BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 19 November 2009

MENIMBANG BHP UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI

A. Pendahuluan

TERMAKTUBNYA badan hukum pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan dalam Pasal 53 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa implikasi pro dan kontra di kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan di tanah air.
Kebijakan pemerintah untuk menyeragamkan bentuk hukum penyelenggara pendidikan dimaksudkan agar pendidikan tidak dijadikan ladang usaha dan bisnis untuk memperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya penyelenggaraan pendidikan haruslah turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi pertanyaan, apakah kebijakan tersebut merupakan solusi yang efektif dalam dunia pendidikan?
Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) memang belum ditetapkan. Akan tetapi, sebagian masyarakat yang telah membaca draft RUU tersebut menjadi pesimistis bahwa pembentukan BHP sebagai pelaksana dan penyelenggara pendidikan menjadi jalan keluar yang efektif dan komprehensif untuk memperbaiki mutu dan kualitas pendidikan nasional, mengingat dunia pendidikan kini sudah pada puncak kemerosotannya.
Di dalam Pasal 2 draf RUU BHP memang disebutkan bahwa satuan pendidikan tinggi yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk BHP sedangkan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat dapat berbentuk badan hukum pendidikan.
Kata dapat sengaja dicetak miring untuk menegaskan bahwa memang yang wajib berbentuk badan hukum pendidikan adalah satuan pendidikan tinggi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pendidikan sehingga terwujud kemandirian serta otonomi pada pendidikan tinggi yang pada akhirnya berkembang kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas dan mobilitas.
Dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat, yang berbunyi: “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Selain itu, Ayat (4) pasal tersebut menyatakan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Dibukanya kesempatan masyarakat umum untuk turut serta menyelenggarakan pendidikan memang membawa konsekuensi positif dan negatif. Pengaturan yang membatasi privatisasi dan komersialisasi pendidikan sudah sepatutnya menjadi fokus perhatian kita semua.

B. Persoalan Pendidikan Tinggi

Di perguruan tinggi, konsep otonomi sebenarnya sudah berjalan kurang lebih enam tahun seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemikiran akan perlunya otonomi inilah yang melahirkan RUU BHP, yang saat ini masih menunggu untuk disahkan, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena Pasal 53 mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan.
Suasana kemandirian dan otonomi dalam pendidikan sekilas memang berpotensi besar menciptakan pendidikan dengan kualitas, kredibilitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan pemetaan dan strategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini.
Namun, adanya konsep otonomi, secara makro, mengesankan upaya terselubung pemerintah untuk menghindari tanggung jawab penyisihan dana APBN sebesar 20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Masalahnya adalah kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga sampai pada adanya kemandirian dari segi pendanaan. Institusi pendidikan harus memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen.
Konsep BHP secara mudah bisa diidentikkan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang menyebabkan komersialisasi pelayanan pendidikan. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan mengubah nuansa akademik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsep akademis dan bisnis menjadi “dua sahabat” baru yang selalu bergandengan tangan kemanapun mereka pergi.
Padahal, secara falsafah dunia pendidikan harus terpisah dari bisnis. Selain bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang ”competence” dan ”skill” yang tangguh terhadap suatu disiplin ilmu, pendidikan juga bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang bertakwa, berkepribadian handal, dan memiliki moral dan akhlak yang baik. Sisi inilah yang mesti diperhatikan dengan seksama, terutama jika dikaitkan dengan dunia bisnis yang identik dengan dunia kepentingan. Hal lain lagi yang ditakutkan adalah jika ”bisnis” ini berkembang dengan pesat, bisa jadi perguruan tinggi atau institusi pendidikan akan menjadi ”pesaing baru” masyarakat menjadi pelaku usaha bisnis.
Masalah lain yang perlu dicermati adalah apakah pihak penyelenggara pendidikan dengan menjalankan ”usaha bisnisnya,” benar-benar bisa menghidupi semua aktivitas universitas yang begitu banyak. Mungkin bagi institusi yang punya manajemen yang sangat bagus, dan benar-benar berhasil, perkara ini tidak menjadi masalah, namun bagaimana dengan institusi yang ”usaha bisnisnya” tidak berjalan dengan baik, atau hanya dengan mengandalkan”usaha bisnis” saja tidak mencukupi?
Di kebanyakan negara, University Cooperation sebagai koperasi yang biasa melakukan usaha bisnis di lingkungan universitas memang memegang peran dalam menghidupi aktivitas universitas, namun sedikit sekali atau bahkan tidak ada perguruan tinggi negeri di negara maju yang menggantungkan sumber dana untuk menghidupkan aktivitasnya hanya dari usaha bisnis semata.
Konsekwensinya, uang masuk dan uang sumbangan pendidikan yang tinggi harus dipikul mahasiswa. Penerimaan mahasiswa jalur “patas” menjadi pilihan banyak universitas. Fakta menunjukkan, meskipun pemerintah memberikan subsidi sekitar 40% untuk perguruan tinggi, biaya pendidikan tinggi masih mahal. Lalu apa jadinya jika subsidi itu tidak ada dan pihak perguruan tinggi sedikit mendapat pemasukan?
Pendanaan yang minim dianggap sebagai sumber utama terpuruknya pendidikan nasional. Berbagai masalah akut, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, ditengarai disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan ketika ada kritikan tentang dunia pendidikan kita. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut, lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab memanfaatkan sumber daya pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu.
Rencana pemerintah membuat Badan Hukum Pendidikan (BHP) menuai reaksi keras dari masyarakat. Pelik permasalahan mulai dari prinsip-prinsip usaha, independensi, bentuk dan fungsi kelembagaan, dan yang paling menonjol, akses komersialisasi, kerap ditakutkan akan menjadikan pendidikan bangsa ini semakin terpuruk.
Di sisi lain, BHP dimaksudkan agar mampu meningkatkan kualitas, kredibilitas, efisiensi dan profesionalisme pendidikan, seiring dengan otonomi yang diberikan kepada pihak penyelenggara atau satuan pendidikan. Apakah BHP mampu memajukan pendidikan bangsa ini atau sebaliknya?
Dalam konteks BHP kelak menjadi lembaga nirlaba – juga berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum, lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Jika ada hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan dikenai pajak. Sementara pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan sebagai upaya mendorong kemandirian lembaga pendidikan. Prinsip kemandirian sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subjek hukum mandiri.
Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban. BHP harus pula membukakan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik atas biaya sendiri. Namun, model yang ada dalam RUU BHP mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Ketidakjelasan sikap pemerintah, meski Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan. RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan.
Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva. Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan. Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting. Kedua, belum ada program yang jelas.
Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut. Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan. Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis. Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis di korupsi.
Kewajiban pemerintah? Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis. Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah “peran serta masyarakat” itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha.

C. BHP: privatisasi atau kapitalisasi


Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal. Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis. Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal. Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang bisa “membunuh” keberadaan perguruan tinggi swasta.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung bagi baik/buruknya suatu negara. Paradigma baru dalam bidang pendidikan tersebut, seperti sebuah gagasan yang mulia. Akan tetapi, dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisasi pendidikan.
Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya akan pendidikan. Dampak yang langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal. Dengan kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warga negara negeri ini sebagaimana di jaman kolonial Belanda dulu. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.
Konsep subsidi silang dalam dunia pendidikan, yaitu pemberian beasiswa bagi golongan tidak mampu yang diambil dari biaya pendidikan dari golongan kaya, tidak akan efektif. Hal ini karena jumlah golongan tidak mampu lebih banyak daripada golongan mampu. Di samping itu juga harus diperhatikan dampak psikis yang mungkin akan muncul, jika biaya pendidikan golongan tidak mampu menjadi beban bagi golongan mampu. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah lebih bijak.
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah tidak bisa dielakkannya praktik komersialisasi pendidikan. Ilmu pengetahuan layaknya sebuah komoditas perdagangan. Istilah Dirjen Dikti bahwa “The distinction between knowledge and commodity has narrowed”. Pendapat ini tidak jauh dari tafsiran “jika ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka harus rela membayar mahal”. Akibatnya, konsep ’mengamalkan’ ilmu lebih karena dorongan materi daripada untuk ’ibadah’, yaitu untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kuliah. Di sisi lain, hubungan peserta didik/mahasiswa dengan guru/dosen yang diibaratkan seperti anak dan orang tua akan luntur. Hal ini karena mereka merasa telah membayar mahal dan harus mendapatkan pelayanan terbaik. Tuntutan lebih diakibatkan karena dorongan materialisme. Sebagaimana dalam dunia perdagangan, konsumen adalah raja. Tidak menutup kemungkinan, kondisi ini akan merubah norma yang selama ini kita yakini, bahwa guru adalah orang tua kedua yang juga harus kita hormati.
Privatisasi membuat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba mencari mahasiswa baru sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan dana. Hal ini bisa menyebabkan perubahan yang negatif pada hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang diharapkan dapat melepaskan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan dapat menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Peserta didik dari keluarga miskin tidak akan mampu membayar biaya kuliah di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang mahal. Alhasil, apabila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka terpaksa mencari universitas “ecek-ecek”. Dampak nyata dari kebijakan privatisasi PTN adalah merosotnya mutu pendidikan tinggi negeri karena dasar penerimaan mahasiswa baru tidak murni tes, tetapi tawar menawar modal yang disetorkan. Lama-kelamaan PTN-PTN terkemuka dihuni orang-orang di bawah standar, tetapi mampu membayar sumbangan besar. Hal itu akan kian memarjinalkan kaum miskin dari akses pendidikan tinggi yang bermutu.
BHP adalah upaya pengalihan tanggungjawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika RUU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah terlanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.
Akibat industrialisasi, hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial, seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT. Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi. Dewasa ini penyelenggaraan PT dijauhkan dari diskursus perubahan sosial (Giroux, 2001) dan lebih terfokus melayani secara pragmatis kebutuhan perkembangan ekonomi. Ini membuat pengelola PT tak konsisten. Dampak lebih buruk dari privatisasi PTN adalah hilangnya solidaritas sosial di masa datang. Apabila seseorang masuk fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta, bahkan Rp 1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka untuk kuliah cepat kembali. Maka seharusnya ada peninjauan kembali terhadap RUU BHP sehingga perguruan tinggi, khususnya PTN, menjalankan fungsinya sebagai kampus kerakyatan yang dapat diakses orang miskin. Karena jelas ketika kita bercermin pada pengalaman di empat PTN terkemuka yang proses privatisasinya merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat. Perlu ada suatu pemikiran untuk membangun dan mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat, tetapi berkualitas. Pendidikan tinggi berbasis masyarakat ini diharapkan dapat menjadi satu pilihan yang tepat bagi calon peserta didik yang tak mampu dan tak sanggup membayar uang masuk yang mahal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, diperlukan pengawasan dari berbagai pihak agar pengelolaan pendidikan tinggi ini tidak lepas kendali sehingga mengarah ke komersialisasi pendidikan.

D. Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi

Peranan perguruan tinggi (PT) sangat dominan karena paling diharapkan oleh masyarakat menjadi motor perubahan. Inovasi teknologi seharusnya datang dari institusi itu, namun sampai saat ini kita menyadari bahwa PT di Indonesia belum mampu diharapkan. Apalagi sebagai motor perubahan, untuk mengejar perubahan pun masih terlalu berat.
Perguruan Tinggi masih banyak dihadapkan pada masalah internal terutama yang berkaitan dengan kualitas, relevansi, kapasitas, budaya akademik dan manajemen pendidikan. Diperparah lagi dengan kendala dana dan rigiditas penggunaannya. Dinamika perubahan eksternal ternyata lebih banyak menimbulkan kendala bagi pendidikan tinggi daripada peluang.
Perubahan perundang-undangan baik yang secara langsung berkaitan dengan sistem pendidikan maupun yang tidak langsung mempengaruhi kinerja. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional seharusnya memberikan peluang yang sangat luas bagi kebebasan akademik dan pengembangan profesionalisme sumber daya manusia (SDM). Namun kendala utama adalah pada SDM, budaya akademik dan keterbatasan dana.
Sebagaimana institusi pemerintah yang lain, PT negeri dalam pengelolaan keuangannya harus mengikuti sistem pengelolaan keuangan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2002. Berdasarkan sistem pengelolaan keuangan, yang walaupun tujuannya sangat baik, yaitu dalam rangka transparansi pengelolaan, menimbulkan kesulitan yang sangat berarti bagi pendidikan tinggi. Hal itu karena sering tidak match dengan kegiatan operasional pendidikan tinggi yang memerlukan sistem pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel.
Oleh karenanya diperlukan suatu sistem pengelolaan yang mampu menjamin fleksibilitas perguruan tinggi, agar perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan lingkungan eksternal yang sangat dinamis dan cenderung turbelensi.
Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP) menawarkan solusi akan fleksibilitas tersebut. Apabila PT sudah menjadi badan hukum, maka perguruan tinggi diberi wewenang untuk menggali sumber- sumber dana secara lebih fleksibel, demikian juga penggunaannya. Banyak pihak yang mengartikan BHP dengan kemandirian dalam arti sempit. Banyak orang mengartikan dengan BHP, perguruan tinggi harus mampu self financing.
Seluruh lembaga yang ada di PT tersebut diarahkan untuk mampu menghasilkan uang untuk pengembangan institusi. Sering diartikan juga bahwa setelah BHP, pemerintah tidak lagi banyak memberikan subsidi lagi sehingga dikhawatirkan akan meningkatkan beban SPP mahasiswa. Sebetulnya hal tersebut tidak seluruhnya benar. Jadi walaupun PT sudah menyatakan menjadi BHP, subsidi pemerintah tetap akan diberikan.
Bahkan untuk dunia pendidikan sesuai dengan amanat UUD, anggaran pendidikan secara bertahap akan naik sampai 20 % dari APBN. Demikian juga untuk Pemerintah Daerah, nantinya juga secara bertahap akan ada alokasi APBD untuk dunia pendidikan sampai 20 %. Pertanyaannya adalah mengapa Banyak Perguruan Tinggi yang seolah-olah menunda untuk menjadi BHP.
Beberapa hal memang harus dipertimbangkan secara masak apabila kita akan BHP. Terutama yang berkaitan dengan masalah SDM dan kultur akademik. Karena dalam BHP ada perubahan yang sangat mendasar yang harus diterima oleh komponen-komponen stake – holder dari PT. Misalnya nanti akan ada Wali Amanah yang mempunyai kewenanganan untuk merumuskan arah kebijakan yang selama ini diambil oleh Senat . Oleh karena itu nantinya tidak semua Guru Besar otomatis menjadi Senat Akademik Perguruan Tinggi.
Apabila sudah menjadi BHP, diperlukan juga kesiapan untuk menerima orang luar sebagai pengelola. Kesiapan unit-unit (baik fakultas maupun unit-lain di lingkungan uiversitas) untuk responsif terhadap dinamika pasar. Hal ini mengingat keterbatasan kemampuan uiversitas untuk melakukan subsidi silang.
BHP juga memerlukan kesiapan lembaga (walaupun tidak seluruhnya) untuk tidak selalu menjadi cost centre.Kalau bisa justru menjadi profit centre. Persiapan inilah terutama yang harus dilakukan agar PT dapat menjadi BHP secara baik.
Di samping itu ada persyaratan-persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya, misalnya persyaratan administrasi, harus mampu melakukan identifikasi aset yang dimiliki dan sebagainya. Kontroversi dan perdebatan tentang rencana perubahan kelembagaan universitas atau pendidikan tinggi umumnya menjadi badan hukum pendidikan (BHP) masih berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang sebuah rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan kelembagaan universitas menjadi BHP telah dirumuskan dan dibahas di kalangan perguruan tinggi, maupun kalangan lainnya, khususnya DPR. Tetapi, tampaknya, kian dikaji kian meningkat pula kontroversi tersebut.
Kalangan penentang RUU BHP mencemaskan perubahan perguruan tinggi menjadi BHP sebagai kecenderungan lebih lanjut dari komodifikasi dan komersialisasi pendidikan. Kecemasan yang berlanjut menjadi penentangan terhadap konsep BHP itu pada dasarnya bersumber dari pengamatan kalangan publik atas pengalaman beberapa universitas negeri yang sejak tahun 2000 berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Kini ada tujuh perguruan tinggi negeri yang telah menjadi BHMN: UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU, dan terakhir Universitas Airlangga.
Meski niat dan tujuan perubahan universitas negeri tersebut menjadi BHMN, antara lain, adalah untuk membuat mereka menjadi lebih otonom dalam berbagai aspek pengelolaannya, tetapi apa yang dilihat publik adalah kian meningkatnya berbagai pembiayaan untuk belajar di perguruan tinggi negeri BHMN, khususnya. Karena itulah, banyak kalangan publik melihat bahwa perubahan tersebut tidak lain hanyalah komodifikasi dan komersialisasi pendidikan tinggi, khususnya yang diselenggarakan negara melalui perguruan tinggi negeri.
Kecenderungan pendidikan tinggi menjadi sebuah komoditas yang mencakup proses komersialisasi dan bahkan ‘marketization’ pada dasarnya bertentangan dengan gagasan, wacana, dan konsep tentang pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai sebuah public good, kebajikan publik. Pendidikan tinggi khususnya dalam konteks sebagai sebuah public good memang bertugas bukan hanya untuk melaksanakan proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan dan keahlian, tetapi juga membentuk kepribadian dan watak anak didik dan bangsa.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai public good bisa terlihat antara lain dari tujuan pendidikan itu sendiri. Misalnya, pendidikan Indonesia bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan guna mencapai tingkat dan harkat kehidupan lebih baik. Lebih jauh, pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan semangat patriotisme dan kebangsaan, cinta Tanah Air, solidaritas sosial, dan orientasi masa depan. Begitu luhur dan mulianya; pendidikan sebagai public good tidak hanya bermanfaat bagi individu-individu, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.
Universitas di Tanah Air sebagai public good terlihat dari tugas pokoknya yaitu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, sehingga para lulusannya dapat menjadi SDM yang unggul. Dan universitas lebih-lebih lagi menjadi public good ketika ia juga diharapkan menjadi kekuatan moral dalam mendukung pembangunan nasional.
Karena itu, sebagai public good semestinyalah pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, menjadi tanggung jawab negara, tidak hanya dari segi kurikulum, tetapi juga dalam pembiayaannya. Masih dalam kerangka berpikir itu, negara seharusnya tidak membiarkan public good menjadi komoditas, dan melepaskannya kepada hukum pasar yang cenderung membuatnya menjadi entitas swasta (private entity) belaka. Proses-proses ini tidak lain hanya membawa pendidikan tinggi ke arah marketization dan komodifikasi.
Inilah keprihatinan publik. Dan, keprihatinan tersebut tidak hanya berkembang di Indonesia, tapi juga di hampir seluruh kawasan dunia. Gejala transisi pendidikan tinggi sebagai public good menjadi private entity yang melibatkan proses marketization dan komodifikasi juga telah lebih dahulu dan kini sedang dan terus berlangsung semakin lebih intens di berbagai penjuru dunia.
Dalam Senior Seminar yang diselenggarakan East-West Center, Honolulu, Hawaii, pada 6-11 September 2006. Senior Seminar yang bertajuk ”The Tension between Education as a Public Good and Education as a Private Commodity” merupakan bagian dari The International Forum for Education 2020 East-West Center, untuk mengantisipasi perkembangan pendidikan dalam beberapa dasawarsa mendatang. Pengalaman pendidikan tinggi Indonesia dalam transisi seperti itu, kompleksitas dalam dinamika pendidikan tinggi di berbagai tempat di muka bumi ini. Di tengah kompleksitas itu, satu hal kelihatannya sulit dielakkan; universitas tetap mengemban amanah sebagai public good. Universitas boleh saja menjadi milik pemerintah maupun swasta, tetapi misi dan tujuannya untuk mencapai public good tidak dikorbankan begitu saja. Dalam konteks terakhir ini, maka diperlukan pemikiran dan langkah terobosan di mana perubahan kelembagaan yang terjadi, misalnya menjadi BHMN atau BHP, tidak merugikan tugas mulia universitas sebagai sebuah public good.

E. Penutup

Dengan berkaca dari berbagai pembahasan di atas, maka konsep Badan Hukum Milik Negara (BHP) untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama, bahwa RUU BHP hanyalah penyempurnaan dari pelaksanaan konsep PP no.60 dan 61 tahun 1999 soal BHMN. Dalam konsep ini di perkenalkan soal otonomi pendidikan yang diharapkan lembaga pendidikan lebih otonom dalam menggali dana dan lepas dari beban anggaran pemerintah. Sebenarnya konsep otonomi kampus bagi pemerintah itu hanyalah satu aspek yakni pembiayaan (anggaran), tapi dalam aspek lain semisal kurikulum, kebebasan berekspresi, dan lain-lain, pemerintah masih mengintervensi. Karena tanggung jawab negara di hilangkan (baca; subsidi pendidikan) maka kampus/lembaga pendidikan harus menggali dana sendiri dari masyarakat. Bagaimana bentuk penggalian dana tersebut; (1). Dengan mengundang swasta, dalam hal ini korporasi karena merekalah yang punya anggaran. (2). Dengan jalan menaikkan biaya pendidikan karena lembaga pendidikan belum sanggup melakukan diversifikasi penggalian anggaran selain itu.
Kedua dalam Pasal 3 Ayat 4. Pasal 3 Ayat 4 RUU BHP sangat jelas bahwa semangat utama dari UU ini adalah swastanisasi pendidikan (baca;komersialisasi) karena negara dihapuskan tanggung jawabnya dan selanjutnya diserahkan dalam mekanisme pasar. Posisi yayasan dalam lembaga BHP akan di lebur dengan badan yang disebut Majelis Wali Amanat (WMA), didalamnya adalah perwakilan anggota masyarakat (funding).
Ketiga Mutu pendidikan akan sangat buruk karena orientasi pendidikan adalah labour market, sehingga jurusan, study, dan spesialisasi keilmuan sekedar disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ini semakin meneguhkan pendapat bahwa pendidikan hanya mencetak orang untuk menjadi robot perusahaan industrialis. Di kampus-kampus yang sudah menjalankan konsep BHP, didirikan lembaga yang bernama University Research, yang hak paten penemuannya akan di beli oleh korporasi.

0 komentar: