kitalah yang harus berentrospeksi.

0 komentar: