BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 03 Desember 2009

PROBLEMATIKA DAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN INDONESIA

A. Pendahuluan

Negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tengah memasuki dunia tanpa batas (borderless world) sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi, dampak globalisasi komunikasi, dan kesepakatan-kesepakatan internasional. Adanya kesepakatan perdagangan bebas AFTA mulai tahun 2003 dan NAFTA mulai 2020 (untuk negara maju mulai 2010), membuka peluang masuknya tenaga kerja dari luar negeri yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, ke dalam dunia kerja di Indonesia; dan hal ini jelas mengancam keberadaan tenaga kerja Indonesia, lebih-lebih bagi mereka yang tidak memiliki kecakapan hidup yang memadai untuk memasuki kesempatan kerja yang ada. Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa keterbukaan negara dan masyarakat Indonesia terhadap berbagai aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan komunikasi, telah menuntut tersedianya modal manusia berupa kecakapan hidup yang bermutu.

Berbagai temuan tentang rendahnya kualitas SDM Indonesia telah dikemukakan di berbagai forum maupun media massa. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia, khususnya pada peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala, makin lama makin menurun. Pada tahun 1996, Indonesia menempati peringkat 102 dari 174 negara, pada tahun 1997 naik ke urutan 99, namun merosot lagi ke urutan 105 pada tahun 1998, dan semakin merosot ke urutan 109 pada tahun 1999. Data yang dilaporkan The World Economic Forum (2000) menempatkan Indonesia sebagai negara berdaya saing rendah, yaitu menempati urutan 37 dari 57 negara yang disurvai. Lebih dari 60% tenaga Indonesia hanya lulusan SD/MI atau tidak tamat SD/MI.

Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah hingga tahun 1998/1999 masih ada sekitar 0,9 juta anak usia 7-12 tahun yang tidak berada pada sistem persekolahan karena tidak mendaftar sekolah dan/atau putus sekolah (Jalal dan Dedi Supriadi, 2001). Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah penduduk miskin di desa tertinggal dan daerah kumuh perkotaan yang tidak mampu membiayai pendidikan bagi anak-anaknya. Di samping itu, terbatasnya sarana transportasi terutama di pulau-pulau terpencil merupakan kendala bagi penduduk untuk menjangkau layanan pendidikan. Walaupun jumlah 1,2 juta tidak terlalu besar, namun hal ini tidak dapat diabaikan karena menyangkut hak setiap anak Indonesia untuk mendapatkan layanan pendidikan.

Masalah lain yaitu masih banyaknya siswa yang mengulang kelas. Analisis Kohort menunjukkan bahwa hanya 60,1% siswa SD/MI yang berhasil menyelesaikan pendidikannya selama 6 tahun, sebanyak 24,1% dalam 7 tahun, 5,2% dalam 8 tahun, dan selebihnya dalam 9 tahun atau putus sekolah (Jalal dan Dedi Supriadi, 2001). Masalah besarnya proporsi siswa yang mengulang kelas atau putus sekolah ini merupakan realitas sosial yang perlu segera mendapatkan respon cepat dan tepat dari berbagai pihak untuk mengatasinya (Anonim, 2002).

Saryono, Djoko (2002) mengemukakan bahwa ada empat kecenderungan utama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah umum, yaitu: (1) pendidikan dasar dan menengah umum memang dirancang berdasarkan paradigma kebutuhan tingkat tinggi (high based-education) dan sekolah berorientasi akademis-intelektual, oleh sebab itu siswa tidak pernah disiapkan untuk memasuki lapangan kerja, apalagi membuka dan menciptakan lapangan kerja, (2) sistem pembelajaran mengabaikan kecakapan (techne atau praxis) yang perlu dimiliki dan dibutuhkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, (3) akibat kecenderungan pertama dan kedua tersebut, sekolah pada umumnya tidak memiliki, apalagi mengembangkan, suatu program bimbingan karir alternatif yang dapat membekali siswa dengan kecakapan tertentu di samping kemampuan akademis, dan (4) sekolah pada umumnya tidak dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja, masyarakat, dan kehidupan sehari-hari secara antisipatoris sehingga seolah-olah sekolah terlepas dan terpisah dari dunia sekelilingnya.

Bertolak dari berbagai gambaran di atas, dapat dilihat bahwa ada permasalahan besar dan mendasar dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yaitu rendahnya mutu sistem pembelajaran atau sistem pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengembangan sistem pendidikan nasional yang mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut.

A. Problematika Pendidikan di Indonesia

Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai krisis yang terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan, dan telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyaraka (Tilaar, 2000).

Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah, di mana posisi pendidikan, bagaimana memposisikan kembali pendidikan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Jalal dan Supriyadi (2001) mengidentifikasi ada lima kelompok besar isu strategis yang masing-masing isu tersebut mengandung dimensi-dimensi ekonomi, politik, budaya, sosial, dan hukum. Isu pertama, lemahnya kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan. Di samping lemahnya kemampuan finasial, masyarakat juga belumm memiliki prasyarat kemampuan sosial, kultural, dan legal, serta kemauan politik yang cukup untuk memprioritaskan pendidikan. Kedua, lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional. Sebagai suatu sistem, pendidikan nasional belum memiliki kemampuan cukup untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakatnya. Struktur dari sistem yang baru belum jelas, budaya pendukungnya juga belum jelas, inkonsistensi dalam peraturan perundangan masih mungkin terjadi. Di samping itu, secara ekonomi, masih banyak hal yang belum baik, pemborosan dan inefisiensi masih banyak ditemui. Isu ketiga adalah desentralisasi pendidikan. UU No. 22 tahun 1999 sudah mulai dilaksanakan, namun dalam hal urusan pendidikan belum mencapai tingkat kesiapan yang memadai. Masalahnya tidak hanya terletak pada identifikasi dan pemilahan urusan daerah dan urusan pusat, namun juga perlunya penataan sistem organisasi, manajemen, pengembangan sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan lain sebagainya. Keempat, relevansi pendidikan. Apabila peran pendidikan itu sendiri masih belum jelas, tentu saja sistem yang relevan dengan antisipasi perkembangan sosial-budaya masyarakat, perekonomian dan struktur ketenagakerjaannya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tatanan politik masyarakat yang demokratis, masih membutuhkan pemikiran yang mendasar. Kelima, akuntabilitas pendidikan. Pendidikan dituntut dapat mempertanggungjawabkan tugas sesuai dengan visi dan misinya kepada masyarakat. Adalah kewajiban pendidikan untuk menyediakan layanan pendidikan bermutu sesuai dengan sumber daya yang tersedia dan dipercayakan kepadanya.

Agak berbeda dengan uraian di atas, Tilaar (2000) membagi tantangan pendidikan nasional menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) tantangan internal, dan (2) tantangan global. Tantangan internal meliputi masalah kesatuan bangsa, demokratisasi pendidikan, desentralisasi manajemen pendidikan, dan kualitas pendidikan. Sedangkan tantangan global meliputi: pendidikan yang kompetitif dan inovatif, dan identitas bangsa.

Berkaitan dengan masalah kesatuan bangsa, nilai-nilai kesatuan bangsa hanya dapat ditanamkan di dalam proses pendidikan, apabila peserta didik menghayati kesatuan antara apa yang mereka pelajari di sekolah, dengan apa yang diperbuat oleh para orang tua dan para pemimpin masyarakat. Rasa kesatuan bangsa berarti pula seseorang bangga menjadi bangsa Indonesia. Apabila suatu bangsa terpuruk bukan hanya dari segi ekonomi tetapi lebih lebih dari segi moral dan etika, maka tidak mungkin seseorang merasa bangga sebagai anggota suatu bangsa. Kebanggaan sebagai suatu bangsa merupakan suatu kebanggaan moral dan etis. Inilah masalah yang pertama dan utama di dalam pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat Indonesia baru. Rasa bangga menjadi orang Indonesia berarti pula bangga dengan kebudayaan Indonesia.

Tantangan internal yang kedua, yaitu demokratisasi pendidikan. Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang menghargai akan potensi individu, yaitu individu yang berbeda dan individu yang mau hidup bersama. Dengan demikian segala jenis homogenisasi masyarakat yaitu menyamaratakan anggota masyarakat menuju kepada uniformitas adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi. Termasuk di dalamnya pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan inti dari kehidupan demokrasi di segala aspek kehidupan. Begitu juga dalam bidang pendidikan, semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga memiliki kewajiban yang sama untuk membangun pendidikan nasional yang bermutu. Demokrasi bukan hanya masalah prosedur atau susunan pemerintahan, tetapi terutama adalah merupakan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang mengakui akan kehormatan atau martabat manusia (human dignity). Oleh sebab itu, proses pendidikan nasional dapat dirumuskan sebagai proses hominisasi dan proses humanisasi. Pendidikan tidak hanya sekedar menghidupi peserta didik, tetapi juga mengembangkannya sebagai manusia (human being), atau menurut Fakih dkk (2001), adalah pendidikan yang memanusiakan.

Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan di daerah akan berimplikasi langsung di dalam penyusunan dan penentuan kurikulum yang saat ini masih sentralistis dan memberatkan peserta didik. Desentralisasi pendidikan dan kebudayaan meminta artikulasi dalam semua jenis pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi diarahkan kepada kebutuhan perkembangan sumber-sumber alam dan sumber-sumber manusia yang terdapat di daerah. Dengan demikian, masalah akuntabilitas pendidikan yang selama ini telah mengasingkan pendidikan dari kehidupan masyarakat akan dapat diatasi. Community-based education atau school-based education merupakan wujud nyata dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, pendiidkan yang diinginkan adalah pendidikan pemberdayaan, yaitu pendidikan yang bertujuan memberdayakan setiap anggota masyarakat untuk dapat berprestasi setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan yang telah dikembangkan di dalam dirinya sendiri (Tilaar, 2000).

Terkait dengan masalah kualitas pendidikan, dari berbagai unsure penyelenggaraan pendidikan, dapat dilihat betapa sulitnya peningkatan kualitas pendidikan dengan sarana yang terbatas, dana pendidikan yang minim, penghargaan kepada profesi guru yang sangat rendah, dan terbatasnya berbagai sarana penunjang pendidikan lainnya. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu syarat mutlak untuk mempercepat terwujudnya suatu masyarakat yang demokratis. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya pendidikan yang mengembangkan intelegensi akademik, namun perlu mengembangkan seluruh spektrum intelegensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan. Pendidikan formal bukan hanya mengembangkan intelegensi skolastik tetapi juga intelegensi emosional, spasial, interpersonal, intrapersonal, dan seterusnya. Sistem pendidikan nasional haruslah memberikan kesempatan untuk perkembangan spektrum intelegensi yang luas tersebut.

Selanjutnya yang terkait dengan tantangan global yang pertama adalah pendidikan yang kompetitif dan inovatif. Pendidikan dalam millenium ketiga adalah adalah pendidikan yang mengembangkan sikap inovatif. Hal ini sejalan dengan kehidupan demokrasi yang memerlukan anggota-anggota yang bukan merupakan robot, tetapi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif. Hanya dengan sikap demikian, suatu masyarakat demokrasi akan semakin lama semakin maju dan semakin meningkat kualitasnya. Masyarakat dan individu yang kompetitif serta dapat bekerja sama , didorong oleh sikap inovatif merupakan paradigma baru dari berbagai negara di dunia. Hal ini sangat ditekankan di dalam sistem pendidikan, lebih-lebih di dalam menghadapi kehidupan global dengan pasar bebasnya yang kompetitif. Suatu sistem pendidikan dapat saja menghasilkan tenaga-tenaga pemikir yang berkembang, namun apabila tidak inovatif maka kemampuan berpikirnya tidak akan bermanfaat dalam kehidupan bersama. Di masa depan, hanya bangsa yang inovatif yang mempunyai daya saing besar yang dapat menguasai kehidupan dunia.

Masalah kedua yang terkait dengan tantangan global adalah identitas bangsa. Kehidupan global akan melahirkan kebudayaan global. Dewasa ini dapat dilihat betapa kebudayaan global telah mulai melanda kehidupan global yang tanpa batas. Di satu pihak, budaya global dapat membuka cakrawala pemikiran anggota masyarakat, namun juga kemungkinan masuknya unsur-unsur kebudayaan global yang negatif akan dapat meracuni kehidupan generasi muda. Oleh sebab itu, semakin penting adanya suatu kesadaran akan identitas sebagai suatu bangsa. Identitas suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi perkembangan pribadinya, namun juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global (Tilaar, 2000). Tugas pendidikan nasional adalah mengembangkan identitas peserta didik agar dia bangga menjadi bangsa Indonesia yang dengan penuh percaya diri memasuki kehidupan global sebagai seorang Indonesia yang berbudaya. Pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar yang terdidik, tetapi yang lebih penting adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilited human being).

Demikianlah tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia, yang bukan merupakan hal mudah untuk diatasi. Sebagaimana perubahan suatu kebudayaan, maka dituntut kerja keras, perencanaan yang matang, pengerahan sumber-sumber untuk menunjang pelaksanaan. Lebih-lebih dalam masyarakat Indonesia—yang masih dalam masa transisi dan harus belajar hidup demokarsi yang sesungguhnya—maka tugas nasional ini memerlukan suatu komitmen politik. Komitmen politik berarti adanya suatu keterikatan moral dari seluruh anggota masyarakat dalam rancangan-rancangan kehidupan bersamanya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru melalui sistem pendidikan nasional.

Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan, permasalahan-permasalahan pendidikan meliputi: (1) masalah kesatuan bangsa, (2) demokratisasi pendidikan, (3) lemahnya kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan, (4) lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional, (5) desentralisasi pendidikan, (6) relevansi pendidikan, (7) kualitas pendidikan , dan (8) akuntabilitas pendidikan.

B. Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia

Berdasarkan uraian mengenai refleksi sejarah pendidikan di Indonesia, permasalahan-permasalahan pendidikan, dan dengan mempelajari contoh sukses sistem pendidikan di Jepang dan Cina, selanjutnya dirumuskan paradigma baru pendidikan di Indonesia.

Perlu digarisbawahi, permasalahan di Indonesia sebagaimana dikemukakan sebelumnya meliputi: (1) masalah kesatuan bangsa, (2) demokratisasi pendidikan, (3) lemahnya kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan, (4) lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional, (5) desentralisasi pendidikan, (6) relevansi pendidikan, (7) kualitas pendidikan, dan (8) akuntabilitas pendidikan.

Selanjutnya belajar dari kesuksesan negara Jepang dan China dalam pembangunan pendidikannya, beberapa hal yang perlu dicatat adalah: (1) adanya komitmen pemerintah, ditunjang dengan penyediaan dana pendidikan yang memadai, sarana penunjang pendidikan yang layak, serta hukum dan peraturan yang menjamin kepentingan pengembangan pendidikan (2) adanya keterlibatan masyarakat dan pihak industri serta pemangku kepentingan yang lainnya (stake holders) untuk bersama-sama memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan pendidikan, (3) pendidikan yang tidak sentralistis, (3) kurikulum pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, serta metode pembelajaran yang kompetitif dan inovatif, dan (4) kecintaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah membudaya dalam masyarakat, termasuk peserta didik di semua jenjang dan jalur pendidikan.

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka paradigma pendidikan perlu diredefinisikan. Rumusan paradigma baru tersebut diharapkan mampu memberikan arah yang benar, sesuai denga peran pendidikan nasional yang secara makro dituntut untuk membantu mengantarkan masyarakat Indonesia menuju masyarakat Indonesia baru, yang dinamakan masyarakat madani (civil society), yakni masyarakat yang demokratis, religius, dan tangguh menghadapi lingkungan global yang kompetitif.

Peran pendidikan seharusnya dipahami bukan saja dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), namun juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masayarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan masyarakat dunia. Hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara. Oleh karena pendidikan terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara silmultan. Di samping itu, secara mikro, pendidikan juga harus selalu memperhitungkan karakteristik perbedaan peserta didik. Dengan demikian, acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif, sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep.

Pertama, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, misalnya keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Selain itu, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Institusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, tetapi juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dalam pendidikan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (School-Based Management) dan Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (Broad-Based Managemet)—sebagaimana yang telah disinggung di atas–merupakan kebijakan yang tepat dan seharusnya terus-menerus diupayakan dan direalisasikan.

Kedua, pendidikan dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat, serta secara normative sesuai dengan cita-cita masyarakatnya. Pendidikan harus progresif, tidak resisten terhadap perubahan, akan tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu, mampu mengantisipasi perubahan. Dengan demikian, diperlukan sumber daya pendidikan yang tangguh dan memadai. Dalam hal ini, fungsi institusi pendidikan dan pelatihan guru (seperti PPPG dan BPG) perlu lebih dioptimalkan peranannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, agar mampu melakukan berbagai kegiatan peningkatan kualitas guru di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik pre-service maupun in-service. Selain itu, dalam peningkatan mutu guru melalui pendidikan dalam-jabatan, penekanan diberikan kepada kemampuan guru agar dapat meningkatkan efektivitas mengajarnya, mengatasi persoalan-persoalan praktis dalam pembelajaran, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individual siswa.

Ketiga, dalam kondisi masyarakat yang menghendaki perubahan mendasar, maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pragmatis bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Berkaitan dengan hal ini, kurikulum pendidikan harus berorientasi ke masa depan, serta memberikan keleluasaan kepada sekolah, guru, dan siswa, untuk mengoptimalkan potensi mereka; tidak sekedar dikejar target beban kurikulum sebagaimana yang selama ini terjadi. Selain itu, penerapan model-model pembelajaran yang bersifat student-centered perlu lebih ditekankan penerapannya, agar menghasilkan produk yang lebih mandiri, memiliki kebebasan berfikir, kritis, dan tangguh.

Keempat, pendidikan dengan prinsip global. Pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun demikian, harus selalu diingat bahwa dalam pendidikan berwawasan global, pendidikan pada waktu yang bersamaan mempunyai kewajiban untuk melestarikan karakter nasional. Meskipun konsep nationstate sudah diragukan dan diganti dengan welfare state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi informasi, pembinaan karakter nasional tetap relevan dan bahkan harus terus dilakukan. Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa. Negara kebangsaan seharusnyalah Negara yang menyesuaikan kesejahteraan bagi warganya, dan di sinilah peran pendidikan sangat sentral.

Berkaitan dengan semua yang telah dikemukakan di atas, perlu ditekankan dan dibudayakan kembali, apa yang pernah menjadi kebijakan pemerintah, yaitu pendidikan kecakapan hidup. Sebagaimana diketahui, tahun 2001 Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional mengembangkan konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education), yaitu suatu pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yakni keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apa pun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup tersebut, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya (Depdiknas, 2002). Kendall dan Marzano (1997) menegarskan bahwa kecakapan hidup (life skills) telah menjadi salah satu hal yang harus dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat, termasuk peserta didik, agar mereka mampu berperan aktif dalam lapangan kerja yang ada serta mampu berkembang. Dalam pandangan Kendall dan Marzano, kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).

Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.

Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).

Dengan demikian jelaslah bahwa paradigma baru pendidikan di Indonesia terutama adalah pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yang seharusnya tidak hanya bagus pada tingkap kebijakan saja—sebagaimana yang terkesan pada saat ini—namun juga pada tingkat operasionalnya.

C. Penutup

Simpulan dari tulisan ini adalah bahwa paradigma baru pendidikan di Indonesia diarahkan untuk membentuk masyarakat madani (civil society), yaitu masyarakat yang demokratis, religius, dan tangguh menghadapi lingkungan global yang kompetitif.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka paradigma baru pendidikan harus meliputi hal-hal: Pertama, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, misalnya keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (School-Based Management) dan Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (Broad-Based Managemet) merupakan kebijakan yang tepat dan seharusnya terus-menerus diupayakan dan direalisasikan.

Kedua, pendidikan dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat, serta secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakatnya. Dengan demikian, diperlukan sumber daya pendidikan yang tangguh dan memadai. Dalam hal ini, fungsi institusi pendidikan dan pelatihan guru (seperti PPPG dan BPG) perlu lebih dioptimalkan peranannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, agar mampu melakukan berbagai kegiatan peningkatan kualitas guru di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik pre-service maupun in-service.

Ketiga, kurikulum pendidikan harus berorientasi ke masa depan, serta memberikan keleluasaan kepada sekolah, guru, dan siswa, untuk mengoptimalkan potensi mereka; tidak sekedar dikejar target beban kurikulum sebagaimana yang selama ini terjadi. Penerapan model-model pembelajaran yang bersifat student-centered perlu lebih ditekankan penerapannya, agar menghasilkan produk yang lebih mandiri, memiliki kebebasan berfikir, kritis, dan tangguh.

Keempat, Pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global, namun dengan melestarikan karakter nasional.

Berkaitan dengan semua yang telah dikemukakan di atas, perlu ditekankan dan dibudayakan kembali, apa yang pernah menjadi kebijakan pemerintah pada tahun 2001, yaitu pendidikan kecakapan hidup, yang bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang.

0 komentar: