BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 28 Oktober 2009

who am i ??

Nama : Mochamad Alvi
Tempat, tgl lahir : 15 september 1990
Alamat : Jl.Pisangan Lama III Rt.05/Rw.03 No.3 Jakarta Timur
Riwayat Pendidikan : -SD Muhammadiyah 24 Jakarta
-SMP Muhammadiyah 31 Jakarta
-SMAN 22 Jakarta
-Universitas Negeri Jakarta
About me: aku adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Aku terlahir di dalam sebuah keluarga yang sederhana. ayahku adalah seorang pegawai negeri di sebuah bank pemerintah, sedangkan ibuku adalah seorang ibu rumah tangga. Orang tuaku selau menanamkan kemandirian dan nilai-nilai agama kepada anak-anak nya, sehingga dari SD sampai SMP aku di sekolah kan di Muhammadiyah Rawamangun..
secara garis besar, aku adalah orang yang sederhana, cukup sabar dan berusaha menjadi seorang yang sukses di dunia dan akhirat serta dapat membahagiakan kedua orang tuaku..

PROFESI KEPENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sifatnya mutlak dalam kehidupan, baik dalam kehidupan seseorang, keluarga, maupun bangsa dan negara.
Maju-mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu. Mengingat sangat pentingnya bagi kehidupan, maka pendidikan harus dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga memperoleh hasil yang diharapkan.
Untuk melaksanakan pendidikan harus dimulai dengan pengadaan tenaga pendidikan sampai pada usaha peningkatan mutu tenaga kependidikan. Kemarnpuan guru sebagai tenaga kependidikan, baik secara personal, sosial, maupun profesional, harus benar-benar dipikirkan karena pada dasarnya guru sebagai tenaga kependidikan merupakan tenaga lapangan yang langsung melaksanakan kependidikan dan sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan. Untuk itu, ilmu pendidikan memegang peranan yang sangat penting dan merupakan ilmu yang mempersiapkan tenaga ke pendidikan yang profesional, sebab kemampuan profesional bagi guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar merupakan syarat utama.
Ilmu pendidikan merupakan salah satu bidang pengajaran yang harus ditempuh para siswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam rangka mempersiapkan tenaga guru dan tenaga ahli kependidikan lainnya yang profesional. Seorang guru memerlukan pengetahuan tentang ilmu pendidikan secara general. Itu sebabnya dalam perkembangan kurikulurn terakhir untuk IKIP/FKIP /STKIP, ilmu pendidikan merupakan suatu bidang pengajaran yang pokok-pokoknya meliputi kurikulum, program pengajaran, metodologi pengajaran, media pendidikan, pengelolaan kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi pendidikan.


1.1 Konsepsi tentang ilmu pendidikan

Istilah pendidikan adalah terjemahan dari bahasa Yunani, yaitu Paedagogie. Paedagogie asal katanya adalah pais dan again yang terjemahannya berarti "bimbingan yang diberikan kepada anak". Orang yang memberikan bimbingan kepada anak disebut paedagog.
Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie tersebut berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa.
Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.
Bertitik tolak dari pengertian pendidikan di atas, maka ada pendidikan lalu lintas, pendidikan agama, pendidikan keterampilan, dan lain-lain. Di dalam pendidikan lalu lintas, pendidikan agama, dan pendidikan keterampilan, keterangan tentang lalu lintas, keterangan tentang agama, dan keterangan tentang keterampilan merupakan bahan Yang diberikan dalam perbuatan atau kegiatan mendidik.
Melihat uraian di atas, maka yang dimaksud dengan ilmu pendidikan atau paedagogie ialah ilmu yang membicarakan masalah atau persoalan-persoalan dalam pendidikan, atau dengan perkataan lain, ilmu pendidikan adalah suatu ilmu yang mempersoalkan pendidikan dan kegiatan mendidik. Persoalan-persoalan pokok yang dibiearakan oleh ilmu pendidikan itu di antaranya adalah apakah pendidikan, untuk apa pendidikan itu, bagaimana cara melaksanakan pendidikan, siapa saja Yang terlibat dalam pendidikan, alat apa saja yang menunjang terhadap pendidikan tersebut. Ilmu pendidikan pada dasarnya adalah suatu program yang ini mempersiapkan calon guru atau tenaga kependidikan yang profesional.
Pengertian ini memberi makna bahwa:
a. Ilmu pendidikan adalah suatu program, yakni sebagai pendidikan profesional.
b. Ilmu pendidikan mempersiapkan calon guru secara profesional.
c. Ilmu pendidikan berada dalam ruang lingkup profesionalisasi tenaga kependidikan.

Telah dikemukakan di atas bahwa ilmu pendidikan mempersoalkan tentang tumbuhnya pendidikan, tentang tujuan pendidikan, alat-alat pendidikan, dan praktek pendidikan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa salah satu fungsi ilmu pendidikan adalah menguraikan persoalan-persoalan pokok tentang pendidikan.
Uraian mengenai pokok-pokok tentang pendidikan itu amat berguna bagi para pendidik dan calon pendidik. Sebab, dengan pengetahuan tersebut para pendidik dan calon pendidik dibekali dengan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya mendidik.
Pengetahuan tentang pendidikan dan ilmu pendidikan tersebut menjadi pedoman, menjadi pengontrol atau pengawas bagi para pendidik dan calon pendidik. Kecuali itu, fungsi ilmu pendidikan adalah untuk pembentuk pribadi para pendidik dan calon pendidik, sebab dengan mempelajari ilmu tersebut, mereka, pendidik dan calon pendidik, dituntut untuk berpikir kritis dan logis, berperasaan tajam dan berkemauan keras.
Sebagai suatu program pendidikan profesional, ilmu pendidikan memuat sejumlah bidang pengajaran, terdiri atas konsep dasar kurikulum, program pengajaran, pengelolaan kegiatan belajar-mengajar media pendidikan, penetaian dalam belajar-mengajar, serta pengelolaan kelas.
Program ini hirus ditempuh oleh semua siswa calon guru yang mengarah pada pencapaian tujuan institusional, kurikuler, dan instruksional sebagaimana ditetapkan dalam kurikulum.

BAB II GURU YANG PROFESIONAL

2.1. Pengertian Profesional

Pada umumnya orang memberi arti yang sempit teradap pengertian profesional. Profesional sering diartikan sebagai suatu keterampilan teknis yang dimilki seseorang. Misalnya seorang guru dikatakan guru profesional bila guru tersebut memiliki kualitas megajar yang tinggi. Padahal pengertian profesional tidak sesempit itu, namun pengertiannya harus dapat dipandang dari tiga dimensi, yaitu : expert [ ahli ], responsibility [ rasa tanggung jawab ] baik tanggung jawab intelektual maupun moral, dan memiliki rasa kesejawatan.

2.1.1. Expert

Pengertian ahli disini dapat diartikan sebagai ahli dalam bidang pengetahuan yang diajarkan dan ahli dalam tugas mendidik. Seorang guru bisa disebut ahlinya apabila tidak hanya menguasai isi pengajaran yang diajarkan saja, tetapi juga mampu dalam menanamkan konsep mengenai pengetahuan yang diajarkan dan mampu menyampaikan pesan-pesan didik. Mengajar adalah sarana untuk mendidik, untuk menyampaikan pesan pesan didik. Guru yang ahli memilki pengetahuan tentang cara mengajar [teaching is a knowledge ], juga keterampilan [teaching is skill] dan mengerti bahwa mengajar adalah juga suatu seni [teaching is an art] . Didalam prosesnya kita harus ingat bahwa siswa bukanlah sebuah manusia tetapi merupakan seorang manusia, pengetahuan yang diberikan padanya merupakan bahan untuk membentuk pribadi yang utuh [holistik], membentuk konsep berpikir, sikap jiwa dan menyentuh afeksi yang terdalam. Oleh sebab itu guru tidak hanya dituntut memiliki pengetahuan dan terampil saja tetapi harus memiliki seni mengajar. Jadi kesimpulannya guru yang ahli itu disamping memiliki ilmu dan terampil dibidangnya, juga harus memiliki seni mengajar. sehingga dalam proses belajar mengajar mampu menciptakan situasi belaj'ar yang mengandung makna relasi interpersonal sehingga siswa merasa "diorangkan", memiliki jati dirinya.

2.1.2. Responsibility

Pengertian bertanggung jawab menurut teori ilmu mendidik mengandung arti bahwa seseorang mampu memberi pertanggung jawaban dan beresedia untuk diminta pertanggung jawaban. Tanggung jawab juga mengandung makna sosial, artinya orang yang bertanggung jawab harus mampu memberi pertanggung jawaban terhadap orang lain. Tanggung jawab juga mengandung makna etis artinya tanggung jawab itu merupakan perbuatan yang baik. Dan tanggung jawab juga mengandung makna religius, artinya ia juga harus punya rasa tanggung jawab tehadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Guru yang profesional mempersiapkan diri sematang-matangnya sebelum ia mengajar. la menguasai apa yang diajarkannya dan bertanggung jawab atas semua yang disampaikan dan bertanggung jawab atas segala tingkah lakunya.

2.1.3. Sense of Belonging/Colleague

Salah satu tugas dari organisasi profesi adalah menciptakan rasa kesejawatan sehingga ada rasa aman dan perlindungan jabatan. Melalu organisasi profesi diciptakan rasa kesejawatan. Semangat korps dikembangkan agar harkat martabat guru dijunjung tinggi, baik oleh guru sendiri maupun masyarakat pada umumnya. Jadi seseorang bisa disebut sebagai profesional apabila tidak hanya berkualitas tinggi dalam hal teknis namun harus ahli dibidangnya [expert], memiliki rasa tanggung jawab [responsibility] baik dalam tanggung jawab intelektual maupun tanggung jawab moral dan memiliki rasa kesejawatan.

2.2. Kualifikasi

Berbicara tentang guru yang profesional berarti membicarakan tentang kualifikasi guru. Guru yang profesional punya kualifikasi tertentu. Ada dua kualifikasi yaitu a. kualifikasi personal, b. Kualifikasi profesional.

2.2.1. Kualifikasi Personal.

Ada berbagai ungkapan untuk melukiskan kualifikasi personal guru diantaranya : 1. Guru yang baik Baik disini dalam artian mempunyai sifat moral yang baik seperti ; jujur, setia, sabar, betanggung jawab, tegas, iuwes, ramah, konsisten, berinisiatif dan berwibawa. Jadi guru yang baik itu bila dilengkapi oleh sifat - sifat yang disebutkan di atas. 2. Guru yang berhasil Seorang guru dikatakan berhasil apabila ia di dalam mengajar dapat menunjukan kemampuannya sehingga tujuan - tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai oleh peserta didik. 3. Guru yang efektif. Yang dimaksud dengan guru yang efektif yaitu apabila ia dapat mendayagunakan waktu dan tenaga yang sedikit tetapi dapat mencapai hasil yang banyak. Berarti guru yang pandai menggunakan strategi mengajar dan mampu menerapkan metode - metode mengajar secara berdaya guna dan berhasil guna akan disebut sebagai guru efektif.

2.2.2. Kualifikasi Profesional.

Yang dimaksud dengan kualifikasi profesional yaitu kemampuan melakukan tugas mengajar dan mendidik yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan.

2.3. Profesionalisasi

Profesionalisasi adalah suatu proses, pertumbuhan, perawatan dan pemeliharaan untuk mencapai tingkat profesi yang optimal. Dalam hal ini saya kaitkan dengan usaha-usaha pengembangan status jabatan guru sebagai pengajar dan pendidik menjadi guru yang profesional. Guru itu bagaikan sumber air yang terus menerus mengalir sepanjang kariernya, jika sumber air itu tidak diisi terus menerus maka sumber air itu akan kering. Demikian juga jabatan guru, apabila guru tidak berusaha menambah pengetahuan yang baru, maka mated sajian waktu mengajar akan "gersang". Dalam usaha profesionalisasi ini ada dua motif, yaitu : a. Motif eksternal yaitu pimpinan yang mendorong guru untuk mengikuti penataran, atau kegiatan-kegiatan akademik yang sejenis. Atau ada lembaga pendidikan yang memberi kesempatan bagi guru untuk belajar lagi. Dan ini termasuk in-service education. b. Motif internal yaitu dorongan dari diri guru itu sendiri yang berusaha belajar terus menerus untuk tumbuh dalam jabatannya, baik itu melalui membaca dan mengikuti berita yang berkaitan dengan pendidikan, maupun mengikuti pendidikan yang lebih tinggi, demi untuk meningkatkan profesinya di bidang pendidikan.

2.4. Tugas Guru

Dalam konsep pendidikan guru, L P T K menegaskan bahwa tugas guru meliputi tugas personal, tugas sosial dan tugas profesional, dengan demikian komponen yang dipersyaratkan juga menyangkut kompentensi personal, kompentensi sosial, dan kompentensi profesional. Dalam bahasan ini kita bahas ketiga tugas guru tersebut.

2.4.1. Tugas personal

Tugas pribadi ini menyangkut pribadi guru, itulah sebabnya setiap guru perlu menatap dirinya dan memaharni konsep dirinya. Guru itu digugu dan ditiru. Dalam bukunya Student teacher in Action, P Wiggens menulis tentang potret diri sebagai pendidik, la menuliskan bahwa seorang guru harus mampu berkaca pada dirinya sendiri. Bila ia berkaca pada dirinya, ia akan melihat bukan satu pribadi, tetapi tiga pribadi yaitu : - Saya dengan konsep diri saya [ self Concept ] - Saya dengan ide diri saya [ self Idea ] - Saya dengan realita diri saya [ self Reality setelah mengajar guru perlu mengadakan refleksi did. la bertanya pada diri sendiri, apakah ada hasil yang diperoleh dari hasil didiknya ? atau selesai mengajar ia bertanya pada dirinya sendiri apakah siswa mengereti apa yang telah dia ajarkan ?.

2.4.2. Tugas sosial

Misi yang diemban guru adalah misi kemanusiaan. Mengajar dan mendidik adalah tugas memanusiakan manusia. Guru punya tugas sosial. Menurut Langeveld, 1955 " Guru adalah seorang penceramah jaman". Lebih seram lagi tulisan Ir, Soekamo tentang " Guru dalam Masa Pembangunan". Dia menyebutkan pentingnya guru dalam masa pembagunan. Tugas guru adalah mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu tugas guru adalah tugas pelayanan manusia [gogos Humaniora).

2.4.3. Tugas profesional

Sebagai suatu profesi, guru melaksanakan peran profesi [profesional role]. Sebagai peran profesi, guru memiliki kualifikasi profesional, seperti yang telah dikemukakan, kualifikasi profesional itu antara lain ;menguasai pengetahuan yang diharapkan sehingga ia dapat memberi sejumlah pengetahuan kepada siswa dengan baik.

2.5. Role of Teacher

Pandangan modern terhadap peran guru dalam pendidikan bukan hanya mendidik dan mengajar saja, tetapi peran guru sangatlah luas (seperti yang diungkapkan oleh Adams & Dickeyyang meliputi;

2.5.1. As Instructor

Guru bertugas memberikan peng jaran di dalarn sekolah (kelas). Iamenyampaikan pelajaran agar murid memahami dengan baik semua pengetahuan yang telah disampaikan itu. Selain dari itu ia juga berusaha agar terjadi perubahan sikap, keterampil an, kebiasaan, hubungan sosial, apresiasi, dan sebagainya melalui pengajaran yang diberikannya. Untuk mencapai tujuan-tujuan itu maka guru perlu memahami sedalam-dalamnya pengetahuan yang akan menjadi tanggung jawabnya dan menguasai dengan baik metode dan teknik mengajar.

2.5.2. As Consellor

Guru berkewajiban memberikan bantuan kepada murid agar mereka mampu menemukan masalahnya sendiri, memecahkan masalahnya sendiri, mengenal diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Murid-murid membutuhkan bantuan guru dalarn hal mengatasi kesulitan-kesulitan pribadi, kesulitan pendidikan, kesulitan memilih pekerjaan, kesulitan dalam hubungan sosial, dan interpersonal. Karena itu setiap guru perlu memahami dengan baik tentang teknik bimbingan kelompok, penyuluhan individual, teknik mengurnpulkan keterangan, teknik evaluasi, statistik penelitian, psikologi kepribadian, dan psikologi belajar, Harus dipahami bahwa pembimbing yang terdekat dengan murid adalah guru. Karena murid menghadapi masalah di mana guru tak sanggup memberikan bantuan cara memecahkannya, baru. meminta bantuan kepada ahli bimbingan (guidance specialist) untuk memberikan bimbingan kepada anak yang bersangkutan.

2.5.3. As Leader

Sekolah dan kelas adalah suatu organisasi, di mana murid adalah sebagai pemimpinnya. Guru berkewajiban mengadakan supervisi atas kegiatan belajar murid, membuat rencana pengajaran bagi kelasnya, mengadakan manajemen belajar sebaik-baiknya, melakukan manajemen kelas, mengatur disiplin kelas secara demokratis. Dengan kegiatan manajemen ini guru ingin menciptakan lingkungan belajar yang serasi, menyenangkan, dan merangsang dorongan belajar para anggota kelas. Tentu saja peranan sebagai pemimpin menuntut kualifikasi tertentu, antara lain kesanggupan menyelenggarakan kepemimpinan, seperti: merencanakan, melaksanakan, mengorganisasi, mengkoordinasi kegiatan, mengontrol, dan menilai sejauh mana rencana telah terlaksana. Selain dari itu, guru harus punyai jiwa kepemimpinan yang baik, seperti: hubungan sosial, kemampuan berkomunikasi, ketenagaan, ketabahan, humor, tegas, dan bijaksana. Umumnya kepemimpinan secara demokratis lebih baik daripada bentuk kepemimpinan lainnya: otokrasi dan laizzes faire.

2.5.4. As Scientist

Guru dipandang sebagai orang yang paling berpengetahuan. Dia bukan saja berkewajiban menyampaikan pengetahuan yang dimilikinya kepada murid, tetapi juga berkewajiban mengembangkan pengetahuan itu dan terus-menerus memupuk pengetahuah yang telah dimilikinya. Dalam abad ini, di mana pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat, guru harus mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Banyak cara yang dapat ditakukan, misalnya: belajar sendiri, mengadakan penelitian, menglkuti kursus, mengarang buku, dan membuat tulisan-tulisan ilmiah sehingga peranannya sebagai ilmuwan terlaksana dengan baik.

2.5.5. As Person

Sebagai pribadi setiap guru harus memiliki sifat-sifat yang disenangi oleh murid-muridnya, o1eh orang tua, dan oleh masyarakat. Sifat- sifat itu sangat diperlukan agar ia dapat melaksanakan pengajaran secara efektif. Karena itu guru wajib berusaha memupuk sifat-sifat pribadinya sendiri (intern) dan mengembangkan sifat -sifat pribadi yang disenangi oleh pihak luar (ekstern). Tegasnya bahwa setiap guru perlu sekali memiliki sifat-sifat pribadi, baik untuk kepentingan jabatannya maupun untuk kepentingan dirinya sendiri sebagai warga negara masyarakat.

2.5.5. As Communicator

Sekolah berdiri di antara dua sisi, yakni di satu pihak mengemban tugas menyampaikan dan mewariskan ilmu, teknologi, dan kebudayaan yang terus-menerus berkembang dengan pesat, dan di lain pihak ia bertugas menampung aspirasi, masalah, kebutuhan, minat, dan tuntutan masyarakat. Di antara kedua sisi inilah sekolah memegang peranannya sebagai penghubung di mana guru berfungsi sebagai pelaksana. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh guru untuk menghubungkan sekolah dan masyarakat, antara lain dengan public relation, bulletin, pameran, pertemuan-pertemuan berkala, kunjungan ke masyarakat, dan sebagainya. Karena itu keterampilan guru dalam tugas-tugas mi senantiasa perlu dikembangkan.

2.5.6. As Modernisator

Pembaruan di dalam masyarakat terjadi berkat masuknya pengaruh pengaruh dari ilmu dan teknologi modern, yang datang dari negara-negara yang sudah berkembang. Masuknya pengaruh-pengaruh itu, ada yang secara langsung ke dalam masyarakat dan ada yang melalui lembaga pendidikan (sekolah). Guru memegang peranan sebagai pembaharu, oleh karena melalui kegiatan guru penyampaian ilmu dan teknologi, contoh-contoh yang baik dan lain-lain maka akan menanamkan jiwa pembaruan di kalangan murid. Karena sekolah dalam hal ini bertindak sebagai agent-moderniza-tion maka guru harus senantlasa mengikuti usaha-usaha pembaruan di segala bidang dan menyampaikan kepada masyarakat dalam batas-batas kemampuan dan aspirasi masyarakat itu. Hubungan dua arah harus diciptakan oleh guru sedemikian rupa, sehingga usaha pembaruan yang disodorkan kepada masyarakat dapat diterima secara tepat dan dilaksanakan oleh masyarakat secara baik.

2.5.7. As Constructor

Sekolah turut serta memperbaiki masyarakat dengan jalan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan dengan turut melakukan kegiatan-keglatan pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh masyarakat itu. Guru baik sebagai pribadi maupun sebagai guru profesional dapat menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk membantu berhasilnya rencana pembangunan masyarakat, seperti: kegiatan keluarga berencana, bimas, koperasi, pembangunanjalan-jalan, dan sebagainya. Partisipasinya di dalam masyarakat akan turut mendorong masyarakat lebih bergairah untuk membangun. Dan di pihak lain akan lebih mengembangkan kualifikasinya sebagai guru.

BAB III DIMENSI ILMU PENDIDIKAN


3.1. Peran Ilmu Pendidikan

Ilmu pendidikan melaksanakan peranan-peranan sebagaimana diungkapkan oleh Oemar Hamalik:

1. Peranan spesialisasi, yaitu menyediakan materi bidang ilmu dan perangkat pengetahuan yang wajib dikuasai oleh tiap calon, guru. Materi yang disediakan meliputi teori, konsep, generalisasi, prinsip, dan berbagai strategi. Materi yang dimaksud pada gilirannya disajikan dalam proses belajar-mengajar pada lembaga pendidikan guru, terhadap para calon guru yang dipersiapkan untuk mengajar di sekolah dasar atau sekolah tempat ia akan bertugas.
2. Peranan profesionalisasi, yang merupakan alat dalam kerangka sistem penyampaian yang perlu dikuasai oleh setiap calon guru pada umumnya, bagi guru khususnya, dan ilmu pendidikan sekaligus berperan ganda, yakni sebagai sesuatu yang akan disampaikan dan sebagai sistem penyampaian dengan berbagai alternatif pilihan.
3. Peranan personalisasi, yang bersifat membentuk kepribadian guru sebagai warga negara yang baik dan sebagai anggota profesi yang baik. Peranan yang baik didasari oleh aspqk normatif yang dimiliki oleh ilmu pendidikan itu sendiri. 4. Peranan sosial, yang menyediakan kemungkinan bagi guru untuk memberikan pengabdiannya kepada masyarakat dalam bidang ilmu pendidikan. Dalam hal ini, pengabdian dimaksudkan sebagai usaha untuk turut memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat. Keempat peranan tersebut pada hakikatnya berjalan bersama-sama sekaligus, saling berkaitan satu sama lain. Penguasaan spesialisasi ilmu pendidikan sekaligus memberikan petunjuk tentang kemampuan profesional yang dipersyaratkan dalam rangka penyampaiannya kepada calon guru. Sistem penyampaian akan menjadi efektif jika guru tersebut telah meresapi ilmu pendidikan, bila ilmu pmdidikan telah menjadi darah dagingnya sendiri, bahkan sebagai nilai utama yang membentuk kepribadiannya. Di lain pihak, ilmu yang dimilikinya seharusnya memberikan nilai dan manfaat tertentu bagi perbaikani masyarakat dalam arti yang luas. Dengan demikian, penerapan salah satu peranan dapat ditafsirkan sebagai suatu kepincangan dan akan mengurangi makna ilmu pendidikan secara keseluruhan.
Selain itu ada pula 4 fungsi dasar pendidikan , yaitu;
1. Pengembangan individu
2. Pengembangan cara berfikir & teknik menyelidiki
3. Pemindahan warisan budaya
4. Pemenuhan kebutuhan sosial yang vital


3.2. Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan memegang peranan penting dalam pendidikan, sebab tujuan akan memberikan arah bagi segala kegiatan pendidikan. Dalam penyusunan suatu kurikulum, perumusan tuJuan ditetapkan terlebih dahulu sebelum menetapkan komponen yang lainnya.
Tujuan pendidikan suatu negara tidak bisa dipisahkan dan merupakan penjabaran dari tujuan negara atau filsafat negara. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan alat untuk mencapai tujuan negara, yakni membentuk manusia seutuhnya berdasarkan ketentuan UUD '45, yang bersumber dari Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Nana Sudjana (1979) menjelaskan bahwa, berdasarkan kajian, tujuan pendidikan dapat,dikelompokkan ke dalam tiga macam, yaitu: 1. tujuanjangka parijang (longterm objectives aims), 2. tujuan antara (intermediate objectives), 3. tujuan segera (immediate objectives, specific objectives).
Tujuan pendidikan menurut tingkatannya dibedakan menjadi beberapa tujuan, dari tujuan yang bersifat umum sampai kepada tujuan yang bersifat khusus. Tujuan-tujuan yang bersifat khusus Tujuan Institusional dan Tujuan Kurikuler merupakan tujuan antara dalam rangka mencapai tujuan yang lebih umum. Sedangkan Tujuan Instruksional baik TIU maupun TIK, adalah tujuan yang segera dicapai dari suatu pertemuan.
3.2.1. Tujuan Pendidikan Nasional Bersumber dari Pancasila dan UUD '45, dirumuskan oleh pemerintah sebagai pedoman bagi pengembangan tujuan-tujuan pendidikan yang lebih khusus.
3.2.2. Tujuan Lembaga Pendidikan (Institusional) Ialah tujuan-tujuan yang harus diemban dan dicapai oleh setiap lembaga pendidikan. Artinya kualifikasi atau kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki siswa setelah mereka menyelesaikan studinya pada lembaga pendidikan tersebut. Biasanya tujuan institusional dibedakan menjadi tujuan umurn dan tujuan khusus.
Tujuan instruksional adalah tujuan yang paling rendah tingkatannya, sebab yang langsung berhubungan dengan anak didik. Tujuan instruksional berkenaan dengan tujuan setiap perternuan.
Artinya, kemarnpuan-kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa setelah ia menyelesaikan pengalaman belajar suatu pertemuan. Tujuan instruksional dibedakan ke dalam dua jenis, yakni tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK).
Perbedaan TIU dan TIK terletak dalam hal perumusannya. TIU dirumuskan dengan kata-kata dan tingkah laku yang bersifat umum, sedangkan TIK menggunakan kata-kata dan tingkah laku yang bersifat khusus, artinya dapat diukur setelah pelajaran itu selesai.

3.3. Isi Rumusan Tujuan Dalam Pendidikan

Isi rumusan tujuan dalam pendidikan harus bersifat komprehensif. Artinya mengandung aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Ketiga aspek ini harus terdapat baik dalam tujuan yang bersifat umum tnaupun tujuan yang bersifat khusus. Dunia pendidikan kita saat ini masih menerima taksonomi tujuan menurut Prof. Dr. Benyamin Bloom, dengan istilah taksonomi tujuan Bloom. Men nurut Bloom, tingkah laku manusia dikategorikan menjadi tiga ranah (matra, domain atau pembidangan), yakni:
a. Ranah (matra) kognitif yang terdiri atas pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
b. Ranah (matra) afektif yang terdiri atas penerimaan, respons, organisasi, evaluasi, dan memberi sifat (karakter).,
c. Ranah (matra) psikomotor melalui pentahapan imitasi, spekuIasi, prasisi, artikulasi, dan naturalisasi.
Ketiga matra di atas dalam prakteknya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, tetapi dapat dibedakan untuk memudahkan pembahasan teoritisnya. Logjkanya ialah bahwa tingkah laku manusia diawali dulu dengan pengetahuan, kemudian -sikap, lalu berbuat.

3.4. Komponen Struktur Program

Komponen berikutnya ialah nfenetapkan struktur dan materi. program pendidikan. Struktur program pendidikan dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan lembaga. pendidikan mencakup alokasi waktu yang diberikan untuk setiap bidang studi dalam setiap minggunya. Ada beberapa jenis struktur program pendidikan dalam kurikulum, yaitu:

3.4.1. General Education

Pendidikan umum ialah program pendidikan yang bertujuan membina siswa agar menjadi warga negara yang baik. Sifat pendidikan umum ini adalah wajib diikuti oleh setiap siswa pada semua lembaga pendidikan dan tingkatannya. Bidang studi-bidang studi yang termasuk dalarn kelompok pendidikan umurn misalnya Pendidikan Agama, PMP, Olah Raga-Kesehatan, Kesenian, dan Bahasa Indonesia.

3.4.2. Academic Education

Pendidikan adademik adalah program pendidikan yang ditujukan untuk mencapai pembinaan intelektual sehingga diharapkan memperoleh kualifikasi pengetahuan yang fungsional menurut tuntutan disiplin ilmu masing-masing. Tujuannya ialah untuk memberikan bekal kepada lulusan agar dapat melanjutkan studi ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Sifat pendidikan akademik ini permanen dan menggambarkan pola berpikir menurut disiplin ilmu masing-masing. Bidang studi yang termasuk kelompok pendidikan akademik antara lain IPA, IPS, Matematika, dan Bahasa Inggris.

3.4.3. Competency Education

Pendidikan keterampilan adalah program pendidikan yang bertujuan untuk memperoleh kecakapan dan keteramplan tertentu, yang diperlukan anak sebagai bekal hidupnya. di masyarakat. Sifat pendidikan ini temporer, artinya sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan keperluan. Demikian juga sifatnya elektif, artinya setiap siswa. dapat memilih jalur keterampilan yang diinginkannya. Misalnya keterampilan di bidang jasa, pertanian, perikanan, perbengkelan.

3.4.4. Vocational Education

Pendidikan kejuruan bertujuan mempersiapkan siswa. untuk menyandang keahlian atau pekerjaan tertentu, sesuai dengan jenis sekolah yang ditempuhnya. Pendidikan kejuruan ini lazimnya terdapat pada sekolah-sekolah kejuruan, bukan pada sekolah umum (SLTP dan SMU). Misalnya untuk SMK.

BAB IV USAHA PENDIDIKAN SEBAGAI SUATU SISTEM

Usaha pendidikan merupakan kegiatan yang kompleks, metiputi berbagai komponen yang berkaitan satu sama lain. Apabila usaha pendidikan hendak dilaksanakan secara terencana dan teratur, maka berbagai elemen dan saling hubungannya perlu dikenali, dikaji, dan dikembangkan hingga mekanisme kerja elemen elemen itu secara menyeluruh, yaitu kegiatan pendidikan, akan dapat membuahkan hasil yang maksimal. Untuk keperluan ini diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu sistem.


4.1. Unsur unsur Suatu Usaha

Suatu usaha menyangkut tiga unsur pokok, yaitu unsur masukan (input) unsur proses usaha itu sendiri, dan unsur hasil usaha (output). Hubungan ketiga unsur itu dapat digambarkan dalam diagram berikut: Diagram 1. Unsur unsur Suatu Usaha Masukan (input) adalah bahan mentah yang hendak diolah menjadi hasil tertentu. Misahiya beras adalah masukan untuk diproses memasak guna, menghasilkan nasi. Contoh ini tampaknya sederhana dan mengikuti pola pabrik yang secara mekanis mengolah bahan mentah menjadi hasil olahan.
Contoh lain yang tidak terlalu bersifat mekanis seperti itu, misalnya usaha seseorang untuk menulis surat. Yang menjadi masukan dalam usaha menulis surat itu, sedangkan proses penulisan surat ialah kegiatan nyata menulis surat, dan hasil usaha itu ialah surat yang sudah ditulisnya.
Dalam peninjauan yang lebih mendalam dikenal adanya masukan dasar dan masukan kealatan (instrumental). Dalam contoh memasak nasi tadi, masukan dasarnya adalah beras. Dari masukan dasar yang berupa beras itu dapat dikaji lebih mendalam, tentang ciriciri beras yang akan dimasak itu, kemampuan mengembangnya bagaimana, cepat basi atau tidak, perlu dicuci atau tidak sebelum dimasak. Berbagai ciri tersebut terlitigkup didalam masukan dasar itu.
Masukan kealatan pada umunya mliputi berbagai hal yang terkait di dalam proses usaha. Dalam proses memasak nasi, antara lain kompor atau tungku apa yang dipakai, cara memasak (ditanak atau dikukus), siapa yang memasak itu (misalnya sudah berpengalaman atau belum).
Hasil akhir usaha memasak nasl itu ditentukan oleh masukan dasar (dengan berbagai ciri yang ada di dalamnya) dan proses pemasakan (yang dipengaruhi oleh berbagai masukan kealatannya).
Pada uraian yang terdahulu telah dikemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha untuk mencapai hasil pendidikan. Usaha ini tentulah mencakup ketiga unsur pokok seperti disinggung diatas. Masukan dasar usaha pendidikan ialah anak didik dengan berbagai ciri ciri yang ada pada diri anak didik itu (antara lain) bakat, minat, kemampuan, keadaan jasmani).
Dalam. proses pendidikan terkait berbagai hal, seperti pendidik, kurikulum, gedung sekolah, buku metode mengajar, dan lain-lain. Sedangkan hasil pendidikandapat meliputi hasil belajar (yang berupa pengetahuan, sikap, dan/atau keterampilan) setelah selesainya suatu proses belajar mengajar tertentu. Dalam rangka yang lebih besar, hasil proses pendidikan dapat berupa lulusan atau lembaga pendidikan (sekolah) tertentu.


4.2. Pengertian Sistem

Sistem didefinisikan oleh Ryans (1968) sebagai "any identifiable assemblage of elements (obyects, persons, activities, information records, etc.) which are interrelated by generating an observable (or sometimes merely inferable) product". Dalam definisi tersebut dapat ditarik pengertian di dalam. suatu sistem • elemen elemen yang ada dapat dikenali; • elemen elemen itu saling berkaitan dan kaitan ini adalah yang teratur, tidak sekedar acak; • mekanisme saling berhubungan antar elemen itu merupakan suatu kesatuan organisasi; kesatuart organisasi itu berfungsi dalam mencapai suatu tujuan; berfungsinya organisasi itu membuahkan hasil yang dapat atau setidaknya dapat dikenali adanya.


4.3. Elemen Usaha Pendidikan

Elemen elemen apakah yang ada dalam suatu pendidikan ? Secara cepat dapat dilihat bahwa dalam suatu usaha pendidikan ada anak didik dan pendidik. Dalam proses pendidikan anak didik dan pendidik berinteraksi. Secara sederhana dapat digambarkan sebgai berikut: Interaksi Gambar 2. Interaksi Pendidik Anak didik Dilihat lebih lanjut, didalam elemen anak didik, pendidik, dan interaksi itu terdapat berbagai elemen lagi yang merupakan. perincian dari ketiga elemen pokok itu. Disamping inti, diluar ktiga elemen tersebut masih dpat dikenah elemen elemen lain yang berperan tertentu dalam usaha pendidikan. Dari elemen anak didik dapar diperinci : jumlah anak didik (seorang saja atau lebih), tingkat perkembangannya, pembawaaannya, tingkat kesiapannya, minat minatnya, aspirasinya, dan sebagainya.
Dari elemen pendidik dapat diperinci : umur pendidik, kehadirannya (kehadiran langsung atau tidak langsung, kemampuannya, minat minatnya, wataknya, status resminya (misalnya guru yang sudah diangkat atau tenga sukarela), wibawanya, dan sebagainya. Dari elemen interaksi dapat diperinci : isi interaksi itu, apa yang dilakukan. pendidik apa yang dilakukan anak didik, alat alat yang dipakai, bahasa yang dipakai penampilan anak didik sebagi hasil interaksi, dan sebaginya.
Dari elemen elemen lain dapat disebutkan : lingkukangan tenpat tejadinya interaksi (lingkungan fisik, sosial, budaya), tujuan. pendidikan dan umpan balik tejadinya interaksi usaha pendidikan. Dalam usaha pendidikan yang sifatnya lebih luas akan muncul elemen elemen lain lagi, seperti : pimpinan. sekolah, berbagai sumber daya dan dana, kebijaksanaan dan keputusan baik yang bersifat kependidikan maupun non kependidikan, pengaruh budaya asing, teori teori dan hasil edperimentasi kependidikan, dan. sebagainya.
Tinjauan terhadap elemen anak didik, pendidikan dan interaksi keduanya dapat disebut sebagai tinjauan mikro terhadap usaha pendidikan, sedangkan tinajauan niakro menjangkau elemen elemen yang Jebih luas sebagal pendidik, dan bahkan sebagai pengembang usaha pendidikan, guru dan petugas pendidikan lainnya dituntut untuk menganalisis berbagai elemen itu, baik dalam tujuan yang bersifat mikro maupun makro.


4.4. Saling Hubungan antar Elemen
Proses pendidikan terjadi jika elemen elemen yang ada didalarn usaha pendidikan itu bergerak dan saling berhungan. Bergeraknya masing masing elemen itu saja belum cukup, gerak itu harus saling berhubungan yang fungsional, yang merupakan suatu kesatuan organisasi. Ibarat sebuah mobil akan dapat berjalan dengan baik, jika semua elemennya, dari ban (dan juga jalan) sampai sopir (dan juga penumpang) berada dalam kondisi yang baik, bergerak dan menjalankan tugas sesuai dengan fungsinya masing masing. Apabila salah satu dari elemen mobil ini tidak berfungsi, besar kemungkinan mobil itu tidak akan berjalan dengan baik.
Demikan juga halnya dengan proses pendidikan. Coba bayangkan jika misalnya seorang pendidik telah siap menjalankan usaha pendidikan terhadap usaha seorang anak didik, tetapi anak didik itu tidak menyukai pendidiknya sehingga sikapnya menjadi acuh tak acuh, bahkan menolak untuk berinteraksi dengan pendidik.
Dalam. keadaan seperti ini proses pendidikan dpat dikatak gagal. Elemen yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu yang merupakan sebab kegagalan, tampaknya ialah "kesiapan anak didik". Anak didik belum siap memasuki proses pendidikan dengan pendidik itu. Contoh lain : Dalam memberikan kuliah seorang dosen asyik mengemukakan berbagai bahan yang telah disiapkannya, dan para mahasiswa tampaknya asyik pula menerima penyajian dosen itu. Suasana tenang, hanya suara dosen yang terdengar sambil di sana sini diseling suara gesekan kertas dan goresan pena.
Bagaimana pendapat anda tentang proses pendidikan seperti itu ?. Mungkin masih ada orang yang mengatakan bahwa suasana seperti itu menunjukkan keberhasilan dosen yang sedang mengajar itu. Fungsi wibawa dosen berjalan dengan sangat baik. Fungsi mahasiswa pun, sebagai si penerima pelajaran, berjalan dengan baik. Semua berjalan dengan tertib. Terhadap pendapat ”positif” tersebut diatas perlu diajukan berbagai pertanyaan yang menyangkut elemen elemen dan berfungsinya elemen itu dalarn proses pendidikan yang dimaksud. Antara lain : Benarkah sernua mallasiswa mendengarkan dan mengerti apa yang disampaikan o1eh dosen sehingga tidak ada mahasiswa yang bertanya ? Benarkah nialiasiswa sudah siap menerima pelajaran itu dalam arti yang sebernya, tidak sekedar hadir dalam ruangan kuliah ? Mengapa dosen tidak memberikan kesempatan bertanya ? Apakah mahasiswa (dan dosen) men.ganggap bahan bahan yang dikuliahkan itu penting? Apakah bahan itu benar benar penting dalam arti pengembangan kemampuan mahasiswa dan kegunaannya nanti dalam masyarakat ? Apa yang dicatat oleh mahasiswa ? Apakah catatn ini akan berguna, atau hanya, sekedar bahan hafalan ? Apakah meman hafalan itu vang menjadi tujuan pengajaran ? Bagaimana dosen menjelaskan bahwa tujuannya bukanlah sekedar agar mahasiswa menghafal (kalau memang dosen bermaksud demikian)? Mengapa dosen hanya memanfaatkan suaranya. saja dan tidak memakai peralatan lain ? Bagaimana dosen memerikasa bahwa mahasiswa tidak sekedaar menghafal ? Bagaimana dosen menggerakkan mahasiswa belajar di luar jam jam perkuliahan ? apakah jurusan, fakultas, universitas/institut melakukan pembinaan terhadap dosen (dan mahasiswa) sehingga proses yang lebih aka dinamis, kreatif ? Teori pendidikart apa yang sebaiknya. di terapkan untuk usaha seperti ini ? dan sebagainya.
Tampaknya. bahwa pertanyaan yang dikemukakan diatas telah menyinggung berbagai elemen dalam rangka. tinjauan yang bersifat mikro (khusus menyangkut interaksi dosen mahasiswa sewaktu proses perkuliahan itu berlangsung) dart berbagai elemen dalam rangka. tinjauan yang bersifat makro (meliputi elemen elemen yang berada. diluar proses berlangsungnya. interaksi dosen mahasiswa itu). Berbagai elemen dan saling hubungan yang fungsional itu perlu disadari oleh para pendidik dan pengembang usaha kependidikan.
Saling berhungan antar elemen pokok dalam usaha pendidikan (secara. makro) dapat secara. umum digambarkan sebagai berikut: Anak didik dan pendidik merupakan elemen sentral dalam usaha. pendidikan. Pendidik (dan juga anak didik) memeliki tujuan pendidikan tertentu yang hendaknya di capai untuk kepentingan anak didik. Untuk mencapai tujuan ini ada. berbagai sumber yang dapat dimanfaatkan di samping adanya berbagai kendala yang harus dihadapi.
Dengan memeprhatikan berbagai sumber dan kendala itu ditetapkan bahan pengajaran dan diusahakan berlangsungnya proses untuk mencapai tujuan itu. proses ini akan membuatkan penampilan anak didik yang biasa. disebut hasil belajar.
Hasil belajar ini perlu dinilai dan hasil penilaian yang diperoleh dapat merupakan umpan balik guna. mengkaji kembali berbagai elemen dan saling kaitannya yang terdapat dalam keseluruhan usaha pendidikan itu.
Keseluruhan elemen usaha pendidikan ini (mulai dari anak didik dan pendidik sampai kepada. pemanfaatan umpan balik) tidak terlepas dari pengetahuan, teori dan model model usaha pendidikan yang telah dimiliki, disusun dan dicobakan oleh orang (khusunya para ahli) selama ini.


4.5. Pencapaian Tuiuan yang Diinginkan

Adanya suatu sistem selalu berkaitan dengan pencapaian suatu tujuan. Adanya suatu sistem bukanlah untuk sistem itu sendiri melainkan mencapai sesuatu efektif dan efesien. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai ialah sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya. Untuk mencapai tujuan tujuan seperti itu perlulah disusun dan difungsionalkan suatu sistem penyelenggaraan pendidikan yang baik.
Berbagai elemen dalam sistem perlu dikenali secara tuntas dan dikembangkan sehingga dapat benar benar berfungsi dengan tepat dan penuh pula. Di sinilah letak pentingnya pendekatan sistem dapat dikenalinya kelemahan masing masing elemen yang berperan dalam keseluruhan usaha pendidikan dan kelemahan dalam saling hubungan antar elemen itu, serta dengan demikian dapat dilakukan perbaikan terhadap kelemahan kelemahan itu dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif dan efisien.
Jika dirasakan bahwa suatu usaha pendidikan kurang berhasil misalnya, janganlah serta merta keseluruhan usaha itu dianggap jelek sehingga secara keseluruhan perlu diganti dengan yang baru sama sekali.
Dalam hal ini pendekatan sistem menasehatkan untuk mempelajari elemen elemen yang ada dalam usaha itu, saling hubungannya dan suasana lain yang mungkin ada sangkut pautnya.
Tinjauan seperti ini mungkin akan memperlihatkan hanya sejumlah kecil elemen saja, dan tidak seluruhnya, yang perlu diperbaiki. Atau mungkin hal itu memperlihatkan perlunya sekedar perbaikan hubungan antar beberapa elemen saja (seakan elemen elemen itu sendiri sebenarnya sudah baik).
Tidak mustahil pendekatan seperti ini akan menghasilkan keputusan tentang perubahan yang radikal, yaitu apabila sebagian besar elemen pokok temyata tidak mungkin lagi berfungsi secara baik, saling hubungan antar elemen tidak mungkin terlaksana, dan suasana pada umumnya tidak memungkinkan berjalannya mekanisme sistem itu. Dalam keadaan yang seperti ini keseluruhan sistem harus diganti, tidak sekedar memperbaiki elemen elemen tertentu saja.
Dengan demikian tampak bahwa peninjauan berdasarkan sistem terhadap usaha usaha pendidikan (baik mikro ataupun makro) dapat menghasilkan keputusan yang berupa pembaharuan atau perbaikan sebagian atau menyeluruh, bertahap atau sekaligus. Keputusan ini dilakukan tidak lain untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan secara maksimal. 4.6. Sistem Pendidikan dalam Kerangka yang Lebih Luas Diatas dikatakan bahwa pendidikan sebagi suatu sistem dapat ditinjau secara mikro maupun makro.
Dalam tinjauan yang paling mikro, pendidikan merupakan suatu sistem yang menyangkut seorang anak didik dan seorang pendidik yang sedang terikat dalam suatu suasana pendidikan.
Dalam tinjauan yang lebih makro, sistem pendidikan. menyangkut berbagai hal selain anak didik, pendidik, dan interaksi antara keduanya itu, P.H. Coombs (1968) menggambarkan. sistem pendidikan yang lebih makro itu melalui tiga. diagram berikut ini. Diagram 3. Komponen Pokok dalam Sistem Pendidikan Diagram 4. Interaksi antara sisten Pendidikan dan Lingkungannya Diagram 5. Dimensi Internasional dalam Analisis Sistem Diagram 3 memperlihatkan berbagai komponen (yang oleh Ryans disebut elemen pokok yang terdapat di dalam suatu sistem pendidikan.
Dalam upaya pendidikan komponen komponen itu saling berinteraksi. Misalnya, dalam, sistem pendidikan itu tujuan dan prioritas ingin diubah, yaitu memasukkan jalur keterampilan pada pendidikan menengah umum.
Untuk dapat melaksanakan perubahan ini dituntut perubahan yang cukup mendasar pada komponen komponen yang menyangkut kurikulum, metode mengajar, kelengakapan pengajaran, guru pengelompokan dan kegiatan murid. Secara, ringkas setiap komponen dalam sistem itu dipengaruhi oleh perubahan yang dimaksudkan itu.
Demikian juga misalnya jika ingin memasukkan "matematika modern" sebagai pengganti matematika tradisional di sekolah, perubahan perubahan mendasar perlu dilakukan terhadap metode mengajar dan belajar yang pada gilirannya menuntut perubahan pada penjadwalan, peneyediaan perlengkapan pengajaran serta jumlah dan jenis guru yang diperlukan.
Tuntutan perubahan yang berantai ini selanjutnya menyangkut pula syarat syarat masukart yang baru serta pada akhimya jumlah dart mutu hasil pendidikan.
Perlu dicatat bahwa diagram 3 belum memperlihatkan keseluruhan hal yang perlu. diperhatikan dalam suatu analisis sistem. Diagram 3 hanya memperlihatkan komponen komponen pokok dalam satu sistem saja yang dilepaskan dari lingkungannya. Karena pada dasarnya masyarakatlah yang menyediakan berbagai sarana agar suatu sistem dapat berfungsi, maka sistem sebagaimana digambarkan pada Diagram 3 itu harus diperluas. Masukan dan keluaran pendidikan harus disangkut pautkan dengan usnsur unsur yang di dalam masyarakat.
Hal ini akan dapat mengungkapkan berbagai sumber kendala yang membatasi berfungsinya sistem itu yang akhirnya menentukan produktivitas sistem tersebut dalam mewujudkan peranannya untuk masyarakat.
Diagram 4 memperlihatkan berbagai masukan ganda yang berasal dari masyarakat ke dalam sistem yang dipersembahkan bagi masyarakat yang akhirnya memberikan berbagai dampak yang berbeda. Selanjutnya, Diagram 5 menambahkan dimensi internasional dalam analisis sistem. Pada diagram ini diperlihatkan adanya komponen masukart yang diimpor dari luar negeri dan komponen hasil yang dieskpor ke luar negeri yang selanjutnya menjadi komponen masukan pada sistem. pendidikan di luar negeri itu.


BAB V EVALUASI

5.1. Pengertian Evaluasi

Pengevaluasian adalah merupakan proses pembuatan suatu keputusan atau penilaian. Bagi guru, berarti suatu keanekaragaman pengukuran seharusnya terjadi sebelum pembuatan keputusan pengevaluasian. Jika keputusan berdasarkan pada, satu atau dua pengukuran, boleh jadl tidak terefleksikannya secara akurat kemampuan siswa yang diperoleh.
Evaluasi pencapaian belajar siswa adalah salah satu kegiatan yang merupakan kewajiban bagi setiap guru/pengajar. Dikatakan kewajiban, karena setiap pengajar pada akhirnya harus dapat memberikan informasi kepada lembaganya ataupun kepada siswa itu sendiri, bagaimana dan sampai di mana penguasaan dan kemampuan yang telah dicapai siswa tentang materi dan keterampilan-keterampilan inengenai mata ajaran yang telah diberikannya.
Perlu ditekankan di sini, bahwa evaluasi pencapaian belajar siswa tidak hanya menyangkut aspek-aspek kognitifnya saja, tetapi juga mengenai aplikasi atau performance, aspek efektif yang menyangkut sikap serta internalisasi nilai-nilai yang perlu ditanamkan dan dibina melalui mata ajaran atau mata kuliah yang telah diberikannya. Tentu saja untuk melaksanakan ini secara. konsekuen bukanlah suatu hal yang mudah. Masih banyak kepincangan yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita, baik di lembaga pendidikan dasar dan menengah maupun di lembaga pendidikan tinggi.
Pada masa-masa yang lalu, dan bahkan hingga kini, masih banyak terdapat kekeliruan pendapat tentang fungsi penilaian pencapaian belajar siswa. Banyak lembaga pendidikan ataupun pengajar secara sadar atau tidak sadar menganggap fungsi penilaian itu semata-mata sebagai mekanisme untuk menyeleksi siswa/mahasiswa dalam kenaikan kelas atau kenaikan tingkat, dan sebagai alat penyeleksian kelulusan pada akhir tingkat program tertentu.
Sedangkan fungsi penilaian yang kita hendaki di samping sebagai alat seleksi dan mengklasifikasi, juga sebagai sarana untuk inembantu pertumbuhan dan perkembangan siswa/mahasiswa secara maksimal.
Dengan kata lain, penilaian pencapaian belajar siswa/mahasiswa tidak hanya merupakan suatu proses untuk mengklasifikasikan keberhasilan dan kegagalan dalarn belajar (penilaian sumatif), tetapi juga dan ini sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengajaran (penilaian formatif).
Ada dua pandangan yang sangat merugikan efektivitas dan kemurnian fungsi penilaian seperti dimaksud di atas: 1. anggapan bahwa untuk melaksanakan penilaian itu tidak perlu adanya persiapan dan latihan yang eksplisit, sehingga siapa saja dapat melakukannya; 2. anggapan penilaian pencapaian belajar siswa atau mahasiswa merupakan kegiatan yang lepas, atau setidak-tidaknya merupakan kegiatan "penutup" dari proses kegiatan belajarmengajar.
Oleh karena itu, khusus dalam bab ini saya ingin mengemukakan beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan di dalam menyusun tes hasil belajar oleh setiap guru, dan sehubungan dengan itu pula adanya pernahaman tentang dua pendekatan di dalam menganalisa dan menginterpretasi hasil tes, yaitu pendekatan norm-referenced evaluation dan criterion-referenced evaluation.
Di samping itu, untuk sekedar memberikan bimbingan kepada para guru dan calon guru bagaimana menyusun tes hasil belajar yang baik dalam arti sesuai dengan tujuan instruksional yang telah dirumuskan, dalam bab ini juga diuraikan secara singkat langkah-langkah menyusun tes hasil belajar dan cara membuat tabel spesifikasi (semacam blueprint atau kisi-kisi).


5.2. Meta Evaluation

Evaluasi adalah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna beberapa objek (joint committee, 1981). Evaluator tidak dapat bertindak sebagai wasit terhadap orang lain. Ia tidak bisa menghakimi atau nonjudgemental definition of evaluation. Ada evaluasi yang dilakukan terhadap epaluasi yang sedang berlangsung terhadap program, evaluasi tersebut disebut evaluasi meta.
Evaluasi meta dilakukan berdasarkan pengetahuan bahwa evaluasi merupakan pelajaran pengalaman bagi mereka yang terlibat,.sehingga evaluasi dapat dikembangkan selagi dalam proses, dan (dari kantor lain, orang dari bagian lain yang tak ada hubungan langsung dengan proyek yang digarap, tetapi tetap dari departemen atau organisasi yang sama) dapat juga merupakan kesempatan yang baik untuk memperoleh pandangan yang segar.
Membentuk tim evaluasi juga akan lebih baik lagi, karena mungkin agak sulit memperoleh waktu dan keahlian hanya dari satu orang saja. Tentu saja para evaluator akan bertambah ahli sehubungan dengan semua kontent dan bidang evaluasi, dan semakin kecil lingkup yang dievaluasi, sehinga bertambah sedikit evaluator meta yang diperlukan untuk evaluasi meta.
Menurut Worthen, Blain R & James R. Sanders (1987), orang-orang yang patut melakukan evaluasi meta yaitu: 1. Evaluasi meta dilakukan oleh evaluator sendiri (original evaluator).
Evaluator memang tidak dapat dikatakan bebas terhadap personel bias, dan sebaiknya atau disarankan untuk meminta evaluator lain melihat pekerjaan Anda, walaupun hanya kritik dari teman sejawat.
Di samping itu, akan lebih baik juga bagi evaluator untuk mengukur pekerjaannya dengan kriteria dari evaluasi meta, daripada tanpa dievaluasi sama sekali. 2. Evaluasi meta dilakukan oleh pemakai evaluasi. Sering dijumpai sponsor, klien, atau pemegang saham lainnya menilai hasil evaluasi tanpa bantuan seorang ahli evaluasi yang profesional.
Keberhasilan dalam hal ini tergantung atas kemampuan teknik orang-orang tersebut menilai sampai sejauh mana hasil evaluasi mencapai standar yang telah dirumuskan sebelumnya (seperti pengukuran yang valid, pengukuran analisis informasi kuantitatif). 3. Evaluasi meta dilakukan oleh evaluator ahli. Tampaknya inilah yang terbaik. Satu hal penting harus dipilih, yaitu sebaiknya evaluasi meta dilakukan oleh evaluator ekstemal.
Kalau evaluasi akan dipakai untuk memperbaiki atau untuk memutuskan kelanjutan suatu program, maka evaluasi harus baik dan dapat diandalkan. Agar dapat mengetahui apakah evaluasi baik atau buruk, Anda memerlukan sejumlah kriteria atau standar sebagai dasar pertimbangan. Ada beberapa kriteria dan standar yang telah ada untuk menilai evaluasi, yaitu Standard for Evaluations of Educational Programs, and Materials yang dibuat oleh The foint Commettee on Standard for Educational Evaluation.
Standar ini digolongkan menjadi tiga puluh standar atas empat domain evaluasi yaitu utility (evaluasi harus berguna dan praktis), feasibility (evaluasi harus realistik dan bijaksana), propriety (evaluasi harus dilakukan dengan legal dan etik), dan accuracy (evaluasi harus secara teknik adekuat).


5.3 Prinsip Dasar Penyusunan Tes

Ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan di dalam menyusun tes hasil belajar, agar tes tersebut benar-benar dapat mengukur tujuan pelajaran yang telah diajarkan, atau mengukur kemampuan dan atau keterampilan siswa yang diharapkan setelah siswa menyelesaikan suatu unit pengaiaran tertentu.
1. Tes tersebut hendaknya dapat mengukur secara jelas hasil belaiar (learning outcomes) yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan instruksional. Jika tujuan tidak jelas, maka penilaian terhadap hasil belajar pun akan tidak terarah sehingga akhirnya hasil penilaian tidak mencerminkan isi pengetahuan atau keterampilan siswa yang sebenarnya. Dengan kata lain, hasil penilaian menjadi tidak valid, yaitu tidak mengukur apa yang sebenarnya harus diukur. Oleh karena itu, untuk dapat menyusun tes yang baik, setiap guru harus dapat merumuskan tujuan dengan jelas, terutama tujuan instruksional khusus (TIK), sehingga memudahkan baginya untuk menyusun soal-soal tes yang relevan untuk mengukur pencapaian tujuan yang telah dirumuskannya.
2. Mengukur sampel yang representatif dari hasil beldiar dan bahan pelajaran yang telah diajarkan. Kita telah mengetahui bahwa bahan pelajaran yang telah diajarkan dalam jangka waktu tertentu baik dalam satu jam perternuan ataupun. beberapa jam perternuan tidak mungkin dapat kita ukur atau kita nilai keseluruhannya. Atau dengan kata lain, tidak mungkin hasil-hasil belajar yang diperoleh siswa dalam jangka waktu tertentu dapat kita ungkapkan seluruhnya. Oleh karena itu, dalam rangka mengevaluasi hasil belajar siswa, kita hanya dapat mengambil beberapa sampel hasil belajar yang dianggap penting dan dapat "mewakili" seluruh performance yang telah diperoleh selama siswa mengikuti suatu unit peilgajaran. Dengan demikian, tes yang kita susun haruslah mencakup soal-soal yang dianggap dapat mewakili seluruh performance hasil belajar siswa, sesuai dengan tujuan instruksional yang telah dirumuskan. Makin banyak bahan yang telah diajarkan, makin sulit bagi guru untuk menentukan dan memilih soalsoal tes yang benar-benar representatif. Oleh karena itu pula maka dianjurkan agar penilaian dilakukan secara kontinyu, sedapat mungkin setiap akhir pelajaran atau setiap selesai suatu unit bahan pelajaran tertentu. Di samping itu, untuk dapat menyusun soal-soal tes yang benar-benar merupakan sampel yang representatif dalarn mengukur hasil belajar siswa, guru hendaknya menyusun terlebih dahulu tabel specifikasi (blue-print atau kisi-kisi), yang mernuat perincian Iopik atau sub-topik dari bahan pelaJaran yang telah diajarkan dan penentuan jumlah serta jenis soal yang disesuaikan dengan tujuan khusus dari setiap topik yang bersangkutan.
3. Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok untuk mengukur hasil belaiar yang diinginkan sesuai dengan tujuan. Kita telah mempelajari, bahwa tujuan pengajaran itu bermacam-macam menurut jenis, dan tingkat kesukarannya. Hasil belaJar dari tiap-tiap topik bahan pelajaran tidak selalu sama. Dari Bloom kita mengenal adanya hasil belajar yang berupa pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotor); dan ketiga jenis hasil belaJar itu masih dapat diperinci lagi menjadi bermacam-macam kemampuan yang perlu dikembangkan di dalarn setiap pengajaran. (Pelajari kembali Taxonomy of Educational Objectives dari Bloom).Untuk dapat mengukur bermacam-macam performance hasil belajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran yang diharapkan, diperlukan kecakapan menyusun berbagai macarn bentuk soal dan alat evaluasi. Untuk mengukur hasil belajar yang berupa keterampilan misalnya, tidak tepat kalau hanya menggunakan soal yang berbentuk tes essay yang jawabannya hanya menguraikan, dan bukan melakukan atau mempraktekkan sesuatu. Demikian pula untuk mengukur kemampuan menganalisa suatu prinsip, tidak cocok jika digunakan bentuk soal obyektif yang hanya menuntut jawaban dengan mengingat atau recall. Setiap jenis alat evaluasi dan setiap macam bentuk soal hanya cocok untuk mengukur suatu jenis kemampuan tertentu. Oleh karena itu, penyusunan suatu tes harus disesuaikan dengan jenis kemampuan hasil belajar yang hendak diukur dengan tes tersebut.
4. Didisain sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Masing-masing jenis tes tersebut memiliki karakteristik tertentu, baik bentuk soal, tingkat kesukaran, maupun cara pengolahan dan pendekatannya. Oleh karena itu, penyusun an dan penyelenggaraan tes harus disesuaikan dengan tujuan dan fungsinya sebagai alat evaluasi yang diinginkan.
5. Dibuat se-reliable mungkin sehingga mudah diinterpretasikan dengan baik. Suatu alat evaluasi dikatakan reliable (dapat diandalkan) jika alat tersebut dapat menghasilkan suatu gambaran (hasil pengukuran) yang benar-benar dapat dipercaya. Suatu tes dapat dikatakan reliable (memiliki reliabilitas yang tinggi), jika tes itu dilakukan berulang-ulang terhadap obyek yang sama, hasilnya akan tetap sama atau relatif sama. Perlu dikernukakan di sini, bahwa suatu tes yang reliable belum tentu valid; akan tetapi jika tes itu valid, sudah tentu juga reliable.
6. Digunakan untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara mengajar guru. Pada prinsip nomor 4 tersebut di atas telahh diuraikan bahwa salah satu jenis tes adalah tes formatif yaftu tes yang berfungsi untuk mencari umpan balik atau feedback yang berguna dalam ucapan memperbaiki cara mengajar yang dilakukan oleh guru dan cara belajar siswa. Hal ini dijadikan suatu prinsip dalam penyusunan tes hasil belajar, mengingat bahwa hingga kini masih banyak para guru yang memandang tes hasil belajar itu hanya sebagai alat evaluasi tahap akhir saja dari suatu proses belaJar yang dialami siswa selama jangka waktu tertentu, sehingga fungsi formatif dari tes hasil belajar selalu diabaikan. Dengan demikian, sesuai dengan prinsip ini, maka penyusunan dan penyelenggaraan tes hasil belajar yang dilakukan guru, di samping untuk mengukur sampai di.mana keberhasilan siswa dalam belajar (evaluasi sumatif), sebaiknya dipergunakan pula untuk mencari informasi yang berguna untuk memperbaiki cara belajar siswa dan cara mengajar guru itu sendiri (evaluasi formatif).


5.4 Norm-Referenced dan Criterion- Referenced Tests

Dick dan Carey dalam bukunya The Systematic Design of Instruction menjelaskan pengertian dan perbedaan criterion-referenced test (CRT) dan norm-referenced test (NRT) seperti berikut: Criterion-referenced test (CRT) ialah tes yang dirancang untuk mengukur seperangkat tujuan yang eksplisit.
Dengan kata lain, CRT adalah sekumpulan soal atau items yang secara langsung mengukur tingkah laku-tingkah laku yang dinyatakan di dalam seperangkat tujuan-tujuan behavioral atau performance objectives.
Jadi, soal-soal CRT didasarkan pada behavioral objectives tertentu. Tiap soal pada CRT menuntut siswa untuk mendemonstrasikan penampilan yang dinyatakan di dalam tujuan.
Ada dua pengertian dalam penggunaan kata criterion dalam ungkapan criterion -referenced test items, yaitu:
1. menunjukkan hubungan antara tujuan-tujuan yang bersifat behavioral atau performance atau penampilan dan soal-soal tes yang dibuatnya.
2. menunjukkan spesifikasi ketetapan penampilan yang dituntut untuk dinyatakan sebagai penguasaan atau mastery. Atau dengan kata lain, sampai batas mana siswa diharapkan dapat menguasai atau dapat menjawab dengan benar tes tersebut, atau sampai berapa jauh siswa harus melakukan keterampilan tertentu untuk dapat dinyatakan mencapai tujuan.
Dalam hubungannya dengan proses belajar-mengajar, Dick dan Carey selanjutnya menyatakan adanya empat jenis CRT, yaitu:
1. Entry-behaviors test, yakni suatu tes yang diadakan sebelum suatu program pengaiaran dilaksanakan, dan bertujuan untuk mengetahui sampai batas mana penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki siswa yang dapat dijadikan dasar untuk menerima program pengajaran yang akan diberikan. Dalam hubungannya dengan penyusunan rancangan pengajaran (design of instruction), dari hasil entry behavior test seorang guru/pengajar dapat menetapkan materi instruksional mana yang perlu direvisi dan atau yang tidak perlu diajarkan lagi karena telah dikuasai oleh semua siswa.
2. Pretest, yaitu tes yang diberikan sebelum pengajaran dimulai, dan bertujuan untuk mengetahui sampai di mana penguasaan siswa terhadap bahan pengajaran (pengetahuan dan keterampilan) yang akan diajarkan. Dalam hal ini fungsi pretest adalah untuk melihat sampai di mana efektivitas pengajaran, setelah hasil pretest tersebut nantinya dibandingkan dengan hasil post-test.
3. Post-test, adalah tes yang diberikan pada setiap akhir program satuan pengajaran. Tujuan post-test ialah untuk mengetahui sampai di mana pencapaian siswa terhadap bahan pengajaran (pengetahuan maupun keterampilan)setelah mengalami suatu kegiatan belajar. Seperti telah dikatakan di atas, jika hasil post-test dibandingkan dengan hasil pretest, maka keduanya berfungsi untuk mengukur sampai sejauh mana aktivitas pelaksanaan program pengajaran. Guru/pengajar dapat mengetahui apakah kegiatan itu berhasil baik atau tidak, dalam arti apakah semua atau sebagian besar tujuan instruksional yang telah dirumuskan telah dapat tercapai.
4. Embedded test, ialah tes yang dilaksanakan di sela-sela atau pada waktu-waktu tertentu selama proses pengajaran berlangsung. Embedded test berfungsi untuk: a. mentes siswa secara langsung sesudah suatu unit pengajaran sebelum post-test, dan merupakan data yang berguna sebagai evaluasi formatif bagi pengaiaran tersebut; b. tujuan kedua adalah berhubungan dengan akhir tiap langkah kegiatan pengajaran, untuk mencek kemajuan siswa, dan jika diperlukan untuk kegiatan remedial sebelum diadakan post-test. Langkah-langkah embedded test dapat dilihat dengan jelas pada program pengaiaran yang dilaksanakan dengan sistem modul. Sedangkan pada sistem pengajaran biasa yang dilakukan dengan ceramah, embedded test biasanya hanya berupa pertanyaan-pertanyaan lisan untuk mengetahui apakah siswa telah memahami pengajaran yang baru saja diberikan, atau berupa pengerjaan tugas-tugas untuk mengetahui sampai di mana penguasaan siswa terhadap suatu unit pengajaran yang baru saja dipelajarinya. Penyusunan norm-referenced test (NRT) berbeda dengan CRT Soal-soal pada NRT tidak ditekankan untuk mengukur penampilan yang eksak dari behavioral objectives. Dengan kata lain, soalsoal pada NRT tidak terutama didasarkan pada pengajaran yang diterima siswa atau pada keterampilan atau tingkah laku yang diidentifikasi sebagai sesuatu yang dianggap relevan bagi belajar siswa. Soal-soal yang dikembangkan untuk NRT sengaja diadministrasikan untuk bermacam-macam siswa dari target populasi.Range atau pencaran skor-skor yang diperoleh dari NRT biasanya diharapkan merupakan kurva normal; dan oleh karena itu maka tes semacam itu disebut norm-referenced. Yang menjadi standar dalam penilaian NRT adalah norma kelompok atau prestasi kelompok. Oleh karena itu maka dalam pengolahannya digunakan mean dan standar deviasi yang diperoleh dari hasil tes kelompok yang bersangkutan.
Dari apa yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan, bahwa paling tidak ada tiga perbedaan pokok antara. CRT dan NRT, yaitu berbeda dalam hal:
1. cara tiap jenis tes itu dikembangkan,
2. standar yang digunakan untuk menimbang (men-judge) atau menginterpretasikan hasil tes, dan
3. tujuan untuk apa tes itu disusun dan diadministrasikan.
Jika dalam menginterpretasikan, hasil tes seorang siswa dibandingkan dengan hasil-hasil siswa yang lain, atau dengan kata lain dibandingkan dengan prestasi kelompoknya, dikatakan norm-referenced interpretation.
Dan jika hasil tes itu tidak dibandingkan dengan hasil siswa-siswa yang lain, tetapi dibandingkan denaan suatu kriteria tertentu - misalnya hasil seorang siswa dibandingkan dengan tujuan instruksional yang seharusnya dicapai maka disebut criterion-referenced interpretation.
Jadi, kedua jenis interpretasi itu dapat dilakukan terhadap (satu) tes yang sama. Akan tetapi kedua jenis interpretasi tes itu akan lebih berarti, jika tes itu khusus dirancang sesuai dengan jenis interpretasi yang akan dibuat.
Dengan demikian, suatu tes dapat disusun atau dirancang untuk suatu tujuan criterion-referenced. Untuk memberi gambaran yang lebih jelas sehingga dapat inembantu kita dalam menyusun kedua jenis tes tersebut, berikut ini disusun diagram yang menunjukkan persamaan dan perbedaan antara keduanya.(lihat tabel). NO PERSAMAAN PERBEDAAN NORM-REFERENCED CRITERION REFERENCED :
1. Menurut spesifikasi tujuan (learning out-comes) Tujuan dinyatakan secara umum atau khusus Cenderung sangat khusus dan mendetail
2. Mengukur sampel yang representatif dari hasil belajar. - Mencakup rentangan hasil yang luas; - Sedikit item untuk tiap hasil. - Domain hasil (aspek yang diukur) terbatas; - Sejumlah item untuk tiap hasil.
3. Menggunakan berbagai hasil item tes. Item tipe memilih (true-false, multiple choice, dst.) Tidak tergantung kepada item tipe memilih saja.
4. Harus memenuhi syarat-syarat penulisan tes. “Daya Pembeda” diperhatikan Fpeformance siswa lebih ditekankan.
5. Menuntut reabilitas hasil Menggunakan prosedur statistik (variabilitas skor tinggi). Tidak menggunakan prosedur statistik (variabilitas skor rendah), 6. Memiliki kegunaan tertentu Baik untuk placement dan sumatif. Cocok untuk formatif dan diagnostik. Diagram
6. Persamaan dan Perbedaan NORM-REFERENCED dan CRITERION-REFERENCED Mengetahui persamaan dan perbedaan norm-referenced dan criterion-referenced sangat penting bagi guru untuk mencoba rnenyusun kedua tipe tes tersebut.


5.5 Langkah-langkah Menyusun Tes

Dalam merencanakan penyusunan achievement test diperlukan adanya langkah-langkah yang harus diikuti secara sistematis, sehingga dapat diperoleh tes yang lebih efektif. Para ahli penyusun tes maupun para pengajar (classroom teachers) umumnya telah menyepakati langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menentukan/merumuskan tujuan tes.
2. Mengidentifikasi hasil-hasil belajar (learning outcomes) yang akan diukur dengan tes itu.
3. Menentukan/menandai hasil-hasil belajar yang spesifik, yang merupakan tingkah laku yang dapat diamati dan sesuai dengan TIK.
4. Memerinci mata pelajaran/bahan pelajaran yang akan diukur dengan tes itu.
5. Menyiapkan tabel spesifikasi (semacam blueprint).
6. Menggunakan tabel spesifikasi tersebut sebagai dasar penyusunan tes. Untuk dapat merumuskan tujuan penyusunan tes dengan baik, seorang guru/pengajar perlu memikirkan apa tipe dan fungsi yang akan disusunnya, sehingga selanjutnya ia dapat menentukan bagaimana karakteristik soal-soal yang akan dibuatnya. Perlu diketahui bahwa tes itu mempunyai beberapa fungsi, tergantung kepada tipe atau kegunaannya. Diagram berikut ini menunjukkan apa tipe dan fungsi tes seria bagaimana ciri-ciri soal-soal: Tipe Tes Fungsi Tes Konsiderasi Sampel Ciri-ciri PLACEMENT Mengukur prekuisit entry skills Menentukan entry peformance tentang tujuan pembelajaran Mencakup tiap-tiap prekuist entry behavior Memilih sampel yang mewakili tujuan pelajaran Item mudah dan criterion referenced Item memiliki range kesukaran yang luas dan norm-referenced FORMATIF Sebagai feedback bagi siswa & guru tentang kemajuan belajar Jika mungkin mencakup semua unit tujuan (yang esensial) Item memadukan kesukaran unit tujuan, dan criterion-referenced DIAGNOSTIK Menentukan kesulitan belajar yang sering muncul Mencakup sampel tugas-tugas yang berdasarkan sumber-sumber kesalahan belajar yang umum Item mudah dan digunakan untuk menunjukan sebab-sebab kesalahan yang spesifik SUMATIF Menentukan kenaikan tingkat/kelas, atau kelulusan pada akhir program pengajaran Memilih sampel tujuan-tujuan pelajaran yang representatif Item memiliki range kesukaran yang luas, dan norm- referenced Diagram.
7. Ciri-ciri Empat Tipe Achievement Tests/


5.6. Menyusun Tabel Spesifikasi

Selanjutnya, mengenai langkah-langkah perencanaan tes yang dianggap perlu diuraikan lebih lanjut ialah tentang penyusunan tabel spesifikasi. Tabel spesifikasi (semacam blueprint) diperlukan sebagai dasar atau pedoman dalam membuat soal-soal dalarn penyusunan tes.
Di dalam tabel spesifikasi terdapat kolom-kolom dan lajur yang memuat pokok bahasan (unit-unit bahan pelajaran yang telah diajarkan) dan aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan (hasil belajar) yang diharapkan dicapai dari tiap pokok bahasan.
Dengan nienggunakan tabel tersebut, guru/pengajar dapat menentukan Junilah dan jenis soal yang diperlukan, sesuai dengan tujuan instruksional dari tiap pokok bahasan. Untuk menentukan besarnya jumlah soal untuk tiap pokok bahasan dan komposisi jumlah soal menurut aspek-aspek pengetahuan dan atau keterampilan yang akan dinilai, tidak ada peraturan yang khusus.
Dalam hal ini yang perlu. diperhatikan ialah agar jumlah tersebut merupakan bilangan kelipatan lima atau sepuluh, sehingga dengan demikian memudahkan kita dalam melakukan penskoran. Tentu saja, seperti telah disinggung dalam uraian terdahulu, dalam menentukan jenis soal, guru/pengajar harus selalu menghubungkan dengan tujuan instruksional, baik TIU maupun TIK, dan perbandingan jumlah soal disesuaikan dengan luas dan sempitnya bahan atau materi yang terkandung di dalam setiap pokok bahasan.

Guru Sebagai Profesi dan Standar Kompetensinya

Salah satu dari enam agenda seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu dari Departemen Pendidikan Nasional adalah 'mencanangkan guru sebagai profesi". Seorang peserta diklat calon instruktur matematika sekolah dasar yang sedang mengikuti kegiatan diklat di Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika Yogyakarta memberikan komentar positif bahwa agenda itu amat fokus dan mendasar. Sementara beberapa peserta lainnya memberikan respon yang netral-netral saya, yakni 'tunggu dan lihat' atau 'wait and see', sambil menaruh harapan yang besar agar agenda ini memiliki dampak yang amat positif bagi upaya peningkatan kompetensi, perlindungan dan kesejahteraan guru. Secara umum, banyak guru yang menaruh harapan yang besar terhadap pelaksanaan agenda tersebut, minimal sebagai salah satu wujud kepedulian terhadap nasib guru.

Tulisan singkat ini akan menelaah makna yang tersurat dalam pengertian 'guru sebagai profesi', ciri-ciri guru sebagai profesi, dan standar kompetensi yang harus dimilikinya.


Guru, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan

Seorang widyaiswara senior di Pusdiklat Diknas secara terus terang menyatakan kekecewaannya terhadap UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lantaran dalam UU SPN itu hanya memuat dua patah kata guru, yakni pada Pasal 39 ayat 3 dan 4. Hal tersebut terjadi karena pengertian guru diperluas menjadi 'pendidik' yang dibedakan secara dikotomis dengan 'tenaga kependidikan', sebagaimana tertuang secara eksplisit dalam Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan. 'Pendidik' dijelaskan pada ayat 2, yakni: 'Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi'. Dalam ayat 3 dijelaskan lebih lanjut bahwa 'Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru, dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen'. Sementara itu, istilah 'tenaga kependidikan' dijelaskan dalam Pasal 39 ayat 1 bahwa 'Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan'. Termasuk dalam kategori tenaga kependidikan dalam hal ini adalah kepala sekolah, pengawas, dan tenaga lain yang menunjang proses pembelajaran di sekolah.

Yang menjadi persoalan terminologis dalam hal ini adalah karena guru dikenal dengan empat fungsi sekaligus dalam proses pembelajaran, yakni mengajar, mendidik, melatih, dan membimbing. Dengan demikian, seharusnya pengertian guru lebih luas dibandingkan dengan pendidik. Bahkan dosen di perguruan tinggi pun sebenarnya juga disebut guru. Bahkan perguruan tinggi juga menggunakan istilah Guru Besar. Selain itu, guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pun memiliki kompetensi untuk melakukan penelitian tindakan kelas (classroom action research) dan menjalin hubungan dan kerja sama dengan orangtua siswa dan masyarakat yang tergabung dalam Komite Sekolah.

Lepas dari persoalan terminologis tersebut, apakah ia akan tetap disebut guru ataukah pendidik, kedua-duanya mengemban tugas mulia sebagai tenaga profesi, yang memiliki kaidah-kaidah profesional sebagaimana profesi lain seperti dokter, akuntan, jaksa, hakim, dan sebagainya.


Profesi, Profesional, dan Profesionalisme

Dedi Supriadi (alm) dalam bukunya bertajuk "Mengangkat Citra dan Martabat Guru" telah menjelaskan secara sederhana ketiga istilah tersebut. Profesi menunjuk pda suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.

Sementara profesional menunjuk pada dua hal. Pertama, menunjuk pada penampilan atau performance atau kinerja seseorang yang sesuai dengan tuntutan profesinya. Misalnya, 'pekerjaan itu dilaksanakan secara profesional'. Kedua, menunjuk pada orang yang melakukan pekerjaan itu, misalnya 'dia seorang profesional'.

Istilah profesionalisme menunjuk pada derajat penampilan atau performance seseorang dalam melaksanakan pekerjaan atau profesi. Ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan ada pula yang rendah. Menurut Dedi Supriadi, profesionalisme menuntut tiga prinsip utama, yakni 'well educated, well trained, well paid' atau memperoleh pendidikan yang cukup, mendapatkan pelatihan yang memadai, dan menerima gaji yang memadai. Dengan kata lain profesionalisme menuntut pendidikan yang tinggi, kesempatan memperoleh pelatihan yang cukup, dan akhirnya memperoleh bayaran atau gaji yang memadai.


Ciri-ciri Profesi

Dalam buku yang sama, Dedi Supriadi menjelaskan secara sederhana tentang ciri-ciri atau karakteristik suatu profesi. Pertama, profesi itu memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat. Sebagai contoh, dokter disebut profesi karena memiliki fungsi dan signifikasi sosial untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat. Demikian juga guru, memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak generasi muda bangsa. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang akuntabel atau dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode etik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik tersebut. Pengawasan terhadap penegakan kode etik dilakukan oleh organisasi profesi yang bersangkutan. Kelima, sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau kelompok memperoleh imbalan finansial atau material.

Jika kelima cirri atau karakteristik profesi tersebut diterapkan kepada pekerjaan guru, maka tampak jelas bahwa guru memiliki kelima karakteristik tersebut, meskipun ada beberapa karakteristik yang belum sepenuhnya terpenuhi. Sebagai contoh, guru memiliki karakteristik pertama yang demikian jelas, yakni memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat. Karakteristik kedua, untuk dapat menjadi guru yang profesional, guru juga harus memiliki kompetensi yang tinggi. Untuk dapat memiliki kompetensi seperti itu maka guru harus memiliki disiplin ilmu yang diperoleh dari lembaga pendidikan, baik preservice education maupun inservice training yang akuntabel. Disiplin ilmu itu antara lain adalah pedagogi (membimbing anak). Inilah karakteristik yang ketiga. Karakteristik keempat memang kedodoran di Indonesia, yakni kode etik dan penegakan kode etik. PGRI memang telah menyusun kode etik Guru Indonesia, tetapi penegakannya memang belum berjalan. PGRI di masa lalu terlalu dekat dengan politik, dan kurang bergerak sebagai organisasi profesi. Penulis pernah mengikuti kegiatan konvensi NCSS (National Council for Social Studies) di Amerika Serikat. Organisasi ini memang organisasi profesi murni yang bidang kegiatannya memang menyangkut urusan profesi. Organisasi ini punya peranan penting dalam memberikan masukan penyempurnaan kurikulum social studies (IPS), inovasi tentang strategi dan metode pembelajaran IPS, media dan alat peraga, dan hal-hal yang terkait dengan profesi guru IPS. Apabila PGRI dalam menjadi induk bagi organisasi-organisasi guru mata pelajaran di Indonesia, alangkah idealnya. Ciri profesi yang kelima adalah adanya imbalan finansial dan material yang memadai. Dalam hal ini, gaji guru di Indonesia pada saat ini memang telah lebih baik jika dibandingkan dengan gaji guru pada tahun 60-an, yang pada ketika itu gaji profesi dalam bidang keuangan menjadikan iri bagi profesi lainnya. Gaji guru di Amerika Serikat pun pernah memprihatinkan. Pada tahun 1864, guru di Illionis digambarkan dengan citra yang memprihatinkan dilihat dari kesejahterannya, yakni 'has little brain and less money' atau 'punya otak kosong dan kantong melompong'. Dewasa ini, gambaran guru di Amerika Serikat tidaklah demikian lagi, karena kebanyakan guru di Amerika rata-rata merupakan tamatan perguruan tinggi, yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual tetapi juga ekonomi dan sosial. Jikalau ingin pendidikan maju, dan para guru dapat memfokuskan diri dalam bidang profesinya sebagai guru --- bukan guru yang biasa di luar ---, maka gaji guru tidak boleh tidak memang harus memadai, setara dengan profesi lainnya, jika tidak bisa lebih tinggi. Dalam hal pemberian penghargaan kepada guru, aspek kesejahteraan dapat dipandang sebagai salah satu bentuk penghargaan secara materi, di samping bentuk penghargaan nonmateri, seperti pemberian piagam penghargaan berdasarkan prestasi kerja guru yang dapat dibanggakan. Adanya hyme guru memang dapat menjadi model penghargaan terhadap guru, meskipun ada orang yang berpendapat bahwa adanya hymne guru justru dipandang sebagai bentuk penghargaan semu.


Kompetensi Guru

Salah satu ciri sebagai profesi, guru harus memiliki kompetensi, sebagaimana dituntut oleh disiplin ilmu pendidikan (pedagogi) yang harus dikuasainya. Dalam hal kompetensi ini, Direktorat Tenaga Kependidikan telah memberikan definisi kompetensi sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan perbuatan secara profesional dalam menjalankan fungsi sebagai guru.

Pada tahun 70-an, Direktorat Tenaga Teknis dan Pendidikan Guru (Dikgutentis) merumuskan sepuluh kompetensi guru, yakni:
(1) memiliki kerpibadian sebagai guru, (2) menguasai landasan kependidikan, (3) menguasai bahan pelajaran, (4) Menyusun program pengajaran, (5) melaksanakan proses belajar mengajar, (6) melaksanakan proses penilaian pendidikan, (7) melaksanakan bimbingan, (8) melaksanakan administrasi sekolah, (9) menjalin kerja sama dan interaksi dengan guru sejawat dan masyarakat, (10) melaksanakan penelitian sederhana.

Pada tahun 2003, Direktorat Tenaga Kependidikan (nama baru Dikgutentis) telah mengeluarkan Standar Kompetensi Guru (SKG), yang terdiri atas tiga komponen yang saling kait mengait, yaitu (1) pengelolaan pembelajaran, (2) pengembangan potensi, dan (3) penguasaan akademik, yang dibungkus oleh aspek sikap dan kepribadian sebagai guru. Ketiga komponen kompetensi tersebut dijabarkan menjadi tujuh kompetensi dsasar, yaitu (1.1) penyusunan rencana pembelajaran, (1.2) pelaksanaan interaksi belajar mengajar, (1.3) peniliaian prestasi belajar peserta didik, (1.4) pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik, (2) pengembangan profesi, (3.1) pemahaman wawasan kependidikan, dan (3.2) penguasaan bahan kajian akademik (sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan). Ketujuh kompetensi dasar guru tersebut dapat diukur dengan seperangkat indikator yang telah ditetapkan.

Sebagai perbandingan, Australia Barat dikenal memiliki 'Competency Framework for Teachers'. Kompetensi standar di Australia Barat ini meliputi lima dimensi, yakni; (1) facilitating student learning, (2) assessing student learning outcomes, (3) engaging in professional learning, (4) participating to curriculum and program initiatives in outcome focused environment, dan (5) forming partnerships within the school community. Dengan kata lain, lima bidang kompetensi dasar guru di Australia Barat adalah (1) memfasilitasi pembelajaran siswa, (2) menilai hasil belajar siswa, (3) melibatkan dalam pembelajaran profesional, (4) berperan serta untuk pengembangan program dan kurikulum dalam lingkungan yang berfokus kepada hasil belajar, (5) membangun kebersamaan dalam masyarakat sekolah. Lima dimensi tersebut memiliki indikator yang berbeda untuk tiga jenjang guru, yakni phase 1 (level 1), phase 2 (level 2), dan phase 3 (level 3).

Jika dibandingkan dengan lima dimensi kompetensi di Australia Barat tersebut, maka tampaklah bahwa sepuluh kompetensi dasar menurut Dikgutentis agaknya jauh lebih lengkap, karena sudah mencakup kompetensi membangun kerjasama dengan sejawat dan masyarakat. Bahkan mencakup kemampuan mengadakan penelitian sederhana, misalnya mengadakan penelitian tindakan kelas atau classroom action research. Dalam hal ini, tujuh kompetensi dasar menurut Dit Tendik belum mencakup kompetensi membangun kerja sama dengan sejawat dan masyarakat.


Simpulan

Posisi guru sebagai salah satu profesi memang harus diakui dalam kehidupan masyarakat. Guru harus diakui sebagai profesi yang sejajar sama tinggi dan duduk sama rendah dengan profesi-profesi lainnya, seperti dokter, hakim, jaksa, akuntan, desainer interior, arsitektur, dan masih banyak yang lainnya.

Sebagai profesi, guru memenuhi kelima ciri atau karakteristik yang melekat pada guru, yaitu; (1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial bagi masyarakat, dirasakan manfaatnya bagi masyarakat .
(2) menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang cukup yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan,
(3) memiliki kompetensi yang didukung oleh suatu disiplin ilmu tertentu (a systematic body of knowledge),
(4) memiliki kode etik yang dijadikan sebagai satu pedoman perilaku anggota beserta sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelanggar kode etik tersebut,
(5) sebagai konsekuensi dari layanan dan prestasi yang diberikan kepada masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau kelompok berhak memperoleh imbalan finansial atau material.

Salah satu ciri guru sebagai profesi yang amat penting adalah guru harus memiliki kemampuan sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan. Jika dibandingkan dengan competency framework for teachers di Australia Barat, sepuluh kompetensi guru menurut Dikgutentis sebenarnya lebih lengkap, karena terdapat kompetensi membangun kerjasama dengan sejawat dan masyarakat, serta mengadakan penelitian sederhana, yang kedua kompetensi tersebut tidak ada dalam tujuh kompetensi dasar guru yang diterbitkan oleh Direktorat Tenaga Kependidikan.

Pencanangan guru sebagai profesi sebagai salah satu agenda seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu memang amat fokus dan mendasar. Yang lebih dari hanya sekedar pencanangan adalah praktiknya, yakni implikasi dan konsekuensi dari pencanangan itu yang memang sedang ditunggu-tunggu oleh masyarakat guru di Indonesia, misalnya lahirnya UU Guru, sertifikasi guru, uji kompetensi guru, dan last but not least adalah gaji guru. Insyaallah.

Rabu, 07 Oktober 2009

UJIAN NASIONAL DAN KUALITAS PENDIDIKAN KITA

A. Pendahuluan

Kontroversi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) di SMP dan SMA masih terus berlanjut. Kedua belah pihak, pemerintah dan anggota masyarakat, tetap berpegang pada argumentasinya masing-masing. Bahkan pemerintah telah menetapkan UN terus dilaksanakan mulai dari tingkat SD. Bagaimana akhir dari kontroversi tersebut?

“Anjing menggonggong, kapilah tetap berlalu”. Itulah peribahasa yang paling pas untuk menggambarkan kontroversi penyelenggaraan ujian nasional (UN) di negeri kita tercinta ini. Masyarakat luas dari berbagai kalangan, mulai dari para siswa, orang tua siswa, praktisi pendidikan, pengamat pendidikan, akademisi (ahli pendidikan), sampai pada anggota legislatif (DPR), memrotes, dan tidak setuju dengan penyelenggaraan UN. Sekalipun dengan perspektif dan kepentingan yang berbeda, namun mereka sepakat bahwa dampak dari penyelenggaraan UN ini lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya. Para siswa merasa tertekan dan cemas yang berlebihan takut tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan anaknya; para praktisi pendidikan merasakan penyelenggaran UN menimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan; sedangkan sebagian anggota legislatif yang menolak menilai pelaksanaa UN berdasarkan PP No.19/2005 bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dan hanya menghambur-hamburkan biaya.

Namun demikian, meskipun hampir semua stakeholders menolaknya, Pemerintah tetap berjalan dengan rencananya untuk menyelenggarakan UN bagi siswa tingkat SLTA, SLTP, bahkan untuk tahun 2008 ini ditambah untuk siswa SD. Pemerintah seakan tidak mendengar dan tidak peduli dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh masyarakat luas. Upaya untuk mendorong motivasi belajar siswa dan meningkatkan kualitas pendidikan kita adalah alasan yang dilontarkan oleh Pemerintah untuk tetap menyelenggarakan UN. Logika yang pernah dikemukakan oleh Yusuf Kalla pada saat masih menjabat sebagai Menko Kesra adalah “Saya melihat, rendahnya mutu pendidikan di Indonesia karena murid/mahasiswa di Indonesia tidak mau belajar. Mengapa tidak mau belajar, karena merasa tidak perlu belajar. Mengapa merasa tidak perlu belajar, karena belajar atau tidak belajar mereka akan tetap naik kelas/lulus,” Pada saat beliau sudah menjadi Wakil Presiden, beliau semakin kuat semangatnya untuk tetap menyelenggarakan UN. Dengan nada yang sama, beliau mengatakan: “Sejak Ujian Nasional diterapkan tahun 2003 dengan standar kualitas dinaikkan 0,5 persen per tahun, dalam empat tahun ini banyak anak-anak lebih semangat belajar karena takut tidak lulus. Anak-anak juga stres. Tetapi buat saya, 100 anak stres lebih baik dari pada sejuta anak bodoh, Selamatkan bangsa ini dari kebodohan. Jadikan bangsa ini pintar,” (Kompas, 7 Juli 2007). Sementara Burhanuddin Tolla, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Departemen Pendidikan Nasional menyatakan “Dengan menggelar ujian nasional mulai dari SD bisa mendorong terjadinya perubahan perilaku siswa, guru, dan masyarakat. Semua jadi bersemangat untuk belajar karena harus mempersiapkan diri agar bisa lulus. Ini yang terjadi saat UN SMP dan SMA dilaksanakan” (Kompas, 9 November 2007).

Di Amerika Serikat sendiri tes sejenis UN memang pernah dilakukan. Bahkan pada tahun 1997, tercatat dunia pendidikan Amerika Serikat menghabiskan dana sebesar US$ 200.000.000 per tahun untuk tes di sekolah-sekolah negeri (public school) (Tilaar, 2006) Namun hasil dari ujian akhir tersebut digunakan untuk melakukan pemetaan terhadap permasalahan pendidikan nasional dalam rangka menyusun kebijakan pendidikan nasional bukan untuk menentukan kelulusan siswanya.

B. Dampak Ujian Nasional Terhadap Kualitas Pendidikan Kita

Berbagai keberatan yang dilontarkan oleh stakeholders terhadap penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan. Kepeduliannya terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi perhatiannya yang serius. Berdasarkan kajian teoritik dan fakta empirik tampak jelas bahwa UN berdampak negarif terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan kita akan semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional kita akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan.

Berbagai dampak negatif yang nyata terjadi di sekolah sebagai akibat diterapkannya UN di sekolah, diantaranya:

☺ Terjadinya disorientasi pendidikan di sekolah

Mata pelajaran yang di-UN-kan tidak seluruh mata pelajaran. Pada tiga tahun terakhir pada tingkat SMP dan SMA, hanya mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Memang untuk tahun 2008 direncanakan untuk tingkat SMA akan ada penambahan mata pelajaran dan berbeda antara jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Untuk SMA jurusan IPA, akan ditambah mata pelajaran Fisika, Kimia, dan Biologi; Untuk jurusan IPS akan ditambah mata pelajaran Ekonomi, Geografi, dan Sosiologi, dan untuk jurusan Bahasa akan ditambah mata pelajaran Sastra Indonesia, Bahasa asing lain, dan Antropologi/Sejarah Budaya. Selain itu, pada tahun 2008 juga akan dilaksanakan UN untuk tingkat SD, dengan mata pelajaran yang diuji adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA.

Pembatasan mata pelajaran yang diujikan dalam UN, berakibat pada fokus proses pembelajaran di sekolah hanya ditekankan pada penguasaan mata pelajaran tersebut, sedangkan mata pelajaran lain dianggap hanya sebagai pelengkap. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi dan pengabaian terhadap mata pelajaran lain. Para siswa dan bahkan orang tua lebih memusatkan perhatiannya terhadap mata pelajaran yang akan di UN-kan, terutama pada siswa kelas akhir.

Disorientasi juga terjadi pada arah dan tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Dengan adanya UN, maka pembelajaran cenderung hanya mengembangkan ranah kognitif, pada penguasaan pengetahuan, dan mengesampingkan ranah lain yang sebenarnya tidak kalah pentingnya untuk menghasilkan individu-individu yang utuh dan berkarakter, yaitu ranah afektif dan psikomotorik.

☺ Proses pembelajaran yang tidak bermakna

Untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, dimana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian, dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.

☺ Upaya-upaya yang tidak fair

Tuntutan kelulusan yang tinggi, baik terhadap persentase/jumlah siswa yang dinyatakan lulus, maupun besarnya nilai yang diperoleh para siswa, mendorong sekolah untuk melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Tuntutan seperti ini sekaligus berdampak pada terbentuknya citra dan prestise sebuah sekolah. Sekolah yang mampu meluluskan siswanya dengan prosentase yang tinggi dengan nilai UN yang tinggi, dinilai sebagai sekolah yang berkualitas dan unggul. Setiap sekolah menginginkannya dan berbagai upaya dilakukan untuk mencapai posisi tersebut. Namun sayang, tidak sedikit oknum guru dan kepala sekolah melakukan upaya-upaya yang tidak terpuji. Untuk mewujudkan itu, tidak jarang upaya-upaya yang tidak fair dilakukan oleh oknum guru dan kepala sekolah untuk mencapai target kelulusan yang setinggi-tingginya. Sekolah membentuk “Tim Sukses” untuk mendapatkan kelulusan 100% supaya memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan (SPM Kepmendiknas 053/U/2001) (Salamudin, 2005); Guru memberi ‘contekkan’ kepada siswa adalah suatu upaya yang sering dilakukan untuk mendongkrak nilai para siswanya dan prosentase kelulusan di sekolah. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa. (Ade Irawan, Kontroversi Ujian Nasional. http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod= publisher&op= viewarticle&artid=3764) Kondisi seperti ini jelas jauh dari nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan yang seharusnya menjadi bagian yang harus dikembangkan secara serius di sekolah. Bila ini berlanjut, bisa dibayangkan manusia-manusia seperti apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan (formal) kita. Manusia yang berkembang dalam suasana yang serba tidak jujur.

☺ Hanya ranah kognitif yang terukur

UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Mengacu pada ranah kognitif dari Bloom, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner) akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.

☺ Keputusan yang tidak fair

Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun di SLTP dan SLTA, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes (false negative).

Ketidak adilan juga bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah dengan sekolah lainnya yang jauh berbeda. Para siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan situasi dan kondisi yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang sama. Di satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan dilayani oleh SDM yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai. Jelas, hasil belajar siswa yang belajar di sekolah seperti ini, sangat mungkin mencapai hasil yang optimal. Namun di sisi lain, di sekolah ‘nan jauh di sana’, sebagian besar siswanya menjalani proses pembelajaran yang serba seadanya. Bahkan gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para siswanya dapat belajar dengan baik untuk mendapatkan hasil belajar dengan nilai yang baik dengan kondisi seperti itu. Tanpa dilakukan pengujian secara nasional pun, yang memakan biaya puluhan milyar (untuk tahun 2008, UN SD saja akan memakan biaya sebesar Rp 96 milyar), sudah dapat dibaca kualitas macam apa yang bisa dihasilkan dari model sekolah seperti itu.

☺ Menutup akses pendidikan berkualitas bagi masyarakat miskin

Di samping sebagai persyaratan untuk kelulusan, hasil UN juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang berkualitas dan ‘favorit’ akan menjadi tujuan para siswa, yang berakibat pada terjadinya persaingan yang ketat antarsiswa. Tidak ada pilihan lain bagi mereka, selain berusaha mendapatkan nilai UN yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan impian itu, dengan mempertimbangkan karakteristik model UN yang akan dihadapi para siswa berusaha menambah waktu belajar tambahan dengan mencari guru privat atau mengikuti bimbingan belajar adalah pilihan yang selama ini dianggap tepat. Upaya ini tentu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mampu, karena upaya tersebut menuntut biaya yang tidak sedikit. Siswa miskin hanya bisa berusaha keras atas kemampuannya sendiri. Kondisi akhir sudah bisa ditebak mereka yang miskin akan kalah bersaing untuk dapat masuk ke sekolah berkualitas.

C. Kedudukan dan Peran Evaluasi dalam Pembelajaran

Mencermati berbagai dampak negatif yang muncul sebagai akibat dilaksanakannya UN, perlu dilakukan kajian secara komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/pedagogis, yurudis formal, maupun kajian empirik, untuk melihat bagaimana seharusnya kita menempatkan ujian sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan diselenggarakannya evaluasi dalam suatu proses pembelajaran.

Salah satu fungsi evaluasi yang utama adalah evaluasi dilaksanakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan. Hal in terlihat jelas dalam model evaluasi yang dikemukakan oleh Tyler (Lewy, 1997)
Model tersebut memperlihatkan hubungan antara tujuan pendidikan, pengalaman belajaran, dan evaluasi hasil belajar yang saling berkaitan. Di samping untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan, dari model tersebut juga dapat ditafsirkan, bahwa evaluasi hasil belajar berkaitan dengan pengalaman belajar aktual siswa.

Bila model di atas diterapkan dalam melaksanakan evaluasi tingkat nasional maka ujian nasional seharusnya dilakukan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Bila kita lihat tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Melihat rumusan tujuan ini, jelas bahwa pendidikan kita hendak menghasilkan orang-orang yang utuh, yang bukan hanya menguasai pengetahuan (berilmu) tetapi yang paling penting adalah menghasilkan manusia-manusia yang memiliki karakter luhur sebagai manusia yang beradab.

Untuk mengukur hasil pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, maka diperlukan instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Apalagi bentuk tes yang digunakan hanya dalam bentuk tes pilihan ganda (multiple choise). Sementara untuk mengetahui perkembangan dan keberhasilan pencapaian tujuan pada ranah psikomotorik dan afektif diperlukan alat evaluasi dalam bentuk non tes. Dan ini tidak (mungkin) dilakukan dengan UN, karena untuk melakukan itu harus dilakukan secara berkelanjutan.

Pembatasan aspek yang dievaluasi melalui UN, yang hanya mengukur prestasi akademik yang nota bene hanya mengukur penguasaan pengetahuan, berakibat pada proses pembelajaran yang terjadi di sekolah pun menjadi berfokus pada pengembangan ranah kognitif. Aspek-aspek afektif, seperti berakhlak mulia, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab menjadi terabaikan. Telah terjadi disorientasi proses pendidikan. Pendidikan di sekolah telah melupakan fungsi pendidikan yang sesungguhnya, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Disorientasi pembelajaran, sebagai akibat dari penyesuaian dengan tuntutan UN juga terjadi pada fokus perhatian para siswa dan orang tua terhadap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Mata pelajaran yang di-UN-kan mendapatkan prioritas utama dan sekaligus mendapat porsi yang lebih besar dalam proses belajar siswa. Seolah-olah hanya ketiga mata pelajaran itu saja yang penting. Padahal penetapan mata pelajaran yang ditetapkan di sekolah didasarkan pada kebutuhan pencapaian tujuan pendidikan yang lebih luas.

Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya melalui pengembangan pendekatan dan strategi pembelajaran. Berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran telah dikenalkan, diujicobakan dan juga dilatihkan pada para guru, seperti pendekatan CBSA, Keterampilan Proses, sampai pada PAKEM. Berbagai inovasi tersebut memang dilakukan untuk meningkatkan kualitas proses belajar yang dialami siswa, karena proses belajar yang berkualitas pada akhirnya akan mendorong mutu hasil belajar siswa. Dengan pendekatan dan strategi pembelajaran yang inovatif diharapkan akan terjadi proses pembelajaran yang menyenangkan, menstimulasi pengembangan potensi diri siswa, jauh dari tekanan dan stres, dan mendorong siswa belajar menemukan, sebagaimana dikatakan Whitehead, the child should experience the joy of discovery. (Whitehead, 1942). Model pembelajaran seperti inilah sebenarnya yang diharapakan terjadi sehingga pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 4 ayat (1) yaitu pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif; pasal 4 ayat (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat; serta pasal 4 ayat (4) yang menyatakan Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Namun sayang, berbagai upaya tersebut kembali kandas pada saat akan dilaksanakan di kelas. Bukan karena para guru tidak mampu melaksanakan berbagai pendekatan tersebut, tetapi karena terbentur dengan tuntutan dan ukuran keberhasilan belajar yang menggunakan nilai UN. Guru lebih suka menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan nilai UN. Strategi pembelajaran yang di dalamnya menggunakan metode drilling dianggap efektif untuk mengkondisikan proses belajar siswa agar siap dan mampu menghadapi UN dengan baik. Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar sesuai dengan apa yang akan diujikan dalam ujian. Bila soal-soal dalam ujian menuntut mereka untuk hafal banyak hal, maka proses belajar yang dilakukannya adalah dengan cara menghafal. Hal ini sebenarnya telah diingatkan oleh Soedijarto berdasarkan hasil penelitiannya dalam rangka penyusunan disertasi Doktornya, pada tahun 1981. Penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi (dalam arti frekuensi dan bentuk tes) merupakan variabel yang paling berpengaruh terhadap kualitas proses belajar, (Soedijarto, 1993) yang pada gilirannya tentunya yang pada gilirannya akan berpengaruh juga terhadap mutu hasil belajar. Secara lebih spesifik B.S. Bloom mengatakan students will attempt to learn what they anticipate will be emphasized in the evaluation instrument on which they expect to be judged, graded, and certified (Soedijarto, 1993).

Bila kita kaji dari sudut pandang yuridis formal penyelenggaraan UN, terdapat sejumlah catatan yang perlu mendapat perhatian serius. UU No. 20 Tahun 2003 pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sementara pasal 59 ayat 1 menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kedua pasal ini telah membagi tugas yang jelas antara pendidik dan pemerintah dalam penyelenggaraan evaluasi pendidikan di sekolah. Pendidik bertugas mengevaluasi proses dan hasil belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi pengelolanya, baik pada satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya. Mengacu pada aturan ini, jelas penyelenggaraan UN sebagaimana dilakukan selama ini telah mengambil alih tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab pendidik. Pelanggaran ini sebenarnya sudah dinyatakan oleh Ketua DPR RI Agung Laksono. Ia menyatakan bahwa UN bertentangan dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, sehingga pemerintah seharusnya meninjau pelaksanaan ujian tersbut (Republika, 8 Mei 2007).

D. Kesimpulan

Dilihat dari aspek akademis-pedagogis, yuridis formal, maupun pengalaman empiris, Ujian Negara (UN) selayaknya untuk segera ditinggalkan. UN telah membawa dampak negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaran pembelajaran di sekolah. Proses belajar yang dialami para siswa menjadi sangat parsial, hanya mengembangkan aspek kognitif, sementara ranah afektif dan psikomotorik terabaikan. Suasana belajarnya menjadi sangat menegangkan membuat siswa cemas berlebihan, belajar dalam kondisi ‘terpaksa’, dan tidak menyenangkan. Suasana belajar yang memberi peluang kepada siswa untuk bereksplorasi dan menemukan sesuatu, dan memecahkan berbagai permasalahan sulit terjadi. Berbagai inovasi tentang pendekatan dan strategi pembelajaran yang sangat baik juga sulit diimplementasikan di dalam kelas.

Dengan menyelenggarakan UN, menyebabkan pemerintah melanggar UU No. 20 tahun 2003 pasal 58 ayat 1 pasal 59 ayat 1. Pemerintah telah mengambil alih tugas pendidik untuk melakukan evaluasi hasil belajar peserta didik, sementara tugasnya sendiri untuk melakukan evaluasi terhadap pengelola tidak dilakukannya.

Dari pengalaman UN yang telah dilakukan selama tiga tahun terakhir, berbagai kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak di berbagai daerah, seharusnya menjadi perhatian pemerintah untuk segera mempertimbangkan kembali kelanjutan penyelenggaraan UN. Berbagai kecurangan tersebut jelas akan berdampak negatif pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan kita. Mereka berkembang dalam suasana yang penuh kecurangan, yang sekaligus bisa menjadi pelajaran bagi mereka untuk melakukan hal yang sama. Kalau ini terjadi, sungguh merupakan suatu musibah besar bagi dunia pendidikan kita.