tag:blogger.com,1999:blog-34735327589314833012024-03-12T21:42:42.070-07:00M.AlviM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.comBlogger35125tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-69913148837067363452010-01-04T07:55:00.001-08:002010-01-04T08:08:21.517-08:00Cara meningkatkan SDM yg berada di dunia pendidikanSUMBER DAYA MANUSIA<br /><br />Yang dimaksud dengan SDM dalam artikel ini adalah tenaga pendidik yakni kepala sekolah dan guru dan tenaga kependidikan yang meliputi pegawai tata usaha, laboran, pustakawan, teknisi dan pembantu pelaksana. Walaupun pada dasarnya peserta didik adalah bagian terbesar dari SDM di sekolah, tetapi artikel ini tidak mengangkat isu tentang peserta didik. baik guru maupun kepala sekolah, tenaga pendukung (tenaga komputer, laboran, pustakawan, tata usaha, dsb)harus memiliki sumber daya manusia yang profesional dan tangguh.<br /><br />STRATEGI PENGEMBANGAN SDM MELALUI JALUR BELAJAR<br /><br />Terdapat deretan panjang strategi perubahan SDM melalui jalur belajar yang dapat dilaksanakan di lingkup sekolah. Tetapi, dalam artikel ini hanya akan dimunculkan beberapa yang paling umum dipakai.Berikut adalah cara-cara tersebut:<br /><br />1. Peningkatan kualifikasi pendidikan<br /><br />Peningkatan kualifikasi pendidikan akan sangat menguntungkan baik kepada individu maupun bagi lembaga. Keuntungan individual diperoleh karena peningkatan kualifikasi pendidikan disamping merupakan agen pencerahan (enlightment agent) bagi guru juga menambah poin untuk kepentingan sertifikasi dan kenaikan jabatan guru dan pangkatnya. Bagi tenaga kependidikan, peningkatan kualifikasi ini sangat mungkin akan membantu memperlancar kenaikan jabatan dan pangkat mereka. Secara institusional, perbaikan kualifikasi pendidikan disamaping berarti perbaikan konformitas kriteria SDM juga berarti peningkatan kompetensi SDM yang diperlukan demi mutu proses dan hasil pekerjaan yang diharapkan. Dengan alasan ini, mereka yang sudah memenuhi kualifikasi-pun hendaknya terus didorong untuk melanjutkan pendidikannya. Dorongan yang dimaksud dapat berupa satu atau gabungan dari a) pemberian motivasi yang sungguh-sungguh dan terus menerus, b) pemberian status tugas belajar atau setidaknya ijin belajar, c) dispensasi waktu jika diperlukan, dan jika mungkin, d) penyediaan fasilitas termasuk pemberian beasiswa baik penuh maupun sebagian.<br />Masalah yang sering muncul dan teramati di lapangan berkaitan dengan pendidikan formal ini adalah sebagai berikut. Menempuh pendidikan relatif makan waktu. Sering juga terjadi pendidikan yang berkualitas berbanding lurus dengan waktu tempuh. Sehingga, justru lembaga pendidikan yang kurang berorientasi mutu menjadi pilihan. Fokus diarahkan pada perolehan ijasah tanpa mempedulikan peningkatan nyata pada kualitas.<br />Oleh karenanya, perlu diingatkan agar mereka yang bekerja pada sekolah memperhatikan betul unsur mutu dalam pemilihan lembaga kependidikan. Hendaknya dipilih lembaga pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri, yang secara nyata mengedepankan kualitas Para pemangku kepentingan (stake holders) sekolah: kepala sekolah, komite sekolah, kepala dinas pendidikan, pejabat-pejabat departemen pendidikan nasional, dan bupati/walikota, selain membantu mempermudah para pendidik dan tenaga kependidikan untuk melanjutkan studinya, hendaknya juga memperhatikan benar-benar unsur kualitas agar terjaga kesetaraan kualitas dengan kualifikasi pendidikan yang disandang oleh mereka. Selain itu pemilihan jurusan syang sesuai dengan bidang tugas juga perlu mendapat perhatian.<br /><br />2. Pendidikan dan Pelatihan (diklat)<br /><br />Diklat umumnya diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi yang memiliki tugas pembinaan terhadap sekolah berkisar mulai dari tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat bahkan tingkat internasional. Berbeda dengan pendidikan formal, diklat bersifat luwes dalam hal waktu. Diklat dapat dilangsungkan dari bilangan jam sampai bilangan bulan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Diklat dapat diselenggarakan dengan materi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan sehingga hampir semua fungsi pendidikan di sekolah dapat di-diklat-kan: manajemen, kepemimpinan, proses belajar mengajar, administrasi, dsb. Disamping itu, instruktur diklat dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan. Mereka dapat dipilih dari kalangan akademisi, teknisi, maupun praktisi sehingga diklat dapat bersifat teoritis, teknis, maupun praktis.<br /><br />Karena keluwesan diklat hampir pada seluruh aspeknya, diklat sering dijadikan jalan keluar untuk mengatasi masalah kualitas SDM. Catatan yang perlu diungkap agar diklat dapat benar-benar menjadi solusi bagi masalah mutu SDM adalah bahwa pelaksanaan diklat hendaknya setia kepada tujuan. Tidak jarang dijumpai diklat dipakai sebagai ’proyek’ yang secara ekonomis menguntungkan para penyelenggara sehingga fokus perhatian mereka bukan pada tercapainya tujuan diklat secara efektif. Hasilnya bukan diklat bermutu yang benar-benar menjadi solusi masalah mutu SDM tetapi sebaliknya menurunkan kadar kepercayaan peserta diklat. Kontrol yang ketat dari mereka yang berwenang agar diklat tidak disalahgunakan perlu dilakukan dengan serius.<br /><br />3. Kursus<br />Seperti halnya diklat, kursus diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah. Bedanya, diklat diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi nirlaba sedangkan kursus biasanya oleh organisasi berorientasi laba. Karena berorientasi bisnis, lembaga pengelola kursus umumnya berusaha menjual produk jasanya dalam kualitas maksimal yang dapat mereka tawarkan. Umumnya, harga jasa mereka berbanding lurus dengran kualitas jasa yang mereka tawarkan. Jika tidak, mekanisme pasar akan ’bertindak’. Oleh karena mekanisme pasar ini, memilih lembaga kursus yang bermutu relatif lebih gampang dibanding dengan menentukan kulaitas pada sebuah diklat. Jika kursus menjadi pilihan, yang penting dilakukan adalah penyiapan dana yang sesuai dengan mutu kursus yang dipilih. Yang perlu dilakukan oleh pemakai jasa kursus agar tidak membeli terlalu mahal adalah membandingkan kualitas jasa yang mereka jual dengan jasa sejenis dari penjual lain.<br /><br />4. In-house training (IHT)<br />Berbeda dengan diklat dan kursus yang diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah, IHT dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Instruktur dapat diambil dari kalangan dalam sekolah atau dari luar sekolah. Karena diselenggarakan oleh sekolah, materi IHT dapat lebih dispesifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan sekolah penyelenggaranya. Karena diselenggarakan di sekolah, IHT merupakan kegiatan yang sangat mungkin diikuti oleh semua tenaga pendidik dan kependidikan karena disamping murah, mereka juga tidak harus meninggalkan tugas dinas mereka. Disamping itu, IHT juga sangat baik untuk menjadi wahana peningkatan penguasaan materi bagi para instruktur dari dalam sekolah karena menjadi instruktur sesunggguhnya merupakan cara belajar yang sangat efektif. IHT dapat juga menjadi media untuk mempererat hubungan batin antar warga sekolah sehingga ikatan kekeluargaan bisa menjadi lebih baik. Hasilnya, IHT dapat menjadi forum yang baik untuk membentuk kultur baru sekolah atau memperkuat kultur lama yang dipertahankan.<br /><br />Untuk menghindari masalah mutu seperti yang diungkap dalam diskusi tentang diklat, penyelenggaraan IHT perlu taat tujuan dan kualitas perlu dijadikan pusat perhatian. Jika, misalnya, penetapan instruktur dari dalam sekolah dirasa kurang mendatangkan efek peningkatan mutu yang memadai, mendatangkan instruktur dari luar dapat menjadi solusinya; atau sebaliknya.<br /><br />5. Peningkatan Budaya Membaca<br />Tanpa perlu dibicarakan panjang lebar membaca masih terbukti sebagai cara belajar yang sangat efektif. Bahan dan waktu membaca dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kesempatan yang dimiliki oleh individu. Problem yang paling dominan berkenaan dengan membaca di Indonesia adalah masih rendahnya minat baca dan terbatasnya bahan bacaan. Untuk meminimalisasikan problem ini, para pemimpin kalangan pendidikan hendaknya terus-menerus memotivasi anak buah untuk meningkatkan kebiasaan membacanya.<br />Disamping itu tentu diperlukan penyediaan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan. Dewasa ini masalah bahan bacaan cetak yang relatif mahal dapat dibantu diatasi dengan menambah sumber bacaan dari CD dan internet. Penyediaan fasilitas ICT canggih ini dan pengenalan cara mencari bahan bacaan elektronik ini aharus dilakukan oleh sekolah jika kebiasaan membaca betul-betul ingin didongkrak.<br /><br />6. Aktif dalam Mail list<br />Mail list adalah group e-mail yang biasanya diikuti oleh orang-orang dalam kelompok minat tertentu. Para guru dan tenaga kependidikan di sekolah akan mendaptkan keuntungan besar jika mereka aktif dalam mail list yang beranggotakan sejawat baik dari dalam maupun luar sekolah, baik dari dalam maupoun luar negeri. Ikut dalam mail list internasional: teachers helping teachers (http://www.pacificnet.net/~mandel/math.html), sebagai contoh, akan sangat membantu guru memperoleh banyak pengetahuan baru di bidang tugasnya. Melalui kelompok ini banyak informasi dapat di sebar luaskan dan banyak masalah mungkin dapat dicarikan jalan keluarnya. Jika ingin membuat mail-list sendiri, diperlukan fasilitaor yang berdedikasi tinggi dan tegas dalam menyaring arus informasi yang layak untuk di up-load dalam mail list. Disamping itu, diperlukan pula keaktifan masing-masing anggota dalam sharing informasi, masalah dan jalan keluarnya.<br /><br />7. Naratif (Narrative)<br />Naratif berkaitan dengan cerita seseorang tentang pengalamannya kepada orang lain. Walaupun naratif dengan sengaja dapat difasilitasi untuk disampaikan pada pertemuan resmi, naratif umumnya berkembang dalam suasana informal pada waktu luang. Melalui naratif, baik penutur maupun pendengar dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan (Lieblich et al., 1998, h.7). Disinilah keunggulan naratif. Sebab, pengetahuan tidak selalu berbentuk pengetahuan ‘resmi’ seperti dalam tradisi akademik, tetapi dapat pula berbentuk ‘subjugated knowledge’ [pengetahuan terselubung] seperti ‘type of knowledge … in teachers’ conversations either in formal or informal settings’ [tipe pengetahuan… dalam percakapan guru baik dalam situasi formal maupun informal (Doecke, 2001, p.111). Percakapan sering didominasi oleh naratif. Karenanya, naratif memainkan peranan pentingnya dalam membentuk dan mentransfer pengetahuan sejak jaman purba (Kreiswith, 2000, h.295).<br /><br />Naratif tidak selalu berisi kisah sukses seseorang. Kisah kegagalan-pun, jika dinaratifkan dapat menjadi sumber belajar yang berharga bagi penutur dan pendengar. Jika naratif tumbuh subur di kalangan personel seprofesi di sekolah, transfer dan penguatan pengetahuan akan terjadi dengan kuantitas dan kualitas yang luar biasa banyak tanpa harus didukung oleh dana mahal oleh sekolah. Suasana ini relatif gampang dikembangkan sebab ’a man is always a teller of tales [manusia selalu merupakan penutur cerita] (Kreiswith, 2000, p.293) atau ’people are story tellers by nature’ [orang pada dasrnrya adalah penutur cerita] (Lieblich et al., 1998, h 7) . Naratif bahkan telah diakui sebagai salah satu metode ilmiah (Kreiswith, 2000, h.295). Yang terpenting untuk dilakukan oleh sekolah agar naratif dapat berkembang adalah, pertama, pengembangan suasana kekeluargaan yang sehat di sekolah dan pemberian kesempatan yang cukup bagi kelompok-kelompok guru/tenaga kependidikan untuk memiliki waktu luang bersama. Yang kedua penciptaan suasana sekolah agar waktu luang sebanyak mungkin digunakan untuk bercerita tentang pelaksanaan pekerjaan. ’Nothing is more credence to a teacher than the word of another teacher’ [Tidak ada yang lebih dapat dipercaya oleh seorang guru kecuali kata-kata sesama guru] (Weller, 1996, p.4). Weller (1996) menambahkan ’saling hubungan antara teman lebih banyak berpengaruh dalam meningkatkan kualitas daripada model instruksional seperti lokakarya, seminar atau program pengembangan staf’ (h.4)<br /><br /><br />STRATEGI PENGEMBANGAN SDM MELALUI MANAJEMEN DAN KEPEMIMPIN-AN PERUBAHAN<br /><br />Sampai dengan akhir diskusi kita tentang stategi pengembangan SDM melalui jalur belajar, dapat kita simpulkan bahwa bahkan pada tingkat individu, perubahan perlu dukungan manajemen. Apalagi jika perubahan yang kita kehendaki bersifat institusional. Manajemen perubahan yang benar dan kuat adalah mutlak. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengenalkan dan mengelola perubahan di tingkat sekolah disamping banyak strategi lain.<br /><br />Perubahan melalui Transformasi Standar Kelompok<br /><br />Sosiolog Amerika Serikat pertengahan abad 20 Kurt Lewin menyatakan bahwa perubahan akan lebih berhasil jika dilakukan dalam kelompok. Agar terjadi perubahan, harus ada transformasi standar kelompok yang diterima dan seyogyanya dilakukan bersama-sama. (Lewin, 1958, h.210) . Sayangnya, kondisi ideal seperti itu tidak tipikal. Yang umum terjadi, menurut Weller adalah terbaginya sikap anggota kelompok terhadap perubahan yang sedang diperkenalkan. Hasil penelitian Hoy and Miskel (1991) menunjukkan bahwa sikap anggota kelompok terhadap perubahan terbagi sesuai dengan kecenderungan kurva normal (bell shaped curve), yakni 2,5% innovators, yakni mereka yang selau siap mengadopsi sesuatu yang baru demi perbaikan 13.5% early adopters, yaitu seperti para innovator, gampang tidak puas dengan status quo dan senang mencari sesuatu yang baru, 34 % early majority, ialah mereka yang terbuka terhadap sesuatu yang baru, 34% late majority, adalah mereka yang skeptis dan enggan berubah dan 16% late adopters, adalah merekas yang memiliki pola pikir negatif terhadap perubahan dan menjadi benteng anti perubahan (dalam Weller, 1996, h. 27). Oleh karena fenomena ini, agar perubahan berhasil dilaksanakan diperlukan dua hal. Pertama, keyakinan bahwa standar lama sudah tidak layak lagi dipertahankan dan harus ditinggalkan menuju standar baru (Evans 1996, h.57). Kedua, diperlukan pemimpin perubahan yang kuat agar mayoritas anggota kelompok dapat diyakinkan (Weller, 1996, h.27). Jika mayoritas anggota kelompok sudah berubah, kelompok resistant pada akhirnya mungkin akan mengikuti juga sebab bagaimanapun mereka tidak akan merasa nyaman berada di luar standar kelompok (Lewin, 1958, h. ). Jika standar baru sudah tercapai melalui sebuah proses perubahan, manajemen sekolah perlu menghentikan proses perubahan itu sampai standar tersebut menjadi mantap dan menjadi budaya baru (freezing) (Lewin, 1958, h. 210 ). Ini perlu dilakukan agar tidak terjadi bounch back [pantulan kembali] ke praktik lama (Eric Development Team, 2003, h.3).<br /><br />Budaya baru yang seyogyanya menjadi target perubahan pada sekolah sebagimana didiskusikan di atas, adalah budaya mutu (Dit.PSMP, 2007, h. 50). Jika budaya berarti nilai atau keyakinan yang dianut oleh kelompok yang dijadikan ’penggalangan konformisme’ perilaku anggota kelompok (Slamet PH, 2005 dalam Dit.PSMP, 2007 h. 50), budaya mutu mengandung makna bahwa hanya perilaku yang mengutamakan mutu-lah yang dianggap benar dalam kelompok itu. Untuk mencapai tahapan ini, diperlukan manajemen perubahan yang kuat yang dengan konsisten melakukan ’pemberdayaan, [memberi] arahan, bimbingan, modelling, coaching, pujian, seremoni... keberhasilan mutu, dan pemberian hadiah atas prestasi mutu’ (Dit.PSMP, 2007, h. 51). Apabila budaya mutu benar-benar dijadikan sasaran perubahan, jangan kepalang tanggung, sekolah hendaknya menerapkan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management), (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.13) seperti akan diuraikan lebih lanjut pada bagian belakang artikel ini.<br /><br />Kepemimpinan Transformasional<br /><br />Pada dasarnya orang cenderung nyaman berada pada status quo (Evans, 1996, h.26) oleh karenanya agar terjadi perubahan diperlukan kepemimpinan yang kuat dengan tipe yang sesuai untuk itu. Salah satu tipe kepemimpinan yang cocok untuk ini adalah kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional bukan hanya berpihak pada perubahan tetapi berintikan perubahan itu sendiri.<br />Istilah “transformational’ leadership diusulkan oleh Bass sebagai pengganti dari istilah ‘transforming’ leadership yang diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978 (Bass, 1995, h.467). Oleh Burns, istilah transforming digunakan sebagai nama sebuah ujung ekstrim garis kontinum yang mengilustrasikan tipe kepemimpinan dengan ujung lain bernama transaksional (Bass, 1995, h.466). Kepemimpinan transaksional adalah gaya memimpin yang ditandai dengan ciri: apabila pengikut melaksanakan tugas dengan benar mereka akan mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya (Bass, 1995, h. 466). Adapun kepemimpinan tranformasional adalah kepemimpinan yang memiliki visi ke depan yang jelas dan bagaimana membawa pengikut untuk mencapainya (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h. 14). Jika kepemimpinan transformasional diterapkan di sekolah, proses transformasi dilakukan melalui tahap: 1) melihat kondisi nyata/kondisi obyektif sekolah, 2) menetapkan kondisi yang diinginkan, 3) menetapkan besarnya tantangan dengan cara membandingkan kondisi obyektif dengan kondisi yang diinginkan, dan 4) bergerak dari kondisi nyata menuju kondisi yang diinginkan (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.14).<br /><br />Bass mendiskripsikan ciri pemimpin tranformasional adalah mereka yang 1) memotivasi pengikut untuk berbuat lebih dari yang biasanya, 2) meningkatkan tingkat kesadaran pengikut terhadap masalah-masalah penting, 3) menaikkan tingkat kebutuhan dari kebutuhan akan keamanan atau pengakuan menjadi kebutuhan untuk berprestasi dan mengaktualisasikan diri [lihat: Maslow, 1954), dan/atau 4) membimbing pengikut untuk mengubah [orientasi dari] kepentingan diri sendiri menjadi kepentingan tim atau organisasi (Bass, 1995, h.469). Model kepemimpinan transformasional inilah yang sejak dikenalkan cenderung terus mendapat sambutan positif di seluruh dunia karena diyakini, dan barangkali juga sudah terbukti, mampu membawa organisasi, termasuk sekolah, menuju keadaan yang dicita-citakan. Salah satu bentuk dari kepemimpinan transformasional, berdasarkan cirinya, adalah kepemimpinan dalam menerapkan total quality management (TQM)<br /><br />Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management/TQM)<br /><br />Kegagalan yang umum terjadi pada manajemen perubahan, menurut Weller and Hartley (1994) disebabkan oleh sebuah alasan fundamental yakni ‘fragmented programmes and approaches lack a coherent systematic plan or structured process to implement … reforms’ [program yang terfragmentasi, pendekatan kekurangan rencana sistematis yang koheren atau proses terstruktur untuk mengimplementasikan … reformasi] (h.23). Oleh karena itu, untuk menghindari kegagalan tersebut, mereka menyarankan agar sekolah melakukan perencanaan yang jelas yang berdasarkan pola pikir yang terstruktur dan sistematis (h.23). Intinya, seluruh aspek manajemen: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan segala yang berkaitan dengan itu, dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu dengan berorientasi kepada mutu.<br /><br />Dari karya Weller dan Hartley ini, dapat ditarik pengertian bahwa TQM adalah upaya sistematis yang menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk mengintervensi setiap unsur dalam sistem pendidikan sehingga seluruh aspek memenuhi standar mutu yang ditetapkan. The International Standard Organisation (ISO), mendifinisikan TQM sebagai<br /><br />“a management approach for an organization, centered on quality, based on the participation of all its members and aiming at long-term success through customer satisfaction, and benefits to all members of the organization and to society."<br /><br />[pendekatan manajemen untuk sebuah organisasi, yang dipusatkan pada kualitas, berdasarkan partisipasi seluruh anggotanya dan diarahkan pada sukses jangka panjang melalui kepuasan pelanggan, dan keuntungan kepada seluruh anggota organisasi dan masyarakat] (Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/ Total_Quality_ Management, 27 Agustus 2007)<br /><br />Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dideduksikan bahwa upaya sistematis yang menyeluruh dan sungguh-sungguh dalam TQM untuk mengintervensi setiap unsur dalam sistem pendidikan sehingga seluruh aspek memenuhi standar mutu yang ditetapkan, ditujukan untuk mencapai sukses jangka panjang dan dilakukan bersama-sama oleh seluruh warga sekolah.<br /><br />Disini terjadi proses rekursif; yakni, agar mampu menyelenggarakan TQM, sekolah harus menyiapkan SDM yang berkualitas pada semua lapisan agar intervensi terhadap seluruh aspek dalam sistem pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, SDM diubah dulu agar TQM dapat dijalankan. Sebaliknya, penerapan TQM di sekolah adalah cara yang baik untuk meningkatkan kualitas SDM sebab SDM yang tidak mengikuti perubahan itu akan tertinggal. Proses ini akan berhasil dengan syarat pelaksanaan TQM disepakati oleh seluruh warga sekolah dan bersifat partisipatif; bukan paksaan. Pengikut mau berubah karena mereka menginginkannya, bukan karena terpaksa (Evans, 1996, h. 171).<br /><br />Weller dan Hartley (1994) menyarankan agar TQM tidak mengalami kegagalan, sekolah perlu melakukan hal-hal berikut. 1) Lakukan intervensi terhadap masukan mentah, yakni calon siswa baru, dengan cara menyelenggarakan program untuk menyiapkan mereka mengikuti PBM yang berkualitas. Ini yang disebut Dit. PSMP sebagai program ”bridging course’ 2) Untuk menghindari pengaruh buruk yang menghambat TQM, ciptakan budaya kerja, tetapkan visi dan misi bersama, dan jadikan ‘continuous improvement’ sebagai norma sekolah. 3) Kerucutkan tujuan pendidikan dari tujuan yang terlalu luas menjadi tujuan pendidikan di sekolah tersebut secara spesifik. 4) Jangan berfokus pada hasil kerja jangka pendek, misalnya hasil ujian, tetapi harus ada komitmen terhadap tujuan jangka panjang (commitment to constancy of purpose). 5) Evaluasi terhadap performa siswa harap didasarkan pada harapan pelanggan (orang tua siswa/ dunia kerja). 6) Dengarkan pelanggan, dan usahakan memenuhi harapan-harapan mereka agar mereka mau mendukung sekolah. 7) Ciptakan cara mengembangkan dan mengelola SDM untuk mengatasi kekurangan SDM yang bermutu. 8) Bangunlah sistem yang tidak memungkinkan lagi menghasilkan hasil yang tidak bermutu (h.23-28).<br /><br />Sekali lagi, perlu penegasan disini dalam penerapan TQM terjadi proses rekursif. Untuk melaksanakan TQM diperlukan SDM berkualitas; dan di sisi lain, SDM berkualitas akan terdorong dengan penerapan TQM.<br /><br />Perubahan karena Penerapan Teknologi<br /><br />Evans mensinyalir, ’virtually every aspect of our existence has been tranformed by technology, by the revolution of computing, [and] by mass communication’ [hampir setiap aspek keberadaan kita telah berubah karena teknologi, revolusi komputasi, dan komunikasi massal] (Evans, 1996, p.22). Jika kita setuju bahwa pengaruh pemakaian teknologi utamanya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terhadap perubahan gaya dan kualitas hidup termasuk dalam kehidupan berorganisasi sangat kuat, maka tidak terlalu sulit bagi kita untuk percaya bahwa penerapan TIK dapat dijadikan strategi untuk mengubah SDM di sekolah. Seperti halnya pada penerapan TQM, juga terjadi proses rekursif dalam aplikasi TIK di sekolah. Agar TIK dapat diaplikasikan dengan maksimal, diperlukan SDM yang bermutu. Sebaliknya, penggunaan TIK secara sungguh-sungguh akan membantu meningkatkan kualitas SDM.<br />Berikut adalah nama dan ciri dari ke empat kelompok dimaksud. 1) Survival stage; ditandai dengan a) berjuang keras melawan teknologi, b) mendapatkan banyak masalah dengan teknologi, c) tidak mengubah kondisi status quo di kelas yang dia ajar, d) menggunakan teknologi hanya jika diperintah, e) menghadapi masalah ketika harus memfasilitasi siswa untuk memperoleh akses ke komputer, dan f) memiliki harapan yang aneh yakni percaya bahwa pemanfaatan teknologi saja sudah akan mampu mendongkrak prestasi akademik. 2) Mastery stage; memiliki ciri a) toleransi terhadap problem hardware dan software telah meningkat, b) mulai menggunakan bentuk interaksi baru dengan siswa di kelas, c) kompetensi teknisnya telah meningkat dan mulai bisa mengatasi masalah-masalah ringan pada komputernya. 3) Impact stage, bercirikan a) secara teratur mengembangkan inter-relasi kerja dan struktur kelas baru, b) menyeimbangkan perintah dengan inisiatif pengembangan, c) jarang mendapatkan masalah dengan teknologi, dan d) dengan teratur mengembangkan unit-unit pembelajaran yang memanfaatkan teknologi. 4) Innovation stage, memiliki tanda: memodifikasi lingkungan kelasnya agar dapat mengambil keuntungan maksimal dari kurikulum dan kegaitan pembelajaran yang didukung oleh teknologi (Eric Development Team, 2003, h.2-3)<br /><br />Untuk mendorong agar tenaga pendidik dan kependidikan dapat segera bergerak dari survival stage ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi, berikut adalah saran-sarannya. Pelatihan IT untuk guru harap dilaksanakan dengan model-model yang dapat dipilih, antara lain: 1) IHT sesudah sekolah dengan kendala utama kepayahan guru, 2) Individual coaching, yakni bantuan terhadap individu-individu yang mendapatkan kesulitan, 3) mengkursuskan personel terutama pada saat libur, 4) memberi grant kepada guru yang mampu melatih temannya sampai bisa, dan 5) mengikuti belajar jarak jauh. (Eric Development Team, 2003, h. 4). Saran tentang cara pembelajaran bagi SDM sekolah ini tentu dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah. Yang terpenting adalah usaha sungguh-sungguh dari jajaran manajemen sekolah untuk mentransformasikan guru dan tenaga kependidikan di sekolah tersebut setidaknya sampai tingkat impact dengan beberapa tokoh yang berada pada tingkat innovation.<br /><br />KESIMPULAN<br /><br />agar sekolah dapat menjalankan peran yang dibebankan kepadanya dengan baik, diperlukan SDM yang berkualitas tinggi Untuk pemenuhan kebutuhan SDM sesuai dengan kriteria tersebut, disamping dapat dilakukan pengangkatan atau mutasi, perlu juga dilakukan dengan pengembangan SDM yang ada. Karena untuk berkembang seseorang perlu berubah, maka diperlukan pemahaman yang baik terhadap seluk perubahan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat organisasi. Untuk berubah orang perlu belajar sehingga agar terjadi perubahan, berbagai strategi membelajarkan SDM perlu dilakukan. Disamping itu, perubahan kolektif memerlukan manajemen dan kepemimpinan perubahan. Dengan demikian, agar terjadi perubahan yang efektif diperlukan manajemen dan kepemimpinan yang secara jeli dapat memanfaatkan strategi dan kepemimpinan perubahan yang mendukung.M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-27444846270912498912010-01-04T07:42:00.000-08:002010-01-04T07:49:01.719-08:00PERAN GURU DALAM PEMBELAJARANKeberadaan guru sudah ada sejak jaman dulu. Sejak manusia paling awal diciptakan, yaitu Nabi Adam A.S. Guru Nabi Adam A.S. adalah guru dari segala guru, guru dari para penemu, guru dari makhluk paling soleh, yaitu Allah SWT. yang Maha Tahu. Dalam Al Quran diterangkan Allah SWT. yang mengajarkan pada Adam segala sesuatu tentang benda yang ada di dunia. Selanjutnya Nabi Adam mengajarkannya pada Siti Hawa, begitu seterusnya.<br /><br />Istilah guru pada saat ini mengalami penyempitan makna. Guru adalah orang yang mengajar di sekolah. Orang yang bertindak seperti guru seandainya di berada di suatu lembaga kursus atau pelatihan tidak disebut guru, tetapi tutor atau pelatih. Padahal mereka itu tetap saja bertindak seperti guru. Mengajarkan hal-hal baru pada peserta didik.<br /><br />Terlepas dari penyempitan makna, peran guru dari dulu sampai sekarang tetap sangat diperlukan. Dialah yang membantu manusia untuk menemukan siapa dirinya, ke mana manusia akan pergi dan apa yang harus manusia lakukan di dunia. Manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembangannya memerlukan bantuan orang lain, sejak lahir sampai meninggal. Orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan harapan guru dapat mendidiknya menjadi manusia yang dapat berkembang optimal.<br /><br />Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individu, karena antara satu perserta didik dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Mungkin kita masih ingat ketika masih duduk di kelas I SD, gurulah yang pertama kali membantu memegang pensil untuk menulis, ia memegang satu persatu tangan siswanya dan membantu menulis secara benar. Guru pula yang memberi dorongan agar peserta didik berani berbuat benar, dan membiasakan mereka untuk bertanggungjawab terhadap setiap perbuatannya. Guru juga bertindak bagai pembantu ketika ada peserta didik yang buang air kecil, atau muntah di kelas, bahkan ketika ada yang buang air besar di celana. Guru-lah yang menggendong peserta didik ketika jatuh atau berkelahi dengan temannya, menjadi perawat, dan lain-lain yang sangat menuntut kesabaran, kreatifitas dan profesionalisme.<br /><br />Memahami uraian di atas, betapa besar jasa guru dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan para peserta didik. Mereka memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan Negara dan bangsa.<br /><br />Guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru harus kreatif, professional dan menyenangkan, dengan memposisikan diri sebagai :<br /><br />1. Orang tua, yang penuh kasih saying pada peserta didiknya.<br /><br />2. Teman, tempat mengadu dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.<br /><br />3. Fasilitator, yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan dan bakatnya.<br /><br />4. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.<br /><br />5. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.<br /><br />6. Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan dengan orang lain secara wajar.<br /><br />7. Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya.<br /><br />8. Mengembangkan kreativitas.<br /><br />9. Menjadi pembantu ketika diperlukan.<br /><br />Demikian beberapa peran yang harus dijalani seorang guru dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh para siswanya.<br /><br />Saat ini permasalahan yang menimpa bidang pendidikan sangat beragam dan tergolong berat. Mulai dari sarana dan prasarana pendidikan, tenaga pengajar yang kurang, serta tenaga pengajar yang belum kompeten. Kondisi sekolah yang memprihatinkan, ruang kelas bocor bila hujan dan sebagian sekolah ambruk. Maka tidaklah aneh kalau kondisi pendidikan kita jauh dari harapan.<br /><br />Salah satu permasalahan yang menimpa dunia pendidikan adalah kompetensi guru. Guru yang harusnya memiliki kompetensi sesuai ketentuan dan kebutuhan, nyatanya hanya sedikit yang masuk kategori tersebut. Sisanya sungguh memprihatinkan. Program sertifikasi guru yang sekarang sedang digalakkan adalah salah satu bagian dari usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.<br /><br />Program sertifikasi guru merupakan program yang menyentuh langsung kompetensi guru. Salah satu kriterianya yaitu menilai kemampuan guru dari segi kreatifitas dan inovasi dalam pembelajaran. Diharapkan guru dapat melakukan pembelajaran yang dapat menghantarkan siswa ke arah sikap kreatif dan inovatif serta trampil. Kondisi tersebut harus dimulai dari gurunya sendiri.<br /><br />Sebagai contoh derasnya informasi serta cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memunculkan pertanyaan terhadap tugas utama guru yang disebut “mengajar”. Masih perlukah guru mengajar di kelas seorang diri, menginformasikan, menjelaskan dan menerangkan? Permasalahan lain akibat derasnya informasi dan munculnya teknologi baru adalah kesiapan guru untuk mengikuti perkembangan tersebut. Seorang guru dituntut harus serba tahu bila tidak tahu guru harus berkata jujur “Saya tidak tahu”. Namun kalau terlalu sering guru berkata demikian alangkah naifnya guru tersebut. Seyogyanya dia terus mencari tahu, belajar terus sepanjang hayat, memanfaatkan teknologi yang ada.<br /><br />Di masyarakat, seorang guru diamati dan dinilai masyarakat, di sekolah dinilai oleh murid dan teman sejawatnya serta atasannya. Peran apakah yang harus dilakoni seorang guru supaya penilaian mereka positif? Suatu pertanyaan -yang menjadi salah satu permasalahan- yang sekarang muncul di masyarakat.<br /><br />Dalam proses pembelajaran, guru dituntut untuk dapat membentuk kompetensi dan kualitas pribadi anak didiknya. Untuk mencapai hal demikian timbul pertanyaan, sebenarnya peran apa saja yang harus dimiliki oleh seorang guru sehingga anak didik bisa berkembang optimal? Cukupkah peran guru seperti yang telah disampaikan di atas ataukah ada peran lain yang harus dilakoni seorang guru ?<br /><br />Beragam pertanyaan tadi dapat menyebabkan demotivasi bagi seorang calon guru ataupun guru yang sudah lama mengabdi. Apakah saya mampu menjadi guru yang ideal? Peran apa yang harus saya lakoni untuk menjadi guru yang ideal? Demikian pertanyaan yang timbul dalam hati seorang guru yang berniat mengabdikan sisa hidupnya di dunia pendidikan.<br /><br />Pertanyaan tersebut sebelumnya telah menggugah sejumlah pengamat dan akhli pendidikan. Mereka telah meneliti peran-peran apa yang harus dimiliki seorang guru supaya tergolong kompeten dalam pembelajaran maupun pergaulan di masyarakat.<br /><br />Para pakar pendidikan di Barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang harus dilakoni. Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988), Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai berikut :<br /><br />1. Guru Sebagai Pendidik<br /><br />Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.<br /><br />2. Guru Sebagai Pengajar<br /><br />Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika factor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah.<br /><br />Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran, yaitu : Membuat ilustrasi, Mendefinisikan, Menganalisis, Mensintesis, Bertanya, Merespon, Mendengarkan, Menciptakan kepercayaan, Memberikan pandangan yang bervariasi, Menyediakan media untuk mengkaji materi standar, Menyesuaikan metode pembelajaran, Memberikan nada perasaan.<br /><br />Agar pembelajaran memiliki kekuatan yang maksimal, guru-guru harus senantiasa berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan semangat yang telah dimilikinya ketika mempelajari materi standar.<br /><br />3. Guru Sebagai Pembimbing<br /><br />Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggungjawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.<br /><br />Sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut.<br /><br />Pertama, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai.<br /><br />Kedua, guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.<br /><br />Ketiga, guru harus memaknai kegiatan belajar.<br /><br />Keempat, guru harus melaksanakan penilaian.<br /><br />4. Guru Sebagai Pelatih<br /><br />Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa latihan tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar.<br /><br />5. Guru Sebagai Penasehat<br /><br />Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang.<br /><br />Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.<br /><br />6. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator)<br /><br />Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan.<br /><br />Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.<br /><br />7. Guru Sebagai Model dan Teladan<br /><br />Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru : Sikap dasar, Bicara dan gaya bicara, Kebiasaan bekerja, Sikap melalui pengalaman dan kesalahan, Pakaian, Hubungan kemanusiaan, Proses berfikir, Perilaku neurotis, Selera, Keputusan, Kesehatan, Gaya hidup secara umum<br /><br />Perilaku guru sangat mempengaruhi peserta didik, tetapi peserta didik harus berani mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri.<br /><br />Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.<br /><br />8. Guru Sebagai Pribadi<br /><br />Guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru”. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani.<br /><br />Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat disikapi sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta didik.<br /><br />Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.<br /><br />9. Guru Sebagai Peneliti<br /><br />Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang didalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti. Menyadari akan kekurangannya guru berusaha mencari apa yang belum diketahui untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas. Sebagai orang yang telah mengenal metodologi tentunya ia tahu pula apa yang harus dikerjakan, yakni penelitian.<br /><br />10. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas<br /><br />Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan cirri aspek dunia kehidupan di sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu.<br /><br />Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.<br /><br />11. Guru Sebagai Perubah Pandangan<br /><br />Dunia ini panggung sandiwara, yang penuh dengan berbagai kisah dan peristiwa, mulai dari kisah nyata sampai yang direkayasa. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada pesarta didiknya. Mengembangkan fungsi ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang fungsi ini.<br /><br />12. Guru Sebagai Pekerja Rutin<br /><br />Guru bekerja dengan keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya.<br /><br /><br />13. Guru Sebagai Aktor<br /><br />Sebagai seorang aktor, guru melakukan penelitian tidak terbatas pada materi yang harus ditransferkan, melainkan juga tentang kepribadian manusia sehingga mampu memahami respon-respon pendengarnya, dan merencanakan kembali pekerjaannya sehingga dapat dikontrol.<br /><br />Sebagai aktor, guru berangkat dengan jiwa pengabdian dan inspirasi yang dalam yang akan mengarahkan kegiatannya. Tahun demi tahun sang actor berusaha mengurangi respon bosan dan berusaha meningkatkan minat para pendengar.<br /><br />14. Guru Sebagai Emansipator<br /><br />Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insane dan menyadari bahwa kebanyakan insan merupakan “budak” stagnasi kebudayaan. Guru mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari “self image” yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak dan rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang dicampakkan secara moril dan mengalami berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.<br /><br />15. Guru Sebagai Evaluator<br /><br />Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.<br /><br />Penilaian harus adil dan objektif.<br /><br />16. Guru Sebagai Pengawet<br /><br />Salah satu tugas guru adalah mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya, karena hasil karya manusia terdahulu masih banyak yang bermakna bagi kehidupan manusia sekarang maupun di masa depan.<br /><br />Sarana pengawet terhadap apa yang telah dicapai manusia terdahulu adalah kurikulum. Guru juga harus mempunyai sikap positif terhadap apa yang akan diawetkan.<br /><br />17. Guru Sebagai Kulminator<br /><br />Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.<br /><br />Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.<br /><br />Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-40312081571120295262010-01-03T08:57:00.000-08:002010-01-03T08:59:16.459-08:00Penghargaan Kekayaan Intelektual Luar BiasaDepartemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) akan menyelenggarakan program pemberian penghargaan kekayaan intelektual. Kegiatan yang baru diselenggarakan pertama kali i<br />ni ditujukan bagi dosen, peneliti, dan masyarakat yang menghasilkan kekayaan intelektual luar bias<br />a. Kepada 50 pemenang terpilih akan diberikan penghargaan berupa piagam dan uang tunai sebanyak Rp.250.000.000,00.<br /><br />Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengungkapkan, masih rendahnya produktivitas para peneliti. Dia menyebutkan, kemampuan ilmuwan di Indonesia memberikan kontribusi terhadap jurnal internasional sebanyak 0,8 artikel per satu juta penduduk. Sementara, kata dia, negara – negara lain lagi sudah menunjukkan angka yang berlipat – lipat dibandingkan dengan Indonesia. “Penelitian bukan untuk penelitian saja, tetapi penelitian itu har<br />us menjawab permasalahan – permasalahan yang riil yang ada di masyarakat. Bukan hanya untuk publikasi internasional saja,” katanya saat memberikan keterangan pers di Gerai Informasi dan Media, Depdiknas, Senin (14/04/2009) .<br /><br />Hadir pada acara Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Ditjen Dikti Depdiknas Suryo Hapsoro Tri Utomo, Asisten Deputi Urusan Pengembangan Sistem Legislasi Iptek Deputi Bidang Pengembangan SIPTEKNAS Sadjuga, Kepala Pusat Perlindungan Varietas T<br />anaman Departemen Pertanian Hindarwati, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha Perdagangan Departemen Perdagangan Tri Mardjoko, dan Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan Paten II Direktorat Paten Ditjen Hak Atas Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Ham Said Nafik.<br /><br />Fasli mengatakan, penelitian dilakukan untuk menghasilkan kekayaan intelektual yang asli dan diakui. Selanjutnya, kata dia, hasil penelitian digunakan untuk mendukung dunia usaha menghasilkan produk baru atau memperkaya produk lama. Selain itu, kata dia, untuk membuat usaha – usaha masyarakat lebih produktif dibandingkan dengan sebelum menggunakan hasil penelitian ter<br />sebut. “Apalagi kalau hasil penelitian itu juga diperbantukan untuk menjawab hal – hal yang dihadapi oleh pemerintah daerah baik kabupaten, kota, maupun provinsi,” katanya.<br /><br />Penghargaan akan diberikan berdasarkan klaster kekayaan industri, khususnya paten dan perlindungan varietas tanaman dan hak cipta meliputi klaster ilmu pengetahuan dan klaster industri kreatif. Klaster kekayaan industri terbagi dalam 14 subklaster, klaster ilmu pengetahuan terbagi dalam 26 subklaster, dan klaster industri kreatif terbagi dalam sepuluh subklaster.<br /><br />Fasli menyebutkan, klaster kekayaan industri meliputi diantaranya sub kluster pangan, ener<br />gi, air, obat, kesehatan, lingkungan, material baru, teknologi informasi dan komunikasi, dan varieta. Untuk klaster ilmu pengetahuan, lanjut dia, meliputi diantaranya subklaster kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat atau keolahragaan, matematika atau statistika, fisika atau astronomi, sedangkan klaster industri kreatif meliputi diantaranya subklaster periklanan, arsitektur, desain, fesyen, film, video, dan fotografi, serta permainan interaktif.<br />Pendaftaran dapat dilakukan melalui laman www.anugerahkekayaanintelektual.com atau melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Ditjen Dikti, Depdiknas Jl.Pintu Satu Senayan telepon 021-57946043, faksimili 021-5731846.<br /><br />Asisten Deputi Urusan Pengembangan Sistem Legislasi Iptek Deputi Bidang Pengembangan SIPTEKNAS Sadjuga mengatakan, kegiatan penghargaan ini merupakan suatu upaya untuk memperkuat sistem inovasi nasional. Menurut dia, dalam menggerakkan ekonomi masyarakat, yang saat ini memasuki ekonomi kreatif, kekayaan intelektual menjadi sangat penting.<br /><br />Sadjuga menambahkan, penghargaan karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional adalah yang memiliki peringkat indeks sitasi tinggi. “Jadi misalnya sekedar diterbitkan, tetapi tidak diacu orang lain berarti kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dianggap kurang luar biasa,” katanya.<br /><br />Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan Paten II Direktorat Paten Ditjen Hak Atas Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Ham Said Nafik membacakan sambutan tertulis Dirjen HAKI mengatakan, pemberian penghargaan bagi penghasil kekayaan intelektual luar biasa ini diharapkan dapat memotivasi para dosen, peneliti, dan masyarakat umum untuk berkarya, sehingga tumbuh budaya inovatif dan inventif.<br /><br />“Dengan tumbuh budaya inovatif dan inventif kita berharap dan bercita – cita akan menjadi bangsa yang makmur, bermartabat, serta diperhitungkan bangsa – bangsa lain. Tidak lagi menjadi kuli bangsa – bangsa diantara bangsa – bangsa. Tidak lagi menjadi bangsa pencari upah belaka dan juga tidak lagi sebagai bangsa pemakan upah diantara bangsa – bangsa, ” katanya.M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-84454357052441521022010-01-03T08:56:00.000-08:002010-01-03T08:57:03.458-08:00Guru di Indonesia KebanyakanMenurut Direktur Profesi Pendidik Departemen Pendidikan Nasional, Achmad Dasuki, di Jakarta, Kamis (29/10), jumlah guru yang ada saat ini sudah lebih dari cukup.”Rasio guru dan siswa SMP saja saat ini sudah 1:15. Ini lebih besar dari rasio guru dan siswa di Jepang dan Korea yang hanya 1:20. Kalau ke-580 ribu guru honorer itu diangkat, rasionya bisa menjadi 1:10,” katanya.<br /><br />Di samping itu, kata dia, kemampuan finansial pemerintah juga terbatas, sehingga tidak mungkin mengangkat seluruh guru honorer menjadi PNS. Guru-guru honorer yang akan diangkat menjadi PNS hanya yang memenuhi kualifikasi termasuk di antaranya yang berpendidikan S1 dan telah mengikuti pendidikan profesi minimal selama satu tahun.<br /><br />Lebih lanjut dia menjelaskan, selain mengangkat lebih banyak guru, pemerintah juga akan berupaya memeratakan sebaran guru. Pemerintah sekarang sedang menyiapkan regulasi untuk mengatur sebaran guru. Meski jumlahnya terhitung cukup, hingga kini sebaran guru belum merata di seluruh daerah. Sebagian besar guru terkonsentrasi di kawasan perkotaan. Sementara, sekolah-sekolah di daerah terpencil dan kawasan pedalaman masih kekurangan guru.<br /><br />“Nanti akan diatur supaya sebarannya merata,” katanya. Saat ini, pemerintah belum bisa berbuat banyak karena kewenangan untuk menempatkan guru berada di tangan pemerintah daerah. Pemerintah pusat belum mempunyai payung hukum untuk terlibat dalam pengaturan distribusi guru.M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-49065012551117285412010-01-03T08:49:00.000-08:002010-01-03T08:55:57.940-08:00Tambahan Penghasil bagi Guru PNS yang Belum Mendapatkan Tunjangan ProfesiJakarta, Selasa (1 Desember 2009) — Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan, pemerintah akan memberikan tambahan penghasilan bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) yang belum mendapatkan tunjangan profesi sebanyak Rp 250.000,00. Tambahan penghasilan yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2009 ini diberikan terhitung mulai 1 Januari 2009.<br /><br />“Dengan keluarnya peraturan presiden itu, syukur Alhamdulillah penghasilan guru terendah dapat mencapai sekurang – kurangnya 2.000.000 rupiah per bulan,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara Puncak Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2009 dan HUT Ke-64 PGRI di Stadion Tenis Indoor, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (1/12/2009).<br /><br />Presiden menyebutkan saat ini terdapat sekitar 2,1 juta guru di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan sekitar 400.000 guru di lingkungan Departemen Agama yang belum mendapatkan tunjangan sertifikasi. Kebijakan pemberian tambahan penghasilan ini, kata Presiden, adalah sebagai penghargaan pemerintah terhadap profesi guru dan tindak lanjut dari pidato kenegaraan yang disampaikan di depan Sidang Paripurna DPR RI pada 15 Agustus 2009 yang lalu.<br /><br />Presiden mengatakan, sebagian dari anggaran pendidikan yang besar di tahun 2009 telah dialokasikan antara lain untuk mengangkat martabat guru dan dosen, meningkatkan kompetensi guru dan dosen, memajukan profesi, memberikan perlindungan hukum dan profesi, serta untuk perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja para guru. “Anggaran yang besar itu juga telah dialokasikan untuk mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antar daerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan juga kompetensi,” katanya.<br /><br />Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan guru, pemerintah telah memberikan berbagai tunjangan. Presiden menyebutkan, hingga saat ini pemerintah telah membayarkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok kepada lebih dari 350.000 orang guru. “Pada 2009 ini, pemerintah juga telah menetapkan sasaran pemberian subsidi tunjangan fungsional kepada sekitar 478.000 orang guru bukan PNS,” katanya.<br /><br />Presiden menyebutkan, pemerintah juga telah memberikan bantuan kesejahteraan kepada lebih dari 30.000 orang guru yang bertugas di daerah terpencil. “Ke depan, pemerintah bertekad untuk melanjutkan berbagai upaya dalam pengembangan profesi guru agar dapat meningkatkan empat dimensi pendidikan yaitu pendidikan berdimensi keimanan, keilmuan, keterampilan, dan pengembangan kepribadian,” katanya.<br /><br />Presiden menambahkan, pemerintah juga memberikan perhatian yang besar pada upaya peningkatan kualifikasi bagi para guru setara S1 dan D4 dengan cara memberikan beasiswa. “Insya Allah dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama guru kita telah memenuhi semua sertifikasi pendidik sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Kehadiran para guru dan dosen yang makin profesional Insya Allah akan mengakselerasi terbentuknya masyarakat yang maju di negeri kita,” ujarnya.***<br /><br /><br />Sumber: Pers DepdiknasM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-13479195418824500962010-01-03T08:38:00.000-08:002010-01-03T08:49:08.187-08:00Akreditasi sekolah/madrasah<span style="font-weight:bold;">BAB I<br />PENDAHULUAN<br /><br />A. Latar Belakang</span><br />Di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa pendidikan merupakan sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yaitu :<br />” Melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Untuk mewujudkan itu semua perlu diusahakan terselenggaranya satu sistem pendidikan nasional yang bermutu dan mengikatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.<br />Agar mutu pendidikan itu sesuai dengan apa yang seharusnya dan apa yang diharapkan oleh masyarakat, maka perlu ada standar yang dijadikan pagu (benchmark). Setiap sekolah/madrasah secara bertahap dikembangkan untuk menuju kepada pencapaian standar yang dijadikan pagu itu. Acuan ini seharusnya bersifat nasional, baik dilihat dari aspek masukan, proses, maupun lulusannya. Apabila suatu sekolah/madrasah, misalnya telah mampu mencapai standar mutu yang yang bersifat nasional, diharapkan sekolah/madrasah tersebut secara bertahap mampu mencapai mutu yang kompetitif secara internasional. Jadi, pada dasarnya pagu mutu pendidikan nasional merupakan acuan minimal yang harus dicapai oleh setiap satuan dan atau program pendidikan.<br />Sebagaimana diketahui, upaya peningkatan mutu pendidikan secara nasional merupakan salah satu program yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Upaya ini diarahkan agar setiap lembaga pendidikan selalu berupaya untuk memberikan jaminan mutu layanannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Yang dimaksud dengan mutu layanan adalah jaminan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan disekolah sesuai dengan yang seharusnya terjadi dan sesuai pula dengan yang diharapkan. Apabila setiap satuan pendidikan selalu berupaya untuk memberi jaminan mutu dan upaya ini secara nasional akan terus meningkat. Peningkatan mutu pendidikan ini akan berdampak pada peningkatan mutu sumber daya manusia secara nasional. Hal ini sangat penting mengingat dewasa ini kita dihadapkan pada berbagai kesempatan dan tantangan, baik yang bersifat nasional maupun global, sedangkan berbagai kesempatan dan tantangan itu hanya dapat diraih dan dijawab apabila sumber daya manusia yang dimiliki bermutu tinggi.<br />Berangkat dari pemikiran tersebut dan untuk dapat membandingkan serta memetakan mutu dari setiap satuan pendidikan, perlu dilakukan akreditasi bagi setiap lembaga dan program pendidikan. Proses akreditasi ini dilakukan secara berkala dan terbuka dengan tujuan membantu dan memberdayakan satuan pendidikan agar mampu mengembangkan sumber dayanya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam menggunakan instrumen akreditasi yang komprehensif dan dikembangkan berdasarkan standar mutu yang ditetapkan, diharapkan profil mutu sekolah/madrasah dapat dipetakan untuk kepentingan peningkatan mutu sekolah/madrasah oleh berbagai pihak yang berkepentingan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. Pengertian Akreditasi Sekolah/Madrasah</span><br />Akreditasi sekolah/madrasah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan/atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik.<br />Di dalam proses akreditasi, sebuah sekolah/madrasah dievaluasi dalam kaitannya dengan arah dan tujuannya, serta didasarkan kepada keseluruhan kondisi sekolah/madrasah sebagai sebuah institusi belajar. Walaupun beragam perbedaan dimungkinkan terjadi antar sekolah/madrasah, tetapi sekolah/madrasah dievaluasi berdasarkan standar tertentu. Standar diharapkan dapat mendorong dan menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan pendidikan dan memberikan arahan untuk evaluasi diri yang berkelanjutan, serta menyediakan perangsang untuk terus berusaha mencapai mutu yang diharapkan.<br />Akreditasi merupakan alat regulasi diri (self-regulation) agar sekolah/madrasah mengenal kekuatan dan kelemahan serta melakukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kekuatan dan memperbaiki kelemahannya. Dalam hal ini akreditasi memiliki makna proses pendidikan. Di samping itu akreditasi juga merupakan penilaian hasil dalam bentuk sertifikasi formal terhadap kondisi suatu sekolah/madrasah yang telah memenuhi standar layanan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses akreditasi dalam makna proses adalah penilaian dan pengembangan mutu suatu sekolah/madrasah secara berkelanjutan. Akreditasi dalam makna hasil menyatakan pengakuan bahwa suatu sekolah/madrasah telah memenuhi standar kelayakan yang telah ditentukan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">C. Ruang lingkup</span><br />Ruang lingkup akreditasi sekolah/madrasah maliputi TK/RA, TKLB, SD/MI, SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMK/MAK dan SMLB, baik berstatus negeri maupun swasta.<br />Untuk TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, akreditasi dilakukan terhadap kelembagaan secara menyeluruh, sedangkan untuk SMK/MAK, akreditasi dilakukan terhadap program keahlian. Untuk TKLB, SDLB, SMPLB dan SMLB, akreditasi dilakukan terhadap kelembagaan sesuai dengan jenis kelainannya (kekhususannya).<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">BAB II<br />TUJUAN DAN FUNGSI AKREDITASI<br /><br />A. Tujuan Akreditasi Sekolah/Madrasah</span><br />Akreditasi sekolah/madrasah bertujuan untuk :<br />1. Memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan.<br />2. Memberikan pengakuan peringkat kelayakan.<br />3. Memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait.<br />Manfaat hasil akredtasi sekolah/madrasah sebagai berikut :<br />1. Membantu sekolah/madrasah dalam menentukan dan mempermudah kepindahan peserta didik dari suatu sekolah ke sekolah lain, pertukaran guru, dan kerjasama yang saling menguntungkan.<br />2. Membantu mengidentifikasi sekolah/madrasah dan program dalam rangka pemberian bantuan pemerintah, investasi dana swasta dan donatur atau bentuk bantuan lainnya.<br />3. Acuan dalam upaya peningkatan mutu sekolah/madrasah dan rencana pengembangan sekolah/madrasah.<br />4. Umpan balik salam usaha pemberdayaan dan pengembangan kinerja warga sekolah/madrasah dalam rangka menerapkan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, dan program sekolah/madrasah.<br />5. Motivator agar sekolah/madrasah terus meningkatkan mutu pendidikan secara bertahap, terencana, dan kompetitif baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan regional dan internasional.<br />6. Bahan informasi bagi sekolah/madrasah sebagai masyarakat belajar untuk meningkatkan dukungan dari pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dalam hal profesionalisme, moral, tenaga, dan dana.<br /><br />Untuk kepala sekolah/madrasah, hasil akreditasi diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk pemetaan indikator kelayakan sekolah/madrasah, kinerja warga sekolah/madrasah, termasuk kinerja kepala sekolah/madrasah selama periode kepemimpinannya. Disamping itu, hasil akreditasi juga diperlukan kepala sekolah/madrasah sebagai bahan masukan untuk penyusunan program serta anggaran pendapatan dan belanja sekolah/madrasah.<br />Untuk guru, hasil akreditasi sekolah/madrasah merupakan dorongan bagi guru untuk selalu meningkatkan diri dan bekerja keras untuk memberikan layanan yang terbaik bagi peserta didiknya. Secara moral, guru senang bekerja di sekolah/madrasah baik yang di akui sebagai sekolah/madrasah baik, oleh karena itu, guru selalu beruasaha untuk meningkatkan diri dan bekerja keras untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu sekolah/madrasah.<br />Untuk masyarakat dan khususnya orang tua peserta didik, hasil akreditasi diharapkan menjadi informasi yang akurat tentang layanan pendidikan yang ditawarkan oleh setiap sekolah/madrasah, sehingga secara sadar dan bertanggung jawab masyarakat dan khususnya orang tua dapat membuat keputusan dan pilihan yang tepat dalam kaitannya dengan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.<br />Untuk peserta didik, hasil akreditasi juga menumbuhkan rasa percaya diri bahwa mereka memperoleh pendidikan yang baik, dan harapannya, sertifikat dari sekolah/madrasah yang terakreditasi merupakan bukti bahwa mereka menerima pendidikan yang bermutu.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. Fungsi Akreditasi Sekolah/Madrasah</span><br />Dengan menggunakan instrumen akreditasi yang komprehensif, hasil akreditasi diharapkan dapat memetakan secara utuh profil sekolah/madrasah. Proses akreditasi sekolah/madrasah berfungsi untuk :<br />1. Pengetahuan, yaitu sebagai informasi bagi semua pihak tentang kelayakan sekolah/madrasah dilihat dari berbagai unsur terkait yang mengacu pada standar minimal beserta indikator-indikator.<br />2. Akuntabilitas, yaitu sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah/madrasah kepada publik, apakah layanan yang dilakukan dan diberikan oleh sekolah/madrasah telah memenuhi harapan atau keinginan masyarakat.<br />3. Pembinaan dan pengembangan, yaitu sebagai dasar bagi sekolah/madrasah, pemerintah, dan masyarakat dalam upaya peningkatan atau pengembangan mutu sekolah/madrasah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">C. Komponen Akreditasi Sekolah/Madrasah</span><br />Sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002 tanggal 14 Juni 2002 tentang Akreditasi Sekolah/Madrasah, komponen-komponen sekolah yang menjadi bahan penilaian adalah:<br />1. Kurikulum dan Proses Pembelajaran<br />2. Administrasi dan Manajemen Sekolah/Madrasah<br />3. Oraganisasi dan Kelembagaan Sekolah/Madrasah<br />4. Sarana dan Prasarana<br />5. Ketenagaan<br />6. Pembiayaan<br />7. Peserta didik<br />8. Peran serta masyarakat<br />9. Lingkungan dan Budaya Sekolah/Madrasah<br />Setiap komponen dijabarkan kedalam berbagai aspek dan indikator. Selanjutnya indikator-indikator yang dikembangkan tersebut dijadikan acuan dalam pengembangan instrumen akreditasi dan penilaian yang digunakan dalam proses akreditasi sekolah/madrasah.<br />2Kurikulum dan Proses Pembelajaran<br />a. Pelaksanaan Kurikulum<br />Standar kurikulum dibuat untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa apa yang diperoleh di sekolah/madrasah benar-benar konsisten dengan prinsip dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam kurikulum nasional. Meskipun sekolah diperkenankan untuk mengembangkan atau melaksanakan kurikulum yang menjadi ciri khas dari sekolah/madrasah yang bersangkutan, namun kurikulum nasional tetap harus dilaksanakan sepenuhnya. Kekhasan kurikulum yang dilaksanakan di sekolah/madrasah merupakan tambahan terhadap kurikulum nasional sehingga tidak mengurangi porsi kurikulum nasional. Selain itu, sekolah/madrasah juga seharusnya melaksanakan kurikulum muatan lokal atau pilihan sebagai upaya pelestarian dan pengembangan berbagi aspek yang menjadi ciri dan potensi daerah tempat sekolah berada atau kurikulum yang berorientasi pada kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni secara global. Semua ini dikemas sehingga silabus yang dikembangkan dan alokasi waktu yang disusun benar-benar menjamin bahwa kurikulum nasional dan muatan lokal atau pilihan tersebut terlaksana dengan baik.<br />b. Proses Pembelajaran<br />Proses pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Ketiga hal tersebut merupakan rangkaian utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan.<br />· Perencanaan Pembelajaran<br />Perencanaan pembelajaran adalah penyusunan rencana tentang materi pembelajaran, bagaimana melaksanakan pembelajaran, dan bagaimana melakukanpenilaian. Termasuk dalam perencanaan ini juga adlah memilih sumber belajar, fasilitas, waktu, tempat, harapan-harapan, dan perangkat informasi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar. Esensi perencanaan pembelajaran adalah kesiapan yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pembelajaran.<br />· Pelaksanaan Pembelajaran<br />Proses pembelajaran adalah interaksi antara pendidik dan peserta didik yang diharapkan menghasilkan perubahan pada peserta didik, yaitu dari belum mampu menjadi mampu, dari belum terdidik menjadi terdidik, dari belum kompeten menjadi kompeten. Inti dari proses belajar mengajar adalah efektivitasnya. Tingkat efektivitas pembelajaran sangat dipengharui oleh perilaku pendidik dan perilaku peserta didik. Perilaku pendidik yang efektif , antara lain, mengajar dengan jelas, menggunakan variasi metode pengajaran, menggunakan variasi sumber belajar, antusiasme, memberdayakan peserta didik, menggunakan konteks (lingkungan) sebagai sarana pembelajaran, menggunakan jenis penugasan dan pertanyaan yang membangkitkan daya pikir dan keingintahuan. Sedang perilaku peserta didik mencakup antara lain motivasi/semangat belajar, keseriusan, perhatian kerajinan, kedisiplinan, keingintahuan, pencatatan, pertanyaan, senang melakukan latihan, dan sikap belajar yang positif.<br /><br />· Evaluasi Pembelajaran<br />Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses untuk mendapatkan informasi tentang hasil pembelajaran. Fokus evaluasi pembelajaran adalah pada hasil, baik hasil yang berupa proses maupun produk. Informasihasil pembelaran ini kemudian dibandingkan dengan hasil pembelajaran yang diharapkan.<br />2Administrasi dan Pembelajaran<br />Standar administrasi dan manajemen sekolah meliputi:<br />a Perencanaan Sekolah<br />Sekolah memiliki rencana yang akan dicapai dalam jangka panjang ( rencana strategis) yang dijadikan acuan dalam rencana operasional. Dalam rencana ini wawasan masa depan (Visi) dijadikan paduan bagi rumusan misi sekolah/madrasah. Dengan kata lain, wawasan masa depan atau visi sekolah adalah gambaran masa depan masa depan yang dicita-citakan oleh sekolah.<br />b Manjemen Sekolah<br />Manajemen sekolah adalah pengelolaan sekolah yang dilakukan dengan dan melalui sumberdaya untuk mencapai tujuan sekolah/madrasah secara efektif dan efisien. Dua hal yang merupakan inti dari manajemen sekolah adalah aspek dan fungsi. Manajemen dipandang sebagai aspek meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, peserta didik, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Manajemen dipandang sebagai fungsi meliputi pengambilan keputusan, perumusan tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pengaturan ketenagaan, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, supervisi, dan pengendalian.<br />c Kepemimpinan<br />Manajemen memfokuskan diri pada sekolah sebagai sistem dimana kepemimpinan menekankan pada orang sebagai jiwanya. Kepala sekolah/madrasah berperan sebagai manajer dan pemimpin sekaligus. Tugas dan fungsi manajer adalah mengelola para pelaksananya dengan sejumlah masukan (input) manajemen seperti tugas dan fungsi, kebijakan, rencana, program, aturan main, serta pengendalian agar sekolah sebagai sistem mampu berkembang. Kepala sekolah/madrasah sebagai manajer berurusan dengan sistem dan sebagai pemimpin berurusan dengan tanggung jawab tentang pelaksanaan tugas dari orang - orang yang di pimpinnya.<br />d Pengawasan<br />Pengawasan (supervisi) merupakan salah satu fungsi penting dalam manajemen sekolah. Dalam pelaksanaan pengawasan ini terkandung pula fungsi pemantauan yang diarahkan untuk melihat apakah semua kegiatan berjalan lancar dan semua sumberdaya dimanfaatkan secara optimal, efisien dan efisien. Pengawasan dan monitoring dilakukan secara berkala dan tepat sasaran sehingga hasilnya dapat digunakan untuk melakukan perbaikan.<br />e Administrasi Sekolah/Madrasah<br />Penyelenggaraan sekolah akan berjalan lancar jika didukung olehadministrasi yang efektif dan efisien. Sekolah yang administrasinya kurang efisien dan kurang efektif akan mengalami hambatan dalam penyelenggaraan program sekolah. Secara umum, administrasi sekolah dapat di artikan sebagai upaya pengaturan dan pendayagunaan seluruh sumberdaya sekolah/madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan disekolah/madrasah secara optimal.<br />3Organisasi dan kelembagaan<br />Standar organisasi dan kelembagaan mencakup dua hal utama, yaitu organisasi dan legalitas serta regulasi sekolah/madrasah.<br />a. Organisasi<br />Program sekolah/madrasah akan berjalan lancar, terorganisasi, dan terkoordinasi secara konsisiten jika didukung oleh organisasi sekolah/madrasah yang cepat tanggap terhadap kebutuhan sekolah. Sekolah/Madrasah diorganisasikan secara tersistem sehingga memiliki struktur hirarkis yang terorganir secara rapi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.<br />Pengorganisasian sekolah dilakukan secara cermat yang ditampilkan dalam bentuk struktur organisasi yang mampu meningkatkan efisiendan efektivitas pemanfaatan sumberdaya manusia di sekolah/madrasah. Selain itu, Dengan adanya kejelasan siapa mengerjakan apa dan siapa melapor kepada siapa, Struktur organisasi sekolah/madrasah mampu menerjemahkan strategi kedalam pelaksanaan operasional yang produktif.<br />b. Legalitas dan Regulasi Sekolah/Madrasah<br />Sekolah/Madrasah merupakan satuan pendidikan yang secara legal diakui oleh publik. Sebagai lembaga legal yang diakui oleh publik, sekolah harus memiliki sejumlah dokumen legal dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh sekolah/madrasah yang bersangkutan. Dokumen-dokumen legal dan persyaratan-persyaratan yang dimaksud diperoleh dari pemerintah atau pemerintah daerah, antara lain SK pendirian sekolah/madrasah, status sekolah, dan dokumen-dokumen terkait lainnya. Untuk memperoleh dokumen-dokumen yang dimaksud, tentunya sekolah/madrasah harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang diperlukan.<br />4 Sarana dan Prasarana<br />Sekolah/Madrasah menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan program pendidikan, Penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan program pendidikan. Penyediaan sarana dan prasarana yang memenuhi tuntutan pedagonik diperlukan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dan memberdayakan sesuai karakterisitik mata pelajaran dan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan efektif, kognitif, psikomotor, peserta didik.<br />5 Tenaga Kependidikan dan Tenaga Penunjang<br />Tenaga kependidikan sekolah/madrasah adalah mereka yang berkualifikasi sebagai pendidik dan pengelola pendidikan. Pendidik bertugas merencanakan, melaksanakan, dan menilai serta mengembangkan proses pembelajaran.<br />Tenaga kependidikan meliputi guru, konselor, kepala sekolah/madrasah dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya. Secara umum tenaga kependidikan sekolah/madrasah bertugas melaksanakan perencanaan, pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, pengelolaan, penilaian, pengawasan, pelayanan teknis dan kepustakaan, penelitian dan pengembangan hal-hal praktis yang diperlukan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran.<br />Selain memerlukan tenaga pendidik, sekolah/madrasah juga memerlukan tenaga penunjang, yang meliputi tenaga administratif, laporan, dan pustakawan yang kompeten, tenaga penunjang bekerjasama dengan tenaga pendidik, terutama dalam memberikan pelayanan kepada peserta didik.<br />6 Pembiayaan/Pendanaan<br />Sekolah/Madrasah dana yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan. Sekolah/Madrasah menggunakan dana yang tersedia untuk terlaksananya proses belajar mengajar yang bermutu. Sekolah/Madrasah harus menyediakan dana pendidikan secara terus menerussesuai dengan kebutuhan sekolah/madrasah. Untuk itu sekolah/madrasah harus menghimpun dana untuk mencapai tujuan sekolah<br />7 Peserta Didik<br />a Penerimaan dan Pengembangan Peserta Didik<br />Peserta didik adalah warga masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melelui proses pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu. Peserta didik merupakan salah satu masukan yang sangat menentukan bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Namun demikian prestasi belajar yang dicapai oleh para peserta didik pada dasarnya merupakan upaya kolektif antara peserta didik dan guru.<br />b Keluaran<br />Keluaran sekolah/madrasah mencakup output dan outcome. Output sekolah/madrasah adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa baik peserta didik memperoleh pengalaman bermakna dalam proses pembelajaran. Hasil belajar harus mengekspresikan tiga unsur kompetensi, yaitu kognitif, efektif dan psikomotor.<br />Sekolah/Madrasah memiliki kepedulian terhadap nasib lulusannya. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam bentuk penelusuran, atau pelacakan terhadap lulusannya. Juga untuk mencari umpan balik bagi perbaikan program di sekolah/madrasahnya sehingga mutu dan relevansi program sekolah dapat ditingkatkan.<br />8 Peran Serta Masyarakat<br />Sekolah/Madrasah mengajarkan peserta didik tentang kecakapan yang diperlukan untuk menjalani hidup dan kahidupan di masyarakat tingkat lokal, nasional, dan internasional.<br />Sekolah/Madrasah memiliki komite Sekolah/Madrasah atau organisasi sejenis untuk memberi peluang pada masyarakat berperan sebagai pemberi pertimbangan (advisor), Pendukung (supporter), Penghubung (mediator), dan pengontrol (controller).<br />9 Lingkungan dan Budaya Sekoalah<br />Sekolah/Madrasah berada dalam lingkungan yang dinamis yang mempengharui penyelenggaraan sekolah/madrasah. Sekolah/Madrasah menginternalisasikan lingkungan kedalam penyelenggaraan sekolah/madrasah dan menempatkan sekolah/madrasah sebagai bagian dari lingkungan.<br />Budaya sekolah/madrasah adalah karakter atau pandangan hidup sekolah yang mereflesikan keyakinan, norma, nilai, dan kebiasaan yang dibentuk dan disepakati oleh warga sekolah/madrasah.<br />D. Akreditasi Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan<br />Mutu sekolah/madrasah merupakan konsep multidimensi yang tidak hanya terkait dengan satu aspek tertentu dari sekolah/madrasah. Untuk kepentingan akreditasi, mutu sekolah/madrasah dilihat dari tingkat kelayakan penyelenggaraan sekolah/madrasah dan sekaligus kinerja yang dihasilkan sekolah/madrasah dengan mengacu pada komponen utama sekolah/madrasah yang meliputi komponen (1) kurikulum dan proses pembelajaran, (2) administrasi dan manajemen sekolah/madrasah, (3) organisasi dan kelembagaan sekolah/madrasah, (4) sarana dan prasarana,(5) ketenagaan, (6) pembiayaan, (7) peserta didik, (8) peran serta masyarakat, (9) lingkungan dan budaya sekolah/madrasah.<br />Akreditasi sebagai proses penilaian terhadap kelayakan dan kinerja sekolah/madrasah merupakan kegiatan yang bersifat menyeluruh dalam memotret kondisi nyata sekolah/madrasah dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan diperoleh onformasi yang komprehensif tersebut, hasil akreditasi sangat berguna sebagai bahan masukan dalam penyusunan rencana strategis sekolah/madrasah untuk masa lima tahun dan rencana operasional sekolah/madrasah. Mengacu kepada rencana strategis dan operasional sekolah/madrasah tersebut, sekolah/madrasah menyusun program kegiatan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah/Madrasah (RAPBS/M) yang bersifat tahunansebagai langkah implementasi dalam pengembangan dan peningkatan mutu sekolah/madrasah secara terencana, terarah, dan terukur.<br />Dalam rangka menempatkan program akreditasi sebagai bagian dari upaya sekolah/madrasah untuk meningkatkan mutunya secara berkelanjutan, maka sistem akreditasi dikembangkan dengan karakteristik yang memberikan:<br />1) Keseimbangan antara fokus penilaian kelayakan dan kinerja sekolah/madrasah;<br />2) Keseimbangan antara penilaian internal melalui evaluasi diri oleh sekolah/madrasah dan evaluasi eksternal oleh asesor;<br />3) Keseimbangan hasil akreditasi antara pemeringkatan status sekolah/madrasah dan umpan balik untuk peningkatan mutu sekolah/madrasah;<br /><br /><span style="font-weight:bold;">BAB III<br />PENUTUP<br /><br />Kesimpulan</span><br />Berdasarkan uraian dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa :<br />1.Untuk mewujudkan cita-cita pemerintah indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa perlu diusahakan terselenggaranya satu sistem pendidikan yang bermutu;<br />2.Agar mutu pendidikan itu sesuai yang diharapkan oleh masyarakat perlu dilaksanakan suatu standar pagu mutu pendidikan, dalam hal ini pemerintah sudah melaksanakan Akreditasi Sekolah/Madrasah bagi lembaga maupun program satuan;<br />3.Akreditasi Sekolah/Madrasah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan/atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai akuntabilitas publik;<br />4. Akreditasi Sekolah/Madrasah bertujuan untuk memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan atau satuan pendidikan yang diakreditasi;<br />5. Fungsi Akreditasi/Sekolah adalah:<br />1) Pengetahuan, yaitu sebagai informasi bagi semua pihak tentang kelayakan sekolah/madrasah dilihat dari berbagai unsur terkait yang mengacu pada standar minimal beserta indikator-indikator.<br />2) Akuntabilitas, yaitu sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah/madrasah kepada publik, apakah layanan yang dilakukan dan diberikan oleh sekolah/madrasah telah memenuhi harapan atau keinginan masyarakat.<br />3) Pembinaan dan pengembangan, yaitu sebagai dasar bagi sekolah/madrasah, pemerintah, dan masyarakat dalam upaya peningkatan atau pengembangan mutu sekolah/madrasah.<br /><br />sumber: BADAN AKREDITASI PROVINSI SEKOLAH/MADRASAHM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-17101105827171461732010-01-03T08:33:00.000-08:002010-01-03T08:38:00.197-08:00STANDAR PENILAIAN PENDIDIKANA. Pengertian<br />1. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.<br /><br />2. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.<br /><br />3. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.<br /><br />4. Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.<br /><br />5. Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.<br /><br />6. Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.<br /><br />7. Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan KD pada semester tersebut.<br /><br />8. Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan dalam ujian nasional dan aspek kognitif dan/atau psikomotorik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian yang akan diatur dalam POS Ujian Sekolah/Madrasah.<br /><br />9. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.<br /><br />10. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.<br /><br />B. Prinsip Penilaian<br />Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:<br /><br />1. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.<br /><br />2. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.<br /><br />3. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.<br /><br />4. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.<br /><br />5. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.<br /><br />6. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.<br /><br />7. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.<br /><br />8. Keracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.<br /><br />9. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.<br /><br />C. Teknik dan Instrumen Penilaian<br />1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.<br /><br />2. Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja.<br /><br />3. Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.<br /><br />4. Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk tugas rumah dan/atau proyek.<br /><br />5. Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi persyaratan (a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai, (b) konstruksi, adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik.<br /><br />6. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik.<br /><br />7. Instrumen penilaian yang digunakan oleh pemerintah dalam bentuk UN memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, bahasa, dan memiliki bukti validitas empirik serta menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan antarsekolah, antardaerah, dan antartahun.<br /><br />D. Mekanisme dan Prosedur Penilaian<br />1. Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.<br /><br />2. Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).<br /><br />3. Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.<br /><br />4. Penilaian hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada UN dan aspek kognitif dan/atau aspek psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah/madrasah untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan.<br /><br />5. Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata pelajaran kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan ditentukan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik.<br /><br />6. Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah.<br /><br />7. Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah: (a) menyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian, (d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian.<br /><br />8. Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dilakukan oleh guru agama dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.<br /><br />9. Penilaian kepribadian, yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warganegara yang baik sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, adalah bagian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.<br /><br />10. Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti penilaian kelompok mata pelajaran yang relevan.<br /><br />11. Keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan diri dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh pembina kegiatan dan kepala sekolah/madrasah.<br /><br />12. Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedi.<br /><br /><br />13. Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar.<br /><br />14. Kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkah-langkah yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN.<br /><br />15. UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerjasama dengan instansi terkait.<br /><br />16. Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.<br /><br />17. Hasil analisis data UN disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.<br /><br /><br /><br />E. Penilaian oleh Pendidik<br />Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:<br /><br />1. Menginformasikan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester.<br /><br />2. Mengembangkan indikator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran.<br /><br />3. Mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih.<br /><br />4. Melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan.<br /><br />5. Mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta didik.<br /><br />6. Mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik.<br /><br />7. Memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.<br /><br />8. Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh.<br /><br />9. Melaporkan hasil penilaian akhlak kepada guru Pendidikan Agama dan hasil penilaian kepribadian kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai informasi untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dankepribadian peserta didik dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang baik.<br /><br />F. Penilaian oleh Satuan Pendidikan<br />Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:<br /><br />1. Menentukan KKM setiap mata pelajaran dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik.<br /><br />2. Mengkoordinasikan ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.<br /><br />3. Menentukan kriteria kenaikan kelas bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket melalui rapat dewan pendidik.<br /><br />4. Menentukan kriteria program pembelajaran bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem kredit semester melalui rapat dewan pendidik.<br /><br />5. Menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik.<br /><br />6. Menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik dan nilai hasil ujian sekolah/madrasah.<br /><br />7. Menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.<br /><br />8. Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada orang tua/wali peserta didik dalam bentuk buku laporan pendidikan.<br /><br />9. Melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota.<br /><br />10. Menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melaluirapat dewan pendidik sesuai dengan kriteria:<br />a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran.<br />b. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruhmata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.<br />c. Lulus ujian sekolah/madrasah.<br />d. Lulus UN.<br /><br />11. Menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.<br /><br />12. Menerbitkan ijazah setiap peserta didik yang lulus dari satuan pendidikan bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.<br /><br />G. Penilaian oleh Pemerintah<br />1. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk UN yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.<br /><br />2. UN didukung oleh suatu sistem yang menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta pelaksanaan yang aman, jujur, dan adil.<br /><br />3. Dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, Pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap berdasarkan hasil UN dan menyampaikan ke pihak yang berkepentingan.<br /><br />4. Hasil UN menjadi salah satu pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.<br /><br />5. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan peserta didik pada seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.<br /><br />6. Hasil UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang kriteria kelulusannya ditetapkan setiap tahun oleh Menteri berdasarkan rekomendasi BSNP.<br /><br />sumber: http://alexemdi.wordpress.com/2008/10/17/standar-penilaian-pendidikanM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-21176260491051854942010-01-03T08:18:00.000-08:002010-01-03T08:33:42.426-08:00Standar Pengelolaan PendidikanStandar Pengelolaan terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni standar pengelolaan oleh satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh Pemerintah Daerah dan standar pengelolaan oleh Pemerintah.<br /><br />Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Pengelolaan.<br />•Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Standar Pengelolaan Oleh Satuan Pendidikan.</span><br />Pasal 49-(1)Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasisi sekolah ynag ditunjkan dengan kemandirian,kemitraan,partisipasi,keterbukaan,dan akuntabilitas<br />(2)Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi[...].<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah Daerah</span><br />Pasal 59-(1)Pemerintah daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program:<br />a.wajib belajar;<br />b.peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah;<br />c.penuntasan pemberantasan buta aksara;<br />d.penjaminan mutu pada satuan pendidikan,baik yang diselengarakan oleh Pemerintah<br />e.Daerah maupun masyarakat;<br />f.peningkatan status guru sebagai profesi;<br />g.akreditasi pendidika;<br />h.peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat;dan<br />i.pemenuhan standar pelayanan minimal(SPM)bidang pendidikan.[...]<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah</span><br />Pasal 60-Pemerintah menyusun rencana kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program:<br />a.wajib belajar;<br />b.peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi;<br />c.penuntasan pemberantasan buta aksara;<br />d.penjaminan mutu pada satuan pendidikan,baik ysng diselengarakan oleh pemerintah<br />e.maupun masyarakat;<br />f.peningkatan status guru sebagai profesi;<br />g.peningkatan mutu dosen;<br />h.standarisasi pendidikan;<br />i.akreditasi pendidikan;<br />j.peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan lokal,nasional,dan global;<br />k.pemenuhan Standar Pelayanan Minimal(SPM)bidang pendidikan; dan Penjaminan mutu pendidikan nasional.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Standar Pengelolaan Pendidikan</span><br />Sekolah/Madrasah tidak lagi menjalankan kebijakan yang bersifat sentralistik dan pengambilan keputusan terpusat , tetapi bergeser ke arah desentralistik dan manajemen partisipatif berdasarkan pola manajemen berbasis sekolah (MBS/M)<br />Standar Pengelolaan Sekolah/Madrasah berdasarkan Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan<br />Akreditasi sekolah/madrasah merupakan pelaksanaan supervisi dan evaluasi standar pengelolaan pendidikan<br />DASAR<br />Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional<br />Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan<br />Peraturan Mendiknas Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan<br />POKOK KAJIAN<br />PERENCANAAN PROGRAM<br />PELAKSANAAN RENCANA KERJA<br />PENGAWASAN DAN EVALUASI<br />KEPEMIMPINAN SEKOLAH/ MADRASAH<br />SISTEM INFORMASI MANAJEMEN<br />PENILAIAN KHUSUS<br />BAGIAN A PERENCANAAN PROGRAM<br /><br />RENCANA KERJA SEKOLAH/ MADRASAH<br />meliputi :<br />VISI SEKOLAH/MADRASAH<br />Menjadi cita-cita bersama warga sekolah/madrasah dan stakeholder<br />Memberikan inspirasi, motivasi dan kekuatan pada warga sekolah/madrasah dan stakeholder<br />Dirumuskan berdasar masukan warga sekolah/madrasah dan stakeholder selaras dengan visi institusi di atasnya dan visi pendidikan nasional<br />Ketentuan tentang Visi Sekolah/Madrasah :<br />Lanjutan ……VISI SEKOLAH/MADRASAH<br />Rumusan visi diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh Kepala Sekolah dengan memperhatikan masukan dari komite S/M<br />Disosialisasikan kepada warga sekolah dan stakeholders<br />Visi S/M ditinjau dan dirumuskan kembali sesuai perkembangan dan tantangan di masyarakat<br />Ketentuan tentang Visi Sekolah/Madrasah :<br />MISI SEKOLAH/MADRASAH<br />Memberikan arah dalam mewujudkan visi S/M sesuai dengan tujuan pendidikan nasional<br />Merupakan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu<br />Menjadi dasar program pokok S/M<br />Berorientasi pada layanan peserta didik dan mutu lulusan<br />Memuat pernyataan umum dan khusus yang berkaitan dengan program S/M<br />Ketentuan tentang Misi Sekolah/Madrasah :<br />Lanjutan ….. MISI SEKOLAH/MADRASAH<br />Memberikan keluwesan dan ruang gerak kepada S/M mengembangkan kegiatannya<br />Rumusan misi diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh Kepala Sekolah dengan memperhatikan masukan dari komite S/M<br />Disosialisasikan kepada warga sekolah dan stakeholders<br />Misi S/M ditinjau dan dirumuskan kembali sesuai perkembangan dan tantangan di masyarakat<br />TUJUAN SEKOLAH/MADRASAH<br />Menggambarkan tingkat kualitas yang perlu dicapai dalam jangka menengah (empat tahunan)<br />Mengacu pada visi, misi dan tujuan pendidikan nasional serta relevan dengan kebutuhan masyarakat<br />Tujuan S/M juga mengacu pada standar kmpetensi lulusan yang ditetapkan oleh S/M dan pemerintah<br />Ketentuan tentang Tujuan Sekolah/Madrasah :<br />Lanjutan ….. TUJUAN SEKOLAH/MADRASAH<br />Tujuan S/M diputuskan oleh rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh Kepala Sekolah dengan memperhatikan masukan dari komite S/M dan stakeholders<br />Disosialisasikan kepada warga sekolah dan stakeholders<br />Misi S/M ditinjau dan dirumuskan kembali sesuai perkembangan dan tantangan di masyarakat<br />RENCANA KERJA SEKOLAH/MADRASAH<br />PENGERTIAN<br />Rencana Kerja Sekolah/Madrasah adalah suatu dokumen Sekolah/ Madrasah yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu satu sampai empat tahun yang berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai dan perbaikan komponen yang mendukung peningkatan mutu lulusan berdasarkan Visi, Misi dan Tujuan Sekolah/Madrasah<br />JENIS RENCANA KERJA S/M<br />Rencana Kerja Jangka Menengah<br />Jangka waktu 4 tahun<br />Berisi rencana strategik kegiatan sekolah/ madrasah<br />Menjadi dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran tahunan sekolah/madrasah (RKA S/M)<br />Rencana Kerja Tahunan<br />Jangka waktu 1 tahun<br />Berisi rencana operasional (program) kegiatan sekolah/ madrasah<br />Menjadi dasar penyusunan rencana anggaran dan pendapatan sekolah/madrasah (RAPBS/M)<br />FUNGSI RK S/M<br />Sebagai pedoman pengelolaan sekolah/madrasah<br />Sebagai gambaran kinerja sekolah/madrasah empat dan satu tahun yang akan datang<br />Sebagai wujud akuntabilitas dan transparasi sekolah/madrasah kepada pemangku kepentingan ( stakeholders )<br />Sebagai pengendali program dan kegiatan sekolah/madrasah<br />Sebagai alat evaluasi dan bahan perencanaan kerja sekolah/madrasah jangka menengah berikutnya<br />FUNGSI RENCANA KERJA TAHUNAN S/M<br />Sebagai dasar pengelolaan sekolah/ madrasah yang ditunjukkan dengan :<br />- kemandirian<br />- kemitraan<br />- partisipasi<br />- keterbukaan, dan<br />- akuntabilitas<br />PENYUSUN RK S/M<br />RK S/M disusun oleh Tim yang dibentuk oleh Kepala Sekolah, terdiri dari unsur-unsur :<br />Kepala Sekolah<br />Pendidik dan Tenaga Kependidikan<br />Komite Sekolah<br />Peserta Didik (untuk SMP, SMA, SMK)<br />PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN RK S/M<br />RK S/M harus mendapat persetujuan dalam rapat Dewan Pendidik dan memperhatikan pertimbangan Komite Sekolah/Madrasah<br />Berlakunya RK S/M Negeri setelah disahkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.<br />Untuk Sekolah/Madrasah Swasta pengesahan oleh penyelenggara pendidikan (Yayasan)<br />SASARAN DALAM RENCANA KERJA SEKOLAH/MADRASAH<br />Sasaran RKS/M dibagi menjadi 8 bidang :<br />Kesiswaan<br />Kurikulum dan Kegiatan Pembelajaran<br />Pendidik dan Tenaga Kependidikan<br />Sarana dan Prasarana<br />Keuangan dan Pembiayaan<br />Budaya dan Lingkungan Sekolah/Madrasah<br />Peranserta Masyarakat dan Kemitraan Sekolah/Madrasah<br />Lainnya yang mengarah kepada peningkatan dan pengembangan mutu<br />BAGIAN B PELAKSANAAN RENCANA KERJA<br />PELAKSANAAN RENCANA KERJA<br />PENYUSUNAN PEDOMAN<br />STRUKTUR ORGANISASI<br />PELAKSANAAN KEGIATAN<br />1. PENYUSUNAN PEDOMAN<br />Sekolah/Madrasah wajib membuat dan memiliki pedoman tertulis yang mudah dibaca oleh pihak-pihak terkait yang mengatur berbagai aspek pengelolaan<br />Lanjutan ….. PENYUSUNAN PEDOMAN<br />Perumusan pedoman sekolah/ madrasah seharusnya :<br />1. Mempertimbangkan visi, misi dan tujuan sekolah<br />2. Ditinjau dan dirumuskan kembali secara berkala sesuai dengan perkembangan masyarakat<br />PEDOMAN PENGELOLAAN SEKOLAH/MADRASAH MELIPUTI :<br />Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan<br />Kalender pendidikan/akademik<br />Struktur organisasi sekolah/madrasah<br />Pembagian tugas di antara pendidik<br />Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan<br />Peraturan akademik<br />Tata tertib sekolah/madrasah<br />Kode etik sekolah/madrasah<br />Biaya operasional sekolah/madrasah<br />Lanjutan ….. PENYUSUNAN PEDOMAN<br />Lanjutan ….. PENYUSUNAN PEDOMAN<br />Pedoman sekolah/madrasah berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaan operasional<br />Pedoman pengelolaan KTSP, kaldik dan pembagian tugas pendidik dan tenaga kependidikan harus dievaluasi dalam skala tahunan<br />Pedoman pengelolaan lainnya dievaluasi sesuai kebutuhan<br />2. STRUKTUR ORGANISASI SEKOLAH/MADRASAH<br />Struktur organisasi S/M berisi tentang sistem penyelenggaraan dan administrasi yang diuraikan secara jelas dan transparan<br />Tugas , wewenang dan tanggung-jawab pimpinan, pendidik dan tenaga kependidikan harus diuraikan secara jelas terkait dengan penyelenggaraan dan administrasi S/M<br />Lanjutan …. STRUKTUR ORGANISASI SEKOLAH/MADRASAH<br />ada staf administrasi yang diberi wewenang dan tanggungjawab jelas dalam mnyelenggarakan administrasi secara optimal<br />Dievaluasi secara berkala untuk melihat efektivitas mekanisme kerja<br />Dituangkan dalam surat keputusan kepala sekolah/madrasah atas pertimbangan dan pendapat komite sekolah/madrasah<br />PEDOMAN YANG MENGATUR TENTANG STRUKTUR ORGANISASI S/M HARUS :<br />3. PELAKSANAAN KEGIATAN SEKOLAH/MADRASAH<br />Berdasarkan rencana kerja tahunan<br />Dilaksanakan oleh Penanggungjawab kegiatan sesuai dengan ketersediaan sumberdaya yang ada<br />Jika pelaksanaan tidak sesuai dengan RK S/M Tahunan harus mendapat persetujuan melalui rapat Dewan Pendidik besama Komite Sekolah/ Madrasah<br />Lanjutan …. PELAKSANAAN KEGIATAN SEKOLAH/MADRASAH<br />Membuat laporan pertanggungjawaban<br />Pelaksanaan pengelolaan bidang akademik pada rapat Dewan Pendidik<br />Pelaksanaan pengelolaan bidang non- akademik pada rapat Komite Sekolah/ Madrasah<br />Menyampaikan laporan tersebut pada akhir tahun sebelum penyusunan RK S/M tahunan berikutnya<br />Apa tugas kepala sekolah ?<br />1. BIDANG KESISWAAN<br />Penerimaan Peserta Didik<br />Layanan Konseling<br />Ekstrakurikuler<br />Pembinaan Prestasi Unggulan<br />Pelacakan terhadap Alumni<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />2. BIDANG KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN<br />Penyusunan KTSP<br />Penyusunan Kaldik<br />Program Pembelajaran<br />Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik<br />Peraturan Akademik<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />3. BIDANG PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN<br />Menyusun Program Pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan<br />Pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan<br />Penyusunan rincian tugas ( job discription )<br />Rekruitmen tenaga tambahan<br />Pengembangan karir dan prestasi<br />Promosi, penempatan dan rotasi<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />4. BIDANG SARANA PRASARANA<br />Penyusunan program pengelolaan sarana prasarana<br />Pengelolaan sarana prasarana dengan mengacu kepada Standar Sarana Prasarana, meliputi :<br />a. merencanakan, memenuhi dan mendayagunakan<br />b. mengevaluasi dan melakukan pemeliharaan<br />c. melengkapi fasilitas pembelajaran<br />d. menyusun skala prioritas pengembangan fasilitas<br />e. pemeliharaan semua fasilitas fisik dan peralatan<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />Lanjutan …. BIDANG SARANA PRASARANA<br />3. Sosialisasi program pengelolaan sarana prasarana<br />4. Pengelolaan perpustakaan secara khusus<br />5. Pengelolaan laboratorium secara khusus<br />6. Pengelolaan fasilitas fisik untuk kegiatan ekstrakurikuler sesuai dengan perkem-bangan kegiatan ekstrakurikuler<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />5. BIDANG KEUANGAN DAN PEMBIAYAAN<br />Menyusun pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional mengacu pada Standar Pembiayaan, meliputi :<br />a. sumber pemasukan, pengeluaran dan jumlah dana yang dikelola<br />b. penyusunan dan pencairan anggaran, penggalangan dana di luar dana investasi dan operasional<br />c. kewenangan dan tanggungjawab kepala sekolah/madrasah dalam membelanjakan<br />d. pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran<br />2. Sosialisasi pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional agar transparan dan akuntabel<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />6. BIDANG BUDAYA DAN LINGKUNGAN<br />Menciptakan suasana, iklim dan lingkungan pendidikan yang kondusif untuk pembelajaran yang efisien<br />Menyusun prosedur untuk menciptakan suasana, iklim dan lingkungan pendidikan<br />Menetapkan pedoman tata tertib<br />Menetapkan kode etik untuk masing-masing warga sekolah/ madrasah<br />Memiliki program yang jelas untuk meningkatkan kesadaran beretika bagi semua warga sekolah/madrasah<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />7. BIDANG PERANSERTA MASYARAKAT DAN KEMITRAAN<br />Melibatkan warga dan masyarakat pendukung dalam mengelola pendidikan<br />Menjalin kemitraan dengan lembaga lain yang relevan dan berkaitan denga input-proses-output dan pemanfaatan lulusan<br />Menjalin kemitraan dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />8. BIDANG LAIN UNTUK PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN MUTU<br />Penyusunan program disesuaikan dengan karakter, tujuan dan jangka waktu pelaksanaan program<br />CONTOH :<br />Program Rintisan MBS<br />Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional<br />Program Imersi<br />Program Akslerasi<br />Program Inklusi, dll.<br />PENJELASAN PEDOMAN PELAKSANAAN KEGIATAN<br />BAGIAN C PENGAWASAN DAN EVALUASI<br />PENGAWASAN DAN EVALUASI<br />Program Pengawasan<br />Evaluasi Diri<br />Evaluasi dan Pengembangan KTSP<br />Evaluasi Pendayagunaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan<br />Akreditasi Sekolah/Madrasah<br />1. PROGRAM PENGAWASAN<br />Sekolah/Madrasah menyusun program pengawasan secara obyektif, bertanggung-jawab dan berkelanjutan<br />Program pengawasan didasarkan pada standar nasional pendidikan<br />Program pengawasan disosialisasikan kepada pendidik dan tenaga kependidikan<br />Pengawasan pengelolaan s/m meliputi : pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan tindaklanjut hasil pengawasan<br />Lanjutan ….. PROGRAM PENGAWASAN<br />Pemantauan pengelolaan s/m oleh komite s/m secara teratur, dan berkelanjutan untuk menilai efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas pengelolaan<br />Supervisi pengelolaan akademik dilakukan oleh kepala s/m dan pengawas s/m secara teratur dan berkelanjutan<br />Pendidik melaporkan hasil evaluasi dan penilaian minimal setiap akhir semester<br />Tenaga kependidikan (TU, Staf/Karyawan) melaporkan pelaksanaan tugasnya pada setiap akhir semester<br />Lanjutan ….. PROGRAM PENGAWASAN<br />Kepala s/m melaporkan hasil evaluasi pada setiap akhir semester kepada komite s/m dan pihak lain yang berkepentingan<br />Pengawas sekolah melaporkan hasil pengawasan di sekolah kepada bupati/ walikota melalui Dinas Pendidikan Kab/Kota<br />Pengawas madrasah melaporkan hasil pengawasan di madrasah kepada Kepala Kantor Depag Kab/Kota<br />Lanjutan ….. PROGRAM PENGAWASAN<br />Setiap pihak yang menerima laporan hasil pengawasan menindaklanjuti laporan dalam rangka peningkatan mutu s/m, termasuk memberi sanksi atas penyimpangan yang ditemukan<br />Sekolah/madrasah mendokumentasikan dan menggunakan hasil pantauan, supervisi, evaluasi dan pelaporan berikut catatan tindaklanjutnya untuk memperbaiki kinerja s/m baik pengelolaan akademik maupun pengelolaan secara keseluruhan<br />2. EVALUASI DIRI<br />Evaluasi diri dilakukan terhadap kinerja s/m<br />S/M menetapkan indikator untuk mengukur, menilai kinerja dan perbaikan dalam rangka pelaksanaan standar nasional pendidikan<br />S/M mengevaluasi proses pembelajaran dan program kerja tahunan<br />Evaluasi diri s/m dilakukan secara periodik berdasar data dan informasi yang terpercaya<br />3. EVALUASI DAN PENGEMBANGAN KTSP<br />Komprehensif dan fleksibel dalam mengadaptasi Iptek mutakhir<br />Berkala untuk merespon perubahan kebutuhan peserta didik, masyarakat, sistem pendidikan dan sosial<br />Integratif dan monolitik sejalan dengan perubahan tingkat matapelajaran<br />Menyeluruh dengan melibatkan dewan pendidik, komite, pengguna lulusan dan alumni<br />Sekolah/Madrasah melakukan evaluasi dan pengembangan KTSP secara :<br />4. EVALUASI PENDAYAGUNAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN<br />Direncanakan secara komprehensif pada setiap akhir semester dengan mengacu Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan<br />Evaluasi meliputi kesesuaian penugasan dan keahlian, keseimbangan beban kerja dan kinerja pendidik/teaga kependidikan dalam pelaksanaan tugas<br />Evaluasi harus memperhatikan pencapaian prestasi dan perubahan peserta didik<br />5. AKREDITASI SEKOLAH/ MADRASAH<br />S/M menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan akreditasi<br />S/M selalu berupaya meningkatkan status akreditasi<br />S/M harus terus meningkatkan kualitas kelembagaannya secara holistik dan menindaklanjuti saran-saran hasil akreditasi<br />BAGIAN D KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH/MADRASAH<br />BAGIAN E SISTEM INFORMASI MANAJEMEN<br />E. SISTEM INFORMASI MANAJEMEN<br />S/M mengelola sistem informasi manajemen (SIM) yang memadai untuk mendukung sistem administrasi pendidikan yang efisien, efektif dan akuntabel<br />S/M menyediakan fasilitas informasi yang efisien, efektif dan mudah diakses<br />S/M menugaskan seorang P/TK untuk memenuhi layanan informasi kepada masyarakat<br />S/M melaporkan data informasi s/m dalam bentuk dokumen kepada Dinas Pendidikan/ Kandepag kab/kota<br />BAGIAN F PENILAIAN KHUSUS<br />F. PENILAIAN KHUSUS<br />Keberadaan Sekolah/Madrasah yang pengelolaannya tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan dapat memperoleh pengakuan dari Pemerintah (Depdiknas/Depag) setelah mendapat rekomendasi dari BSNP<br /><br />sumber: http://bsnp-indonesia.orgM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-22175041048369068322010-01-03T07:56:00.000-08:002010-01-03T08:10:18.573-08:00STANDAR BIAYA PENDIDIKAN<span style="font-weight:bold;">Landasan Hukum</span><br /><br /> Pembiayaan pendidikan telah diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Amandemen IV) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia<br /><br />UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih lanjut telah mengatur beberapa pasal yang menjelaskan pendanaan pendidikan yaitu pada Pasal 11 Ayat 2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun. Lebih lanjut pada Pasal 12, Ayat (1) disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Di samping itu disebutkan pula bahwa setiap peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Pada Bab VIII Wajib Belajar Pasal 34 menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar; Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) diatur lebih lanjut dengan PP. Pendanaan Pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan. Pengelolaan dana pendidikan dilakukan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.<br /><br />Secara khusus disebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam APBN dan APBD.<br /><br />Partisipasi masyarakat dalam pendidikan berbasis masyarakat adalah dengan berperan serta dalam pengembangan, pelaksanaan kurikulum, dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. <br /><br />UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 13 menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik diatur dengan PP<br /><br />Pada Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terdapat kerancuan antara Bab I Pasal 1 Ayat (10) dan Bab IX Pasal 62 Ayat (1) s/d (5) tentang ruang lingkup standar pembiayaan. Ketentuan Umum tentang Standar Pembiayaan pada Pasal 1 tampak lebih sempit dari Pasal 62 yaitu standar pembiayaan pada Pasal 1 adalah mencakup standar yang mengatur komponen dan besarnya “biaya operasi” satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Pada Pasal 62 mencakup “biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal”. Pada Bab IX: Standar Pembiayaan, Pasal 62 disebutkan bahwa: <br />(1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal.<br />(2) Biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap.<br />(3) Biaya personal sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.<br />(4) Biaya operasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi:<br />a. Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.<br />b. Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan<br />c. Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.<br />(5) Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP<br /><br />Sebelum PP tentang standar pembiayaan pendidikan ini dikeluarkan, telah ada SK Mendiknas tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan (SPM) yaitu Kepmendiknas No.053/U/2001 yang menyatakan bahwa SPM bidang pendidikan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan atau acuan bagi penyelenggaraan pendidikan di provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom. Penyusunan SPM bidang Pendidikan Dasar dan Menengah mengacu kepada PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom mengisyaratkan adanya hak dan kewenangan Pemerintah Pusat untuk membuat kebijakan tentang perencanaan nasional dan standarisasi nasional.<br /><br /> Dalam rangka penyusunan standarisasi nasional itulah, Mendiknas telah menerbitkan Keputusan No.053/U/2001 tanggal 19 April 2001 tentang SPM yang diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dan sekaligus ukuran keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah provinsi, kabupaten/kota bahkan sampai di tingkat sekolah.<br /> <br /> Kepmendiknas No. 129/U/2004 merupakan hasil revisi dari kepmen sebelumnya sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam sistem dan manajemen pendidikan nasional. Pada kepmen ini pendidikan nonformal, kepemudaan, olahraga, dan Pendidikan Usia Dini lebih ditonjolkan. Pendidikan nonformal seperti pendidikan keaksaraan, pendidikan kesetaraan SD, SMP, SMA, pendidikan ketrampilan dan bermata pencaharian, kelompok bermain, pendidikan kepemudaan dan olahraga secara ekplisit telah ditentukan standar pelayanan untuk masing-masing SPM.<br /><br />Karena standar pembiayaan juga mencakup kebutuhan atas buku teks pelajaran, maka perlu diperhatikan Peraturan Mendiknas No. 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran yaitu Pasal 7: satuan pendidikan menetapkan masa pakai buku teks pelajaran paling sedikit 5 tahun dan buku teks pelajaran tidak dipakai lagi oleh satuan pendidikan apabila ada perubahan standar nasional pendidikan dan buku teks pelajaran dinyatakan tidak layak lagi oleh Menteri. Pada Pasal 8 ditegaskan bahwa: guru dapat menganjurkan kepada peserta didik yang mampu untuk memiliki buku teks pelajaran; anjuran sebagaimana dimaksud bersifat tidak memaksa atau tidak mewajibkan; untuk memiliki buku teks pelajaran, peserta didik atau orangtua/walinya membelinya di pasar; untuk membantu peserta didik yang tidak mampu memiliki akses ke buku teks pelajaran, satuan pendidikan wajib menyediakan paling sedikit 10 (sepuluh) eksemplar buku teks pelajaran untuk setiap mata pelajaran pada setiap kelas, untuk dijadikan koleksi perpustakaannya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Konsep Pembiayaan Pendidikan</span><br /><span style="font-weight:bold;"><br />1. Sistem Pembiayaan Pendidikan</span><br /><br />Sistem pembiayaan pendidikan merupakan proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah. Sistem pembiayaan pendidikan sangat bervariasi tergantung dari kondisi masing-masing negara seperti kondisi geografis, tingkat pendidikan, kondisi politik pendidikan, hukum pendidikan, ekonomi pendidikan, program pembiayaan pemerintah dan administrasi sekolah. Sementara itu terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk mengetahui sesuai tidaknya sistem dengan kondisi negara. Untuk mengetahui apakah sistem tersebut memuaskan, dapat dilakukan dengan cara: i) menghitung berbagai proporsi dari kelompok usia, jenis kelamin, tingkat buta huruf; ii) distribusi alokasi sumber daya pendidikan secara efisien dan adil sebagai kewajiban pemerintah pusat mensubsidi sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor lainnya.<br /><br />Setiap keputusan dalam masalah pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Oleh karena itu perlu dilihat siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan, bagaimana mereka akan dididik, siapa yang akan membayar biaya pendidikan. Demikian pula sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung sistem pembiayaan pendidikan. Tanggungjawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan termasuk untuk pendidikan kejuruan dan bantuan terhadap murid. Hal itu perlu dilihat dari faktor kebutuhan dan ketersediaan pendidikan, tanggungjawab orang tua dalam menyekolahkan vs social benefit secara luas, pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan.<br /><br />Menurut Levin (1987) pembiayaan sekolah adalah proses dimana pendapatan dan sumber daya tersedia digunakan untuk memformulasikan dan mengoperasionalkan sekolah di berbagai wilayah geografis dan tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Pembiayaan sekolah ini berkaitan dengan bidang politik pendidikan dan program pembiayaan pemerintah serta administrasi sekolah. Beberapa istilah yang sering digunakan dalam pembiayaan sekolah, yakni school revenues, school expenditures, capital dan current cost. Dalam pembiayaan sekolah tidak ada pendekatan tunggal dan yang paling baik untuk pembiayaan semua sekolah karena kondisi tiap sekolah berbeda.<br /><br />Setiap kebijakan dalam pembiayaan sekolah akan mempengaruhi bagaimana sumber daya diperoleh dan dialokasikan. Dengan mengkaji berbagai peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda di sektor pendidikan, kita bisa melihat konsekuensinya terhadap pembiayaan pendidikan, yakni:<br />• Keputusan tentang siapa yang akan dididik dan seberapa banyak jasa pendidikan dapat disediakan<br />• Keputusan tentang bagaimana mereka akan dididik<br />• Keputusan tentang siapa yang akan membayar biaya pendidikan<br />• Keputusan tentang sistem pemerintahan seperti apa yang paling sesuai untuk mendukung pembiayaan sekolah<br /><br />Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, ada dua hal pokok yang harus dapat dijawab, yakni: i) bagaimana sumber daya akan diperoleh, ii) bagaimana sumber daya akan dialokasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan/tipe sekolah/kondisi daerah yang berbeda. Terdapat dua kriteria untuk menganalisis setiap hal tersebut, yakni, i) efisiensi yang terkait dengan keberadaan sumber daya yang dapat memaksimalkan kesejahteraan masyarakat dan ii) keadilan yang terkait dengan benefits dan costs yang seimbang.<br /><br />Menurut J. Wiseman (1987) terdapat tiga aspek yang perlu dikaji dalam melihat apakah pemerintahan perlu terlibat dalam masalah pembiayaan pendidikan:<br />• Kebutuhan dan ketersediaan pendidikan terkait dengan sektor pendidikan dapat dianggap sebagai salah satu alat perdagangan dan kebutuhan akan investasi dalam sumberdaya manusia/human capital<br />• Pembiayaan pendidikan terkait dengan hak orang tua dan murid untuk memilih menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang akan berdampak pada social benefit secara keseluruhan<br />• Pengaruh faktor politik dan ekonomi terhadap sektor pendidikan<br /><br />Dalam hal pendidikan kejuruan dan industri, M. Woodhall (1987) menjelaskan bahwa di masa lalu pembiayaan pendidikan jenis ini ditanggung oleh perusahaan. Perusahaan memberi subsidi kepada para pekerjanya sendiri. Sekarang peran pemerintah semakin besar dalam pembiayaan ini. Hal itu disebabkan adanya kepentingan ekonomi. Artinya kebijakan ketenagakerjaan, diharapkan dapat meningkatkan kepentingan untuk membagi biaya dan manfaat dari pendidikan ini dengan adil.<br /><br />Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan kejuruan ini adalah:<br />• Peran pemerintah dalam membiayai jenis pendidikan ini<br />• Perbedaan antara jenis training yang umum dan spesifik <br />• Pilihan antara training yang on dan off the job<br />• Keseimbangan antara pembiayaan dari pemerintah dan sektor swasta di pendidikan ini<br />• Pentingnya praktek kerja sebagai kelanjutan dari jenis pendidikan ini<br />• Pembayaran kompensasi selama mengikuti pendidikan ini<br />• Sumber daya yang dialokasikan untuk jenis pendidikan ini<br /><br /><span style="font-weight:bold;"><br />2. Pendekatan Kecukupan (Adequacy Approach)</span><br /><br />Pengukuran biaya pendidikan seringkali menitikberatkan kepada ketersediaan dana yang ada namun secara bersamaan seringkali mengabaikan adanya standar minimal untuk melakukan pelayanan pendidikan. Konsep pendekatan kecukupan menjadi penting karena memasukkan berbagai standar kualitas dalam perhitungan pembiayaan pendidikan. Sehingga berdasarkan berbagai tingkat kualitas pelayanan pendidikan tersebut dapat ditunjukkan adanya variasi biaya pendidikan yang cukup ideal untuk mencapai standar kualitas tersebut. Analisis kecukupan biaya pendidikan ini telah digunakan di beberapa negara bagian Amerika Serikat untuk mengalokasikan dana pendidikan. Berbagai studi di Indonesia telah pula mencoba memperhitungkan biaya pendidikan berdasarkan standar kecukupan.<br /><br />Perhitungan biaya pendidikan berdasarkan pendekatan kecukupan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:<br />• Besar kecilnya sebuah institusi pendidikan<br />• Jumlah siswa<br />• Tingkat gaji guru (karena bidang pendidikan dianggap sebagai highly labour intensive)<br />• Rasio siswa dibandingkan jumlah guru<br />• Kualifikasi guru<br />• Tingkat pertumbuhan populasi penduduk (khususnya di negara berkembang)<br />• Perubahan dari pendapatan (revenue theory of cost)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">3. Data dan Sumber Data</span><br /><br />Data dikumpulkan berdasarkan laporan keuangan maupun standar biaya dari beberapa daerah terpilih. Tim Pembiayaan BSNP melakukan kunjungan lapangan ke 12 provinsi dan 27 kabupaten/kota seperti ditampilkan dalam Tabel 3.1 Pemilihan daerah survei berdasarkan purposive sampling, disebabkan kondisi daerah yang sangat bervariasi, waktu dan tenaga yang terbatas. Akurasi data biaya pendidikan sangat diperlukan dalam penentuan standar pembiayaan pendidikan. Studi maupun data yang lebih menyeluruh dan rinci mengenai satuan biaya berdasarkan kualitas barang dan jasa di masa yang akan datang sangat diperlukan untuk merevisi standar pembiayaan pendidikan.<br />Berdasarkan Studi Lapangan, Tim mengumpulkan antara lain Standar Harga Barang dan Jasa yang berlaku di tingkat kabupaten/kota, Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) untuk Bidang Pendidikan dan beberapa contoh Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah dari tingkat dasar dan menengah. Terdapat variasi yang besar antara daerah yang memiliki Standar Harga secara lengkap (misal DKI Jakarta) dan daerah yang hanya memiliki Standar Harga secara terbatas (misal Papua). Oleh karena itu DKI Jakarta dipakai sebagai dasar perhitungan standar pembiayaan pendidikan. Perhitungan standar pembiayaan pendidikan untuk daerah lain dilakukan dengan mengalikan data standar pembiayaan pendidikan untuk DKI Jakarta dengan Indeks Kemahalan Pendidikan antar Daerah.<br /><br />Data Indeks Kemahalan Pendidikan antar Daerah belum tersedia untuk Indonesia, sehingga dalam hal ini diproksi dengan data Indeks Kemahalan Konstruksi antar Daerah (IKK) yang disusun oleh BPS dan Depkeu untuk 434 kabupaten/kota dan 33 propinsi (BPS dan Depkeu, 2005). Indeks ini merupakan angka yang menunjukkan perbandingan tingkat kemahalan harga bangunan/konstruksi (TKK) suatu kabupaten/kota atau propinsi terhadap TKK rata-rata Nasional. <br />TKK merupakan cerminan dari suatu nilai bangunan/konstruksi atau biaya yang dibutuhkan untuk membangun 1 (satu) unit bangunan per satuan ukuran luas di suatu kabupaten/kota atau propinsi yang diperoleh melalui pendekatan terhadap sejumlah bahan bangunan, termasuk sewa alat berat dan upah jasa yang menjadi paket komoditas. <br />Selain itu, penghitungan IKK juga telah memperhitungkan biaya transportasi antara daerah tersebut dengan ibukota propinsi yang merupakan proksi tingkat kemahalan antar daerah untuk daerah kepulauan. Adanya keragaman geografis wilayah daratan, lautan, dan pegunungan sebenarnya sudah dicerminkan dalam variabel Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) karena sudah diperhitungkan dalam tambahan komponen biaya transportasi khusus untuk daerah kepulauan. Sebagai contoh IKK daerah kepulauan Maluku relatif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang hanya memiliki wilayah daratan saja.<br />IKK selain dapat digunakan sebagai tools untuk menghitung tingkat variasi kemahalan antar daerah, juga dapat digunakan sebagai variabel adjustment atas cost/unit untuk setiap kabupaten/kota dan provinsi agar hasil formulasi standar pembiayaan pendidikan memiliki tingkat akurasi yang tinggi bagi setiap daerah. Di samping itu, terdapat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai variabel tambahan untuk peningkatan kualitas SDM pada usia sekolah (schooling years) terutama pada level pendidikan dasar dan menengah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">3.1. Komponen Perhitungan Standar Biaya Operasi<br /></span><br />Menurut PP 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.<br /><br />Sementara itu, menurut Ayat (4) Pasal 62 PP No. 19 Tahun 2003, biaya operasi satuan pendidikan meliputi biaya berikut.<br />a. gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji.<br />b. bahan atau peralatan pendidikan habis pakai.<br />c. biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lainnya.<br /><br />Walaupun dalam pasal ini biaya operasi hanya didefinisikan ke dalam tiga kelompok biaya, namun ada sebagian biaya investasi yang juga dapat dikeluarkan setiap tahun yaitu biaya depreasiasi (sebagai penyisihan dari investasi) dan dapat bersifat tunai. Dana ini merupakan penyisihan untuk investasi di masa yang akan datang misalnya dana untuk pembelian buku (karena buku diasumsikan berusia 5 tahun, dana tersebut dapat dibelanjakankan per tahun sejumlah 20% dari dana keseluruhan), dana untuk memperbaharui gedung maupunperalatan. Penggunaan dana depresiasi ini dapat berupa pembangunan gedung baru atau renovasi berat gedung lama, maupun pembelian peralatan baru. Namun perhitungan biaya investasi tidak diperhitungkan dalam Standar Biaya Operasi Pendidikan.<br /><br />Untuk keperluan perhitungan standar biaya operasi dalam naskah ini, biaya operasi dibagi ke dalam dua kelompok, menjadi biaya pegawai dan biaya bukan-pegawai. Perhitungan standar biaya operasi ini didasarkan pada kebutuhan biaya minimal untuk menyelenggarakan kegiatan sekolah. Standar biaya operasi disusun berdasarkan peraturan yang berlaku serta masukan dari berbagai tim standar pendidikan lainnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">3.2. Biaya Pegawai</span><br /><br />Sesuai dengan UU No.14 Tahun 2005, biaya pegawai dibagi menjadi dua kelompok: (i) Gaji pokok serta tunjangan yang melekat pada gaji, (ii) Penghasilan lain yang terdiri atas: tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan Maslahat Tambahan.<br /><br />Gaji Pendidik dan Tenaga Kependidikan serta Segala Tunjangan yang Melekat pada Gaji<br />Ayat (6), Pasal 1, Bab I UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan batasan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.<br /><br />Sedangkan, batasan tenaga kependidikan sebagaimana Ayat (6), Pasal 1, Bab I UU No. 20 Tahun 2003 adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sementara itu, Ayat (1) Pasal 35 PP No. 19 Tahun 2005 menjelaskan tenaga pendidikan sebagai berikut.<br /><br /> Tenaga kependidikan pada TK/RA atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala TK/RA dan tenaga kebersihan.<br /> Tenaga kependidikan pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.<br /> Tenaga kependidikan pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat atau SMA/MA, atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga adminstrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.<br /> Tenaga kependidikan pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah/madrasah, tenaga adminstrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, dan tenaga kebersihan sekolah/madrasah.<br /> Tenaga kependidikan pada SDLB, SMPLB, dan SMALB atau bentuk lain yang sederajat sekurang-kurangnya terdiri atas kepala sekolah, tenaga adminstrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, tenaga kebersihan sekolah, teknisi sumber belajar, psikolog, pekerja sosial, dan terapis.<br /> Tenaga kependidikan pada Paket A, Paket B dan Paket C sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola kelompok belajar, tenaga adminstrasi, dan tenaga perpustakaan.<br /> Tenaga kependidikan pada lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan sekurang-kurangnya terdiri atas pengelola atau penyelenggara, teknisi, sumber belajar, pustakawan, dan laboran.<br /><br />Seiring dengan telah disetujuinya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pengertian gaji dan tunjangan meliputi:<br /> Gaji pokok , besarnya gaji pokok mengikuti aturan menteri keuangan tentang gaji PNS<br /> Tunjangan yang melekat pada gaji, yang meliputi tunjangan: (i) isteri/suami 10%, (ii) anak 2% dengan batas maksimal dua orang anak hingga usia 21 tahun atau belum pernah menikah atau belum berumur 25 tahun kuliah dan belum pernah menikah, (iii) jabatan, (iv) beras, dan (v) khusus, yakni diberikan sebagai pengganti apabila yang bersangkutan terkena pajak penghasilan sejumlah potongan yang terkena pajak<br /><br />Penghasilan lainnya<br /> Tunjangan profesi: tunjangan profesi diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan/satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Besarnya tunjangan setara dengan satu kali gaji pokok guru.<br /> Tunjangan fungsional: tunjangan yang diberikan kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Besar tunjangan mengikuti subsidi yang dialokasikan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah.<br /> Tunjangan khusus: tunjangan yang diberikan kepada guru yang bertugas di daerah khusus. UU No. 14 Tahun 2005, Pasal 1, Ayat 17, menjelaskan bahwa daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.<br /> Maslahat tambahan merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">3.3. Biaya Bukan-Pegawai</span><br /><br />Biaya bukan-pegawai terdiri atas: (i) Alat Tulis Sekolah (ATS)/bahan habis pakai, (ii) Rapat-rapat, (iii) Transpor/perjalanan dinas, (iv) Penilaian, (v) Daya dan jasa, (vi) Pemeliharaan sarana dan prasarana, (vii) Pendukung pembinaan siswa. <br /><br /> ATS/bahan habis pakai<br />Biaya ATS meliputi biaya minimal bagi seluruh pengeluaran sekolah untuk alat tulis yang dibutuhkan untuk pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran. ATS untuk pengelolaan sekolah dan proses pembelajaran mencakup: pensil, pena, toner/tinta printer, tinta stempel, penghapus pensil, penghapus tinta, buku tulis, buku administrasi, buku polio, kertas HVS, kertas karbon, penggaris, amplop, stepler kecil dan isi, stepler besar dan isi, pemotong/cutter, gunting, lem, lakban, selotip, kotak P3K dan isi, set alat jahit, tali rapia, buku raport siswa, buku rencana pembelajaran, buku absen, buku nilai, karton manila, kapur tulis, penghapus papan tulis, penggaris papan tulis, bahan praktikum IPA (SD s/d SMA), bahan praktikum IPS (SMP dan SMA), bahan praktikum bahasa (SMP dan SMA), bahan praktikum komputer (SD s/d SMA), bahan praktikum ketrampilan (SMP dan SMA) kartu anggota perpustakaan, kartu buku, foto copy, kertas warna, cat poster, spidol<br /><br /> Rapat-rapat<br />Biaya rapat adalah biaya minimal yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan rapat-rapat bagi keperluan sekolah. Rapat-rapat ini meliputi rapat penerimaan siswa baru, rapat evaluasi semester siswa, rapat kenaikan kelas, rapat kelulusan, rapat pemecahan masalah, rapat koordinasi, rapat wali murid.<br /><br /> Transpor/perjalanan dinas<br />Biaya transpor/perjalanan dinas adalah biaya yang dikeluarkan untuk berbagai keperluan dinas baik dalam kota maupun luar kota.<br /><br /> Penilaian<br />Biaya penilaian mencakup berbagai biaya minimal yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan ujian dan evaluasi siswa, yaitu: ulangan umum kelas I s/d III, ujian akhir tertulis, penyusunan soal UAS, penyusunan soal ulangan umum.<br /><br /> Daya dan jasa<br />Biaya daya dan jasa adalah biaya minimal untuk mendukung kegiatan belajar mengajar di sekolah, mencakup biaya listrik, telepon dan air.<br /><br /> Pemeliharaan sarana dan prasarana<br />Biaya pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah adalah biaya minimal untuk mempertahankan kualitas sekolah agar layak digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar yaitu mencakup bahan dan alat kebersihan, pengecatan gedung/pagar, penggantian genteng yang rusak, perbaikan atau penggantian kunci, pemeliharaan meubel, pemeliharaan peralatan.<br /><br /> Pendukung pembinaan siswa<br />Biaya pendukung pembinaan siswa adalah biaya minimal untuk menyelenggarakan kegiatan pembinaan yang mencakup Pramuka, Palang Merah Remaja (PMR), Unit Kesehatan Sekolah (UKS), pembinaan prestasi olah raga, pembinaan prestasi kesenian, cerdas-cermat, perpisahan kelas terakhir, dan pembinaan kegiatan keagamaanM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-84668640623803531962009-12-29T06:40:00.000-08:002010-01-03T08:17:06.263-08:00Standar Kompetensi LulusanStandar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik.<br /><br />Standar Kompetensi Lulusan tersebut meliputi standar kompetensi lulusan minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, standar kompetensi lulusan minimal kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.<br /><br />Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 23 Tahun 2006 menetapkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Lampiran Permen ini meliputi:<br /><br /> * SKL Satuan Pendidikan & Kelompok Mata Pelajaran<br /> * SKL Mata Pelajaran SD-MI<br /> * SKL Mata Pelajaran SMP-MTs<br /> * SKL Mata Pelajaran SMA-MA<br /> * SKL Mata Pelajaran PLB ABDE<br /> * SKL Mata Pelajaran SMK-MAK<br /><br />Pelaksanaan SI-SKL Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2006 menetapkan tentang pelaksanaan standar isi dan standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.<br /><br />Panduan Penyusunan KTSP<br />Buku Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah ini dimaksudkan sebagai pedoman sekolah/madrasah dalam mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, setiap sekolah/madrasah mengembangkan kurikulum berdasarkan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) dan berpedoman kepada panduan yang ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Panduan Penyusunan KTSP terdiri atas dua bagian, yaitu bagian pertama berupa Panduan Umum dan bagian kedua berupa Model KTSP.<br /><br />Satuan Pendidikan yang telah melakukan uji coba kurikulum 2004 secara menyeluruh diperkirakan mampu secara mandiri mengembangkan kurikulumnya berdasarkan SKL, SI dan Panduan Umum. Untuk itu Panduan Umum diterbitkan lebih dahulu agar memungkinkan satuan pendidikan tersebut, dan juga sekolah/madrasah lain yang mempunyai kemampuan, untuk mengembangkan kurikulum mulai tahun ajaran 2006/2007.<br /><br />Bagian kedua Panduan Penyusunan KTSP akan segera menyusul dan diharapkan akan dapat diterbitkan sebelum tahun ajaran baru 2006/2007. Waktu penyiapan yang lebih lama disebabkan karena banyaknya ragam satuan pendidikan dan model kurikulum yang perlu dikembangkan. Selain dari pada itu, model kurikulum diperlukan bagi satuan pendidik yang saat ini belum mampu mengembangkan kurikulum secara mandiri. Bagi satuan pendidikan ini, mempunyai waktu sampai dengan tiga tahun untuk mengembangkan kurikulumnya, yaitu selambat-lambatnya pada tahun ajaran 2009/2010.<br /><br />Perubahan Permen No 24 Tahun 2006<br />Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 6 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.<br /><br />sumber: http://bsnp-indonesia.orgM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-32862729973642233952009-12-29T06:23:00.000-08:002009-12-29T06:31:50.391-08:00Standar Sarana dan Prasarana SekolahPelaksanaan pendidikan nasional harus menjamin pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan di tengah perubahan global agar warga Indonesia menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cerdas, produktif, dan berdaya saing tinggi dalam pergaulan nasional maupun internasional. Untuk menjamin tercapainya tujuan pendidikan tersebut, Pemerintah telah mengamanatkan penyusunan delapan standar nasional pendidikan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimum tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.Pelaksanaan pembelajaran dalam pendidikan nasional berpusat pada peserta didik agar dapat:<br /><br /><br />(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,<br />(b) belajar untuk memahami dan menghayati,<br />(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,<br />(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan<br />(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.<br />Untuk menjamin terwujudnya hal tersebut diperlukan adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana yang memadai tersebut harus memenuhi ketentuan minimum yang ditetapkan dalam standar sarana dan prasarana.Standar sarana dan prasarana ini untuk lingkup pendidikan formal, jenis pendidikan umum, jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu: Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Standar sarana dan prasarana ini mencakup:<br />1. kriteria minimum sarana yang terdiri dari perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, teknologi informasi dan komunikasi, serta perlengkapan lain yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah/madrasah,<br />2. kriteria minimum prasarana yang terdiri dari lahan, bangunan, ruang-ruang, dan instalasi daya dan jasa yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah/madrasah.<br />PENGERTIAN<br />1. Sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah.<br />2. Prasarana adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah.<br />3. Perabot adalah sarana pengisi ruang.<br />4. Peralatan pendidikan adalah sarana yang secara langsung digunakan untuk pembelajaran.<br />5. Media pendidikan adalah peralatan pendidikan yang digunakan untuk membantu komunikasi dalam pembelajaran.<br />6. Buku adalah karya tulis yang diterbitkan sebagai sumber belajar.<br />7. Buku teks pelajaran adalah buku pelajaran yang menjadi pegangan peserta didik dan guru untuk setiap mata pelajaran.<br />8. Buku pengayaan adalah buku untuk memperkaya pengetahuan peserta didik dan guru.<br />9. Buku referensi adalah buku rujukan untuk mencari informasi atau data tertentu.<br />10. Sumber belajar lainnya adalah sumber informasi dalam bentuk selain buku meliputi jurnal, majalah, surat kabar, poster, situs (website), dan compact disk.<br />11. Bahan habis pakai adalah barang yang digunakan dan habis dalam waktu relatif singkat.<br />12. Perlengkapan lain adalah alat mesin kantor dan peralatan tambahan yang digunakan untuk mendukung fungsi sekolah/madrasah.<br />13. Teknologi informasi dan komunikasi adalah satuan perangkat keras dan lunak yang berkaitan dengan akses dan pengelolaan informasi dan komunikasi.<br />14. Lahan adalah bidang permukaan tanah yang di atasnya terdapat prasarana sekolah/madrasah meliputi bangunan, lahan praktik, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan.<br />15. Bangunan adalah gedung yang digunakan untuk menjalankan fungsi sekolah/madrasah.<br />16. Ruang kelas adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktik yang tidak memerlukan peralatan khusus.<br />17. Ruang perpustakaan adalah ruang untuk menyimpan dan memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka.<br />18. Ruang laboratorium adalah ruang untuk pembelajaran secara praktik yang memerlukan peralatan khusus.<br />19. Ruang pimpinan adalah ruang untuk pimpinan melakukan kegiatan pengelolaan sekolah/madrasah.<br />20. Ruang guru adalah ruang untuk guru bekerja di luar kelas, beristirahat, dan menerima tamu. 21. Ruang tata usaha adalah ruang untuk pengelolaan administrasi sekolah/madrasah.<br />22. Ruang konseling adalah ruang untuk peserta didik mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir.<br />23. Ruang UKS adalah ruang untuk menangani peserta didik yang mengalami gangguan kesehatan dini dan ringan di sekolah/madrasah.<br />24. Tempat beribadah adalah tempat warga sekolah/madrasah melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah.<br />25. Ruang organisasi kesiswaan adalah ruang untuk melakukan kegiatan kesekretariatan pengelolaan organisasi peserta didik.<br />26. Jamban adalah ruang untuk buang air besar dan/atau kecil.<br />27. Gudang adalah ruang untuk menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, peralatan sekolah/madrasah yang tidak/belum berfungsi, dan arsip sekolah/madrasah.<br />28. Ruang sirkulasi adalah ruang penghubung antar bagian bangunan sekolah/madrasah.<br />29. Tempat berolahraga adalah ruang terbuka atau tertutup yang dilengkapi dengan sarana untuk melakukan pendidikan jasmani dan olah raga.<br />30. Tempat bermain adalah ruang terbuka atau tertutup untuk peserta didik dapat melakukan kegiatan bebas.<br />31. Rombongan belajar adalah kelompok peserta didik yang terdaftar pada satu satuan kelas.<br />PRASANA SEKOLAH<br />Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:<br />1. ruang kelas,<br />2. ruang perpustakaan,<br />3. laboratorium IPA,<br />4. ruang pimpinan,<br />5. ruang guru,<br />6. tempat beribadah,<br />7. ruang UKS,8. jamban,<br />9. gudang,<br />10. ruang sirkulasi,<br />11. tempat bermain/berolahraga.<br />Sebuah SMP/MTs sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:<br />1. ruang kelas,<br />2. ruang perpustakaan,<br />3. ruang laboratorium IPA,<br />4. ruang pimpinan,<br />5. ruang guru,<br />6. ruang tata usaha,<br />7. tempat beribadah,<br />8. ruang konseling,<br />9. ruang UKS,<br />10. ruang organisasi kesiswaan,<br />11. jamban,<br />12. gudang,<br />13. ruang sirkulasi,<br />14. tempat bermain/berolahraga.<br />Sebuah SMA/MA sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut:<br />1. ruang kelas,<br />2. ruang perpustakaan,<br />3. ruang laboratorium biologi,<br />4. ruang laboratorium fisika,<br />5. ruang laboratorium kimia,<br />6. ruang laboratorium komputer,<br />7. ruang laboratorium bahasa,<br />8. ruang pimpinan,<br />9. ruang guru,<br />10. ruang tata usaha,<br />11. tempat beribadah,<br />12. ruang konseling,<br />13. ruang UKS,<br />14. ruang organisasi kesiswaan,<br />15. jamban,<br />16. gudang,<br />17. ruang sirkulasi,<br />18. tempat bermain/berolahraga<br />Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi<br />Standar sarana dan prasarana pendidikan tinggi bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan tinggi sehingga lulusannya dapat bersaing di era global. Standar ini akan berfungsi sebagai acuan dasar yang bersifat nasional bagi semua pihak yang berkepentingan, dalam tiga hal, yaitu (1) perencanaan dan perancangan sarana dan prasarana; (2) pelaksanaan pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana; dan (3) pengawasan ketersediaan dan kondisi sarana dan prasarana.<br />Standar nasional sarana prasarana ini terdiri atas standar sarana prasarana yang berlaku untuk semua program studi di semua sekolah tinggi, institut dan universitas, serta standar prasarana dan sarana yang khusus untuk bidang-bidang ilmu tertentu.<br />Lahan. Luas lahan minimum adalah 4.900 m2 untuk sekolah tinggi dengan populasi mahasiswa 480 orang, 9.600m2 untuk institut dengan populasi mahasiswa 960 orang, dan 14.800m2 untuk universitas dengan populasi mahasiswa 1.600 orang. Selain itu lahan mesti terhindar dari potensi bahaya yang mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa, serta memiliki akses untuk penyelamatan dalam keadaan darurat.<br />Bangunan. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah 60% dengan mutu kelas A dengan memperhatikan aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, dan kenyamanan serta aksesibilitas. Bangunan terdiri dari ruang manajemen, ruang akademik umum, ruang akademik khusus, dan ruang penunjang.<br />Perpustakaan. Minimum terdapat satu ruang perpustakaan per perguruan tinggi. Luas minimum ruang perpustakaan adalah 200 m2. Ruang perpustakaan memiliki rasio 0.2 m2 per mahasiswa satuan pendidikan tersebut. Koleksi perpustakaan terdiri atas 2 judul per mata kuliah, 1000 judul buku pengayaan, 2 judul jurnal ilmiah per program studi, disertai dengan buku referensi dan sumber belajar lain.<br /><br />sumber: http://inducation.blogspot.com/2008/10/standar-sarana-dan-prasarana-sekolah.htmlM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-84943490632168744972009-12-29T05:49:00.000-08:002009-12-29T06:32:53.258-08:00Standar IsiDalam dokumen ini dibahas standar isi sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, yang secara keseluruhan mencakup:<br />1. kerangka dasar dan struktur kurikulum yang merupakan pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan,<br />2. beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah,<br />3. kurikulum tingkat satuan pendidikan yang akan dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan panduan penyusunan kurikulum sebagai bagian tidak terpisahkan dari standar isi, dan<br />4. kalender pendidikan untuk penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah.<br />Standar Isi dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />KERANGKA DASAR DAN STRUKTUR KURIKULUM</span><br /><span style="font-weight:bold;"><br />A. Kerangka Dasar Kurikulum</span><br /><span style="font-weight:bold;"><br />1. Kelompok Mata Pelajaran</span><br />Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:<br />a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;<br />b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;<br />c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;<br />d. kelompok mata pelajaran estetika;<br />e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.<br />Selain tujuan dan cakupan kelompok mata pelajaran sebagai bagian dari kerangka dasar kurikulum, perlu dikemukakan prinsip pengembangan kurikulum.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">2. Prinsip Pengembangan Kurikulum</span><br />Kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut.<br /><span style="font-weight:bold;">a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya</span><br />Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.<br /><span style="font-weight:bold;">b. Beragam dan terpadu</span><br />Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.<br /><span style="font-weight:bold;">c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni</span><br />Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.<br /><span style="font-weight:bold;">d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan</span><br />Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.<br /><span style="font-weight:bold;">e. Menyeluruh dan berkesinambungan</span><br />Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.<br /><span style="font-weight:bold;">f. Belajar sepanjang hayat</span><br />Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.<br /><span style="font-weight:bold;">g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah</span><br />Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">3. Prinsip Pelaksanaan Kurikulum</span><br />Dalam pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut.<br />a. Pelaksanaan kurikulum didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya. Dalam hal ini peserta didik harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis dan menyenangkan.<br />b. Kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.<br />c. Pelaksanaan kurikulum memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan yang bersifat perbaikan, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisi peserta didik dengan tetap memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.<br />d. Kurikulum dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan contoh dan teladan).<br />e. Kurikulum dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi guru (semua yang terjadi, tergelar dan berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan).<br />f. Kurikulum dilaksanakan dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.<br />g. Kurikulum yang mencakup seluruh komponen kompetensi mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri diselenggarakan dalam keseimbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />B. Struktur Kurikulum Pendidikan Umum</span><br /><br />Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Kedalaman muatan kurikulum pada setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan beban belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi yang dimaksud terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri merupakan bagian integral dari struktur kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.<br /><span style="font-weight:bold;">1. Struktur Kurikulum SD/MI</span><br />Struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama enam tahun mulai Kelas I sampai dengan Kelas VI. Struktur kurikulum SD/MI disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.<br />a. Kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.<br />b. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI merupakan “IPA Terpadu” dan “IPS Terpadu”.<br />c. Pembelajaran pada Kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada Kelas IV s.d. VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran.<br />d. Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.<br />e. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit.<br />f. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu<br /><span style="font-weight:bold;">2. Struktur Kurikulum SMP/MTs</span><br />Struktur kurikulum SMP/MTs meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai Kelas VII sampai dengan Kelas IX. Struktur kurikulum disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran dengan ketentuan sebagai berikut.<br />a. Kurikulum SMP/MTs memuat 10 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.<br />b. Substansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SMP/MTs merupakan “IPA Terpadu” dan “IPS Terpadu”.<br />c. Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.<br />d. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 40 menit.<br />e. Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.<br /><span style="font-weight:bold;">3. Struktur Kurikulum SMA/MA</span><br />Struktur kurikulum SMA/MA meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun mulai Kelas X sampai dengan Kelas XII. Struktur kurikulum disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran.<br />Pengorganisasian kelas-kelas pada SMA/MA dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelas X merupakan program umum yang diikuti oleh seluruh peserta didik, dan kelas XI dan XII merupakan program penjurusan yang terdiri atas empat program: (1) Program Ilmu Pengetahuan Alam, (2) Program Ilmu Pengetahuan Sosial, (3) Program Bahasa, dan (4) Program Keagamaan, khusus untuk MA.<br /><span style="font-weight:bold;">a. Kurikulum SMA/MA Kelas X</span><br />1) Kurikulum SMA/MA Kelas X terdiri atas 16 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri seperti tertera pada Tabel 4.<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.<br />2) Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.<br />3) Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 45 menit.<br />4) Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.<br /><span style="font-weight:bold;">b. Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII</span><br />1) Kurikulum SMA/MA Kelas XI dan XII Program IPA, Program IPS, Program Bahasa, dan Program Keagamaan terdiri atas 13 mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri. Kurikulum tersebut secara berturut-turut disajikan pada Tabel 5, 6, 7, dan 8.<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir peserta didik.<br />2) Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikulum. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan.<br />3) Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 45 menit.<br />4) Minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">C. Struktur Kurikulum Pendidikan Kejuruan</span><br /><br />Pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif dan efisien serta mengembangkan keahlian dan keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan tuntutan pekerjaannya, serta memiliki kemampuan mengembangkan diri. <br />Struktur kurikulum pendidikan kejuruan dalam hal ini Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut. <br />Mata pelajaran wajib terdiri atas Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, IPA, IPS, Seni dan Budaya, Pendidikan Jasmani dan Olahraga, dan Keterampilan/Kejuruan. Mata pelajaran ini bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya dalam spektrum manusia kerja.<br />Mata pelajaran Kejuruan terdiri atas beberapa mata pelajaran yang bertujuan untuk menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan kemampuan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya.<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas, potensi daerah, dan prospek pengembangan daerah termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan sesuai dengan program keahlian yang diselenggarakan.<br />Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.<br />Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pembentukan karier peserta didik. Pengembangan diri bagi peserta didik SMK/MAK terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier.<br />Struktur kurikulum SMK/MAK meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun atau dapat diperpanjang hingga empat tahun mulai kelas X sampai dengan kelas XII atau kelas XIII. Struktur kurikulum SMK/MAK disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">D. Struktur Kurikulum Pendidikan Khusus</span><br /><br />Struktur Kurikulum dikembangkan untuk peserta didik berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berdasarkan standar kompetensi lulusan, standar kompetensi kelompok mata pelajaran, dan standar kompetensi mata pelajaran. Peserta didik berkelainan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, (1) peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, dan (2) peserta didik berkelainan disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata.<br />Kurikulum Pendidikan Khusus terdiri atas delapan sampai dengan 10 mata pelajaran, muatan lokal, program khusus, dan pengembangan diri.<br />Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.<br />Program khusus berisi kegiatan yang bervariasi sesuai degan jenis ketunaannya, yaitu program orientasi dan mobilitas untuk peserta didik tunanetra, bina komunikasi persepsi bunyi dan irama untuk peserta didik tunarungu, bina diri untuk peserta didik tunagrahita, bina gerak untuk peserta didik tunadaksa, dan bina pribadi dan sosial untuk peserta didik tunalaras.<br />Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat, dan minat setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler.<br />Peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, dalam batas-batas tertentu masih dimungkinkan dapat mengikuti kurikulum standar meskipun harus dengan penyesuaian-penyesuaian. Peserta didik berkelainan yang disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, diperlukan kurikulum yang sangat spesifik, sederhana dan bersifat tematik untuk mendorong kemandirian dalam hidup sehari-hari.<br />Peserta didik berkelainan tanpa disertai kemampuan intelektual di bawah rata-rata, yang berkeinginan untuk melanjutkan sampai ke jenjang pendidikan tinggi, semaksimal mungkin didorong untuk dapat mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan umum sejak Sekolah Dasar. Jika peserta didik mengikuti pendidikan pada satuan pendidikan SDLB, setelah lulus, didorong untuk dapat melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama umum. Bagi mereka yang tidak memungkinkan dan/atau tidak berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, setelah menyelesaikan pada jenjang SDLB dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SMPLB, dan SMALB.<br />Untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik yang memerlukan pindah jalur pendidikan antar satuan pendidikan yang setara sesuai dengan ketentuan pasal. 12 ayat (1).e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional<br /><br /><span style="font-weight:bold;">E. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar</span><br /><br />Kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap tingkat dan/atau semester. Standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk setiap mata pelajaran pada setiap tingkat dan semester disajikan pada lampiran-lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional ini yang terdir atas: Lampiran 1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD/MI dan SDLB, Lampiran 2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMP/MTs dan SMPLB, dan Lampiran 3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK.<br /><span style="font-weight:bold;">BEBAN BELAJAR</span><br />Satuan pendidikan pada semua jenis dan jenjang pendidikan menyelenggarakan program pendidikan dengan menggunakan sistem paket atau sistem kredit semester. Kedua sistem tersebut dipilih berdasarkan jenjang dan kategori satuan pendidikan yang bersangkutan.<br />Satuan pendidikan SD/MI/SDLB melaksanakan program pendidikan dengan menggunakan sistem paket. Satuan pendidikan SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK kategori standar menggunakan sistem paket atau dapat menggunakan sistem kredit semester. Satuan pendidikan SMA/MA/SMALB dan SMK/MAK kategori mandiri menggunakan sistem kredit semester.<br />Beban belajar yang diatur pada ketentuan ini adalah beban belajar sistem paket pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sistem Paket adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya diwajibkan mengikuti seluruh program pembelajaran dan beban belajar yang sudah ditetapkan untuk setiap kelas sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada Sistem Paket dinyatakan dalam satuan jam pembelajaran.<br />Beban belajar dirumuskan dalam bentuk satuan waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Semua itu dimaksudkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan dengan memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik.<br />Kegiatan tatap muka adalah kegiatan pembelajaran yang berupa proses interaksi antara peserta didik dengan pendidik. Beban belajar kegiatan tatap muka per jam pembelajaran pada masing-masing satuan pendidikan ditetapkan sebagai berikut:<br />a. SD/MI/SDLB berlangsung selama 35 menit;<br />b. SMP/MTs/SMPLB berlangsung selama 40 menit;<br />c. SMA/MA/SMALB/ SMK/MAK berlangsung selama 45 menit.<br />Beban belajar kegiatan tatap muka per minggu pada setiap satuan pendidikan adalah sebagai berikut:<br />a. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk SD/MI/SDLB:<br />1) Kelas I s.d. III adalah 29 s.d. 32 jam pembelajaran;<br />2) Kelas IV s.d. VI adalah 34 jam pembelajaran.<br />b. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk SMP/MTs/SMPLB adalah 34 jam pembelajaran.<br />c. Jumlah jam pembelajaran tatap muka per minggu untuk SMA/MA/SMALB/ SMK/MAK adalah 38 s.d. 39 jam pembelajaran.<br />Penugasan terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi. Waktu penyelesaian penugasan terstruktur ditentukan oleh pendidik.<br />Kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran yang berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi. Waktu penyelesaiannya diatur sendiri oleh peserta didik.<br />Beban belajar penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur terdiri dari:<br />1. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada SD/MI/SDLB maksimum 40% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.<br />2. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada SMP/MTs/SMPLB maksimum 50% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.<br />3. Waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur bagi peserta didik pada SMA/MA/SMALB/SMK/MAK maksimum 60% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari mata pelajaran yang bersangkutan.<br />Penyelesaian program pendidikan dengan menggunakan sistem paket adalah enam tahun untuk SD/MI/SDLB, tiga tahun untuk SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA/SMALB, dan tiga sampai dengan empat tahun untuk SMK/MAK. Program percepatan dapat diselenggarakan untuk mengakomodasi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.<br />Sistem kredit semester adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Beban belajar setiap mata pelajaran pada sistem kredit semester dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks). Beban belajar satu sks meliputi satu jam pembelajaran tatap muka, satu jam penugasan terstruktur, dan satu jam kegiatan mandiri tidak terstruktur. Panduan tentang sistem kredit semester diuraikan secara khusus dalam dokumen tersendiri.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">KALENDER PENDIDIKAN</span><br /><br />Kurikulum satuan pendidikan pada setiap jenis dan jenjang diselenggarakan dengan mengikuti kalender pendidikan pada setiap tahun ajaran. Kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran peserta didik selama satu tahun ajaran yang mencakup permulaan tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif dan hari libur.<br /><span style="font-weight:bold;">A. Alokasi Waktu</span><br />Permulaan tahun pelajaran adalah waktu dimulainya kegiatan pembelajaran pada awal tahun pelajaran pada setiap satuan pendidikan.<br />Minggu efektif belajar adalah jumlah minggu kegiatan pembelajaran untuk setiap tahun pelajaran pada setiap satuan pendidikan.<br />Waktu pembelajaran efektif adalah jumlah jam pembelajaran setiap minggu, meliputi jumlah jam pembelajaran untuk seluruh matapelajaran termasuk muatan lokal, ditambah jumlah jam untuk kegiatan pengembangan diri.<br />Waktu libur adalah waktu yang ditetapkan untuk tidak diadakan kegiatan pembelajaran terjadwal pada satuan pendidikan yang dimaksud. Waktu libur dapat berbentuk jeda tengah semester, jeda antar semester, libur akhir tahun pelajaran, hari libur keagamaan, hari libur umum termasuk hari-hari besar nasional, dan hari libur khusus.<br /><span style="font-weight:bold;">B. Penetapan Kalender Pendidikan</span><br />1. Permulaan tahun pelajaran adalah bulan Juli setiap tahun dan berakhir pada bulan Juni tahun berikutnya.<br />2. Hari libur sekolah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional, dan/atau Menteri Agama dalam hal yang terkait dengan hari raya keagamaan, Kepala Daerah tingkat Kabupaten/Kota, dan/atau organisasi penyelenggara pendidikan dapat menetapkan hari libur khusus.<br />3. Pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dapat menetapkan hari libur serentak untuk satuan-satuan pendidikan.<br />4. Kalender pendidikan untuk setiap satuan pendidikan disusun oleh masing-masing satuan pendidikan berdasarkan alokasi waktu sebagaimana tersebut pada dokumen Standar Isi ini dengan memperhatikan ketentuan dari pemerintah/pemerintah daerah.<br /><br />sumber: http://bsnp-indonesia.orgM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-58735233387848035392009-12-29T04:59:00.000-08:002009-12-29T06:34:00.467-08:00Standar Proses Pendidikan.Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan.<br /><br />Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.<br /><br />Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Proses Pendidikan. <br /> * Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.<br /> * Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 3 Tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />PERENCANAAN PROSES PEMBELAJARAN<br /></span><br />Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompe¬tensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. <br />A. Silabus <br />Silabus sebagai acuan pengembangan RPP memuat identitas mata pelajaran atau tema pelajaran, SK, KD, ma¬teri pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pen¬capaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sum¬ber belajar. Silabus dikembangkan oleh satuan pendidikan berdasarkan Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lu¬lusan (SKL), serta panduan penyusunan Kurikulum Ting¬kat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam pelaksanaannya, pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah/madrasah atau beberapa sekolah, kelompok Musyawarah <br />Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Pusat Kegiatan Guru (PKG), dan Dinas Pendidikan. Pengembangan silabus disusun di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang ber¬tanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD dan SMP, dan dinas provinsi yang bertanggung jawab di bidang pen¬didikan untuk SMA dan SMK, serta departemen yang me¬nangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran</span> <br /><br />RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. Setiap guru pada satuan pendidikan berkewajiban menyu¬sun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. <br />RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan. <br />Komponen RPP adalah : <br />1. Identitas mata pelajaran <br />Identitas mata pelajaran, meliputi: satuan pendidikan, kelas, semester, program/program keahlian, mata pelajaran atau tema pelajaran, jumlah pertemuan. <br />2. Standar kompetensi <br />Standar kompetensi merupakan kualifikasi kemam¬puan minimal peserta didik yang menggambarkan<br />penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan dicapai pada setiap kelas dan/atau semester pada suatu mata pelajaran.<br />3. Kompetensi dasar <br />Kompetensi dasar adalah sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam mata pelajaran ter¬tentu sebagai rujukan penyusunan indikator kompe¬tensi dalam suatu pelajaran.<br />4. Indikator pencapaian kompetensi <br />Indikator kompetensi adalah perilaku yang dapat diukur dan/atau diobservasi untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan penilaian mata pelajaran. Indikator pencapaian kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja opera¬sional yang dapat diamati dan diukur, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan. <br />5. Tujuan pembelajaran <br />Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan kompetensi dasar. <br />6. Materi ajar <br />Materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indikator pencapaian kompe¬tensi.<br />7. Alokasi waktu <br />Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan un¬tuk pencapaian KD dan beban belajar.<br />8. Metode pembelajaran <br />Metode pembelajaran digunakan oleh guru untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mencapai kompetensi dasar atau seperangkat indikator yang telah ditetapkan. Pemilihan metode pembelajaran disesuaikan dengan situ¬asi dan kondisi peserta didik, serta karakteristik dari setiap indikator dan kompetensi yang hendak dicapai pada setiap mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran tematik digunakan untuk peserta didik kelas 1 sampai kelas 3 SD/MI.<br />9. Kegiatan pembelajaran<br />a. Pendahuluan <br />Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan un¬tuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. <br />b. Inti <br />Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran di¬lakukan secara interaktif, inspiratif, menyenang¬kan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. <br />c. Penutup <br />Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan un¬tuk mengakhiri aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut. <br />10. Penilaian hasil belajar <br />Prosedur dan instrumen penilaian proses dan hasil belajar disesuaikan dengan indikator pencapaian kom¬petensi dan mengacu kepada Standar Penilaian. <br />11. Sumber belajar <br />Penentuan sumber belajar didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta materi ajar, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kom¬petensi. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">C. Prinsip-prinsip Penyusunan RPP</span><br /><br />1. Memperhatikan perbedaan individu peserta didik <br />RPP disusun dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin, kemampuan awal, tingkat intelektual, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai, dan/atau lingkungan peserta didik.<br />2. Mendorong partisipasi aktif peserta didik <br />Proses pembelajaran dirancang dengan berpusat pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, krea¬tivitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar. <br />3. Mengembangkan budaya membaca dan menulis <br />Proses pembelajaran dirancang untuk mengembang¬kan kegemaran membaca, pemahaman beragam bacaan, dan berekspresi dalam berbagai bentuk tulisan.<br />4. Memberikan umpan balik dan tindak lanjut <br />RPP memuat rancangan program pemberian umpan balik positif, penguatan, pengayaan, dan remedi.<br />5. Keterkaitan dan keterpaduan <br />RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompeten¬si, penilaian, dan sumber belajar dalam satu keutuhan pengalaman belajar. RPP disusun dengan mengako¬modasikan pembelajaran tematik, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya. <br />6. Menerapkan teknologi informasi dan komunikasi <br />RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi informasi dan komunikasi secara terintegra¬si, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">A. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran</span><br /><br />1. Rombongan belajar <br />Jumlah maksimal peserta didik setiap rombongan be¬lajar adalah:<br />a. SD/MI : 28 peserta didik<br />b. SMP/MT : 32 peserta didik<br />c. SMA/MA : 32 peserta didik<br />d. SMK/MAK : 32 peserta didik<br />2. Beban kerja minimal guru <br />a. beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pem¬belajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksana¬kan tugas tambahan;<br />b. beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada huruf a di atas adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dalam 1 (satu) ming¬gu.<br />2. Buku teks pelajaran<br />a. buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh sekolah/madrasah dipilih melalui rapat guru dengan pertimbangan komite sekolah/madrasah dari buku-buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Menteri;<br />b. rasio buku teks pelajaran untuk peserta didik adalah 1 : 1 per mata pelajaran;<br />c. selain buku teks pelajaran, guru menggunakan buku panduan guru, buku pengayaan, buku referensi dan sumber belajar lainnya;<br />d. guru membiasakan peserta didik menggunakan buku-buku dan sumber belajar lain yang ada di perpustakaan sekolah/madrasah.<br />3. Pengelolaan kelas<br />a. guru mengatur tempat duduk sesuai dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, serta aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan;<br />b. volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan baik oleh peserta didik;<br />c. tutur kata guru santun dan dapat dimengerti oleh peserta didik;<br />d. guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kece¬patan dan kemampuan belajar peserta didik;<br />e. guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan kepatuhan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran;<br />f. guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar peserta didik se¬lama proses pembelajaran berlangsung;<br />g. guru menghargai peserta didik tanpa memandang latar belakang agama, suku, jenis kelamin, dan status sosial ekonomi;<br />h. guru menghargai pendapat peserta didik;<br />i. guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi; <br />j. pada tiap awal semester, guru menyampaikan silabus mata pelajaran yang diampunya; dan<br />k. guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang dijadwalkan.<br />B. Pelaksanaan Pembelajaran <br />Pelaksanaan pembelajaran merupakan implementasi dari RPP. Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.<br />1. Kegiatan Pendahuluan <br />Dalam kegiatan pendahuluan, guru:<br />a. menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran;<br />b. mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; <br />c. menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang akan dicapai;<br />d. menyampaikan cakupan materi dan penjelasan<br />uraian kegiatan sesuai silabus.<br />2. Kegiatan Inti <br />Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativi¬tas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. <br />Kegiatan inti menggunakan metode yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pela¬jaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. <br />a. Eksplorasi <br />Dalam kegiatan eksplorasi, guru:<br />1) melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prin¬sip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka sumber;<br />2) menggunakan beragam pendekatan pembela¬jaran, media pembelajaran, dan sumber belajar lain;<br />3) memfasilitasi terjadinya interaksi antarpeserta didik serta antara peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya;<br />4) melibatkan peserta didik secara aktif dalam se¬tiap kegiatan pembelajaran; dan<br />5) memfasilitasi peserta didik melakukan per¬cobaan di laboratorium, studio, atau lapangan.<br />b. Elaborasi <br />Dalam kegiatan elaborasi, guru:<br />1) membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentuyang bermakna;<br />2) memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi, dan lain-lain untuk memuncul¬kan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis;<br />3) memberi kesempatan untuk berpikir, menga¬nalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut;<br />4) memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif;<br />5) memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar;<br />6) memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis, secara individual maupun kelompok;<br />7) memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok;<br />8) memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan;<br />9) memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa per¬caya diri peserta didik.<br />c. Konfirmasi <br />Dalam kegiatan konfirmasi, guru:<br />1) memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik,<br />2) memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplo¬rasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber,<br />3) memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan,<br />4) memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:<br />a) berfungsi sebagai narasumber dan fasilita¬tor dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan be¬nar;<br />b) membantu menyelesaikan masalah;<br />c) memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi;<br />d) memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh;<br />e) memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif. <br />3. Kegiatan Penutup <br />Dalam kegiatan penutup, guru:<br />a. bersama-sama dengan peserta didik dan/atau sendiri membuat rangkuman/simpulan pelajaran;<br />b. melakukan penilaian dan/atau refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilaksanakan secara konsisten dan terprogram;<br />c. memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran;<br />d. merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tu¬gas individual maupun kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik;<br />e. menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">IV. PENILAIAN HASIL PEMBELAJARAN</span><br /><br />Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kema¬juan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran.<br />Penilaian dilakukan secara konsisten, sistematik, dan ter¬program dengan menggunakan tes dan nontes dalam ben¬tuk tertulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, portofolio, dan penilaian diri. Penilaian hasil pembelajaran menggunakan Standar Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok Mata Pelajaran.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">V. PENGAWASAN PROSES PEMBELAJARAN</span><br /><br /><span style="font-weight:bold;">A. Pemantauan</span><br />1. Pemantauan proses pembelajaran dilakukan pada ta¬hap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pembelajaran.<br />2. Pemantauan dilakukan dengan cara diskusi kelompok terfokus, pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, dan dokumentasi.<br />3. Kegiatan pemantauan dilaksanakan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. Supervisi</span><br />1. Supervisi proses pembelajaran dilakukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pem¬belajaran. <br />2. Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan cara pemberian contoh, diskusi, pelatihan, dan konsultasi. <br />3. Kegiatan supervisi dilakukan oleh kepala dan pengawas satuan pendidikan. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">C. Evaluasi</span><br />1. Evaluasi proses pembelajaran dilakukan untuk me¬nentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup tahap perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran. <br />2. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara: <br />a. membandingkan proses pembelajaran yang dilak¬sanakan guru dengan standar proses, <br />b. mengidentifikasi kinerja guru dalam proses pem¬belajaran sesuai dengan kompetensi guru.<br />3. Evaluasi proses pembelajaran memusatkan pada keseluruhan kinerja guru dalam proses pembelajaran.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">D. Pelaporan </span><br />Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasiproses pembelajaran dilaporkan kepada pemangku kepentingan. <br /><br /><span style="font-weight:bold;">E. Tindak lanjut</span><br />1. Penguatan dan penghargaan diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar.<br />2. Teguran yang bersifat mendidik diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar.<br />3. Guru diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan/pe¬nataran lebih lanjut.<br /><br />sumber: http://bsnp-indonesia.orgM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-42754675354717911532009-12-28T09:48:00.000-08:002009-12-28T09:54:24.342-08:00ARTI SUPERVISI PENDIDIKANoleh: Drs. N. A. AMETEMBUN<br /><br /><span style="font-weight:bold;">ARTI SUPERVISI PENDIDIKAN:</span><br /><br />■ Arti morfologis<br /><br />Supervision (inggris) :<br /><br />Super : atas, vision : visi<br /><br />Jadi supervise artinya : lihat dari atas<br /><br />■ Arti semantik<br /><br />Supervisi pendidikan adalah pembinaan yang berupa bimbingan atau tuntunan ke arah perbaikan situasi pendidikan pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar dan belajar pada khususnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">INSPEKSI DAN SUPERVISI</span><br /><br />Inspeksi : inspectie (belanda) yang artinya memeriksa<br /><br />Orang yang menginsipeksi disebut inspektur<br /><br />Inspektur dalam hal ini mengadakan :<br /><br />→ Controlling : memeriksa apakah semuanya dijalankan sebagaimana mestinya<br /><br />→ Correcting : memeriksa apakah semuanya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan/digariskan<br /><br />→ Judging : mengandili dalam arti memberikan penilaian atau keputusan sepihak<br /><br />→ Directing : pengarahan, menentukan ketetapan/garis<br /><br />→ Demonstration : memperlihatkan bagaimana mengajar yang baik<br /><br />Orang yang melakukan supervise disebut supervisor. Dibidang pendidikan disebut supervisor pendidikan.<br /><br />Supervisi bercirikan :<br /><br />v Research :meneliti situasi sebenarnya disekolah<br /><br />v Evalution : penilaian<br /><br />v Improvement :mengadakan perbaikan<br /><br />v Assiatance :memberikan bantuan dan bimbingan<br /><br />v Cooperation :kerjasama antara supervisor dan supervised ke arah perbaikan situasi<br /><br />Kepengawasan pendidikan di Indonesia dewasa ini mengalami masa transisi dari inspeksi kea rah supervise yang dicita-citakan. Yang disebut supervisor pendidikan bukan hanya para pejabat/petugas dari kantor pembinaan, kepala sekolah, guru-guru dan bahkan murid pun dapat disebut sebagai supervisor, bila misalnya diserahi tugas untuk mengetuai kelas atau kelompoknya.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />PRINSIP-PRINSIP SUPERVISI PENDIDIKAN</span><br /><br />1. Prinsip-prinsip fundamental<br /><br />Pancasila merupakan dasar atau prinsip fundamental bagi setiap supervisor pendidikan Indonesia. Bahwa seorang supervisor haruslah seorang pancasilais sejati.<br /><br />2. Prinsip-prinsip praktis<br /><br />a. Negatif<br /><br />Þ Tidak otoriter<br /><br />Þ Tidak berasas kekuasaan<br /><br />Þ Tidak lepas dari tujuan pendidikan<br /><br />Þ Bukan mencari kesalahan<br /><br />Þ Tidak boleh terlalu cepat mengharapkan hasil<br /><br />b. Positif<br /><br />Þ Konstruktif dan kreatif<br /><br />Þ Sumber secara kolektif bukan supervisor sendiri<br /><br />Þ Propessional<br /><br />Þ Sanggup mengembangkan potensi guru dkk<br /><br />Þ Memperhatikan kesejahteraanguru dkk<br /><br />Þ Progresif<br /><br />Þ Memperhitungkan kesanggupan supervised<br /><br />Þ Sederhana dan informal<br /><br />Þ Obyektif dan sanggup mengevaluasi diri sendiri<br /><br /><span style="font-weight:bold;">TUJUAN SUPERVISI PENDIDIKAN</span><br /><br />1. Tujuan umum<br /><br />Þ Membina orang-orang yang disupervisi menjadi manusia dewasa yang sanggup berdiri sendiri.<br /><br />Þ Membina orang-orang yang disupervisi menjadi manusia pembangunan dewasa yang berpancasila.<br /><br />Þ Perbaikan situasi pendidikan dan pengajaran pada umumnya dan peningkatan mutu mengajar dan belajar pada khususnya.<br /><br />2. Tujuan khusus<br /><br />Þ Membantu guru-guru lebih memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya<br /><br />Þ Membantu guru-guru untuk dapat lebih memahami dan menolong murid<br /><br />Þ Memperbesar kesnggupan guru mendidik murid untuk terjun ke msyarakat<br /><br />Þ Memperbesar kesadaran guru terhadap kerja yang demokratis dan kooperatif<br /><br />Þ Membesar ambisi guru untuk berkembang<br /><br />Þ Membantu guru-guru untuk memanfaatkan pengalaman yang dimiliki<br /><br />Þ Memperkenalkan karyawan baru kepada sekolah<br /><br />Þ Melindungi guru daru tuntutan tak wajar dari masyarakat<br /><br />Þ Mngembangkan professional guru<br /><br /><span style="font-weight:bold;">FUNGSI SUPERVISI PENDIDIKAN</span><br /><br />1. Penelitian (research) → untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang suatu situasi pendidikan<br /><br />Þ Perumusan topik<br /><br />Þ Pengumpulan data<br /><br />Þ Pengolahan data<br /><br />Þ Konlusi hasil penelitian<br /><br />2. Penilaian (evaluation) → lebih menekankan pada aspek daripada negative<br /><br />3. Perbaikan (improvement) → dapat mengatahui bagaimana situasi pendidikan/pengajaran pada umumnya dan situasi belajar mengajarnya.<br /><br />4. Pembinaan → berupa bimbingan (guidance) kea rah pembinaan diri yang disupervisi<br /><span style="font-weight:bold;"><br />KETERAMPILAN-KETERAPILAN SUPERVISOR PENDIDIKAN</span><br /><br />1. Keterampilan dalam kepemimpinan (leadership)<br /><br />Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan yang dipimpin<br /><br />Þ Working on : wibawa (power on)<br /><br />Þ Working for : pembantu bagi orang yang disupervisi<br /><br />Þ Working mithin : bersama-sama<br /><br />2. Keterampilan dalam proses kelompok<br /><br />Supervisor harus terampil :<br /><br />Þ Membangkitkan semangat kerjasama<br /><br />Þ Merumuskan tujuan<br /><br />Þ Merencanakan bersama<br /><br />Þ Mengambil keputusan bersama<br /><br />Þ Menciptakan tanggung jawab bersama<br /><br />Þ Menilai dan merivisi bersama<br /><br />3. Keterampilan dalam hubungan insani (human relation)<br /><br />Supervisor tidak semata-mata berurusan dengan aspek meteril tetapi berhadapan dengan manusia-manusia yang berbeda perilaku.<br /><br />v Hubungan pribadi : pribadi orang yang bersangkutan<br /><br />v Hubungan fungsionil : fungsi yang dijalankan seseorang<br /><br />v Hubungan instrumental : didasarkan atas pandangan memperalat bawahan<br /><br />v Hubungan konsensionil : didsarkan atas kebiasaan atau kelaziman yang berlaku.<br /><br />4. Keterampilan dalam administrasi personal<br /><br />Supervisor harus terampil :<br /><br />v Menyeleksi anggota/karyawan baru<br /><br />v Mengorientasi anggota/karyawan baru<br /><br />v Menempatkan dan menugaskan sesuai kecakapan<br /><br />v Membina<br /><br />5. Keterampilan dalam evaluasi (evaluation)<br /><br />v Merumuskan tujuan dan norma-norma<br /><br />v Mengumpukan fakta-fakta perubahan<br /><br />v Menterapkan criteria dan menyusun pertimbangan<br /><br />v Merevisi rencana yang disusun<br /><br /><span style="font-weight:bold;">TIPE-TIPE SUPERVISOR PENDIDIKAN<br /></span><br />1. Otokratis : supervisor penentu segalanya<br /><br />2. Demokratis : mementingkan musyawarah mufakat dan bekerjasama atau gontong royong secara kekeluargaan.<br /><br />3. manipulasi diplomatis : mengarahkan orang yang disupervisi untuk melaksanakan apa yang dikehendaki supervisor dengan cara musulihat<br /><br />4. laissez-faire : memberikan kebebasan dan keleluasan kepada orang yang disupervisi untuk melakukan apa yang dianggap mereka baik.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">JENIS-JENIS SUPERVISI PENDIDIKAN BERDASARKAN PROSESNYA<br /></span><br />1. Koraktif : lebih mencari kesalahan<br /><br />2. Preventif : mencegah hal-hal yang tidak diinginkan<br /><br />3. Konstruktif : membangun (dapat memperbiki jika terjadi kesalahan)<br /><br />4. Kreatif : menekankan inisiatif dan kebebasan berfikir<br /><br /><span style="font-weight:bold;">TEKHNIK SUPEERVISI PENDIDIKAN</span><br /><br />1. Tekhnik kelompok : cara pelaksanaan supervise terhadap sekelompok orang yang disupervisi<br /><br />2. Tekhnik perorangan : dilakukan terhadap individu yang memiliki masalah khusus.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">METODE SUPERVISI</span><br /><br />1. Metode langsung : alat yang digunakan mengenai sasaran supervise<br /><br />2. Metode tak langsung : mempergunakan berbagai alat perantara (media)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">TEKHNIK DAN METODE YANG LAIN<br /></span><br />1. Kunjungan sekolah (school visit)<br /><br />Akan memberikan pengatahuan yang lengkap tentang situasi sekolah sehingga program akan lebih efektif.<br /><br />2. Kunjungan kelas (class visit)<br /><br />Merupakan suatu metode supervise yang “to the point” kena sasaran<br /><br />3. Pertemuan individual<br /><br />Setelah suatu kunjungan berakhir, hendaklah diadakan pembicaraan langsung dan pribadi tentang hasil kunjungan dengan orang yang dikunjungi.<br /><br />4. Rapat sekolah<br /><br />Untuk membicarakan kepentingan murid dan sekolah dan hal-hal yang berhubungan dengan sekolah<br /><br />5. Pendidikan ini service<br /><br />Untuk kepentingan mutu mrngajar dan belajar, maka guru perlu mengembangkan pengetahuan sesuai dengan profesinya dengan berbagai cara. Misalnya : study individual, study grops, menghadiri ceramah, mengadakan intervisitasi dsb.<br /><br />6. Workshop (musyawarah kerja_muker)<br /><br />Untuk mengembangkan professional karyawan (in-service)<br /><br />7. Intervisitas<br /><br />Saling kunjung-memgunjungi sesama guru untuk mengobservasi situasi belajar masing-masing<br /><br />8. Demonstrasi mengajar<br /><br />Metode ini dapat dilakukan oleh supervisor sendiri atau oleh guru yang ahli untuk memperkenalkan metode mengajar yang efektif.<br /><br />9. Bulletin supervisi<br /><br />Bulletin berkala dapat dimanfaatkan untuk perbaikan program pendidikan dan penngajaran, bisa mingguan atau bulanan.<br /><br />10. Bulletin bord<br /><br />- pengumuman administrative<br /><br />- pengunguman supervise<br /><br />- pengunguman untuk murid<br /><br />- dsb<br /><br />11. Kunjungan rumah<br /><br />Tujuannya untuk mempelajari bagaimana situasi hidup orang yang disupervisi di rumah terutama meneliti masalah-masalah yang secara langsung atau tak langsung mempengaruhi tugas/kewajiban orang yang disupervisi itu<br /><br /><span style="font-weight:bold;">PROGRAM SUPERVISI PEDIDIKAN</span><br /><br />Suatu program supervisi pendidikan adalah rangka program perbsikan pendidikan dan pengajaran.<br /><br />1. perancanaan<br /><br />Perancaan adalah pemikiran dan perumusan tentang apa, bagaimana, mengapa, siapa, kapan dan dimana.<br /><br />a. prinsip-prinsip : kooperatif, kreatif, komprehensif, flexible, kontinu<br /><br />b. Syarat-syarat :<br /><br />Þ tilikan jelas tentang tujuan pendidikan<br /><br />Þ pengetahuan tentang mengajar yang baik<br /><br />Þ pengetahuan tentang pengalaman belajar murid<br /><br />Þ pengetahuan tentang guru-guru<br /><br />Þ pengetahuan tentang murid-murid<br /><br />Þ pengaetahuan tentang masyarakat<br /><br />Þ pengetahuan tentang sumber-sumber fisik<br /><br />Þ factor biaya<br /><br />Þ factor waktu<br /><br />c. proses : merumuskan what, why, how, who, when, where<br /><br />2. organisasi program<br /><br />a. pola-pola :<br /><br />→ horizontal<br /><br />→ vertical<br /><br />b. langkah-langkah mengorganisir program :<br /><br />Þ persiapakan suasana<br /><br />Þ pertimbangan situasi<br /><br />Þ penyusunan program<br /><br />Þ pembagian tanggung jawab<br /><br />Þ perwujudan program<br /><br /><br />Þ pembinaan perkembangan program<br /><br />Þ integrasikan program dengan masyarakat<br /><br />Þ persiapan program evaluasi<br /><br />3. evaluasi<br /><br />Evaluasi dalam hubungannya dengan pendidikan adalah menentukan sampai dimana tujuan-tujuan pendidikan yang ditetapkan telah tercapai.<br /><br />a. prinsip-prinsip<br /><br />Þ rencana harus komprehensif<br /><br />Þ penyusunan harus kooperatif<br /><br />Þ program harus kontinu dan berinteraksi dengan kurikulum<br /><br />Þ lebih menggunakan data yang objektif daripada yang subyektif<br /><br />Þ menghargai para participant<br /><br />b. proses<br /><br />Þ merumuskan tujuan evaluasi<br /><br />Þ menyeleksi alat-alat evaluasi<br /><br />Þ menyusun alat-alat evaluasi<br /><br />Þ menerapkan alat-alat evaluasi<br /><br />Þ mengelola hasil<br /><br />Þ menyimpulkan<br /><br />c. aspek-aspek yang dievaluasi :<br /><br />Þ peronil → murid, guru, karyawan, wali murid, kepsek, supervise<br /><br />Þ materiil → kurikulum, perlengkapan sekolah, administrasi, perlengkapan murid<br /><br />Þ operational → proses kepemimpinan, proses mengajar, usaha kesejahtraan personil, usaha integrasi sekolah dan masyarakat<br /><br />4. alat-alat :<br /><br />a. Objektif :<br /><br />Þ ujian karangan (essay examination)<br /><br />Þ ujian objektif<br /><br />b. lebih ke subjektif<br /><br />Þ observasi<br /><br />Þ wawancara<br /><br />Þ angket<br /><br />Þ checklist dan rating-scale<br /><br />Þ laporan pribadi dan tekhnik projektif<br /><br />Þ catatan-catatan anekdot<br /><br />Þ catatan-catatan komulatif<br /><br />Þ case study<br /><br />Þ sosiometri<br /><br />Þ laporan stenografis<br /><br />Þ buku-buku catatan<br /><br />Þ kotak saran<br /><br />Þ rapat-rapat supervise<br /><br /><span style="font-weight:bold;">ETIKA JABATAN SUPERVISOR PENDIDIKAN</span><br /><br />Etika suatu jabatan (professional ethics) yang dirumuskan dalam kode etika jabatan (profesi) tersebut memuat nilai-nilai atau norma yang merupakan pedoman bagi sikap dan tingka laku para pejabat yang berkeahlian dibidang yang bersangkutan.<br /><br />Prinsip-prinsip :<br /><br />→ cinta kasih sebagai prinsip pokok setiap etika jabatan (lebih universalistic sifatnya).<br /><br />→ pancasila dapat merupakan pula prinsip pokok yang bersifat nasionalistik yang hendak menjiwai setiap etika jabatan bangsa Indonesia.<br /><br />Code etika supervise pendidikan :<br /><br />1. Hubungan dengan orang yang disupervisi : guru dan murid<br /><br />→ supervisor hendaklah jujur dan adil<br /><br />→ supervisor hendaklah membina perkembangan potensialitas<br /><br />→ supervisor hendaklah memberi kesempatan dan bantuan<br /><br />2. Hubungan dengan orang tua dan masyarakat<br /><br />→ supervisor hendaklah memelihara hubungan kerjasama yang baik<br /><br />→ supervisor hendaklah mengindahkan moral dan adapt istiadat dalam masyarakat<br /><br />3. Hubungan dengan rekan seprofesi<br /><br />→ supervisor hendakalah memelihara dan mengembangkan rasa solidaritas<br /><br />→ supervisor hendaklah jujur dan toleran<br /><br />4. Hubungan dengan profesi supervise pendidikan<br /><br />→ supervisor hendaklah selalu bersikap dan bertindak professional<br /><br />→ supervisor hendaklah berusaha mewujudkan dan mengembangkan karya supervisi<br /><br />5. Hubungan dengan tuhan<br /><br />→ supervisor mempasrahkan diri kepada Tuhan YME<br /><br />→ setia melakukan kewjiban-kewjibannya terhadap Tuhan YME<br /><br /><span style="font-weight:bold;">MASALAH-MASALH YANG DIHADAPI SUPERVISI PENDIDIKAN</span><br /><br />a. Perbedaan konsep inspeksi dan supervise pendidikan<br /><br />1. pebedaan fungsi<br /><br />→ inspeksi merupakan suatu jabatan (position) dalam suatu jawatan<br /><br />→ supervise merupakan suatu fungsi (funcition) untuk membina perbaikan suatu situasi<br /><br />2. perbedaan prinsip<br /><br />→ inspeksi dilaksanakan berdasarkan prinsip otokrasi/inspector, atau pengawas<br /><br />→ supersvisi dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi yang dijiwai oleh fasafah pancasila<br /><br />b. Pebedaan interpretasi terminologis<br /><br />c. Pebedaan aktualisasi fungsi sebagai administrator dan supervisor pendidikan<br /><br />→ administrator berfungsi mengatur agar segala sesuatu berjalan dengan baik<br /><br />→ supervisor berfungsi membina agar sesuatu itu berjalan secara lebih baik dan lebih lancar lagi (meningkatkan mutu) dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan<br /><br />d. Perbedaan konsepsional tentang kepemimpinan dan kekuasaan<br /><br />→ kekuatan (mendapat yang diberikan tidak disertai wewenang bertindak, sehingga bukan hanya sulit, ia juga tidak tau apa yang menjadi wewenangnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">MASALAH-MASALAH YANG DIHADAPI SUPERVISOR</span><br /><br />1. Masalah dan proporsinya<br /><br />Þ kadang-kadang sesuatu hal tidak dianggap suatu problem, karena hanya merupakan sebab timbulnya suatu problem<br /><br />2. Masalah praktis<br /><br />Þ masalah-maslah kepemimpinan (leadership)<br /><br />Þ masalah-masalah proses kelompok (group proses)<br /><br />Þ masalah-masalah hubungan insani (human relation)<br /><br />Þ masalah-masalah administrasi personal (personnel administration)<br /><br />Þ masalah-masalah penilaian (evaluation)<br /><br /><br /><span style="font-weight:bold;">RESPONSI TERHADAP MASALAH-MASALAH SUPERVISI</span><br /><br />1. Berpedomankan prinsip<br /><br />Yaitu prinsip pendidikan dan prinsip-prinsip supervise pendidikan, baik yang fundamental maupun yang praktis.<br /><br />2. Bekerja sistematis<br /><br />Þ mengumpulkan data yang merupakan masalah<br /><br />Þ mengumpulkan sebab<br /><br />Þ memilih dan mengklasifikasikan sebab-sebab yang kiranya dapat dianggap berlaku pada persoalan itu<br /><br />Þ mampertimbangkan dan membandingkan sebab<br /><br />Þ manyimpulkan dan meninjau segala kemungkinan yang dapat meniadakan sebab timbulnya masalah<br /><br />Þ menyusun tahap-tahap penyelesaian data<br /><br />3. Berkepribadian<br /><br />Kepribadian yang telah terintegrasi yan sanggup mengambil keputusan dengan penuh rasa tanggung jawab, akan lebih memudahkan dan mengefektifkan pemecahan-pemecahan masalah hidup.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Made pidarta<br /><br />DEFINISI SUPERVISI</span><br /><br />Menurut keputusan mentri pendidikan dan kebudayaan nomor 0134/0/1977, temasuk kategori supervisor dalam pendidikan adalah kepala sekolah, penelik sekolah, dan para pengawas ditingkatkan kabupaten/kotamadya, serta staf di kantor bidang yang ada di tiap provinsi.<br /><br />Salah satu tugas pengawas dengan perincian sebagai berikut :<br /><br />“mangendalikan pelaksanaan kurikulum meliputi isi, metode penyajian, penggunaan alat perlengkapan dan penilaian agar sesuai dengan ketentuan dan peraturan perudangan yang berlaku”.<br /><br />Pada rambu-rambu penilaian kinerja kepala sekolah (SD), dirjen dikdasmen tahun 2000 sebagai berikut :<br /><br />1. kemampuan menyusun program supervisi pendidikan<br /><br />2. kemampuan malaksanakan program supervisi pendidikan<br /><br />3. kemampuan memanfaatkan hasil supervise<br /><br />pada dasarnya tugas pokok kepala sekolah adalah menilai dan membina penyelenggaraan pembelajaran di sekolah. Dengan kata lain salah satu tugas kepala sekolah sebagai pembinaan yang dilakuakan memberikan arahan, contoh dalam proses pembelajaran di sekolah. Berarti bahwa kepala sekolah merupakan supervisor yang bertugas melaksanakan supervisi pembelajaran.<br /><br />Ø Willes (1975), mengatakan di atas bertujuan untuk memelihara atau mengadakan perubahan oprasional sekolah, dengan cara mampengaruhi tenaga pengajar secara langsung demi mempertinggi kegiatan belajar siswa. Supervise hanya berhubungan langsung dengan guru, tetapi berkaitan siswa dalam proses belajar<br /><br />Ø Ross L (1980), mendefinisikan bahwa supervisi adalah pelayanan kapada guru-guru yang bertujuan menghasilkan perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum.<br /><br />Ø Purwanto (1987), supervise ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dalam melakukan pekerjaan secara efektif.<br /><br />Sesuai dengan rumusan diatas maka kegiatan yang dapat disimpulkan dalam supervisi pembelajaran sebagai berikut :<br /><br />1. membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru menjalankan tugasnya terutama dalam pembelajaran.<br /><br />2. mengembangkan kegiatan belajar mengajar.<br /><br />3. upaya pembinaan dalam pembelajaran<br /><br /><span style="font-weight:bold;">PRINSIP SUPERVISI</span><br /><br /> 1. supervisi harus konstruktif.<br /> 2. supervisi harus menolong guru agar senantiasa tumbuh sendiri tidak tergantung pada kepala sekolah<br /> 3. supervisi harus realistis<br /> 4. supervisi tidak usah muluk-muluk dan didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya pada guru-guru<br /> 5. supervisi harus democrat<br /> 6. hakikat pengembangan mutu sekolah adalah usaha bersama berdasarkan musyawarah<br /> 7. supervisi harus objektif<br /> 8. kegiatan tidak boleh diwarnai oleh prasangka kepala sekolah, diperlukan data konkret tentang keadaan sebenarnya dan kepala sekolah juga harus mengakui keterbatasannya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">JENIS-JENIS SUPERVISI</span><br /><br />Beberapa jenis supervisi antara lain :<br /><br /> 1. observasi kelas<br /> 2. saling kunjung<br /> 3. demontrasi mengajar<br /> 4. supervisi klinnis<br /> 5. kaji tindak (action research)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">PELAKSANAKAN SUPERVISI PEMBELAJARAN</span><br /><br />A. Observasi kelas<br /><br />observasi kelas merupakan salah satu cara paling baik memberikan supervisi pembelajaran Karen dapat melihat kegiatan guru, murid dan masalah yang timbul.<br /><br />1. perancanaan<br /><br />Kepala sekolah merencanakan dalam menyusun program dalam satu semester atau tahunan. Program tidak terlalu kaku, tergantung dari jumlah guru yang perlu di observasi. Ada tiga macam observasi yaitu dengan pemberitahuan, tanpa pemberitahuan, dan atas undangan.<br /><br />2. mekanisme observasi<br /><br />a. persiapan yang diperhatikan :<br /><br />- guru diberi tahu kepala sekolah bahwa kepala sekolah akan mengadakan observasi<br /><br />- kesepakatan kepala sekolah dan guru tolak ukur tentang apa yang dioservasi<br /><br />b. sikap observasi didalam kelas<br /><br />- memberikan salam kepada guru yang mengajar<br /><br />- mencari tempat duduk yang tidak mencolok<br /><br />- tidak boleh menegur kesalahan guru di dalam kelas<br /><br />- mencatat setiap kegiatan<br /><br />- bila ada memakai alat elektronika : tape recorder, kemera<br /><br />- mempersiapkan isian berupa check list<br /><br />c. membicarakan hasil observasi<br /><br />hasil yang dicatat dibicarakan dengan guru, dan beberapa hal yang diperlu dikemukankan :<br /><br />- kepala sekolah mempersiapkan (bisa bertanya pada nara sumber atau perpustakaan)<br /><br />- waktu percakapan<br /><br />- tempat percakapan<br /><br />- sikap ramah simpatik tidak memborong percakapan<br /><br />- percakapan hendaknya tidak keluar dari data observasi<br /><br />- guru diberi kesempatan dialog dan mengeluarkan pendapat<br /><br />- kelamahan guru hendaknya menjadi motivasi guru dalam memperbaiki kelemahan<br /><br />- saran untuk perbaikan diberikan yang mudah dan praktis<br /><br />- kesepakatan perbaikan disepakati bersama dengan menyenangkan.<br /><br />d. laporan percakapan<br /><br />- hasil pembicaraan didokumenkan menurut masing-masing guru yang telah diobservasi<br /><br />- isi dokumen dimulai dari tanggal, tujuan data yang diperoleh, catatan diskusi, pemecahan masalah dan saran-saran<br /><br />B. Saling mengunjungi<br /><br />Dalam kegiatan belajar mengajar sudah ada wadah dari kegiatan untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan pembelajaran guru-guru antara lain :<br /><br />1. untuk tingkat SMP dan SMA adalah musyawarah guru mata pelajaran (MGMP)<br /><br />2. untuk tingkat Sekolah Dasar adalah Pusat kegiatan guru (PKG)<br /><br />C. Domonstrasi mengajar<br /><br />Dalam kegiatan pembelajaran sangat sukar menentukan mana yang benar dalam praktek mengajar karena mengajar menurut Siswoyo (1997) sebagai seni dan filusuf. Menurut pendapat diatas mengajar dalam pekerjaan disekolah bukan pekerjaan yang mudah, sehingga kepala sekolah dalam demonstrasi pembelajaran tidak perlu mengakui kelemahan dan perlu mencarikan ahli yang dapat memberikan gambaran tentang pembelajaran yang baik<br /><br />D. Supervisi klinis<br /><br />Supervisi klinis termasuk bagian dari supervisi pengajaran. Perbedaannya dengan supervisi yang lain adalah prosedur pelaksanaannya ditekankan kepada mencari sebab-sebab atau kelemahan yang terjadi dalam proses pembelajaran dan kemudian langsung diusahkan perbaikan kekurangan dan kelemahan tersebut.<br /><br />Pelaksanaan supervisi klinis menurut la sulo (1987), mengemukakan ciri-ciri supervisi sebagai berikut :<br /><br />1. bimbingan supervisor kepada guru bersifat bantuan, bukan perintah atau instruksi.<br /><br />2. ksepakatan antara guru dan supervisor tentang apa yang dikaji dan jenis keterampilan yang paling pointing (diskusi guru dengan supervisor)<br /><br />3. instrument dikembangkan dan disepakati bersama antara guru dengan supervisor<br /><br />4. guru melakukan persiapan dengan aspek kelemahan-kelemahan yang akan diperbaiki. Bila perlu berlatih diluar sekolah<br /><br />5. pelaksanaannya seperti dalam teknik observasi kelas<br /><br />6. balikan diberikan dengan segera dan bersifat obyektif<br /><br />7. guru hendaknya dapat menganalisa penampilannya<br /><br />8. supervisor lebih banyak bertanya dan mendengarkan daripada memerintah atau mengarahkan<br /><br />9. supervisor dan guru dalam keadaam suasanan intim dan terbuka<br /><br />10. supervisor dapat digunakan untuk membentuk atau peningkatan dan perbaikan keterampilan pembelajaran<br /><br />E. Kaji tindak<br /><br />Fokos utama kajia tindak adalah mendorong para prektisi untuk meneliti dan terlibat dalam praktik penelitiannya sendiri. Hasil penelitiannya dipakai sendiri oleh peneliti dan orang lain yang membutuhkan<br /><br />Menurut kemmi (1995), kaji tindak dirumuskan dalam empat tahap yaitu : tahap perencanaan, tahap aksi atau pelaksanaan tindakan, tahap pengamatan, tahap evaluasi danrefleksi/umpan balik.<br /><br />Laporan hasil penelitian kaji tindak terdiri dari :<br /><br /> 1. gagasan umum<br /> 2. perumusan masalah<br /> 3. perencanaan penelitian kaji tindak<br /> 4. pelaksanaan penelitian kaji tindak<br /> 5. monitoring<br /> 6. evaluasi dan refleksi<br /> 7. saran dan rekomendasi<br /><br /><span style="font-weight:bold;"><br />PERNGKAT SUPERVISI</span><br /><br />Salah satu perangkat yang digunakan dalam melaksankan supervisi ialah instrument observasi pembelajaran/check list terutama untuk supervisi kelas, supervisi klinis, dengan demikian diharapkan indicator yang diamati untuk setiap unsure yang diamati, antara lain :<br /><br /> 1. Persiapan dan aperisepsi<br /> 2. Relevansi materi dengan tujuan instruksional<br /> 3. Penguasaan materi<br /> 4. Strategi<br /> 5. Metode<br /> 6. Manajemen kelas<br /> 7. Pemberian metivasi kepada siswa<br /> 8. Nada dan suara<br /> 9. Penggunaan bahasa<br /> 10. Gaya dan sikap perilakuM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-2017290694744471692009-12-28T09:38:00.000-08:002010-01-04T23:36:11.055-08:00Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan KonselingDasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).<br /><br />Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.<br /><br />Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.<br /><br />Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).<br /><br />Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.<br /><br />Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.<br /><br />Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.<br /><br />Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).<br /><br />Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.<br /><br />Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-7913016608383025272009-12-28T09:36:00.000-08:002009-12-28T09:38:48.106-08:00Bimbingan dan konselingBimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan bisa berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, sosial, belajar maupun karier melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdaarkan norma-norma yang berlaku (SK Mendikbud No. 025/D/1995)<br /><br />Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat individu dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses perkembangan individu, yakni proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas dan tanggung jawab yang penting untuk mengembangkan lingkungan, membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan, membelajarkan individu untuk mengembangkan, merubah dan memperbaiki perilaku.<br /><br />Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan mengajar yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan layanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (Naskah Akademik ABKIN, Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, 2007).<br /><br />Merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing dimantapkan menjadi ’Konselor.” Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU No. 20/2003, pasal 1 ayat 6). Pengakuan secara eksplisit dan kesejajaran posisi antara tenaga pendidik satu dengan yang lainnya tidak menghilangkan arti bahwa setiap tenaga pendidik, termasuk konselor, memiliki konteks tugas, ekspektasi kinerja, dan setting layanan spesifik yang mengandung keunikan dan perbedaan.<br /><br />Dasar pertimbangan atau pemikiran tentang penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum, undang-undang atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya secara optimal (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).<br /><br />Dalam konteks tersebut, hasil studi lapangan (2007) menunjukkan bahwa layanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah sangat dibutuhkan, karena banyaknya masalah peserta didik di Sekolah/Madrasah, besarnya kebutuhan peserta didik akan pengarahan diri dalam memilih dan mengambil keputusan, perlunya aturan yang memayungi layanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, serta perbaikan tata kerja baik dalam aspek ketenagaan maupun manajemen.<br /><br />Layanan bimbingan dan konseling diharapkan membantu peserta didik dalam pengenalan diri, pengenalan lingkungan dan pengambilan keputusan, serta memberikan arahan terhadap perkembangan peserta didik; tidak hanya untuk peserta didik yang bermasalah tetapi untuk seluruh peserta didik. Layanan bimbingan dan konseling tidak terbatas pada peserta didik tertentu atau yang perlu ‘dipanggil’ saja”, melainkan untuk seluruh peserta didik.<br /><br /><br />Tujuan layanan bimbingan ialah agar siswa dapat :<br /><br /> 1. Merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupan-nya di masa yang akan datang.<br /> 2. Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki peserta didik secara optimal.<br /> 3. Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya.<br /> 4. Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.<br /><br />Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk :<br /><br /> 1. Mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangannya.<br /> 2. Mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya,<br /> 3. Mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut<br /> 4. Memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri.<br /> 5. Menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat.<br /> 6. Menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya.<br /> 7. Mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal. <br /><br /> <br /><br />Fungsi Bimbingan dan Konseling<br /><br />1. Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan yang membantu peserta didik (siswa) agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, siswa diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.<br /><br />2. Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh peserta didik. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada siswa tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah layanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para siswa dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).<br /><br />3. Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan siswa. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu siswa mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah layanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.<br /><br />4. Fungsi Perbaikan (Penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada siswa yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching. <br /><br />5. Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.<br /><br />6. Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan siswa (siswa). Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai siswa, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan siswa secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan siswa.<br /><br />7. Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu siswa (siswa) agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.<br /><br /> <br /><br />Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.<br /><br />1. Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.<br /><br />2. Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (konseli) mengikuti/menjalani layanan/kegiatan yang diperlukan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.<br /><br />3. Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri peserta didik yang menjadi sasaran layanan/kegiatan. Agar peserta didik dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahuu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.<br /><br />4. Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar peserta didik (konseli) yang menjadi sasaran layanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan layanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong peserta didik untuk aktif dalam setiap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.<br /><br />5. Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: peserta didik (konseli) sebagai sasaran layanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi siswa-siswa yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.<br /><br />6. Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran layanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan peserta didik (konseli) dalam kondisinya sekarang. Layanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.<br /><br />7. Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.<br /><br />8. Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap layanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.<br /><br />9. Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah layanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.<br /><br />10. Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis layanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.<br /><br />11. Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain. <br /><br /> <br /><br />Kegiatan Pokok Bimbingan dan Konseling<br /><br />Macam-macam layanan bimbingan dan konseling :<br /><br />1. Layanan Orientasi<br /><br />Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memahami lingkungan (seperti sekolah) yang baru dimasuki peserta didik, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu.<br /><br />2. Layanan Informasi<br /><br />Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) menerima dan memahami berbagai informasi (seperti informasi pendidikan dan jabatan) yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan pengambilan keputusan untuk kepentingan peserta didik (klien).<br /><br />3. Layanan Penempatan dan penyaluran<br /><br />Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat (misalnya penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ektrakulikuler) sesuai dengan potensi, bakat, minat erta kondisi pribadinya.<br /><br />4. Layanan pembelajaran<br /><br />Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam menguasai meteri pelajaran yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya, serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya.<br /><br />5. Layanan Konseling Individual<br /><br />Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) dengan guru pembimbing dalam rangka pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi yang dideritanya.<br /><br />6. Layanan Bimbingan Kelompok<br /><br />Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari nara sumber tertentu (teruama dari guru pembimbing) dan/atau membahas secara bersama-ama pokok bahasan (topik) tertentu yang berguna untuk menunjanguntuk pemahaman dan kehidupannya mereka sehari-hari dan/atau untuk pengembangan kemampuan sosial, baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, serta untuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan tertentu.<br /><br />7. Layanan Konseling Kelompok<br /><br />Yaitu layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok, masalah yang dibahas itu adalah maalah-masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok.<br /><br /> <br /><br />Kegiatan Pendukung diantaranya :<br /><br />1. Aplikasi Instrumentasi<br /><br />Yaitu kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang diri peserta didik (klien), keterangan tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan yang lebih luas. Pengumpulan data ini dapat dilakukan denagn berbagai cara melalui instrumen baik tes maupun nontes.<br /><br />2. Himpunan Data<br /><br />Yaitu kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik (klien). Himpunan data perlu dielenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu, dan sifatnya tertutup.<br /><br />3. Konferensi Kasus<br /><br />Yaitu kegiatan pendukung bimbingan dan konseling untuk membahas permasalahan yang dialami oleh peserta didik (klien) dalam suatu forum pertemuan yang dihadiri oleh berbagai pihak yang diharapkan dapat memberikan bahan, keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan tersebut. Pertemuan ini dalam rangka konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup.<br /><br />4. Kunjungan Rumah<br /><br />Yaitu kegiatan pendukudng bimbingan dan konseling untuk memperoleh data, keteranang, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik (klien) melalui kunjungan ke rumahnya. Kegiatan ini memerlukan kerjasama yang penuh dari orang tua dan anggota keluarga klien yang lainnya.<br /><br />5. Alih tangan kasus<br /><br />Yaitu kegiatan pendukudng bimbingan dan konseling untuk mendapatkan penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas masalah yang dialami peserta didik (klien) dengan memindahkan penanganan kasus dari satu pihak ke pihak lainnya. Kegiatan ini memerlukan kerjasama yang erat dan amntap antara berbagi pihak yang dapat memberikan bantuan dan atas penanganan masalah tersebut (terutama kerjasama dari ahli lain tempat kasus itu dialihtangankan).<br /><br /> <br /><br />Kegiatan layanan dan pendukung bimbingan dan konseling ini, kesemuanya saling terkait dan saling menunjang baik langsung maupun tidak langsung. Saling keterkaitan dan tunjang menunjang antara layanan dan pendukung itu menyangkut pula fungsi-fungi yang diemban oleh masing-masing layanan/kegiatan pendukung .M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-72937711609914262642009-12-28T08:38:00.000-08:002009-12-28T08:42:46.536-08:00UU Sistem Pendidikan Nasional: Benarkah untuk Mencerdaskan Bangsa?Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada tanggal 2 Mei setiap tahunnya telah menjadi momentum untuk memperingatkan segenap negeri akan pentingnya arti pendidikan bagi anak negeri yang sangat kaya ini. Di tahun 2003, telah dilahirkan pula Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional melalui UU No. 20 tahun 2003 yang menggantikan UU No. 2 tahun 1989. Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.<br /><br />Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.<br /><br />Peran masyarakat dalam pendidikan nasional, terutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Inisiatif aktif masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting. Padahal secara jelas di dalam pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses pembentukan komite sekolahpun belum keseluruhannya dilakukan dengan proses yang terbuka dan partisipatif.<br /><br />Kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga saat ini masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD hingga saat ini masih dibawah 20% sebagaimana amanat pasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya berkisar diantara 2-5%.<br /><br />Bila melihat peristiwa yang belum lama terjadi di Indonesia, misalnya kasus tukar guling SMP Negeri 56 Jakarta serta kasus Kampar adalah sebongkah cerminan dari kondisi pendidikan di Indonesia, dimana kalangan pendidik dan kepentingan pendidikan masihlah sangat jauh dari sebuah kepentingan dan kebutuhan bersama, dimana pendidikan masih menjadi korban dari penguasa.<br /><br />Sementara di berbagai daerah, pendidikan pun masih berada dalam kondisi keprihatinan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada beberapa wilayah, anak-anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.<br /><br />Belum lagi bila berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia.<br /><br />Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.<br /><br />Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Ironinya, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun pemberontakan.<br /><br />Dunia pendidikan sebagai ruang bagi peningkatan kapasitas anak bangsa haruslah dimulai dengan sebuah cara pandang bahwa pendidikan adalah bagian untuk mengembangkan potensi, daya pikir dan daya nalar serta pengembangan kreatifitas yang dimiliki. Sistem pendidikan yang mengebiri ketiga hal tersebut hanyalah akan menciptakan keterpurukan sumberdaya manusia yang dimiliki bangsa ini yang hanya akan menjadikan Indonesia tetap terjajah dan tetap di bawah ketiak bangsa asing.<br /><br />Hal yang tidak kalah penting adalah bagaimana sistem pendidikan di Indonesia menciptakan anak bangsa yang memiliki sensitifitas terhadap lingkungan hidup dan krisis sumber-sumber kehidupan, serta mendorong terjadinya sebuah kebersamaan dalam keadilan hak. Sistem pendidikan harus lebih ditujukan agar terjadi keseimbangan terhadap ketersediaan sumberdaya alam serta kepentingan-kepentingan ekonomi dengan tidak meninggalkan sistem sosial dan budaya yang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia.<br /><br />Hari Pendidikan Nasional tahun ini di tengah-tengah pertarungan politik Indonesia sudah selayaknya menjadi sebuah tonggak bagi bangkitnya bangsa Indonesia dari keterpurukan serta lepasnya Indonesia dari ?penjajahan?? bangsa asing. Sudah saatnya Indonesia berdiri di atas kaki sendiri dengan sebuah kesejahteraan sejati bagi seluruh masyarakat IndonesiaM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-17009236613643355072009-12-28T07:58:00.001-08:002009-12-28T08:19:07.963-08:00UU GURU DAN DOSENUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br /> NOMOR 14 TAHUN 2005<br /> TENTANG<br /> GURU DAN DOSEN<br /> DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br /> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br />b. bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;<br />c. bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf a, sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat;<br />d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Guru dan Dosen;<br />Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 22 d, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br />2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);<br /><br />Dengan Persetujuan Bersama<br />DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA<br />dan<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA<br />MEMUTUSKAN:<br />Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN.<br /> BAB I<br /> KETENTUAN UMUM<br /><br /> Pasal 1<br />Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:<br />1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.<br />2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.<br />3. Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.<br />4. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.<br />5. Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal.<br />6. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.<br />7. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.<br />8. Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />9. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.<br />10. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.<br />11. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.<br />12. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.<br />13. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.<br />14. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.<br />15. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />16. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.<br />17. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.<br />18. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.<br />19. Pemerintah adalah pemerintah pusat.<br />20. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.<br />21. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.<br /> BAB II<br /> KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN<br /> Pasal 2<br />(1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.<br /> Pasal 3<br />(1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.<br /> Pasal 4<br />Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.<br /> Pasal 5<br />Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.<br /> Pasal 6<br />Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.<br /> BAB III<br /> PRINSIP PROFESIONALITAS<br /> Pasal 7<br />(1) Pr ofesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:<br />a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;<br />b. memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;<br />c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;<br />d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;<br />e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;<br />f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;<br />g. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat;<br />h. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan<br />i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.<br />(2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis , berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.<br /> BAB IV<br /> GURU<br /> Bagian Kesatu<br /> Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi<br /> Pasal 8<br />Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.<br /> Pasal 9<br />Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.<br /> Pasal 10<br />(1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 11<br />(1) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.<br />(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.<br />(3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 12<br />Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada satuan pendidikan tertentu.<br /> Pasal 13<br />(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /> Bagian Kedua<br /> Hak dan Kewajiban<br /> Pasal 14<br />(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:<br />a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;<br />b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;<br />c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;<br />d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;<br />e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;<br />f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;<br />g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;<br />h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;<br />i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;<br />j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau<br />k. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.<br /><br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 15<br />(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.<br />(2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br /> Pasal 16<br />(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.<br />(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.<br />(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 17<br />(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.<br />(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.<br /> Pasal 18<br />(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang bertugas di daerah khusus.<br />(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.<br />(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 19<br />(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.<br />(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 20<br />Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:<br />a. merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;<br />b. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;<br />c. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;<br />d. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan<br />e. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.<br />Bagian Ketiga<br />Wajib Kerja dan Ikatan Dinas<br /> Pasal 21<br />(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada guru dan/atau warga negara Indonesia lainnya yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 22<br />(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau kepentingan pembangunan daerah.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 23<br />(1) Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan dinas berasrama di lembaga pendidikan tenaga kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan.<br /><br />(2) Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan nasional, pendidikan bertaraf internasional, dan pendidikan berbasis keunggulan lokal.<br /> Bagian Keempat<br /> Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan,<br /> dan Pemberhentian<br /> Pasal 24<br />(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah.<br />(2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan menengah dan pendidikan khusus sesuai dengan kewenangan.<br />(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi secara merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal sesuai dengan kewenangan.<br />(4) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensinya untuk menjamin keberlangsungan pendidikan.<br /> Pasal 25<br />(1) Pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /><br /><br />(2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />(3) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br /> Pasal 26<br />(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 27<br />Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.<br /> Pasal 28<br />(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan pendidikan dan/atau promosi.<br />(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dapat mengajukan permohonan pindah tugas, baik antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(3) Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan, Pemerintah atau pemerintah daerah memfasilitasi kepindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangan.<br />(4) Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 29<br />(1) Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang meliputi kenaikan pangkat rutin secara otomatis, kenaikan pangkat istimewa sebanyak 1 (satu) kali, dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas.<br />(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menandatangani pernyataan kesanggupan untuk ditugaskan di daerah khusus paling sedikit selama 2 (dua) tahun.<br />(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang telah bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih di daerah khusus berhak pindah tugas setelah tersedia guru pengganti.<br />(4) Dalam hal terjadi kekosongan guru, Pemerintah atau pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti untuk menjamin keberlanjutan proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang bersangkutan.<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai guru yang bertugas di daerah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 30<br />(1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena :<br />a. meninggal dunia;<br />b. mencapai batas usia pensiun;<br />c. atas permintaan sendiri;<br />d. sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan; atau<br />e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.<br />(2) Gu ru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:<br />a. melanggar sumpah dan janji jabatan;<br />b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau<br />c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.<br />(3) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(4) Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 60 (enam puluh) tahun.<br />(5) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang diberhentikan dari jabatan sebagai guru, kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.<br /> Pasal 31<br />(1) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.<br />(2) Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br />Bagian Kelima<br />Pembinaan dan Pengembangan<br /> Pasal 32<br />(1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.<br />(2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.<br />(3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan fungsional.<br />(4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.<br />Pasal 33<br />Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.<br /> Pasal 34<br />(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.<br />(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru.<br />(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.<br /> Pasal 35<br />(1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.<br />(2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu.<br /><br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />Bagian Keenam<br />Penghargaan<br /> Pasal 36<br />(1) Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.<br /><br />(2) Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.<br /> Pasal 37<br />(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan.<br />(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat desa/kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.<br />(3) Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.<br />(4) Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari pendidikan nasional, hari guru nasional, dan/atau hari besar lain.<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 38<br />Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.<br /> Bagian Ketujuh<br /> Perlindungan<br /> Pasal 39<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.<br />(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.<br />(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.<br />(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.<br />(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.<br />Bagian Kedelapan<br />Cuti<br /> Pasal 40<br />(1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh.<br /><br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /><br /> Bagian Kesembilan<br /> Organisasi Profesi dan Kode Etik<br /> Pasal 41<br />(1) Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen.<br />(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.<br />(3) Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.<br />(4) Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(5) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.<br /> Pasal 42<br />Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:<br />a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru;<br />b. memberikan bantuan hukum kepada guru;<br />c. memberikan perlindungan profesi guru;<br />d. melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan<br />e. memajukan pendidikan nasional.<br /> Pasal 43<br />(1) Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.<br />(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.<br /> Pasal 44<br />(1) Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru.<br />(2) Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru.<br />(3) Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.<br />(4) Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan perundang-undangan.<br />(5) Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3).<br /> BAB V<br /> DOSEN<br /> Bagian Kesatu<br /> Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik<br /> Pasal 45<br />Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.<br /> Pasal 46<br />(1) Kual ifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang keahlian.<br />(2) D osen memiliki kualifikasi akademik minimum:<br />a. lulusan program magister untuk program diploma atau program sarjana; dan<br />b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana.<br />(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat menjadi dosen.<br />(4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan prestasi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh masing-masing senat akademik satuan pendidikan tinggi.<br /> Pasal 47<br />(1) Ser tifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai berikut:<br />a. memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;<br />b. memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten ahli; dan<br />c. lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh Pemerintah.<br />(2) Pe merintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi untuk menyelenggarakan program pengadaan tenaga kependidikan sesuai dengan kebutuhan.<br />(3) K etentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 48<br />(1) Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap.<br />(2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.<br />(3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor.<br />(4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /> Pasal 49<br />(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.<br />(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.<br />(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.<br />(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /> Pasal 50<br />(1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen.<br />(2) Setiap orang, yang akan diangkat menjadi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti proses seleksi.<br />(3) Setiap orang dapat diangkat secara langsung menduduki jenjang jabatan akademik tertentu berdasarkan hasil penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan pengalaman yang dimiliki.<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />Bagian Kedua<br />Hak dan Kewajiban<br /> Pasal 51<br />(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:<br />a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;<br />b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;<br />c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;<br />d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;<br />e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan;<br />f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan kelulusan peserta didik; dan<br />g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/organisasi profesi keilmuan.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 52<br />(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.<br />(2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br /> Pasal 53<br />(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.<br />(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.<br />(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 54<br />(1) Pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh Pemerintah.<br />(2) Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.<br /> Pasal 55<br />(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang bertugas di daerah khusus.<br />(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.<br />(3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.<br />(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 56<br />(1) Pemerintah memberikan tunjangan kehormatan kepada profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi setara 2 (dua) kali gaji pokok profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 57<br />(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.<br />(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 58<br />Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak memperoleh jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /> Pasal 59<br />(1) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu langka berhak memperoleh dana dan fasilitas khusus dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.<br />(2) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.<br /> Pasal 60<br />Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban:<br />a. melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat;<br />b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;<br />c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;<br />d. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik dalam pembelajaran;<br />e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan<br />f. memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.<br /> Bagian Ketiga<br /> Wajib Kerja dan Ikatan Dinas<br /> Pasal 61<br />(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada dosen dan/atau warga negara Indonesia lain yang memenuhi kualifikasi akademik dan kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai dosen di daerah khusus.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 62<br />(1) Pemerintah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon dosen untuk memenuhi kepentingan pembangunan pendidikan nasional, atau untuk memenuhi kepentingan pembangunan daerah.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi calon dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Bagian Keempat<br /> Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan<br /> Pemberhentian<br /> Pasal 63<br />(1) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi dilakukan secara objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br />(3) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br /><br />(4) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.<br /> Pasal 64<br />(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah dapat ditempatkan pada jabatan struktural sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang diangkat oleh Pemerintah pada jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Pasal 65<br />Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan perundang-undangan.<br /> Pasal 66<br />Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara pendidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br /> Pasal 67<br />(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai dosen karena:<br />a. meninggal dunia;<br />b. mencapai batas usia pensiun;<br />c. atas permintaan sendiri;<br />d. tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12 (dua belas) bulan karena sakit jasmani dan/atau rohani; atau<br />e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama antara dosen dan penyelenggara pendidikan.<br />(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan sebagai dosen karena:<br />a. melanggar sumpah dan janji jabatan;<br />b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama; atau<br />c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1 (satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.<br />(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan peraturan perundang-undangan.<br />(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.<br />(5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun.<br />(6) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang diberhentikan dari jabatan sebagai dosen, kecuali sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.<br /> Pasal 68<br />(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.<br />(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br />Bagian Kelima<br />Pembinaan dan Pengembangan<br /> Pasal 69<br />(1) Pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan dan pengembangan profesi dan karier.<br />(2) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.<br />(3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen dilakukan melalui jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1).<br />(4) Pembinaan dan pengembangan karier dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.<br /> Pasal 70<br />Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan karier dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan Menteri.<br /> Pasal 71<br />(1) Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.<br />(2) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi dosen.<br />(3) Pemerintah wajib memberikan anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.<br /><br /> Pasal 72<br />(1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat.<br />(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit semester dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) satuan kredit semester.<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /> Bagian Keenam<br /> Penghargaan<br /> Pasal 73<br />(1) Dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan.<br />(2) Dosen yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.<br /> Pasal 74<br />(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi keilmuan, dan/atau satuan pendidikan tinggi.<br />(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan pendidikan tinggi, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.<br />(3) Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.<br />(4) Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam rangka memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan tinggi, hari pendidikan nasional, dan/atau hari besar lain.<br />(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> Bagian Ketujuh<br /> Perlindungan<br /> Pasal 75<br />(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan tinggi wajib memberikan perlindungan terhadap dosen dalam pelaksanaan tugas.<br />(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.<br />(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain.<br />(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen sebagai tenaga profesional yang meliputi pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.<br />(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan terhadap risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja, kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.<br />(6) Dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-undangan.<br /> Bagian Kedelapan<br /> Cuti<br /> Pasal 76<br />(1) Dosen memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan memperoleh hak gaji penuh.<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.<br /> BAB VI<br /> SANKSI<br /> Pasal 77<br />(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:<br />a. teguran;<br />b. peringatan tertulis;<br />c. penundaan pemberian hak guru;<br />d. penurunan pangkat;<br />e. pemberhentian dengan hormat; atau<br />f. pemberhentian tidak dengan hormat.<br />(3) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.<br />(4) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat, yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br />(5) Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi oleh organisasi profesi.<br />(6) Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak membela diri.<br /> Pasal 78<br />(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:<br />a. teguran;<br />b. peringatan tertulis;<br />c. penundaan pemberian hak dosen;<br />d. penurunan pangkat dan jabatan akademik;<br />e. pemberhentian dengan hormat; atau<br />f. pemberhentian tidak dengan hormat.<br />(3) Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.<br />(4) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.<br />(5) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak membela diri.<br /> Pasal 79<br />(1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 63 ayat (4), Pasal 71, dan Pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />(2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa:<br />a. teguran;<br />b. peringatan tertulis;<br />c. pembatasan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan; atau<br />d. pembekuan kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan.<br /> BAB VII<br /> KETENTUAN PERALIHAN<br /> Pasal 80<br />(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:<br />a. guru yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau guru yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.<br />b. dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan memperoleh maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) paling lama 10 (sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.<br />(2) Tunjangan fungsional dan maslahat tambahan bagi guru dan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.<br /> Pasal 81<br />Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan guru dan dosen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.<br /> BAB VIII<br /> KETENTUAN PENUTUP<br /> Pasal 82<br />(1) Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi pendidik paling lama dalam waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.<br />(2) Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.<br /> Pasal 83<br />Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan selambat-lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya Undang-Undang ini.<br /> Pasal 84<br />Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.<br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /><br />Disahkan di Jakarta<br />pada tanggal 30 Desember 2005<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br />ttd<br /><br />DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO<br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 30 Desember 2005<br />MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA<br />REPUBLIK INDONESIA<br />AD INTERIM,<br /><br />ttd<br /><br />YUSRIL IHZA MAHENDRA<br />LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 157<br /><br /><br /><br />PENJELASAN<br />ATAS<br />UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 14 TAHUN 2005<br />TENTANG<br />GURU DAN DOSEN<br />I. UMUM<br />Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa (1) setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; dan (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.<br />Salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia<br />berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.<br />Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.<br />Berdasarkan uraian di atas, pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan Undang-Undang ini sebagai berikut:<br />1. mengangkat martabat guru dan dosen;<br />2. menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen;<br />3. meningkatkan kompetensi guru dan dosen;<br />4. memajukan profesi serta karier guru dan dosen;<br />5. meningkatkan mutu pembelajaran;<br />6. meningkatkan mutu pendidikan nasional;<br />7. mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antardaerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi;<br />8. mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah; dan<br />9. meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.<br /><br />Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.<br />Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.<br />Untuk meningkatkan penghargaan terhadap tugas guru dan dosen, kedudukan guru dan dosen pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi perlu dikukuhkan dengan pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Dalam melaksanakan tugasnya, guru dan dosen harus memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya.<br />Selain itu, perlu juga diperhatikan upaya-upaya memaksimalkan fungsi dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi penegakan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen, perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.<br />Berdasarkan visi, misi, dan pertimbangan-pertimbangan di atas diperlukan strategi yang meliputi:<br />1. penyelenggaraan sertifikasi pendidik berdasarkan kualifikasi akademik dan kompetensi;<br />2. pemenuhan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional yang sesuai dengan prinsip profesionalitas;<br />3. penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru dan dosen sesuai dengan kebutuhan, baik jumlah, kualifikasi akademik, maupun kompetensi yang dilakukan secara merata, objektif, dan transparan untuk menjamin keberlangsungan pendidikan;<br />4. penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pembinaan dan pengembangan profesi guru dan dosen untuk meningkatkan profesionalitas dan pengabdian para guru dan dosen;<br />5. peningkatan pemberian penghargaan dan jaminan perlindungan terhadap guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas profesional;<br />6. peningkatan peran organisasi profesi untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas sebagai tenaga profesional;<br />7. penguatan kesetaraan antara guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan guru dan dosen yang bertugas pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat;<br />8. penguatan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah dalam merealisasikan pencapaian anggaran pendidikan untuk memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional; dan<br />9. peningkatan peran serta masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen.<br /><br />Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional merupakan bagian dari pembaharuan sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya memperhatikan berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan, kepegawaian, ketenagakerjaan, keuangan, dan pemerintahan daerah.<br />Sehubungan dengan hal itu, diperlukan pengaturan tentang kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam suatu Undang-Undang tentang Guru dan Dosen.<br />II. PASAL DEMI PASAL<br />Pasal 1<br />Cukup jelas.<br />Pasal 2<br />Ayat (1)<br />Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 3<br />Cukup jelas.<br />Pasal 4<br />Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.<br />Pasal 5<br />Cukup jelas.<br />Pasal 6<br />Cukup jelas.<br />Pasal 7<br />Cukup jelas.<br />Pasal 8<br />Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.<br />Pasal 9<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 10<br />Ayat (1)<br />Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.<br />Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.<br />Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.<br />Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 11<br />Cukup jelas.<br />Pasal 12<br />Cukup jelas.<br />Pasal 13<br />Cukup jelas.<br />Pasal 14<br />Ayat (1)<br />huruf a<br />Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua.<br />huruf b<br />huruf c<br />Cukup jelas<br />huruf d<br />Cukup jelas.<br />huruf e<br />Cukup jelas.<br />huruf f<br />Cukup jelas.<br />huruf g . . .<br />huruf g<br />Cukup jelas.<br />huruf h<br />Cukup jelas.<br />huruf i<br />Cukup jelas.<br />huruf j<br />Cukup jelas.<br />huruf k<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 15<br />Ayat (1)<br />Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja.<br />Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga.<br />Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada guru sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.<br />Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 16<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Tunjangan profesi dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional .<br />Ayat (4)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 17<br />Ayat (1)<br />Cukup jela s.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas<br />Ayat (3)<br />Tunjangan fungsional dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.<br />Pasal 18<br />Ayat (1)<br />Tunjangan khusus dapat diperhitungkan sebagai bagian dari anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (4)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 19<br />Ayat (1)<br />Yang dimaksud dengan kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru adalah berupa kesempatan dan keringanan biaya pendidikan bagi putra-putri guru yang telah memenuhi syarat-syarat akademik untuk menempuh pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 20<br />Cukup jelas.<br />Pasal 21<br />Cukup jelas. Pasal 22<br />Cukup jelas.<br />Pa sal 23<br />Cukup jelas.<br />Pasal 24<br />Cukup jelas.<br />Pasal 25<br />Cukup jelas.<br />Pasal 26<br />Cukup jelas.<br />Pasal 27<br />Cukup jelas.<br />Pasal 28<br />Cukup jelas.<br />Pasal 29<br />Cukup jelas.<br />Pasal 30<br />Cukup jelas.<br />Pasal 31<br />Cukup jelas.<br />Pasal 32<br />Cukup jelas.<br />Pasal 33<br />Cukup jelas.Pasal 34<br />Cukup jelas.<br />Pasal 35<br />Cukup jelas.<br />Pasal 36<br />Cukup jelas.<br />Pasal 37<br />Cukup jelas.<br />Pasal 38<br />Cukup jelas.<br />Pasal 39<br />Cukup jelas.<br />Pasal 40<br />Cukup jelas.<br />Pasal 41<br />Cukup jelas.<br />Pasal 42<br />Cukup jelas.<br />Pasal 43<br />Cukup jelas.<br />Pasal 44<br />Cukup jelas.<br />Pasal 45<br />Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan dosen dapat melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.<br />Pasal 46<br />Cukup jelas.<br />Pasal 47<br />Cukup jelas.<br />Pasal 48<br />Ayat (1)<br />Yang dimaksud dengan dosen tetap adalah dosen yang bekerja penuh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.<br />Yang dimaksud dengan dosen tidak tetap adalah dosen yang bekerja paruh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tidak tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (4)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 49<br />Cukup jelas.<br />Pasal 50<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Yang dimaksud dengan secara langsung adalah tanpa berjenjang.<br />Ayat (4)<br />Cukup jelas. Pasal 51<br />Ayat (1)<br />huruf a<br />Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dosen dan keluarganya secara wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, maupun jaminan hari tua.<br />huruf b<br />Cukup jelas.<br />huruf c<br />Cukup jelas.<br />huruf d<br />Cukup jelas.<br />huruf e<br />Cukup jelas.<br />huruf f<br />Cukup jelas.<br />huruf g<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 52<br />Ayat (1)<br />Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa kerja.<br />Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga. Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya.<br />Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan yang diberikan kepada dosen sebagai kompensasi atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.<br />Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 53<br />Cukup jelas.<br />Pasal 54<br />Cukup jelas.<br />Pasal 55<br />Ayat (1)<br />Lihat penjelasan Pasal 52 ayat (1)<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (4)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 56<br />Cukup jelas. - 15 -<br />Pasal 57<br />Cukup jelas.<br />Pasal 58<br />Cukup jelas.<br />Pasal 59<br />Ayat (1)<br />Yang dimaksud dengan bidang ilmu yang langka adalah ilmu yang sangat khas, memiliki tingkat kesulitan tinggi, dan/atau mempunyai nilai-nilai strategis serta tidak banyak diminati.<br />Yang dimaksud dengan dana dan fasilitas khusus adalah alokasi anggaran dan kemudahan yang diperuntukkan bagi dosen yang mendalami ilmu langka tersebut.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 60<br />Cukup jelas.<br />Pasal 61<br />Cukup jelas.<br />Pasal 62<br />Cukup jelas.<br />Pasal 63<br />Cukup jelas.<br />Pasal 64<br />Cukup jelas.<br />Pasal 65<br />Cukup jelas. Pasal 66<br />Cukup jelas.<br />Pasal 67<br />Cukup jelas.<br />Pasal 68<br />Cukup jelas.<br />Pasal 69<br />Cukup jelas.<br />Pasal 70<br />Cukup jelas.<br />Pasal 71<br />Cukup jelas.<br />Pasal 72<br />Cukup jelas.<br />Pasal 73<br />Cukup jelas.<br />Pasal 74<br />Cukup jelas.<br />Pasal 75<br />Cukup jelas.<br />Pasal 76<br />Cukup jelas.<br />Pasal 77<br />Cukup jelas. Pasal 78<br />Cukup jelas.<br />Pasal 79<br />Cukup jelas.<br />Pasal 80<br />Cukup jelas.<br />Pasal 81<br />Cukup jelas.<br />Pasal 82<br />Cukup jelas.<br />Pasal 83<br />Cukup jelas.<br />Pasal 84<br />Cukup jelas.<br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4586M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-84417485322649818202009-12-28T07:46:00.000-08:002009-12-28T07:53:01.648-08:00Profesionalisme Guru Pasca Undang-Undang Guru dan Dosenoleh Asep Suryana, M.Pd<br /><br />Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diharapkan dapat memberikan dorongan pada peningkatan martabat guru sebagai sebuah profesi, martabat dari sisi pengakuan atas profesi baik secara formal maupun pengakuan dari masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Martabat dari sisi keterdukungan perubahan sisi ekonomis karena ketercukupan materi yang meningkatkan kedudukan tidak hanya pada social level tapi juga economic level yang memberikan jaminan rasa aman sehingga dapat bekerja dan berkarya.<br /><br />Harapan dan keinginan meningkatkan economic level sebagai sebuah profesi masih riskan melihat angka-angka guru yang belum memenuhi kualifikasi pada tahun 2004 masih banyak, dan hal ini mengundang pertanyaan apakah ketika peningkatan kesejahteraan menaik akan sejalan dan signifikan dengan peningkatan kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan? Boleh saja memang pada tahun 2004 yang lampau angka-angka guru yang tidak sesuai kualifikasinya tinggi, dimana menunjukan bahwa guru taman kanak-kanak sebanyak 78.1% atau sekitar 119.470 orang belum memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Sedangkan untuk guru sekolah dasar masih sekitar 391.507 orang atau 34.0% belum memenuhi kualifikasi. Pada tingkat SMP masih sekitar 71,2% belum memenuhi kualifikasi sesuai tuntutan, dan pada tingkat SMA 46,6% belum memenuhi kualifikasi. (Direktorat Tenaga Kependidikan;24) Optimistik dengan kesungguhan dalam penataan ketenagaan merupakan bekal bahwa pemenuhan kualifikasi ketenagaan guru dapat dipenuhi dengan peningkatan kualifikasi guru melalui berbagai program yang mengarah ke sana.<br />Dengan demikian tidak usah kawatir dan menganggap bahwa hanya euphoria semata bahwa guru memiliki asa dan harapan dengan keluarnya Undang-Undang guru dan dosen tersebut. Karena memang diimbangi dengan berbagai program dan proyek yang mengarahkan peningkatan kualifikasi guru.<br /><br />Daftar Isi<br />1. Pendahuluan<br />2. Metodologi Pengembangan Profesi Guru<br />3. Kajian Teori Tentang Guru yang Profesional<br />4. Temuan dan Pembahasan<br />5. Kesimpulan<br />6. Rujukan<br /><br />1. Pendahuluan<br />Secercah harapan tersirat dari setiap muka para pengajar kita, terutama setelah lahirnya undang-undang guru dan dosen. Memang sebelumnya banyak mengundang polemik dengan kelahiran peraturan perundangan tersebut, masalah yang muncul berkisar diantara jati diri dan pengakuan terhadap profesi guru.<br /><br />Semuanya berbicara, memberikan pendapat dan sumbang saran karena memang semunya merasa dan memang benar merupakan bagian atau hanya ingin mengambil bagian dalam permasalahan ini. Orang tua bagian dari permasalahan guru karena memang merekalah yang akan merasakan langasung melalui anaknya, masyarakat umum juga merasakan dampak dari permasalahan guru karena memang mereka akan menerima kembali lulusan yang dididik dan diajar oleh guru. Pemerintah, badan usaha, ekonomi, dan sektor lainnyapun akan terkena imbas langsung maupun tidak langsung.<br /><br />Pertanyaan pertama dan selanjutnya; ada apa dengan profesi guru sebelum turunya undang-undang nomor 14 tentang guru dan dosen tersebut? Banyak gunjingan yang bahkan juga agak sedikit memojokan profesi guru, bahwa mereka tidak dapat lebih baik dari profesi lainnya seperti dokter, akuntan dan lain-lain. Guru belum professional, benarkah? Apa yang menjadi ukurannya? Bisakah disamakan antara guru dan profesi lainnya? Siapa yang paling bertanggungjawab dengan permasalahan-permasalahan dengan kegagalan dalam pendidikan ini, gurukah? Tidaklah sederhana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk menjawabnya kita harus berpikir sistem, bijak, dan mekanisme yang dipakainya disesuaikan dengan filosofis pendidikan dan keguruan.<br />‘Euforia’ pasca kelahiran peraturan perundangan tersebut baru pada sebatas akan membaiknya ‘upah jiwa’ (materil) bagi guru. Sedangkan pada tuntutan lebih jauhnya masih mengandalkan kepada upaya-upaya pemerintah, guru sendiri banyak yang belum sadar bahwa hal itu akan banyak menuntut pada kualifikasi individu masing-masing. Dengan gaji minimal 3 juta rupiah perbulan maka memang akan memberikan peluang terhadap perbaikan kehidupan, tapi disisi lain pemenuhan dari terisinya tiga juta tersebut banyak tuntutan seperti peningakatan kualifikasi pendidikan dari diploma 2 minimal menjadi strata 1 minimal untuk guru SD, kompetensi yang harus dimiliki maksimal menyangkut kompetensi professional, kompetensi pedagogis, kompetensi sosial dan kompetensi individual/kepribadian. Secara keseluruhan bekal modal intelektual dan perubahan pola-pola pikir lama menjadi pola pikir baru, beban baru merubah manusia dewasa yang akan mendewasakan manusia yang belum dewasa.<br />2. Metodologi Pengembangan Profesi Guru<br />Untuk meningkatkan guru menjadi guru professional, pendekatan yang digunakan secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut;<br /><br />Pemenuhan berbagai persyaratan untuk profesi harus dipenuhi, guru harus memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan tuntutan perundangan yang berlaku seperti untuk SD minimal Strata 1 dengan kesesuaian untuk guru bidang studi maupun guru kelas. Memenuhi tuntutan dengan memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian, yang selanjutnya dipertegas dengan pengesahan bahwa guru berhak untuk mengajar atau tidak melalui sertifikasi yang harus dimiliki. Apabila ketiga tuntuntutan tersebut telah dimiliki maka jabatan professional melekat pada diri dan profesinya, sedangkan apabila tidak dapat dipenuhi maka kegiatan-kegiatan wajib diikuti oleh guru seperti penataran, uji kompetensi, penelitian, pengawasan, penghargaan, pendidikan, studi banding, magang, kemitraan, seminar, dll sebagai persyaratan untuk memegang dan menyandang gelar profesional.<br /><br />3. Kajian Teori Tentang Guru yang Profesional<br />Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan yang utama. Peranan guru adalah menciptakan serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya. (Wrightman, 1977)<br />Guru merupakan jabatan profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan jaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahab serta pergeseran nilai yang bervariasi. Hal ini membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan paranan dan kompetensinya. Adapun kata profesional dalam kamus umum Bahasa Indonesia diartikan (1) bersangkutan dengan profesi, dan (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya (Depdikbud,1997). Sedangkan profesi (profession) dalam Oxford Dictionary (dalam Arikunto, 1993:229) diartikan “a vocation in which a professed knowledge of same departement of learning or science is used in it’s application to the affairs of others or in the practice of an art founded upon itâ€�.<br />Dalam pelaksanaanya, guru dituntut memiliki berbagai keterampilan mengajar, strategi belajar mengajar yang tepat, dan kemampuan melaksanakan evaluasi yang baik. Menurut Dardjo Sukardja (2003), pada dasarnya ada tiga hal pokok yang harus dimiliki seorang guru dalam menghadapi situasi apapun, termasuk dalam menghadapi tantangan yang penuh persaingan pada era globalisasi. Ketiga hal tersebut adalah : Kepribadian yang mantap, Wawasan yang luas, dan kemampuan profesional yang memadai.<br />Dengan wawasan yang luas diharapkan guru mampu memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi dengan pertimbangan kondisi sekarang dan pengalaman masa lalu. Guru yang berwawasan luas mampu mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi, inovatif, dan kreatif, serta mempunyai pandangan yang realistik dan optimistik. Selanjutnya guru harus prifesional. Jurnal Education Leadership edisi Maret 1993 menyebutkan, untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki empat hal yaitu :<br />1. Guru memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya;<br />2. Guru menguasai secara mendalam bahan mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa;<br />3. Guru bertanggung jawab memantau hal belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku sampai tes belajar;<br />4. Guru seyogyanya bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan propesinya (misalnya dalam PGRI atau organisasi profesi lainnya.<br />Secara praktis guru harus senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya dalam hal ini guru harus memiliki kemampuan sebagai berikut :<br />• Mampu menguasai materi pelajaran;<br />• Mampu merencanakan program belajar mengajar;<br />• Mampu melaksanakan proses belajar mengajar;<br />• Mampu melaksanakan evaluasi;<br />• Mampu mendiagnosa kesulitan belajar siswa;<br />• Mampu melaksanakan administrasi, kurikulum atau administrasi guru.<br /><br />Keterkaitan kebijakan pendidikan dengan peningkatan profesionalisme guru, harus bertumpu pada misi peningkatan mutu pendidikan. Dari misi ini antara lain dijabarkan pada program-program :<br />1. Pembinaan profesionalisme dan kepribadian para guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan oleh para pengawas dan/atau para pejabat struktural terkait. Pendidikan dan pelatihan bagi para guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, pamong belajar, tutor dan tenaga kependidikan lainnya harus sesuai dengan kebutuhan lapangan. Pendidikan kualifikasi bagi para guru, tenaga kependidikan lain dan tenaga administratif kejenjang pendidikan yang lebih tinggi; dan<br />2. Pembinaan dan pengembangan guru melalui wadah KKG, KKKS, KKPS, MGMP, dan MGP pada semua jenjang dan jenis pendidikan.<br />Normal menjelaskan Taxonomy For Teachers Competencies Normal Doele dalam buku Balnadi Sutadipura (1995) sebagai berikut:<br />1. Kompetensi guru untuk “Assessing and Evaluating Students Behavior.â€�<br />Mengenal jiwa anak didik merupakan syarat mutlak dalam proses pembentukan kepribadian individu, menemtukan sifat dan tingkah laku anak tidak bisa dilakukan dengan cepat, harus ditempuh dengan jalan Assessing, memperkira-kirakan untuk kemudian dievaluasi dengan tepat, minat, motivasi, angan-angan dan sebagainya merupakan faktor penghambat dalam proses pendidikan dan pengajaran.<br />2. Kompetensi guru untuk “Planning Instructionâ€�<br />Instruction artinya pengajaran/pelajaran. Planning Instruction artinya kompetensi guru dalam membuat persiapan mengajar.<br />3. Kompetensi guru untuk “Conduction or Implementing Intructionâ€�<br />Conducting artinya seorang pemimpin pagelaran.<br /><br />To Emplement berarti to perform atau Fulfield menampilkan atau malaksanakan interaksi PBM.<br />Sub Competencies Conducting or implementing<br />1. Structuring (waktu yang diperlukan)<br />1. Pengantar : Introduction, melakukan apersepsi sebanyak 10% waktu seluruh penampilan;<br />2. Inti atau Core, waktunya 70/80% dari keseluruhan<br />3. Penutup atau Closure (Posttest, waktunya 10/15%)<br />4. Motivating and Reinforcing<br />Kompetensi untuk memupuk memberikan motivasi kepada para anak didiknya supaya lebih bergairah belajar dengan menonjolkan mengapa mereka harus mempelajari bidang studi tertentu dalam rangka mencapai cita-cita hidupnya.<br />5. Conducting Discussing Small Group Activities<br />Proses belajar- mengajar dengan metode diskusi.<br />6. Conducting Individual Aktivities<br />Kemampuan guru untuk diberikan pada anak didiknya kegiatan-kegiatan perorangan dengan tujuan mengisi kekurangan yang ada pada diri anak baik dalam bidang akademik, emosional, mental dan sebagainya. Remedial Teaching sebagai Feollovo-up nya.<br />7. Providing For Feedback / menyedikan umpan balik.<br />8. Presenting in Formations<br />Guru harus mampu menuangkan buah pikirannya secara tertulis dalam kata-kata yang dapat ditangkap dengan mudah oleh siswa.<br />9. Utilizing Inductive or Problem Solving<br />Prosedur deduktif bertolak dari yang umum ke yang khusus.<br />10. Questioning and Responding<br />Komunikasi oleh guru yang dilakukan dengan tanya jawab.<br />11. Kompetensi Operating Hardware<br />Hardware : alat-alat pembantu komunikasi pendidikan seperti OHP, projektor dan sebagainya.<br />2. Kompetensi Performing Administrative Duties<br />Menyelenggarakan kewajiban yang bersangkut paut dengan administrasi sekolah<br /> Buku induk<br /> Buku kas<br /> Mengkaver rapat sekolah<br /> Korespondensi (membuat surat/membahas surat)<br /> Administrasi yang berhubungan dengan manajemen kelas khususnya dalam bidang edukatif : daftar kemampuan siswa (Unecdobel records)<br />3. Kompetensi Communicating<br />Kemampuan komunikasi baik secara vertikal maupun secara horizontal Guru melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri, anak didik, atasan, masyarakat atau dengan sesama guru.<br />4. Kompetensi Developing Personal Skills<br />Pengembangan keterampilam pribadi perlu dilakukan secara kontinue mengingat cepatnya kemajuan yang dicapai teknologi dewasa ini. Guru harus mampu melakukan dalam bentuk tindakan yang berupa teknologi dan keterampilan psikomotorik yang ditunjang teori-teori yang harus diperoleh dari buku yang ditulis dalam bahasa asing.<br />5. Kompetensi Developing Pupil Self<br />Developing yang yang bermodalkan potensi-potensi yang tidak ada pada anak itu itu sendiri. Potensi yang dimiliki setiap individu murid berbeda. Developing seorang murid yang potensinya minim dalam waktu yang belum tentu lama, akan lebih kecil dari mereka yang modalnya lebih besar. Interaksi guru dan murid harus lebih tepat.<br />Profesionalisme guru lahir tidak hanya karena kebertulan, akan tetapi membutuhkan usaha dan waktu. Lahirnya profesi didukung juga oleh teori yang terus berkembang, mengapa profesi guru membutuhkan ketrdukungan dari sisi perkembangan teori? Karena teori memang memiliki kepentingan sebagai dasar dalam pengembangan dan teori memberikan dukungan terhadap keajegan sebuah ilmu dan profesi. Pentingnya teori bagi profesional membawa implikasi, dari sisi pendidikan akademis yang cukup lama diperguruan tinggi sesuatu yang mutlak dan dinyatakan dengan tanda keberhasilan, dan hanya orang-orang tertentu yang dapat melaksanakan dan memiliki kemampuan intelektual tersebut, selanjutnya seleksi untuk calon profesi harus melalui saringan dan pendidikan yang teliti dan tegas.<br /><br />Unsur lainnya dalam profesi adalah kewenangan yang melekat, pendidikan dalam bidang ilmunya memberi seorang profesional jenis pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang yang bukan ahli dalam bidang itu. Contoh seorang guru memiliki kewenangan penuh dalam memberikan penilaian terhadap peserta didiknya.<br /><br />Penegasan dalam profesi guru adalah juga adanya pengakuan dari masyaraka, setiap kelompok profesi berusaha agar masyarakat menguatkan dan mengakui kewenangannya dengan memberikan dukungan dan kepercayaan. Pengakuan tersebut bisa berbentuk formal maupun non formal. Pengakuan formal ialah adanya pengakuan dari kekuatan hukum. Pengakuan non formal dengan lahirnya bentuk-bentuk dukungan terhadap profesi oleh lembaga-lembaga yang di dirikan oleh masyarakat.<br /><br />Berkembang dan tegaknya sebuah profesi sehingga profesi menjadi tumbuh dan berkembangan sesuai dengan tujuannya adalah adanya kode etik. Kode etik adalah bentuk perilaku normatif yang menjadi acuan bagi setiap anggota profesi dan sebagai jaminan bagi orang di luar anggota profesi yang bersangkutan. Kode etik keguruan sangat menekankan pengabdian pada masyarakat, profesi, dan kesejahteraan kliennya, serta menolak penyalahgunaan keterampilan profesinya untuk tujuan pribadi dan melarang seseorang mengaku sebagai bagian dari profesi itu tanpa menjadi anggota secara formal.<br /><br />Profesi berkembang membentuk budaya profesi. Kebudayaan profesi terdiri dari norma-norma, simbol-simbol dan konsep karier. Simbol-simbol itu dapat berupa lencana, lambang, pakaian, sejarahnya, dan pahlawan-pahlawannya. Profesi memandang bahwa jasanya itu suatu kebajikan sosial, dan kesejahteraan masyarakat akan sangat dirugikan oleh ketidak hadirannya. Budaya profesi dan unsur-unsurnya tersebut diikat dalam satu kebersamaan dan persatuan profesi. Suatu profesi secara keseluruhan mempunyai tanggung jawab atas kualitas jasa yang diberikan, pengembangan karier anggotanya, rekrutmen calon profesi, pendidikan calon profesi dan tindakan-tindakan anggota profesi.<br />Dengan demikian sebuah profesi (profesi guru) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:<br />0. Memiliki fungsi yang signifikan dalam kehidupan masyarakat dimana profesi tersebut berada;<br />1. Memerlukan keahlian dan keterampilan tertentu yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat awam pada umumnya;<br />2. Keahlian yang diperoleh dikembangkan berdasarkan disiplin ilmu yang jelas dan sistematik;<br />3. Memerlukan pendidikan atau pelatihan yang panjang, sebelum seseorang mampu memangku profesi tersebut;<br />4. Memiliki otonomi dalam membuat keputusan yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya;<br />5. Memiliki kode etik jabatan yang menjelaskan bagaimana profesi itu harus dilaksanakan oleh orang yang memegangnya;<br />6. Memiliki organisasi yang merupakan tempat pemegang profesi berasosiasi dan mengembangkan profesi tersebut.<br /><br />4. Temuan dan Pembahasan<br />Sejarah membuktikan bahwa unsur profesi juga tidak bisa terlepas dari sebuah birokrasi yang ada. Demikian halnya dengan profesi guru dari dulu sampai sekarang belum bisa terlepas dari unsur-unsur birokrasi yang melekat. Kadang kita menafsrirkan bahwa kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan dalam profesi guru yang terjadi karena kepatuhan yang muncul terlalu didominasi oleh kepatuhan birokrasi, sementara kepatuhan dalam ranah profesinya sendiri belum muncul dan belum merupakan otonomi penuh kepemilikan sebuah profesi.<br />Keterbelengguan dalam birokrasi menyebabkan guru sangat-sangat konformitas sehingga sebagian diantaranya mematikan kreativitas dan daya inovatif guru. Budaya konformitas mejadi bagian dari sebuah birokrasi yang kaku dan menyeret profesionalisme guru menjadi semu, juklak dan juknis menjadi bagian dari penentu bergerak dan bekerjanya guru. Dalam pengembangan profesi birokrasi masih menjadi pijakan utama, naik atau turunya kedudukan seseorang dalam jabatan dan pekerjannya.<br /><br />Akan tetapi tidak selamanya bahwa budaya birokrasi itu salah dan gagal, sebetulnya hanya karena ada unsur kekuasaan berlebih yang terselewengkan maka birokrasi itu menjadi tidak efektif. Kepatuhan birokrasi perlu dimiliki profesi guru, kepatuhan yang mengarah kepada pemenuhan sebagai bagaian dari birokrasi Negara yang berlaku. Birokrasi yang menghambat perkembangan profesi seperti kegiatan-kegiatan yang muncul yang sebenarnya hal tersebut tidak ada, uang administrasi yang kadang mebebani dalam pengembangan karier kepegawaian. Birokrasi yang diselewengkan tersebut menyebabakan adanya penyelewengan pula dalam pelaksanaan profesi.<br /><br />Di beberapa kota/kabupaten ada kasus dan masih juga berlangsung bahwa profesi guru jadi ajang komoditi birokrasi, jual beli dalam rekruitasi profesi guru tidak lagi melihat the right man on the right place, karena memang dimulai dari penugasan orang yang berkuasa dalam birokrasi yang menempatkan orang karena memang adanya unsur keterbelengguan dalam status politik. Ada beberapa kabupaten atau kota yang pernah mengalami bahwa pendidikan dipimpin dan diatur oleh orang yang memiliki jalur dan latar belakang yang berlainan dengan yang harus dikerjakannya. Atau ada kabupaten/kota yang dipimpin oleh orang yang sejalur akan tetapi dia memegang jabatan itu meloncat-loncat tidak seperti trek/jalur tahapan yang harus dilaluinya, seorang guru sekolah dasar tiba-tiba jadi kepala sub dinas karena memang orang terdekat dengan para birokrat.<br /><br />Bisakah budaya birokrasi dan budaya professional dikawinkan sehingga memunculkan bentuk kepatuhan yang sesuai dengan harapan, kalau meminjam istilah Getzel dan Guba dalam teori organisasi sebagai system social, ada dua sisi yang harus diperhatikan yaitu sisi nomotetis dan sisi idiographis sehingga bagaimana keduanya dapat memunculkan perilaku yang diharapkan. Dalam kasus kepatuhan birokrasi dan kepatuhan professional yang “dikawinkanâ€� dan menghasilakn bentuk kepatuhan (budaya professional) yang diharapkan dapat digambarkan sebagai berikut:<br /><br />Berkaitan dengan kualifikasi yang ada sekarang per-tahun 2004 menunjukan data-data sebagai berikut:<br />1. Jenjang Taman Kanak-kanak dari jumlah guru 153.062 orang memiliki kualifikasi pendidikan SLTA 32.510 orang, D1 86.960 orang, D2 18.071 orang, D3 2.770 orang, S1 12.609 orang, S2 131 orang, dan S3 11 orang;<br />2. Jenjang Sekolah Dasar dari jumlah guru 1.150.554 orang memiliki kualifikasi pendidikan SLTA 378.740 orang, D1 12.767 orang, D2 544.082 orang, D3 19.506 orang, S1 195.457 orang, S2 2 orang, dan S3 0 orang;<br />3. Jenjang SMP dari jumlah guru 445.175 orang memiliki kualifikasi pendidikan SLTA 0 orang, D1 130.753 orang, D2 82.788 orang, D3 103.571 orang, S1 128.005 orang, S2 56 orang, dan S3 3 orang;<br />4. Jenjang SMA dari jumlah guru 187.00 orang memiliki kualifikasi pendidikan SLTA 0 orang, D1 164 orang, D2 15.589 orang, D3 71.380 orang, S1 99.625 orang, S2 228 orang, dan S3 14 orang.<br />Dari jumlah guru taman kanak-kanak 153.062 orang sebesar 21.9% memenuhi kualifikasi atau sekitar 33.592 orang dan sebanyak 78.1% atau sekitar 119.470 orang belum memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengjar di tingkat taman kanak-kanak. Sedangkan untuk guru sekolah dasar sudah mencapai 66.0% atau sekitar 758.947 orang telah memenuhi kualifikasi pendidikan dasar dan masih sekitar 391.507 orang atau 34.0% belum memenuhi kualifikasi. Pada tingkat SMP dari jumlah 445.175 orang masih sekitar 71,2% belum memenuhi kualifikasi ssuai tuntutan dan baru 28.8% yang baru memenuhi kualifikasi. Pada tingkat SMA dari 187 orang guru baru 53,4% yang telah memenuhi kualifikasi dan sisanya 46,6% belum memenuhi kualifikasi (Direktorat Tenaga Kependidikan;24).<br /><br />5. Kesimpulan<br />Perubahan untuk perbaikan seperti semangat kaizen dalam meningkatkan profesionalisme guru sebagai bagian dari semangat untuk merupabah profesi guru menajadi profesi yang memiliki tingkat kebanggaan seperti dahulu para guru sebelum kita. Mereka sangat disegani mereka sangat dipatuhi karena pada mereka ada sebuah kebenaran, ada sebuah nilai kepercayaan yang patut diteladani “digugu dan ditiruâ€�. Hari ini keterguguan dan ketertiruan tersebut bukan hanya karena jarang atau hal yang baru akan tetapi harus merupakan “rohâ€� dari profesinya itu sendiri.<br /><br />Peningkatan kesejahteraan adalah bentuk pengakuan atas kerja keras dan kewajiban yang berat untuk berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini, meneruskan kehidupan sebagai masyarakat dunia yang meiliki daya saing yang tinggi dengan cirri-ciri kebudayaan yang tersu terjada dan tidak terbawa arus perubahan yang mengglobal. Memainkan peranan sentral dalam pergaulan kehidupan dunia sehingga bisa mengarahkan dan mengendalikan nilai dan norma kehidupan yang kita anut.<br />Strategi pengembangan profesi guru harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, sistematis artinya bahwa pengembangan profesi harus merupakan bagian dari pola-pola pengembangan sumber daya manusia secara makro yang menjunjung azas keadilan dan pemerataan. Berkelanjutan menggambarkan keseriusan yang terus menerus berupaya untuk memperbaiki dan menata profesi.<br />Prosedur pengembangan kearah guru yang professional seperti yang diharapkan harus merupakan bagian integral dari program kerja dinas pendidikan nasional, secara sederhana prosedur tersebut dapat digamarkan sebagai berikut:<br /><br />Prosedur Pengembangan Profesional Guru<br />6. Rujukan<br />1. Abin Syamsudin Makmun, (1996), Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan, Program Pasca Sarjana IKIP Bandung.<br />2. Catetter, B. William, (1996), The Human Resources Function In Education Administration, A Simon & Schuster Company Englewood cliffs, New Jersey.<br />3. Direktorat Tenaga Kependidikan, (2003), Pedoman Pelaksanaan Program Guru Bantu Tahun 2003, Direktorat Tenaga Kependidikan; Dirjen Dikdasmen; Departemen Pendidikan Nasional.<br />4. …………………………………., (2003) Pedoman Umum Program Guru Bantu Tahun 2003, Direktorat Tenaga Kependidikan; Dirjen Dikdasmen; Departemen Pendidikan Nasional.<br />5. Guskey, R. Thomas and Huberman, (1995), Professional Development in Education; New Paradigms and Practices, Teachers College Press New York.<br />6. Gilley, Jerry W., (1989), Principles of Human resources Development, Addison-Wesley Publishing Company, USA.<br />7. Manullang, (1985), Management Personalia, Ghalia Indonesia, Jakarta.<br />8. Schuler, Randall S., (1987), Personnel and Human Resources Management, West Publishing company, USA<br />9. Samana, (1994), Profesionalisme Keguruan, Kanisius, Yogyakarta.<br />10. Surya, H.M, (2002), Aspirasi Peningkatan Kemampuan Profesionalisme dan Kesejahteraan Guru, Dalam Jurnal Pendidikan Kebudayaan No.021 Tahun ke-5 Balitbang Dikbud, Jakarta.<br />11. Sutadipura, Balnadi, (1995), Kompetensi Guru dan Kesehatan Mental, Angkasa, Bandung.<br />12. Usman, Uzer, (2002), Menjadi Guru Profesional, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.<br />________________________________________<br />1. UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional<br />2. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen<br />3. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional PendidikanM.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-85205218027001280962009-12-03T08:26:00.000-08:002009-12-03T08:32:35.917-08:00Manajemen Berbasis Sekolaholeh: Agus Dharma (Pusdiklat Pegawai Depdiknas)<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pendahuluan<br /></span><br />Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.<br /><br />Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah.<br /><br />MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Manfaat MBS</span><br /><br />MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.<br /><br />Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.<br /><br />Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperanserta merencanakan-nya.<br /><br />Para pendukung MBS menyatakan bahwa pendekatan ini memiliki lebih banyak maslahatnya ketimbang pengambilan keputusan yang terpusat. Maslahat itu antara lain menciptakan sumber kepemimpinan baru, lebih demokratis dan terbuka, serta menciptakan keseimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Pengambilan keputusan yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan meningkatkan motivasi dan komunikasi (dua variabel penting bagi kinerja guru) dan pada gilirannya meningkatkan prestasi belajar murid. MBS bahkan dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.<br /><br />Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut(Kathleen, ERIC_Digests, downloaded April 2002).<br /><br /> . Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.<br /><br /> . Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.<br /><br /> . Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.<br /><br /> . Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.<br /><br /> . Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.<br /><br /> . Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Pengaruh MBS Terhadap Peran Pemerintah Pusat, Daerah, dan Dewan Sekolah.<br /></span><br />Apa pengaruh penerapan MBS terhadap kewenangan pemerintah pusat (Depdiknas), dinas pendidikan daerah, dan dewan sekolah?<br /><br />Penerapan MBS dalam sistem yang pemerintahan yang masih cenderung terpusat tentulah akan banyak pengaruhnya. Perlu diingatkan bahwa penerapan MBS akan sangat sulit jika para pejabat pusat dan daerah masih bertahan untuk menggenggam sendiri kewenangan yang seharusnya didelegasikan ke sekolah. Bagi para pejabat yang haus kekuasaan seperti itu, MBS adalah ancaman besar.<br /><br />MBS menyebabkan pejabat pusat dan kepala dinas serta seluruh jajarannya lebih banyak berperan sebagai fasilitator pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Pemerintah pusat, dalam rangka pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tentu saja masih menjalankan politik pendidikan secara nasional. Pemerintah pusat menetapkan standar nasional pendidikan yang antara lain mecakup standar kompetensi, standar fasilitas dan peralatan sekolah, standar kepegawaian, standar kualifikasi guru, dan sebagainya. Penerapan standar disesuaikan dengan keadaan daerah. Standar ini kemudian dioperasionalkan oleh pemerintah daerah (dinas pendidikan) dengan melibatkan sekolah-sekolah di daerahnya. Namun, pemerintah pusat dan daerah harus lebih rela untuk memberi kesempatan bagi setiap sekolah yang telah siap untuk menerapkannya secara kreatif dan inovatif. Jika tidak, sekolah akan tetap tidak berdaya dan guru akan terpasung kreativitasnya untuk berinovasi. Pemerintah harus mampu memberikan ban tuan jika sekolah tertentu mengalami kesulitan menerjemahkan visi pendidikan yang ditetapkan daerah menjadi program-program pendidikan yang berkualitas tinggi. Pemerintah daerah juga masih bertanggung jawab untuk menilai sekolah berdasarkan standar yang telah ditetapkan.<br /><br />Kita belum memiliki pengalaman dengan dewan sekolah. Ada rencana untuk mengadakan dewan pendididikan pada tingkat nasional, dewan pendidikan pada tingkat daerah, dan dewan sekolah di setiap sekolah. Di Amerika Serikat, dewan sekolah (di tingkat distrik) berfungsi untuk menyusun visi yang jelas dan menetapkan kebijakan umum pendidikan bagi distrik yang bersangkutan dan semua sekolah di dalamnya. MBS di Amerika Serikat tidak mengubah pengaturan sistem sekolah, dan dewan sekolah masih memiliki kewenangan dengan berbagi kewenangan itu. Namun, peran dewan sekolah tidak banyak berubah.<br /><br />Dalam rangka penerapan MBS di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah.<br /></span><br />Di Amerika Serikat, kebanyakan sekolah memiliki apa yang disebut dewan manajemen sekolah (school management council). Dewan ini beranggotakan kepala sekolah, wakil orang tua, wakil guru, dan di beberapa tempat juga anggota masyarakat lainnya, staf administrasi, dan wakil murid di tingkat sekolah menengah. Dewan ini melakukan analisis kebutuhan dan menyusun rencana tindakan yang memuat tujuan dan sasaran terukur yang sejalan dengan kebijakan dewan sekolah di tingkat distrik.<br /><br />Di beberapa distrik, dewan manajemen sekolah mengambil semua keputusan pada tingkat sekolah. Di sebagian distrik yang lain, dewan ini memberi pendapat kepada kepala sekolah, yang kemudian memutuskannya. Kepala sekolah memainkan peran yang besar dalam proses pengambilan keputusan, apakah sebagai bagian dari sebuah tim atau sebagai pengambil keputusan akhir.<br /><br />Dalam hampir semua model MBS, setiap sekolah memperoleh anggaran pendidikan dalam jumlah tertentu yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah daerah menentukan jumlah yang masuk akal anggaran total yang diperlukan untuk pelaksanaan supervisi pendidikan di daerahnya, seperti biaya administrasi dan transportasi dinas, dan mengalokasikan selebihnya ke setiap sekolah. Alokasi ke setiap sekolah ini ditentukan berdasarkan formula yang memperhitungkan jumlah dan jenis murid di setiap sekolah.<br /><br />Setiap sekolah menentukan sendiri pengeluaran anggaran yang dialokasikan kepada mereka untuk pembayaran gaji pegawai, peralatan, pasok, dan pemeliharaan. Kemungkinan variasi penggunaan anggaran dalam setiap daerah dapat terjadi dan tidak perlu disesalkan, karena seragam belum tentu bagus. Misalnya, di sebagian daerah, sisa anggaran dapat ditambahkan ke anggaran tahun berikutnya atau dialihkan ke program yang memerlukan dana lebih besar. Dengan cara ini, didorong adanya perencanaan jangka panjang dan efisiensi.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Syarat Penerapan MBS</span><br /><br />Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup "seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya."<br /><br />Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan.<br />Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan yang berikut.<br /><br /> . MBS harus mendapat dukungan staf sekolah.<br /> . MBS lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.<br /> Kemungkinan diperlukan lima tahun atau lebih untuk menerapkan MBS secara berhasil.<br /> . Staf sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran komunikasi yang baru.<br /> . Harus disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf untuk bertemu secara teratur.<br /> . Pemerintah pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang tua murid.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Hambatan Dalam Penerapan MBS</span><br /><br />Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut.<br /><br />Tidak Berminat Untuk Terlibat<br /><br />Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.<br />Tidak Efisien<br /><br />Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.<br />Pikiran Kelompok<br /><br />Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai terjangkit "pikiran kelompok." Ini berbahaya karena keputusan yang diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.<br />Memerlukan Pelatihan<br /><br />Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya, pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.<br />Kebingungan Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru<br /><br />Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.<br />Kesulitan Koordinasi<br /><br />Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.<br /><br />Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.<br /><br />Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />MBS dan Prestasi Belajar Murid</span><br /><br />MBS merupakan salah satu gagasan yang diterapkan untuk meningkatkan pendidikan umum. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran murid. Dengan demikian, ia bukan sekadar cara demokratis melibatkan lebih banyak pihak dalam pengambilan keputusan. Keterlibatan itu tidak berarti banyak jika keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil lebih baik.<br /><br />Kita belum memiliki pengalaman untuk mengaitkan penerapan MBS dengan prestasi belajar muird. Di Amerika Serikat (David Peterson, ERIC_Digests, downloaded April 2002) upaya mengaitkan MBS dengan prestasi belajar murid masih problematis. Belum banyak penelitian kuantitatif yang telah dilakukan dalam topik ini. Selain itu, masih diragukan apakah benar penerapan MBS berkaitan dengan prestasi murid. Boleh jadi masih banyak faktor lain yang mungkin mempengaruhi prestasi itu setelah diterapkannya MBS. Masalah penelitian ini makin diperparah dengan tiadanya definisi standar mengenai MBS. Studi yang dilakukan tidak selamanya mengindikasi-kan sejauhmana sekolah telah mendistribusikan kembali wewenangnya.<br /><br />Salah satu studi yang dilakukan yang menelaah ratusan dokumen justru menunjukkan bahwa dalam banyak contoh, MBS tidak mencapai tujuan yang ditetapkan. Studi itu menunjukkan bahwa peningkatan prestasi murid tampaknya hanya terjadi di sejumlah sekolah yang dijadikan pilot studi dan dalam jangka waktu tidak lama pula.<br /><br />Hasil MBS di daerah perkotaan masih belum jelas benar. Di sekolah di daerah pingiran kota Maryland menunjukkan adanya peningkatan prestasi murid dalam skor tes terutama di kalangan orang Amerika keturunan Afrika, setelah menerapkan lima langkah rencana reformasi, termasuk MBS. Namun, di tempat lain, seperti Dade County, Florida, setelah menerapkan MBS selama tiga tahun, prestasi murid di sekolah-sekolah dalam kota justru menurun.<br /><br />Meskipun peningkatan skor tes mungkin dapat dipakai sebagai indikasi langsung kemampuan MBS meningkatkan prestasi belajar murid, cukup banyak pula bukti tidak langsung. Misalnya, sudi kasus yang dilakukan terhadap dua distrik sekolah di Kanada menunjukkan bahwa pengambilan keputusan yang didesentralisasikan menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih efektif. Salah seorang guru memutuskan untuk mengurangi penggunaan mesin fotokopi agar dapat mempekerjakan staf tambahan. Tinjauan tahunan sekolah menunjukkan bahwa kepuasan murid sekolah menengah pertama dan lanjutan meningkat terhadap banyak hal setelah diadakannya pembaruan. Para murid menunjukkan adanya peningkatan dalam bidang-bidang penting seperti kegunaan dan efektivitas mata pelajaran dan penekanan sekolah atas sejumlah kecakapan dasar.<br /><br />Pengambilan keputusan bersama telah meningkatkan kejelasan guru tentang tujuan pengajaran serta metode yang pada gilirannya meningkatkan efektivitas pengajaran. MBS dipandang meningkatkan kepuasan kerja guru, khususnya ketika para guru memainkan peranan yang lebih menentukan ketimbang sekadar memberikan saran. Di Dade County, Florida, studi yang dilakukan menunjukkan bahwa tiga tahun penerapan MBS memberi kontribusi pada terciptanya lingkungan yang lebih kolegial dan lebih sedikit murid yang bermasalah.<br /><br />Namun, survei yang dilakukan di Chicago menunjukkan bahwa MBS tidak selamanya popular di kalangan guru. Tiga perempat dari seratus orang guru yang disurvei menyatakan bahwa reformasi desentralisasi sekolah di Chicago telah gagal meningkatkan prestasi belajar murid, dan bahkan lebih banyak lagi responden yang menyangkal bahwa perubahan itu telah meningkatkan motivasi guru.<br /><span style="font-weight:bold;"><br />Kenapa MBS Tidak Berpengaruh Terhadap Prestasi Belajar?</span><br /><br />Dalam praktik penerapannya di Amerika Serikat ada indikasi bahwa banyak kelemahan MBS dikarenakan penerapannya yang tidak komprehensif; artinya MBS diterapkan sepotong-sepotong. Para anggota dewan sekolah biasanya dikendalikan oleh kepala sekolah, sedangkan pihak-pihak lain tidak banyak berperan. Pola lama di mana administrator pendidikan menetapkan kebijakan, guru mengajar, dan orang tua mendukung tampaknya masih dipertahankan. Pola yang tertanam kuat ini sukar ditanggulangi. Apabila para anggota dewan tidak disiapkan dengan baik, mereka seringkali sangat bingung dan cemas untuk mengemban tanggung jawabnya yang baru.<br /><br />Acapkali, Tim MBS hanya berkonsentrasi pada hal-hal di luar kegiatan pembelajaran. Pengamatan penerapan MBS menunjukkan bahwa dewan sekolah cenderung memusatkan perhatian pada kegiatan-kegiatan-kegiatan seperti penghargaan dan pendisiplinan murid ketimbang pada pengajaran dan kurikulum. Selain itu, ada pula indikasi bahwa MBS membuat kepala sekolah menjadi lebih berminat dengan hal-hal teknis administratif dengan mengorbankan aspek pembelajaran. Dengan kata lain, peran kepemimpinan pendidikannya diabaikan.<br /><br />Namun, kekurangpedulian terhadap proses pembelajaran di dalam kelas bukanlah penyakit bawaan MBS. Tim MBS tidak dapat dipersalahkan karena tidak berhasil mendongkrak skor tes murid jika mereka tidak mendapat kewenangan untuk melakukan hal itu. Misalnya, pengamatan di Chicago menunjukkan bahwa wewenang pendidikan sebagian besar telah didelegasikan kepada orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Selain itu, tidaklah fair untuk mengharapkan adanya dampak atas suatu reformasi pendidikan di daerah pinggiran kota besar yang telah porak-poranda oleh seringnya terjadi kasus-kasus kebrutalan, kejahatan, dan kemiskinan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">Bagaimana Agar MBS Meningkatkan Prestasi Belajar?</span><br /><br />MBS tidak boleh dinyatakan gagal sebelum memperoleh kesempatan yang adil untuk diterapkan. Banyak program yang tidak berkonsentrasi pada prestasi pendidikan, dan banyak pula yang merupakan variasi dari model hierarkis tradisional ketimbang penataan ulang wewenang pengambilan keputusan secara aktual. Pengalaman penerapan di negara lain menunjukkan bahwa daerah yang benar-benar mendelegasikan wewenang secara substansial kepada sekolah cenderung memiliki pimpinan yang mendukung eksperimentasi dan yang memberdayakan pihak lain. Ada indikasi bahwa pembaruan yang berhasil juga mengharuskan adanya jaringan komunikasi, komitmen finansial terhadap pertumbuhan profesional, dukungan dari semua komponan komunitas sekolah. Selain itu, pihak yang terlibat harus benar-benar mau dan siap memikul peran dan tanggung jawab baru. Para guru harus disiapkan memikul tanggung jawab dan menerima kewenangan untuk berinisiatif meningkatkan pembelajaran dan bertanggung gugat atas kinerja mereka.<br /><br />Penerapan MBS yang efektif seyogianya dapat mendorong kinerja kepala sekolah dan guru yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi murid. Oleh sebab itu, harus ada keyakinan bahwa MBS memang benar-benar akan berkontribusi bagi peningkatan prestasi murid. Ukuran prestasi harus ditetapkan multidimensional, jadi bukan hanya pada dimensi prestasi akademik. Dengan taruhan seperti itu, daerah-daerah yang hanya menerapkan MBS sebagai mode akan memiliki peluang yang kecil untuk berhasil.<br /><br />Pertanyaannya, sudahkan daerah siap melaksanakan MBS? Penulis khawatir tidak banyak daerah di Indonesia yang benar-benar siap menerapkan MBS. Masih terlalu banyak hambatan yang harus ditanggulangi sebelum benar-benar menetapkan MBS sebagai model untuk melakukan perubahan.M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-29776157902301653222009-12-03T07:59:00.000-08:002009-12-03T08:02:22.617-08:00PROBLEMATIKA DAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN INDONESIA<span style="font-weight:bold;">A. Pendahuluan</span><br /><br />Negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, tengah memasuki dunia tanpa batas (borderless world) sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi, dampak globalisasi komunikasi, dan kesepakatan-kesepakatan internasional. Adanya kesepakatan perdagangan bebas AFTA mulai tahun 2003 dan NAFTA mulai 2020 (untuk negara maju mulai 2010), membuka peluang masuknya tenaga kerja dari luar negeri yang berkualitas dan berdaya saing tinggi, ke dalam dunia kerja di Indonesia; dan hal ini jelas mengancam keberadaan tenaga kerja Indonesia, lebih-lebih bagi mereka yang tidak memiliki kecakapan hidup yang memadai untuk memasuki kesempatan kerja yang ada. Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa keterbukaan negara dan masyarakat Indonesia terhadap berbagai aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan komunikasi, telah menuntut tersedianya modal manusia berupa kecakapan hidup yang bermutu.<br /><br />Berbagai temuan tentang rendahnya kualitas SDM Indonesia telah dikemukakan di berbagai forum maupun media massa. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) Indonesia, khususnya pada peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala, makin lama makin menurun. Pada tahun 1996, Indonesia menempati peringkat 102 dari 174 negara, pada tahun 1997 naik ke urutan 99, namun merosot lagi ke urutan 105 pada tahun 1998, dan semakin merosot ke urutan 109 pada tahun 1999. Data yang dilaporkan The World Economic Forum (2000) menempatkan Indonesia sebagai negara berdaya saing rendah, yaitu menempati urutan 37 dari 57 negara yang disurvai. Lebih dari 60% tenaga Indonesia hanya lulusan SD/MI atau tidak tamat SD/MI.<br /><br />Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah hingga tahun 1998/1999 masih ada sekitar 0,9 juta anak usia 7-12 tahun yang tidak berada pada sistem persekolahan karena tidak mendaftar sekolah dan/atau putus sekolah (Jalal dan Dedi Supriadi, 2001). Hal ini disebabkan oleh banyaknya jumlah penduduk miskin di desa tertinggal dan daerah kumuh perkotaan yang tidak mampu membiayai pendidikan bagi anak-anaknya. Di samping itu, terbatasnya sarana transportasi terutama di pulau-pulau terpencil merupakan kendala bagi penduduk untuk menjangkau layanan pendidikan. Walaupun jumlah 1,2 juta tidak terlalu besar, namun hal ini tidak dapat diabaikan karena menyangkut hak setiap anak Indonesia untuk mendapatkan layanan pendidikan.<br /><br />Masalah lain yaitu masih banyaknya siswa yang mengulang kelas. Analisis Kohort menunjukkan bahwa hanya 60,1% siswa SD/MI yang berhasil menyelesaikan pendidikannya selama 6 tahun, sebanyak 24,1% dalam 7 tahun, 5,2% dalam 8 tahun, dan selebihnya dalam 9 tahun atau putus sekolah (Jalal dan Dedi Supriadi, 2001). Masalah besarnya proporsi siswa yang mengulang kelas atau putus sekolah ini merupakan realitas sosial yang perlu segera mendapatkan respon cepat dan tepat dari berbagai pihak untuk mengatasinya (Anonim, 2002).<br /><br />Saryono, Djoko (2002) mengemukakan bahwa ada empat kecenderungan utama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah umum, yaitu: (1) pendidikan dasar dan menengah umum memang dirancang berdasarkan paradigma kebutuhan tingkat tinggi (high based-education) dan sekolah berorientasi akademis-intelektual, oleh sebab itu siswa tidak pernah disiapkan untuk memasuki lapangan kerja, apalagi membuka dan menciptakan lapangan kerja, (2) sistem pembelajaran mengabaikan kecakapan (techne atau praxis) yang perlu dimiliki dan dibutuhkan oleh siswa dalam kehidupan sehari-hari, (3) akibat kecenderungan pertama dan kedua tersebut, sekolah pada umumnya tidak memiliki, apalagi mengembangkan, suatu program bimbingan karir alternatif yang dapat membekali siswa dengan kecakapan tertentu di samping kemampuan akademis, dan (4) sekolah pada umumnya tidak dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja, masyarakat, dan kehidupan sehari-hari secara antisipatoris sehingga seolah-olah sekolah terlepas dan terpisah dari dunia sekelilingnya.<br /><br />Bertolak dari berbagai gambaran di atas, dapat dilihat bahwa ada permasalahan besar dan mendasar dengan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, yaitu rendahnya mutu sistem pembelajaran atau sistem pendidikan di sekolah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pengembangan sistem pendidikan nasional yang mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">A. Problematika Pendidikan di Indonesia</span><br /><br />Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai krisis yang terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan, dan telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyaraka (Tilaar, 2000).<br /><br />Pertanyaan yang perlu direnungkan adalah, di mana posisi pendidikan, bagaimana memposisikan kembali pendidikan?<br /><br />Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Jalal dan Supriyadi (2001) mengidentifikasi ada lima kelompok besar isu strategis yang masing-masing isu tersebut mengandung dimensi-dimensi ekonomi, politik, budaya, sosial, dan hukum. Isu pertama, lemahnya kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan. Di samping lemahnya kemampuan finasial, masyarakat juga belumm memiliki prasyarat kemampuan sosial, kultural, dan legal, serta kemauan politik yang cukup untuk memprioritaskan pendidikan. Kedua, lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional. Sebagai suatu sistem, pendidikan nasional belum memiliki kemampuan cukup untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakatnya. Struktur dari sistem yang baru belum jelas, budaya pendukungnya juga belum jelas, inkonsistensi dalam peraturan perundangan masih mungkin terjadi. Di samping itu, secara ekonomi, masih banyak hal yang belum baik, pemborosan dan inefisiensi masih banyak ditemui. Isu ketiga adalah desentralisasi pendidikan. UU No. 22 tahun 1999 sudah mulai dilaksanakan, namun dalam hal urusan pendidikan belum mencapai tingkat kesiapan yang memadai. Masalahnya tidak hanya terletak pada identifikasi dan pemilahan urusan daerah dan urusan pusat, namun juga perlunya penataan sistem organisasi, manajemen, pengembangan sumber daya manusia, sumber daya finansial, dan lain sebagainya. Keempat, relevansi pendidikan. Apabila peran pendidikan itu sendiri masih belum jelas, tentu saja sistem yang relevan dengan antisipasi perkembangan sosial-budaya masyarakat, perekonomian dan struktur ketenagakerjaannya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tatanan politik masyarakat yang demokratis, masih membutuhkan pemikiran yang mendasar. Kelima, akuntabilitas pendidikan. Pendidikan dituntut dapat mempertanggungjawabkan tugas sesuai dengan visi dan misinya kepada masyarakat. Adalah kewajiban pendidikan untuk menyediakan layanan pendidikan bermutu sesuai dengan sumber daya yang tersedia dan dipercayakan kepadanya.<br /><br />Agak berbeda dengan uraian di atas, Tilaar (2000) membagi tantangan pendidikan nasional menjadi dua kelompok besar, yaitu: (1) tantangan internal, dan (2) tantangan global. Tantangan internal meliputi masalah kesatuan bangsa, demokratisasi pendidikan, desentralisasi manajemen pendidikan, dan kualitas pendidikan. Sedangkan tantangan global meliputi: pendidikan yang kompetitif dan inovatif, dan identitas bangsa.<br /><br />Berkaitan dengan masalah kesatuan bangsa, nilai-nilai kesatuan bangsa hanya dapat ditanamkan di dalam proses pendidikan, apabila peserta didik menghayati kesatuan antara apa yang mereka pelajari di sekolah, dengan apa yang diperbuat oleh para orang tua dan para pemimpin masyarakat. Rasa kesatuan bangsa berarti pula seseorang bangga menjadi bangsa Indonesia. Apabila suatu bangsa terpuruk bukan hanya dari segi ekonomi tetapi lebih lebih dari segi moral dan etika, maka tidak mungkin seseorang merasa bangga sebagai anggota suatu bangsa. Kebanggaan sebagai suatu bangsa merupakan suatu kebanggaan moral dan etis. Inilah masalah yang pertama dan utama di dalam pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat Indonesia baru. Rasa bangga menjadi orang Indonesia berarti pula bangga dengan kebudayaan Indonesia.<br /><br />Tantangan internal yang kedua, yaitu demokratisasi pendidikan. Kehidupan demokrasi adalah kehidupan yang menghargai akan potensi individu, yaitu individu yang berbeda dan individu yang mau hidup bersama. Dengan demikian segala jenis homogenisasi masyarakat yaitu menyamaratakan anggota masyarakat menuju kepada uniformitas adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup demokrasi. Termasuk di dalamnya pengakuan terhadap hak asasi manusia merupakan inti dari kehidupan demokrasi di segala aspek kehidupan. Begitu juga dalam bidang pendidikan, semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang baik, juga memiliki kewajiban yang sama untuk membangun pendidikan nasional yang bermutu. Demokrasi bukan hanya masalah prosedur atau susunan pemerintahan, tetapi terutama adalah merupakan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang mengakui akan kehormatan atau martabat manusia (human dignity). Oleh sebab itu, proses pendidikan nasional dapat dirumuskan sebagai proses hominisasi dan proses humanisasi. Pendidikan tidak hanya sekedar menghidupi peserta didik, tetapi juga mengembangkannya sebagai manusia (human being), atau menurut Fakih dkk (2001), adalah pendidikan yang memanusiakan.<br /><br />Desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan di daerah akan berimplikasi langsung di dalam penyusunan dan penentuan kurikulum yang saat ini masih sentralistis dan memberatkan peserta didik. Desentralisasi pendidikan dan kebudayaan meminta artikulasi dalam semua jenis pendidikan dari TK sampai perguruan tinggi diarahkan kepada kebutuhan perkembangan sumber-sumber alam dan sumber-sumber manusia yang terdapat di daerah. Dengan demikian, masalah akuntabilitas pendidikan yang selama ini telah mengasingkan pendidikan dari kehidupan masyarakat akan dapat diatasi. Community-based education atau school-based education merupakan wujud nyata dari demokratisasi dan desentralisasi pendidikan. Dalam kaitan ini, pendiidkan yang diinginkan adalah pendidikan pemberdayaan, yaitu pendidikan yang bertujuan memberdayakan setiap anggota masyarakat untuk dapat berprestasi setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan yang telah dikembangkan di dalam dirinya sendiri (Tilaar, 2000).<br /><br />Terkait dengan masalah kualitas pendidikan, dari berbagai unsure penyelenggaraan pendidikan, dapat dilihat betapa sulitnya peningkatan kualitas pendidikan dengan sarana yang terbatas, dana pendidikan yang minim, penghargaan kepada profesi guru yang sangat rendah, dan terbatasnya berbagai sarana penunjang pendidikan lainnya. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu syarat mutlak untuk mempercepat terwujudnya suatu masyarakat yang demokratis. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa pendidikan yang berkualitas bukan hanya pendidikan yang mengembangkan intelegensi akademik, namun perlu mengembangkan seluruh spektrum intelegensi manusia yang meliputi berbagai aspek kebudayaan. Pendidikan formal bukan hanya mengembangkan intelegensi skolastik tetapi juga intelegensi emosional, spasial, interpersonal, intrapersonal, dan seterusnya. Sistem pendidikan nasional haruslah memberikan kesempatan untuk perkembangan spektrum intelegensi yang luas tersebut.<br /><br />Selanjutnya yang terkait dengan tantangan global yang pertama adalah pendidikan yang kompetitif dan inovatif. Pendidikan dalam millenium ketiga adalah adalah pendidikan yang mengembangkan sikap inovatif. Hal ini sejalan dengan kehidupan demokrasi yang memerlukan anggota-anggota yang bukan merupakan robot, tetapi manusia-manusia yang kreatif dan inovatif. Hanya dengan sikap demikian, suatu masyarakat demokrasi akan semakin lama semakin maju dan semakin meningkat kualitasnya. Masyarakat dan individu yang kompetitif serta dapat bekerja sama , didorong oleh sikap inovatif merupakan paradigma baru dari berbagai negara di dunia. Hal ini sangat ditekankan di dalam sistem pendidikan, lebih-lebih di dalam menghadapi kehidupan global dengan pasar bebasnya yang kompetitif. Suatu sistem pendidikan dapat saja menghasilkan tenaga-tenaga pemikir yang berkembang, namun apabila tidak inovatif maka kemampuan berpikirnya tidak akan bermanfaat dalam kehidupan bersama. Di masa depan, hanya bangsa yang inovatif yang mempunyai daya saing besar yang dapat menguasai kehidupan dunia.<br /><br />Masalah kedua yang terkait dengan tantangan global adalah identitas bangsa. Kehidupan global akan melahirkan kebudayaan global. Dewasa ini dapat dilihat betapa kebudayaan global telah mulai melanda kehidupan global yang tanpa batas. Di satu pihak, budaya global dapat membuka cakrawala pemikiran anggota masyarakat, namun juga kemungkinan masuknya unsur-unsur kebudayaan global yang negatif akan dapat meracuni kehidupan generasi muda. Oleh sebab itu, semakin penting adanya suatu kesadaran akan identitas sebagai suatu bangsa. Identitas suatu bangsa merupakan tumpuan yang kuat bukan hanya bagi perkembangan pribadinya, namun juga sebagai benteng pertahanan yang melindungi pengaruh-pengaruh negatif dari kebudayaan global (Tilaar, 2000). Tugas pendidikan nasional adalah mengembangkan identitas peserta didik agar dia bangga menjadi bangsa Indonesia yang dengan penuh percaya diri memasuki kehidupan global sebagai seorang Indonesia yang berbudaya. Pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan manusia yang pintar yang terdidik, tetapi yang lebih penting adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilited human being).<br /><br />Demikianlah tantangan dan permasalahan pendidikan di Indonesia, yang bukan merupakan hal mudah untuk diatasi. Sebagaimana perubahan suatu kebudayaan, maka dituntut kerja keras, perencanaan yang matang, pengerahan sumber-sumber untuk menunjang pelaksanaan. Lebih-lebih dalam masyarakat Indonesia—yang masih dalam masa transisi dan harus belajar hidup demokarsi yang sesungguhnya—maka tugas nasional ini memerlukan suatu komitmen politik. Komitmen politik berarti adanya suatu keterikatan moral dari seluruh anggota masyarakat dalam rancangan-rancangan kehidupan bersamanya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia baru melalui sistem pendidikan nasional.<br /><br />Berdasarkan dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan, permasalahan-permasalahan pendidikan meliputi: (1) masalah kesatuan bangsa, (2) demokratisasi pendidikan, (3) lemahnya kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan, (4) lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional, (5) desentralisasi pendidikan, (6) relevansi pendidikan, (7) kualitas pendidikan , dan (8) akuntabilitas pendidikan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. Paradigma Baru Pendidikan di Indonesia<br /></span><br />Berdasarkan uraian mengenai refleksi sejarah pendidikan di Indonesia, permasalahan-permasalahan pendidikan, dan dengan mempelajari contoh sukses sistem pendidikan di Jepang dan Cina, selanjutnya dirumuskan paradigma baru pendidikan di Indonesia.<br /><br />Perlu digarisbawahi, permasalahan di Indonesia sebagaimana dikemukakan sebelumnya meliputi: (1) masalah kesatuan bangsa, (2) demokratisasi pendidikan, (3) lemahnya kemampuan masyarakat dalam bidang pendidikan, (4) lemahnya kemampuan sistem pendidikan nasional, (5) desentralisasi pendidikan, (6) relevansi pendidikan, (7) kualitas pendidikan, dan (8) akuntabilitas pendidikan.<br /><br />Selanjutnya belajar dari kesuksesan negara Jepang dan China dalam pembangunan pendidikannya, beberapa hal yang perlu dicatat adalah: (1) adanya komitmen pemerintah, ditunjang dengan penyediaan dana pendidikan yang memadai, sarana penunjang pendidikan yang layak, serta hukum dan peraturan yang menjamin kepentingan pengembangan pendidikan (2) adanya keterlibatan masyarakat dan pihak industri serta pemangku kepentingan yang lainnya (stake holders) untuk bersama-sama memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan pendidikan, (3) pendidikan yang tidak sentralistis, (3) kurikulum pendidikan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, serta metode pembelajaran yang kompetitif dan inovatif, dan (4) kecintaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah membudaya dalam masyarakat, termasuk peserta didik di semua jenjang dan jalur pendidikan.<br /><br />Bertitik tolak dari uraian di atas, maka paradigma pendidikan perlu diredefinisikan. Rumusan paradigma baru tersebut diharapkan mampu memberikan arah yang benar, sesuai denga peran pendidikan nasional yang secara makro dituntut untuk membantu mengantarkan masyarakat Indonesia menuju masyarakat Indonesia baru, yang dinamakan masyarakat madani (civil society), yakni masyarakat yang demokratis, religius, dan tangguh menghadapi lingkungan global yang kompetitif.<br /><br />Peran pendidikan seharusnya dipahami bukan saja dalam konteks mikro (kepentingan anak didik yang dilayani melalui proses interaksi pendidikan), namun juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masayarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan masyarakat dunia. Hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara. Oleh karena pendidikan terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara silmultan. Di samping itu, secara mikro, pendidikan juga harus selalu memperhitungkan karakteristik perbedaan peserta didik. Dengan demikian, acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan sistem pendidikan nasional harus mampu mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif, sehingga terdapat keterpaduan dalam konsep.<br /><br />Pertama, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, misalnya keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Selain itu, prinsip pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Institusi pendidikan tradisional seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda bukan hanya diberdayakan sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, tetapi juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dalam pendidikan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (School-Based Management) dan Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (Broad-Based Managemet)—sebagaimana yang telah disinggung di atas–merupakan kebijakan yang tepat dan seharusnya terus-menerus diupayakan dan direalisasikan.<br /><br />Kedua, pendidikan dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat, serta secara normative sesuai dengan cita-cita masyarakatnya. Pendidikan harus progresif, tidak resisten terhadap perubahan, akan tetapi mampu mengendalikan arah perubahan itu, mampu mengantisipasi perubahan. Dengan demikian, diperlukan sumber daya pendidikan yang tangguh dan memadai. Dalam hal ini, fungsi institusi pendidikan dan pelatihan guru (seperti PPPG dan BPG) perlu lebih dioptimalkan peranannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, agar mampu melakukan berbagai kegiatan peningkatan kualitas guru di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik pre-service maupun in-service. Selain itu, dalam peningkatan mutu guru melalui pendidikan dalam-jabatan, penekanan diberikan kepada kemampuan guru agar dapat meningkatkan efektivitas mengajarnya, mengatasi persoalan-persoalan praktis dalam pembelajaran, dan meningkatkan kepekaan guru terhadap perbedaan individual siswa.<br /><br />Ketiga, dalam kondisi masyarakat yang menghendaki perubahan mendasar, maka pendidikan harus mampu menghasilkan produk-produk yang dibutuhkan oleh perubahan besar tersebut. Paham rekonstruksionis mengkritik pandangan pragmatis sebagai suatu pandangan yang cocok untuk kondisi yang relatif stabil. Pendekatan pragmatis bersifat lebih berorientasi masa kini, sedangkan pendekatan rekonstruksionis lebih berorientasi masa depan dengan tetap berpijak pada kondisi sekarang. Berkaitan dengan hal ini, kurikulum pendidikan harus berorientasi ke masa depan, serta memberikan keleluasaan kepada sekolah, guru, dan siswa, untuk mengoptimalkan potensi mereka; tidak sekedar dikejar target beban kurikulum sebagaimana yang selama ini terjadi. Selain itu, penerapan model-model pembelajaran yang bersifat student-centered perlu lebih ditekankan penerapannya, agar menghasilkan produk yang lebih mandiri, memiliki kebebasan berfikir, kritis, dan tangguh.<br /><br />Keempat, pendidikan dengan prinsip global. Pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global. Namun demikian, harus selalu diingat bahwa dalam pendidikan berwawasan global, pendidikan pada waktu yang bersamaan mempunyai kewajiban untuk melestarikan karakter nasional. Meskipun konsep nationstate sudah diragukan dan diganti dengan welfare state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi informasi, pembinaan karakter nasional tetap relevan dan bahkan harus terus dilakukan. Jepang tetap merupakan satu contoh bangsa yang mengglobal dengan tanpa kehilangan karakternya sebagai suatu bangsa. Negara kebangsaan seharusnyalah Negara yang menyesuaikan kesejahteraan bagi warganya, dan di sinilah peran pendidikan sangat sentral.<br /><br />Berkaitan dengan semua yang telah dikemukakan di atas, perlu ditekankan dan dibudayakan kembali, apa yang pernah menjadi kebijakan pemerintah, yaitu pendidikan kecakapan hidup. Sebagaimana diketahui, tahun 2001 Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional mengembangkan konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education), yaitu suatu pendidikan yang dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yakni keberanian menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apa pun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup tersebut, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya (Depdiknas, 2002). Kendall dan Marzano (1997) menegarskan bahwa kecakapan hidup (life skills) telah menjadi salah satu hal yang harus dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat, termasuk peserta didik, agar mereka mampu berperan aktif dalam lapangan kerja yang ada serta mampu berkembang. Dalam pandangan Kendall dan Marzano, kecakapan hidup merupakan diskripsi seperangkat kategori pengetahuan yang bersifat lintas isi atau kemampuan yang dipandang penting dan dapat digunakan untuk dunia kerja. Sedangkan Brolin (1989) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi dan bertindak secara mandiri dan otonom dalam kehidupan sehari-hari, tidak harus selalu meminta bantuan dan petunjuk pihak lain. Ini berarti bahwa bentuk kecakapan hidup berupa pengetahuan sebagai praksis dan kiat (praxis dan techne), bukan teori; pengetahuan sebagai skills of doing sekaligus skills of being.<br /><br />Lebih lanjut dikemukakan bahwa kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, dan dapat dipilah menjadi lima, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri (self awarness), yang juga disebut kemampuan personal (personal skill), (2) kecakapan berpikir rasional (thinking skill), (3) kecakapan sosial (social skill), (4) kecakapan akademik (academic skill), dan (5) kecakapan vokasional (vocational skill).<br /><br />Tiga kecakapan yang pertama dinamakan General Life Skill (GLS), sedangkan dua kecakapan yang terakhir disebut Specific Life Skill (SLS). Di alam kehidupan nyata, antara GLS dan SLS, antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berpikir rasional, kecakapan sosial, kecakapan akdemik dan kecakapan vokasional tidak berfungsi secara terpisah-pisah, atau tidak terpisah secara eksklusif (Depdiknas, 2002). Hal yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual. Derajat kualitas tindakan individu dalam banyak hal dipengaruhi oleh kualitas kematangan berbagai aspek pendukung tersebut di atas.<br /><br />Tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Secara khusus, pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup bertujuan: (1) mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi, (2) memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan (3) mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya di lingkungan sekolah, dengan memberikan peluang pemanfaatan sumberdaya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (Depdiknas, 2002).<br /><br />Dengan demikian jelaslah bahwa paradigma baru pendidikan di Indonesia terutama adalah pengembangan pendidikan kecakapan hidup, yang seharusnya tidak hanya bagus pada tingkap kebijakan saja—sebagaimana yang terkesan pada saat ini—namun juga pada tingkat operasionalnya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">C. Penutup</span><br /><br />Simpulan dari tulisan ini adalah bahwa paradigma baru pendidikan di Indonesia diarahkan untuk membentuk masyarakat madani (civil society), yaitu masyarakat yang demokratis, religius, dan tangguh menghadapi lingkungan global yang kompetitif.<br /><br />Berkaitan dengan hal tersebut, maka paradigma baru pendidikan harus meliputi hal-hal: Pertama, pendidikan adalah wahana pemberdayaan bangsa dengan mengutamakan penciptaan dan pemeliharaan komponen-komponen sumber pengaruh secara dinamik, misalnya keluarga, sekolah, media massa, dan dunia usaha. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (School-Based Management) dan Manajemen Berbasis Masyarakat Luas (Broad-Based Managemet) merupakan kebijakan yang tepat dan seharusnya terus-menerus diupayakan dan direalisasikan.<br /><br />Kedua, pendidikan dituntut untuk cepat tanggap atas perubahan yang terjadi dan melakukan upaya yang tepat, serta secara normatif sesuai dengan cita-cita masyarakatnya. Dengan demikian, diperlukan sumber daya pendidikan yang tangguh dan memadai. Dalam hal ini, fungsi institusi pendidikan dan pelatihan guru (seperti PPPG dan BPG) perlu lebih dioptimalkan peranannya sesuai dengan tugas dan fungsinya, agar mampu melakukan berbagai kegiatan peningkatan kualitas guru di semua jenjang dan jalur pendidikan, baik pre-service maupun in-service.<br /><br />Ketiga, kurikulum pendidikan harus berorientasi ke masa depan, serta memberikan keleluasaan kepada sekolah, guru, dan siswa, untuk mengoptimalkan potensi mereka; tidak sekedar dikejar target beban kurikulum sebagaimana yang selama ini terjadi. Penerapan model-model pembelajaran yang bersifat student-centered perlu lebih ditekankan penerapannya, agar menghasilkan produk yang lebih mandiri, memiliki kebebasan berfikir, kritis, dan tangguh.<br /><br />Keempat, Pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstelasi masyarakat global, namun dengan melestarikan karakter nasional.<br /><br />Berkaitan dengan semua yang telah dikemukakan di atas, perlu ditekankan dan dibudayakan kembali, apa yang pernah menjadi kebijakan pemerintah pada tahun 2001, yaitu pendidikan kecakapan hidup, yang bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang.M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-29080800130876810922009-12-03T07:49:00.000-08:002009-12-03T08:07:02.519-08:00Paradigma Baru Sitem Pendidikan (Nasional)<span style="font-weight:bold;">Pendahuluan</span><br /><br />Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.<br />Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998.<br />Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">DEMOKRATISASI DAN DESENTRALISASI (OTONOMI DAERAH)</span><br /><br />Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat.<br />Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.<br /><br />Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.<br /><br />Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerahmenjamin terselenggaranya wajib belajar, minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).<br /><br />Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 - ("Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional") - (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).<br /><br />Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2) Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.<br /><br />Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut.<br /><br />Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis.<br /><br />Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenagatenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat<br />menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.<br /><br />Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkwalitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)).<br /><br />Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">PERAN SERTA MASYARAKAT</span><br /><br />Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).<br />Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah.<br /><br />Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">TANTANGAN GLOBALISASI</span><br /><br />Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3).<br /><br />Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2).<br /><br />Badan hukum pendidikan yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3). Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global.<br />Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan.<br />Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2).<br /><br /><span style="font-weight:bold;">KESETARAAN DAN KESEIMBANGAN</span><br /><br />Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.<br />Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan "plat merah" atau "plat kuning"; semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).<br /><br />Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3).<br />Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">JALUR PENDIDIKAN</span><br /><br />Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan mendasar dalamSisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebutsebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luarsekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit.<br />Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15).<br />Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16).<br />Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Dengan demikian istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP.<br /><br />Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).<br />Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah menengah atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 18). Sebagaimana istilah SLTP, maka sebutan SLTA berganti lagi menjadi SMA.<br />Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, dan doktor, yang diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19 ayat 1-3). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas, yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi (pasal 20 ayat 1- 3).<br />Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat 1). Bagi perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni (pasal 22).<br /><br />Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, telah diatur dan diancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).<br /><br />Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2). Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3). Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan<br />nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6).<br /><br />Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-49791513755066558492009-11-19T09:05:00.000-08:002009-11-21T10:33:27.487-08:00UN Meningkatkan Mutu Pendidikan Kita ?Anjing menggonggong kapilah tetap berlalu. Ini peribahasa yang paling pas untuk menganalogikan banyaknya kritik atas keberadaan dan penyelenggaraan UN di negeri kita tercinta. Para pengamat dan praktisi pendidikan yang tidak setuju dengan penyelengaraan UN biarkan saja dengan berbagai argumentasinya, dan UN tetap terus berjalan dengan berbagai rasionalisasinya. Dan memang filosofi ini dirasakan ampuh untuk menyelenggarakan UN tanpa pantang mundur, sehingga UN masih dapat terus berjalan sejak puluhan tahun lalu hingga saat ini (cukup dengan mengganti nama). Kali pertama “ujian akhir nasional” diselenggarakan pada tahun 1965 dengan nama Ujian Negara. Penggunaan istilah Ujian Negara berlangsung sampai tahun 1971. Mulai tahun 1972 – 1979, model ujian yang terpusat sempat ditiadakan, dan diganti dengan Ujian Sekolah. Namun mulai tahun 1980 – 2000, “ujian nasional” kembali digelar dengan nama “EBTANAS”, dan pada tahun 2001 sampai sekarang kembali lagi ganti “baju” dengan nama UAN/UN.<br />Setelah sekian puluh tahun, “UN/UAN” dilaksanakan dengan biaya yang tidak sedikit (milyaran rupiah), apakah UN mampu mendorong dan mendongkrak kualitas pendidikan kita. Pertanyaan ini patut disampaikan, karena menurut pihak penyelenggara UN, tujuan utama diselenggarakannya UN adalah untuk mendorong dan mengukur kualitas pendidikan. Pertanyaannya adalah setelah sekian puluh tahun UN dilaksanakan, apakah kualitas pendidikan kita telah berhasil ditingkatkan atau sebaliknya semakin merosot?<br />Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu disepakati terlebih dulu apa itu kualitas pendidikan atau pendidikan berkualitas.<br />Bila kita menilai kualitas sesuatu tentu kita harus menggunakan kriteria yang jelas sebagai indikatornya. Sesuatu dikatakan berkualitas kalau sesuatu itu telah memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Nah kalau kita akan menilai kualitas pendidikan, apa yang seharusnya kita gunakan sebagai kriteria. Di sinilah saya pikir, yang menyebabkan perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra terhadap UN selama ini. Saya melihat, mereka yang pro dengan UN menggunakan angka-angka hasil UN sebagai kriteria menentukan kualitas pendidikan kita. Mereka yang berhasil mendapat skor di atas skor minimal (5,5 untuk tahun 2009) dinyatakan lulus. Sekolah yang berhasil meluluskan 100% siswanya dinyatakan sebagai sekolah yang berkualitas? Apa iya???<br />Kelompok yang kontra dengan UN memandang bahwa kalau untuk melihat kualitas pendidikan hanya dilihat dari seberapa banyak siswa yang lulus dari UN, sungguh sangat menyedihkan. Karena kita tahu bahwa UN memiliki banyak sekali kelemahan, diantaranya: standar yang ditetapkan sangat rendah (tidak bisa dijadikan sebagai kriteria suatu kualitas), belum lagi penyelenggaraannya yang sangat diragukan karena banyaknya kecurangan, dan yang paling penting adalah UN hanya mengukur aspek kognitif, padahal kita tahu bahwa tujuan pendidikan kita bukan semata-mata mendidik dan menghasilkan anak yang memiliki pengetahuan, tetapi adalah menghasilkan anak-anak bangsa yang cerdas, berkepribadian, beriman & bertaqwa, sehat jasmani dan rohani, dst. Aspek-aspek inilah yang seharusnya dijadikan sebagai kriteria kualitas pendidikan kita. Karena ini adalah amanah dari UU Pendidikan kita.<br />Baik sekarang kita bicara fakta. Apa yang telah dihasilkan oleh anak-anak bangsa ini yang telah diuji secara nasional dalam rentang lebih dari 30 tahun. Oke, kita telah menyaksikan ada sejumlah anak-anak kita yang telah berhasil menjadi juara olimpiade di leval internasional atau bahkan dunia. Pertanyaannya adalah apakah mereka dididik dalam suatu sistem pembelajaran yang sama dengan mereka yang dipersiapkan menghadapi UN? Apakah prestasi tersebut dapat dijadikan sebagai indikator kualitas sistem pendidikan kita? dengan kata lain bukankah prestasi tersebut karena faktor potensi individu yang sangat dominan (karena memang dasar anaknya genius)? Jadi jelas, prestasi-prestasi itu sifatnya kasuistis. Prestasi itu terjadi karena faktor individu yang lebih dominan, bukan karena faktor sistem pembelajaran kita yang mendorongnya seperti itu. Dengan demikian kita tidak bisa menggunakan prestasi-prestasi tersebut sebagai bukti kualitas pendidikan kita. Karena pendidikan kita mencakup jutaan anak bangsa.<br />Bukti-bukti yang sangat kuat akan rendahnya mutu pendidikan kita terlihat dari sejumlah hasil survey dan penilaian yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional, seperti Trends in International Mathematic and Science Study (TIMSS), Programme for International Student Assessment (PISA), Progresss in International Reading Literacy Study (PIRLS), The International Association for the Evaluation of Educational Achievement, dan lembaga-lembaga lainnya. Hasil study yang dilakukan oleh PIRLS tentang kemampuan membaca pada anak-anak kelas 4 SD di seluruh dunia menunjukkan prestasi yang sangat rendah. Anak-anak kita dinilai tidak mampu (1) mengidentifikasi, membedakan, dan menunjukkan detail peristiwa yang ada dalam bacaan, (2) menginterpretasi dan mengintegrasikan ide antar bacaan, (3) mengenal dan menginterpretasikan bahasa-bahasa gambar dan pesan abstrak, (4) menguji dan mengevaluasi struktur cerita, dan (5) menjelaskan hubungan antara tindakan, peristiwa, perasaan dalam bacaan. Sementara itu PISA menempatkan anak-anak kita dalam hal literasi membaca pada posisi 48 pada tahun 2006, dalam hal literasi matematika pada posisi 50, dan dalam hal literasi sains pada posisi 53. Satu hal yang patut kita tahu bahwa lembaga-lembaga internasional tersebut melakukan penilaian atas kualitas pendidikan tidak hanya dilihat dari aspek kognitif, dalam hal ini kemampuan menjawab soal pilihan ganda, tetapi mereka menilainya secara komprehensif. Dan inilah sesungguhnya yang menunjukkan indikator kualitas pendidikan kita secara lebih komprehensif.<br />Pertanyaannya lagi adalah dimana dampak UN yang selama ini dilakukan dengan memakan biaya yang sangat besar?M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-85650877045932704662009-11-19T08:56:00.000-08:002009-11-19T08:57:53.695-08:00UN Gengsi Semua PihakOleh: Khaerudin<br /><br />Mengingat UN adalah “hajat nasional”, yang sekaligus dipersepsikan sebagai rujukan dan kriteria keunggulan pendidikan kita, maka sangatlah wajar, keberhasilan dalam UN menjadi kebanggan dan prestige semua pihak. Siswa akan merasa bangga kalau ia dapat lulus dan mendapatkan nilai yang tinggi; Para orang tua juga merasa bangga kalau anak mereka dapat mengikuti dan lulus dengan baik setelah mengikuti UN; Para guru dan Kepala Sekolah merasa bangga dan puas kalau para siswanya, lebih-lebih kalau seluruh siswanya (100%), lulus dengan nilai di atas rata-rata, atau kalau sekolahnya menjadi 10 besar di kotanya; Para birokrat pendidikan di lingkungan kota (Kasie, sudin, bahkan walikota/bupati, dan tentunya Dinas Pendidikan dan para Gubernur) juga merasa bangga kalau anak-anak sekolah di lingkungan atau di wilayahnya dapat lulus dengan baik.<br />Oleh karena itu, sangatlah wajar kalau semua pihak yang berkepentingan dengan kesuksesan UN melakukan berbagai upaya agar UN yang diselenggarakan di lingkungannya mendapatkan hasil yang memuaskan. Karena kesuksesan ini akan menjadikan mereka dinilai pihak yang unggul dalam menyelenggarakan pendidikan. Siswa yang mendapat nilai bagus akan mendapat “cap” siswa unggul dan berhak mendapatkan “sekolah” yang lebih baik, sekolah yang juga unggul; Sekolah yang dapat meluluskan 100% siswanya dengan nilai tinggi akan di “cap” sebagai sekolah unggul yang menjadi angan-angan semua manajemen sekolah; Demikian seterusnya, sampai pada Kasie, Sudin (Walikota/Bupati), dan Dinas Pendidikan (Gubernur).<br />Kalau saja semua kebanggaan di atas menjadi pemicu dan motivasi untuk berbuat lebih (lebih keras, lebih baik, lebih tekun, lebih giat), maka tentunya UN akan dinilai sebagai sesuatu yang sangat positif. Namun kenyataannya, di era serba instant seperti saat ini — keberhasilan yang seharusnya diperoleh melalui perencanaan yang sistematis dan sistemik, perjuangan keras pada saat persiapan dan pelaksanaannya — maunya didapatkan dengan cara mudah dan jalan pintas.<br />Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan “cap” unggul pada saat menjelang terselenggaranya UN. Mulai dari upaya yang bersifat religius, seperti melakukan do’a bersama (istighosah) atau melakukan sembahyang di Pura, sampai upaya-upaya yang sangat memalukan dan “menjijikan” sebagaimana dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, mencari celah “bocoran” soal dan memberikannya kepada para siswa. Dengan menghalalkan berbagai cara, mereka berusaha mencapai tujuannya “menjadi yang unggul”, tanpa menghiraukan etika dan norma-norma yang ada, bahkan mungkin tidak terlintas dalam pikiran mereka akan dampak edukasi dari tindakannya terhadap perkembangan mental anak-anak didik kita.<br />Siapa yang bersalah?<br />Tentu tidak akan ada orang yang mau disalahkan. Untuk itu barangkali masing-masing kitalah yang harus berentrospeksi.M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3473532758931483301.post-39101505913745144352009-11-19T08:51:00.001-08:002009-11-19T08:56:02.204-08:00PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DASAR MELALUI PAKEM<span style="font-weight:bold;">A. Pendahuluan</span><br /><br />Sejak tiga tahun terakhir bangsa kita terus dilanda musibah, baik yang disebabkan oleh faktor alam yang memang kejadiannya sulit dicegah maupun oleh karena ulah manusia yang seharusnya tidak perlu terjadi. Musibah gempa tektonik yang disusul tsunami di Aceh belum juga pulih, sudah di susul oleh gempa dan tsunami lain di Yogyakarta dan Pangandaran. Musibah lumpur Lapindo di Sidoarjo sudah hampir satu tahun belum ada tanda-tanda berhenti, bahkan kalau tidak dapat diatasi dan menunggu berhenti sendiri akan memakan waktu 31 tahun. Musibah dalam bidang transportasi terjadi di laut, darat, dan udara. Permasalahan lain yang selalu terulang pada hampir setiap tahun adalah masyarakat kita selalu kekeringan dan tidak ada air bila musim kemarau tiba, dan sebaliknya terjadi banjir dimana-mana bila musim hujan datang. Endemi demam berdarah dan flu burung yang terjadi di hampir seluruh wilayah juga selalu berulang dan akar permasalahannya belum juga terpecahkan. Kerugian yang diderita akibat musibah-musibah tersebut sudah tidak terhitung lagi jumlahnya; berapa nyawa yang melayang; berapa banyak harta benda milik masyarakat hilang; bahkan di Sidoarjo, bukan hanya nyawa dan harta, tetapi juga ”peradaban” masyarakat Sidoarjo lenyap ”ditelan” lumpur. Hal yang lebih mengenaskan dari semua peristiwa tersebut adalah tidak atau belum ada dari peristiwa tersebut yang teratasi secara tuntas; selalu menyisakan masalah.<br />Bila coba kita renungkan dan kaji secara seksama mengapa semua itu terjadi, dan mengapa semua permasalahan tersebut tidak teratasi secara tuntas, jawaban sementara penulis adalah karena kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa kita yang rendah. Hal ini sebagaimana juga ditunjukkan dari hasil survey Human Development Index (HDI) tahun 2005, yang berada pada posisi 112 dari 175 negara.<br />Pertanyaan selanjutnya, mengapa kualitas SDM kita rendah, karena mutu pendidikan kita rendah. Bicara mutu pendidikan, maka pendidikan formal di sekolah lah yang harus lebih banyak mendapat sorotan. Karena pendidikan di sekolah dilaksanakan secara terencana dan sistematis, sehingga seharusnya lebih banyak memberi kontribusi pada kualitas pendidikan. Itu artinya, kualitas pembelajaran yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita selama ini rendah. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah adalah pada pembelajaran di kelas. Pola pikir seperti inilah yang pernah dilontarkan oleh senator Amerika, John F. Kennedy pada tahun 1967, pada saat Amerika Serikat merasa kalah oleh Rusia yang lebih dulu meluncurkan roketnya ke luar angkasa. Saat itu Kennedy mengajukan pertanyaan ”Apa yang salah dengan pembelajaran kita di kelas?”<br /><br /><span style="font-weight:bold;">B. Mutu Pendidikan Kita</span><br /><br />Rendahnya mutu sumber daya manusia bangsa kita diakibatkan oleh karena dunia pendidikan gagal melaksanakan perannya. Arief Rachman mengidentifikasi ada sembilan titik lemah pendidikan di Indonesia (Arief Rachman, 2006, 114) yang mengakibatkan dunia pendidikan kita “carut marut”. Kesembilan titik lemah tersebut adalah (1) selama ini keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif, dan mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik, sehingga pembinaan dan pengembangan watak bangsa menjadi terabaikan, (2) model evaluasi yang digunakan selama ini hanya mengukur kemampuan berpikir konvergen, sehingga siswa tidak dipacu untuk berpikir kreatif dan imajinatif, (3) proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran, yang berakibat materi pelajaran menjadi tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, (4) kemampuan menguasai materi tidak disertai dengan pembinaan kegemaran belajar. (5) titel atau gelar menjadi target pendidikan, tidak disertai dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, (6) materi pendidikan dan buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang monoton, tidak menantang dan tidak menstimulasi daya kritis dan iamjinasi siswa (7) manajemen pendidikan yang menekankan pada tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah, bukan kepada stakeholder, (8) profesi guru yang terkesan menjadi profesi ilmiah dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan, dan (9) upaya pemerataan pendidikan yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, serta lemahnya political will pemerintah terhadap upaya perbaikan pendidikan.<br />Dengan kondisi permasalahan sebagaimana diungkapkan oleh Arief Rahman, terutama dengan permasalahan nomor 1 – 4 yang secara langsung menyangkut proses pembelajaran, sangat wajar kalau proses pembelajaran yang terjadi di kelas tidak mampu menghasilkan orang-orang yang cerdas sebagaimana yang diamanatkan UUD ’45. Keberhasilan pembelajaran yang hanya diukur oleh penguasaan pengetahuan (kognitif) hanya akan mendorong proses pembelajaran menghasilkan orang-orang pintar, tetapi bisa jadi tidak punya hati nurani, egois, tidak mampu bekerja sama, dan sifat-sifat lain yang menyangkut afeksi. Sifat peduli terhadap kepentingan orang banyak, takut melakukan kecurangan karena akan merugikan orang lain, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, kasih dan sayang terhadap yang lebih muda, semangat berkorban untuk kepentingan bersama, bersikap disiplin, adalah diantara sifat-sifat afeksi yang sulit diukur secara kuantitas dan hasilnya tidak dapat dilihat dengan segera. Karena itu pembelajaran yang mengembangkan sifat-sifat ini menjadi luput dari perhatian dalam pembelajaran. Padahal sifat-sifat ini terkait dengan kecerdasan emosi yang banyak berpengaruh pada kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat dan dunia kerja. Belum lagi kalau dilihat tingkat penguasaan aspek kognitifnya yang dikembangkan. Apakah perkembangan kognitif yang dikembangkan sampai pada tahap kognitif yang lebih tinggi, seperti kemampuan mengaplikasi, menganalisis, mensistesis, mengevaluasi, bahkan membuat dan menemukan ilmu baru? Lebih penting lagi apakah perkembangan kognitifnya sampai pada tahap kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah, terutama berkenaan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari? Ini adalah satu permasalahan besar dengan pembelajaran di kelas kita.<br />Permasalahan kedua juga sangat besar dampaknya terhadap proses pembelajaran di kelas. Soedijarto, dalam penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi ternyata mempengaruhi kualitas proses belajar, khususnya pada tingkat partisipasi belajar pada siswa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh B.S. Bloom, yang menyatakan bahwa setiap siswa akan berusaha mempelajari apa yang diperkirakan akan ditanyakan pada saat dilaksanakan tes (Soedijarto, 1993: 81) Ini berarti, kalau bentuk evaluasi yang diberikan kepada siswa hanya pada penguasaan konsep dan fakta, maka siswa akan belajar dengan cara menghafal dan drilling menjawab soal. Bentuk evaluasi seperti itu tidak akan mendorong siswa untuk berpikir secara kritis, kreatif, dan menemukan jawaban yang berbeda.<br />Berkenaan dengan permasalahan yang ketiga, banyak bukti di sekitar kita, siswa-siswa kita yang telah lulus dari sekolah tidak mampu berbuat banyak di lingkungannya; Mereka menjadi terasing dengan lingkungannya. Karena apa yang mereka pelajari di bangku sekolah adalah apa yang ada dalam buku (textbook), bukan permasalahan lingkungan yang sehari-hari mereka temukan dan rasakan. Pembelajaran yang dilaksanakan lebih bersifat tekstual, dan tidak kontekstual, sehingga ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan hanya bisa disimpan dalam memori dan tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Israel Scheffler menyebut pembelajaran yang demikian tidak memiliki relevansi sosial/moral.<br />Sejalan dengan permasalahan-permasalahan sebelumnya, pembelajaran di kelas-kelas sekolah kita cenderung hanya mendorong siswa untuk ”belajar untuk tahu” atau learning to know. Strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk senang untuk belajar dan menguasai kemampuan bagaimana belajar dilakukan (learning how to learn) tidak banyak dilakukan, sehingga pada saat mereka telah menempuh ujian dan dinyatakan lulus, maka mereka menganggap tugas belajar telah selesai; Mereka tidak memiliki kemauan dan kemampuan belajar mandiri untuk mengembangkan dirinya, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan dunia kerjanya.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">C. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)</span><br /><br />1. Apa itu PAKEM?<br />PAKEM atau Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, pertama kali diperkenalkan menyertai program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dikembangkan UNICEF-UNESCO-Pemerintah RI (Kompas, 8 Desemer 2003). PAKEM adalah pembelajaran yang membuat siswa aktif dan kreatif sehingga menjadi efektif tetapi tetap menyenangkan. Model ini dikembangkan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang dialami para siswa lebih menggairahkan dan memotivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara aktif yang pada akhirnya mencapai hasil belajar yang optimal.<br />Pembelajaran aktif dimaksudkan bahwa proses pembelajaran tersebut menuntut siswa dan guru secara aktif melakukan tugas dan fungsinya masing-masing. Guru secara aktif merancang dan mengkondisikan siswanya untuk belajar, bahkan berupaya memfasilitasi kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Sementara siswa aktif melakukan tugasnya sebagai pelajar untuk belajar. Bentuk aktifitas yang dilakukan siswa bukan hanya aktifitas fisik tetapi dan terutama aktifitas mental, karena inti dari kegiatan belajar adalah adanya aktifitas mental. Tanpa keterlibatan mental dalam suatu aktifitas yang dilakukan siswa maka tidak akan pernah terjadi proses belajar di dalam dirinya. Pembelajaran aktif ini merupakan respon terhadap pembelajaran yang selama ini bersifat pasif, dimana para siswa hanya menerima informasi dari gurunya melalui metode ceramah.<br />Pembelajaran yang kreatif dimaksudkan pembelajaran yang beragam, sehingga mampu mengakomodir gaya belajar dan tingkat kemampuan belajar siswa yang bervariasi. Disisi lain pembelajaran kreatif juga dapat diartikan sebagai pembelajaran yang mampu menstimulasi daya imajinasi siswa untuk menghasilkan sesuatu. Dalam pembelajaran kreatif, peran guru bukan sebagai penyampai informasi/materi yang sudah siap “dicerna” oleh siswa, tetapi lebih pada sebagai stimulator ide yang mendorong pikiran dan imajinasi siswa muncul dan terealisasi melalui kegiatan belajar. Pembelajaran kreatif juga diartikan sebagai pembelajaran yang mendorong para siswanya menjadi kreatif, yaitu lancar, luwes, dan orisinil.<br />Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang mampu “membawa” para siswanya menguasai kemampuan yang diharapkan di akhir proses pembelajaran. Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi guru yang melaksanakan pembelajaran, dan dari sisi siswa yang belajar. Dilihat dari sisi guru, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran mampu menstimulasi aktifitas siswa secara optimal untuk melakukan kegiatan belajar dan seluruh atau sebagian besar aktifitas yang direncanakan dapat terlaksana. Sementara bila dilihat dari sisi siswa, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut dapat mendorong siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar secara aktif, dan di akhir pembelajaran para siswa mampu menguasai seluruh atau sebagai besar tujuan pembelajaran yang ditetapkan, dan penguasaan pengetahuan tersebut dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.<br />Melalui seluruh proses pembelajaran di atas, diharapkan pembelajaran yang dialami siswa menjadi menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan pembelajaran yang gaduh, berisik, dan tidak terkendali. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dilakukan oleh siswa secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan dari luar; siswa melakukan aktifitasnya dengan hati yang senang dan tidak terkekan. Pembelajaran yang menyenangkan akan terjadi apabila situasi pembelajaran terbuka, demokratis, dan menantang. Para siswa memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai aktifitas tanpa harus takut salah dan dimarahi oleh siapapun. Melalui pembelajaran yang menyenangkan, siswa akan dapat mencurahkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut berbagai hasil penelitian, tingginya time on task terbukti meningkatkan hasil belajar.<br />Untuk dapat mengenali pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dapat mencermati ciri-cirinya sebagaimana dikemukakan oleh Lynne Hill, yaitu:<br />a. Pembelajaran tersebut direncanakan dengan baik, yang didasarkan pada hasil identifikasi tujuan dan kemampuan awal siswa, dan mencakup urutan pembelajaran, pengorganisasian kelas, pengelolaan sumber belajar, dan cara penilaian yang akan digunakan.<br />b. Pembelajaran tersebut menarik dan menantang yang ditandai oleh peran guru yang tidak terlalu dominan, sementara siswa aktif melakukan aktifitas belajar. Pembelajaran juga dapat meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, termasuk tugas-tugas terbuka.<br />c. Siswa sebagai pusat pembelajaran, yang ditandai oleh adanya tuntutan agar siswa aktif terlibat, berpartisipasi, bekerja, berinteraksi antarsiswa, menemukan dan memecahkan masalah<br />(www.mbeproject.net/mbe511.html)<br />Dengan demikian secara garis besar, PAKEM dapat digambarkan sebagai berikut:<br />a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.<br />b. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.<br />c. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’<br />d. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.<br />e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya (Depdiknas, 2005, 77)<br /><span style="font-weight:bold;"><br />2. Mengapa PAKEM?</span><br /><br />Sebagai sebuah profesi yang professional, maka semua tindakan yang dilakukan guru harus didasarkan pada kerangka teori dan kerangka pikir yang jelas. Demikian juga dengan pilihan untuk memilih dan memanfaatkan pendekatan PAKEM, harus didasari pada suatu rasional mengapa kita memilih dan menggunakan pendekatan tersebut. Berkenaan dengan hal ini perlu dikemukakan sejumlah alasan dan dasar teoritik sekaligus landasan filosofis dikembangkannya pendekatan PAKEM.<br />Salah satu perkembangan teori pembelajaran yang mendasari munculnya pendekatan PAKEM adalah terjadinya pergeseran paradigma proses belajar mengajar, yaitu dari konsep pengajaran menjadi pembelajaran yang berimplikasi kepada peran yang harus dilakukan guru yang tadinya mengajar menjadi membelajarkan. Konsep pembelajaran yang merupakan terjemahan dari kata instructional pada dasarnya telah lama dikenal di Indonesia, yaitu sejak tahun 1975, yang tergambar dalam rumusan tujuan yang harus dibuat guru, yaitu rumusan tujuan instruksional khusus. Namun implementasi dari konsep pembelajaran di dalam kelas belum juga terjadi secara sesungguhnya.<br />Dalam konsep pengajaran peran yang paling dominan ada pada guru, yaitu sebagai pengajar yang melaksanakan tugasnya mengajar. Dalam kegiatan pengajaran komunikasi sering terjadi hanya satu arah, yaitu dari guru kepada siswa, sehingga siswa lebih banyak pasif. Pada saat guru menyampaikan materi pelajaran, yang biasanya dilakukan melalui ceramah, para siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru. Permasalahannya yang paling mendasar adalah pada saat seorang guru mengajar apakah ada jaminan bahwa para siswanya belajar? (Belajar dalam pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para penganut aliran kognitivistik, yaitu adanya aktifitas mental dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif konstan.) Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Mel Silberman: Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke dalam kepala seorang peserta didik. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. (Mel Silberman, 1996)<br />Berbeda dengan konsep pengajaran, konsep pembelajaran lebih mengutamakan pada aktifitas siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya. Dalam konsep pembelajaran tugas guru adalah membelajarkan siswa. Artinya berbagai upaya yang dilakukan guru dalam rangka mengkondisikan para siswanya untuk belajar. Dengan demikian, fokus dari interaksi dan komunikasi ”di dalam kelas” ada pada siswa, yaitu melakukan aktifitas belajar. Melalui penerapan konsep pembelajaran ini maka siswa akan menjadi aktif melakukan berbagai aktifitas belajar, yang tidak hanya mendengarkan, tetapi mereka harus terlibat secara aktif mencari, menemukan, mendiskusikan, merumuskan, dan melaporkan hasil belajarnya. Melalui proses seperti ini maka kegiatan belajar anak akan menjadi lebih bermakna (meaningfull learning).<br />Bila dilihat dari pendekatannya, dapat dikatakan bahwa konsep pengajaran menggunakan pendekatan yang berorientasi pada guru, sedangkan konsep pembelajaran menggunakan pendekatan yang berorientasi pada siswa. Perbedaan karakteristik dari kedua pendekatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:<br />Berpusat Pada Guru Berpusat Pada Siswa<br />Lebih tradisional<br />Guru sebagai pengajar<br />Guru menentukan apa yang mau diajarkan dan bagaimana mengajarkannya Guru sebagai fasilitator bukan penceramah<br />Fokus pembelajaran pada siswa bukan guru<br />Siswa aktif belajar<br />Siswa mengontrol proses belajar dan menghasilkan hasil karya mereka sendiri, tdk mengutip dari guru.<br /><br />Di samping didasarkan pada upaya optimalisasi implimentasi konsep pembelajaran, pendekatan PAKEM juga didasarkan pada sejumlah asumsi tentang apa itu belajar. Sejumlah asumsi tentang belajar yang dimaksud, diantaranya:<br /><br />a. Belajar adalah proses individual<br />Artinya kegiatan belajar tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, hanya orang yang bersangkutanlah yang dapat melakukannya. Ini berarti kegiatan belajar menuntut aktifitas orang yang sedang belajar.<br />b. Belajar adalah proses sosial<br />Kegiatan belajar harus dilakukan melalui interaksi sosial dengan lingkungan sekitar. Ini berarti seseorang yang belajar harus secara aktif berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, karena melalui interaksi sosial inilah akan diperoleh pengalaman sebagai hasil belajar.<br />c. Belajar adalah menyenangkan<br />Apabila kegiatan belajar dilakukan dengan sukarela, atas kesadaran dan kemauan sendiri, dan tanpa ada paksaan, maka kegiatan belajar akan menyenangkan. Karena itulah, setiap orang yang belajar harus melakukannya dengan penuh kesadaran bahwa belajar itu yang akan membawa manfaat bagi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian maka kegiatan belajar benar-benar akan menyenangkan.<br />d. Belajar adalah aktifitas yang tidak pernah berhenti<br />Proses belajar akan terus berlangsung selama manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Pada saat seseorang berinteraksi dengan lingkungan – apakah itu disadari ataupun tidak – dan terjadi perubahan perilaku dalam dirinya (kognitif, afektif, atau psikomotorik) maka pada dasarkan orang tersebut telah belajar. Proses ini tidak akan pernah berhenti selama seseorang masih hidup dan beraktifitas.<br />e. Belajar adalah membangun makna<br />Pada saat seseorang melakukan kegiatan belajar, pada hakikatnya ia menangkap dan membangun makna dari apa yang diamatinya. Hal ini sejalan dengan pembelajaran kontekstual (contextual learning) yang mengasumsikan bahwa otak secara alamiah mencari makna dari suatu permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan dimana seseorang tersebut berinteraksi (http://www.texascollaborative.org)<br />Di samping pada pertimbangan perkembangan teori belajar dan pembelajaran, pentingnya PAKEM didasarkan pada pemahaman dan kepentingan siswa sebagai pembelajar. Disadari bahwa para siswa yang belajar adalah individu-individu yang memiliki potensi dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Karenanya, mereka harus diberi kesempatan untuk memikirkan segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungannya; guru hendaknya menstimulasi daya pikir mereka dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan permasalahan yang harus dipecahkan (problem solving). Melalui penciptaan kondisi yang menantang dan pemberian kebebasan yang luas kepada siswa untuk beraktifitas, memungkinkan siswa menganalisis permasalah secara kritis, dan mencari pemecahannya secara kreatif. Sebab kreatifitas akan muncul dalam suasana dan lingkungan yang menantang namun dirasa aman, dan tidak takut akan mendapat hukuman apabila terjadi kesalahan. Proses belajar yang dialami siswa juga harus melatih dan meningkatkan kematangan emosional dan sosialnya. Pada akhirnya seluruh proses belajar yang dilakukan siswa akan membawanya pada peningkatan produktivitas menjadi lebih tinggi. Untuk menciptakan proses pembelajaran yang akan membawa siswa pada peningkatan berbagai kemampuan tersebut diperlukan suasana dan pengalaman belajar yang bervariasi.<br />Dengan kata lain, proses belajar yang dialami siswa harus mendorong dan mengembangkan dirinya menjadi orang-orang yang mampu berpikir kritis, kreatif, mampu memecahkan masalah, memiliki kematangan emosional/sosial, dan memiliki produktivitas yang tinggi dengan menciptakan proses pembelajaran yang bervariasi.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">3. Bagaimana PAKEM dilaksanakan?</span><br /><br />Dalam penerapannya, model PAKEM memerlukan lingkungan belajar yang kondusif, yang mendukung berbagai aktifitas siswa dalam melakukan proses belajar. Karena melalui penerapan PAKEM diharapkan akan terlihat siswa aktif mengeksplorasi materi melalui berbagai percobaan, melakukan observasi, diskusi kelompok, melakukan latihan-latihan praktis, memanfaatkan perpustakaan dan sudut-sudut kelas untuk pojok baca dan dinding kelas untuk memajang karya siswa (www.mbeproject.net/Apa itu.htm)<br /><br />Hal yang harus dilakukan dalam melaksanakan PAKEM adalah:<br />a. Memahami sifat yang dimiliki anak<br />Setiap anak unik. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Namun pada dasarnya mereka juga memiliki sifat umum yang sama, yaitu memiliki rasa ingin tahu dan daya imajinasi. Kedua sifat ini merupakan modal dasar untuk mengembangkan sikap/berpikir kritis dan kreatif. Karena itu, pembelajaran diharapkan dapat menjadi wahana dan sarana mengembangkan kedua potensi tersebut. Suasana pembelajaran yang kondusif perlu dikembangkan melalui, diantaranya, pujian terhadap karya anak, mengajukan pertanyaan terbuka dan menantang, memotivasi siswa untuk berani melakukan percobaan, dan lain-lain.<br />b. Mengenal anak secara perorangan<br />Para siswa memiliki latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dengan PAKEM diharapkan perbedaan tersebut dapat terakomodir, sehingga pembelajaran yang dialami anak yang satu berbeda dengan yang lainnya sesuai dengan kecepatan belajarnya masing-masing. Siswa yang memiliki kecepatan belajar yang lebih dapat membantu temannya sebagai tutor sebaya.<br />c. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar<br />Ciri lain yang dimiliki anak-anak adalah kesenangannya untuk bermain, berteman secara berkelompok. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Siswa dapat dikondisikan untuk melakukan kegiatan belajarnya melalui kegiatan bermain dan berkelompok. Melalui kegiatan bermain dan berkelompok siswa akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, karena ia melakukannya dengan penuh kesenangan dan mereka mudah untuk berinteraksi dan bertukar pikiran.<br />d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah<br />Salah satu fungsi pembelajaran adalah menyiapkan peserta didik untuk siap terjun ke masyarakat dengan berbagai permasalahannya. Mereka harus mampu menghadapi dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Untuk itu diperlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menyadari, mengenali, menganalisis, dan merumuskan masalah, dan kreatif dalam menemukan dan mengembangkan alternatif pemecahannya. Pembelajaran diharapkan dapat mengembangkan kedua kemampuan tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka dan menantang, bahkan pertanyaan yang tidak ”lumrah”. Pertanyakan kembali cara kerja yang biasa kita lakukan, benda-benda di sekitar kita, dan hal-hal lain yang sudah biasa terjadi. Namun untuk sementara, pertanyaan diarahkan pada aspek teknologis (alat dan cara kerja), seni dan artifisial budaya, dan jangan pada hal-hal yang bersifat melawan norma hukum, agama, dan kesusilaan. Kemudian ajak para siswa untuk memikirkannya dan membuat perubahan terhadap hal-hal yang dipertanyakan tersebut ”agar tampil beda”. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menambah, mengurangi, menggabungkan, memperkecil, memperbesar, dst.<br />e. Mengembangkan ruangan kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik<br />Ruang kelas sebagai lingkungan belajar merupakan salah satu sumber belajar. Karenanya, ruang kelas harus ditata sedemikian rupa agar dapat mendukung terjadinya proses belajar yang dilakukan siswa. Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang disarankan dalam PAKEM. Pada dinding ruang kelas dapat dipasang ”ikon-ikon” dan motto yang dapat memotivasi siswa belajar. Hasil karya siswa sebaiknya dipajangkan di dinding ruang kelas dengan tata letak yang baik dan harmonis. Karena pemajangan hasil karya ini dapat memotivasi siswa dan sekaligus dapat menjadi inspirasi untuk mengembangkan karya lain yang lebih baik.<br />f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar<br />Setting atau lingkungan (alam, sosial, dan budaya) merupakan salah satu sumber belajar yang sangat kaya dengan bahan belajar. Lingkungan dapat dijadikan sebagai media belajar dan sekaligus sebagai obyek belajar. Sebagai media belajar, lingkungan dapat membantu para siswa memahami bahan belajar lebih mudah dan menarik, sedangkan sebagai obyek belajar, lingkungan mengandung banyak hal yang dapat dipelajari dan berarti bagi kehidupan siswa.<br />g. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar<br />Umpan balik yang disampaikan guru dapat memberi informasi tentang kualitas belajar yang dilakukan siswa. Umpan balik yang positif dapat menimbulkan motivasi siswa untuk mempertahankan dan sekaligus meningkatkan perilaku positifnya; mendorong siswa untuk lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Untuk itu, guru harus konsisten memeriksa setiap tugas dan pekerjaan siswa, memberi komentar dan catatan, serta mengembalikannya kepada siswa.<br />h. Membedakan aktif fisik dengan aktif mental<br /><br />Kata ”aktif” dalam model PAKEM, bukan semata-mata merujuk pada keaktifan fisik, tetapi pada keaktifan mental. Aktif mental lebih diutamakan daripada aktif fisik. Kondisi siswa yang sering bertanya dan mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasannya sendiri merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat untuk tumbuhnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut salah, takut dihukum, takut disepelekan, takut disebut orang bodoh, takut mencoba, dan takut-takut yang lainnya. Untuk itu tugas guru adalah menciptakan kondisi dan suasana yang dapat menghilangkan rasa takut, serta mendorong untuk tumbuhnya keberanian siswa.<br /><br />Untuk dapat melaksanakan pembelajaran dengan model PAKEM, ada sejumlah kemampuan yang harus dikuasai dan sekaligus dilakukan guru, diantaranya: (Depdiknas, 2005, 78)<br />a. Guru harus merancang dan mengelola pembelajarannya yang mampu mendorong siswa berperan aktif di dalamnya. Untuk itu guru harus mampu melaksanakan pembelajaran secara variatif, seperti mengkondisikan siswa untuk melakukan percobaan, diskusi kelompok, mencari informasi, berkunjung ke suatu tempat, dan melaporkan hasil observasi.<br />b. Guru harus menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam (multi media). Hal ini akan membantu terciptanya interaksi yang bervariasi, bukan hanya antara guru dengan siswa, tetapi juga antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungannya. Untuk itu sesuai dengan mata pelajaran yang akan diajarkan, guru dapat menggunakan alat dan benda sekitar, atau media lain yang dibuat sendiri atau dari membeli.<br />c. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilannya. Untuk itu guru dapat membantu siswa untuk melakukan percobaan dan pengamatan atau wawancara, mengumpulkan fakta dan data serta mengolah dan mengambil kesimpulan; membantu memecahkan masalah, mencari dan menemukan rumus, menulis laporan/hasil karya dengan bahasa sendiri.<br />d. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan dan tulisan. Kesempatan ini penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan berani berpendapat. Kondisi ini dapat diciptakan melalui kegiatan diskusi, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka.<br />e. Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa. Siswa akan termotivasi untuk belajar apabila tugas dan aktivitas yang harus dilakukannya ada pada batas kemampuannya. Bahan dan kegiatan belajar yang berada di atas kemampuannya atau terlalu sulit hanya akan membawa siswa frustasi, dan sebaliknya. Untuk itu siswa dapat dikelompokkan sesuai dengan kemampuannya, dan bahan pelajaran dikelompokkan sesuai dengan kelompok tersebut.<br />f. Guru mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari. Bahan belajar akan lebih bermakna apabila bahan tersebut memang menyangkut kehidupan dan permasalahan yang dihadapi siswa sehari-hari. Untuk itu guru dapat meminta siswa untuk menceritakan dan memanfaatkan pengalamannya sendiri sebagai topik pembicaraan dalam pembelajaran.<br />g. Menilai pembelajaran dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus. Kegiatan ini digunakan untuk memantau kinerja siswa dan sekaligus memberikan umpan balik.<br />Sebagai contoh konkrit bagaimana PAKEM dilaksanakan dapat digambarkan berikut:<br />Untuk sebuah pembelajaran Ilmu Sosial ditetapkan sebuah tema Banjir. Mengapa tema banjir yang diangkat? Karena isu itu yang sedang hangat dan banyak diberitakan terjadi di mana-mana.<br />Dalam melaksanakan pembelajaran tersebut, guru memberikan pengantar tentang banjir. Kemudian guru meminta siswa bekerja kelompok. Masing-masing kelompok diberikan 2 buah kliping koran tentang banjir. Tiap kelompok membaca, mencerna, dan mencatat informasi dari kliping, kemudian mempresentasikan. Terakhir antar kelompok compare notes. Siswa diminta menyimpulkan.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">D. Peningkatan Mutu Pendidikan Formal Melalui PAKEM</span><br /><br />Dengan asumsi bahwa proses pembelajaran yang terjadi di kelas adalah inti dari proses pendidikan di sekolah, maka perbaikan mutu pendidikan harus dimulai dengan menata dan meningkatakan mutu pembelajaran di kelas. Mutu pendidikan yang diindikasikan oleh para lulusannya memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif, perkembangan afeksi yang kuat (karakter, kesadaran diri, komitmen, dll), serta keterampilan psikomotor yang memadai. Artinya kriteria mutu pendidikan bukan hanya diukur oleh aspek kuantitatif, seperti NEM, nilai raport, banyaknya lulusan yang diterima di perguruan tinggi negeri, dan sebagainya, tetapi lebih pada aspek penguatan karakter dan watak siswa, keimanan kepada Tuhan, sopan santun, akhlak mulia, budi pekerti luhur, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan menghasilkan karya dan produk inovatif, dan lain-lain.<br />Upaya untuk mencapai mutu pendidikan dengan kriteria sebagaimana digambarkan di atas tentu akan sulit dilakukan apabila pembelajaran yang dilakukan di kelas masih konvensional, yang hanya menuntut siswa untuk melakukan DDCH (datang, duduk, catat, dan hafal); Model pembelajaran yang didominasi oleh guru melalui ceramah-ceramahnya menyampaikan sejumlah informasi/materi pelajaran yang sudah disusun secara sistematis. Sebab pembelajaran dengan model ini tingkat partisipasi siswa sangat rendah; siswa sering ada dalam situasi ”tertekan”, yang berakibat pada tidak optimalnya pemusatan perhatian pada kemampuan yang harus dikuasainya (time on task) menjadi rendah. Siswa tidak mendapat kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan sekitar, sehingga membuat mereka terasing dengan lingkungannya dan tidak memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan informasi yang diperlukannya; dan yang paling penting siswa hanya terfokus pada pengembangan ranah kognitif, dan kurang memperhatikan aspek afeksi (emosional, mental, dan spiritual), serta keterampilannya. Dengan kondisi pembelajaran seperti ini akan sulit mengharapkan para siswa memiliki kemampuan berpikir yang kritis, kreatif, dan inovatif, serta memiliki karakter dan watak yang kuat untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari.<br />Ada banyak inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mendorong terciptanya pembelajaran yang berkualitas yang berangkat dari pendekatan pembelajaran student active learning, diantaranya adalah apa yang disebut PAKEM. Dengan PAKEM para siswa akan mengikuti pembelajaran secara aktif, kreatif, dan demokratis; Siswa diberi kesempatan untuk berbuat dan berpikir secara bertanggung jawab; Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan proses belajar yang sesungguhnya, dimana siswa berinteraksi langsung dengan lingkungannya; Siswa belajar bekerjasama untuk memecahkan masalah, sehingga akan terbentuk watak dan kemampuan bekerja tim; Siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungannya yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya lingkungan dan kemampuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan; Akan tumbuh semangat dan kepercayaan diri untuk berpikir dan berbuat pada diri siswa.<br /><br /><span style="font-weight:bold;">E. Kesimpulan</span><br /><br />Peningkatan kualitas sumber daya manusia haruslah menjadi prioritas dalam pembangunan nasional kita. Itu berarti pembangunan dunia pendidikan harus mendapatkan perhatian yang serius, komitmen yang kuat dan tindakan nyata dari seluruh stakeholder. Pembangunan dunia pendidikan memang harus dilakukan secara sistemik, melalui pembenahan berbagai sektor yang terkait. Khusus untuk pembangunan pendidikan formal (sekolah), semua perbaikan yang dilakukan harus mengarah dan mendukung pada peningkatan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan di ”kelas”. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah ada pada proses pembelajaran.<br />Kualitas proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi antara siswa dengan sumber belajar. Artinya kualitas pembelajaran dikatakan baik apabila para siswanya secara aktif melakukan berbagai kegiatan untuk mengembangkan dirinya secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotorik) melalui interaksinya dengan berbagai sumber belajar. Untuk dapat terjadi seperti itu perlu diciptakan lingkungan dan suasana belajar yang mendukung, yaitu lingkungan yang mendorong anak untuk melakukan eksplorasi pada lingkungannya; memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara divergen, kritis, kreatif, dan inovatif; dan melatih anak untuk bekerja secara kooperatif dan kolaboratif; Salah satu model pembelajaran yang mampu mendorong itu semua adalah apa yang disebut PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).M.Al_vhttp://www.blogger.com/profile/11653577653823555264noreply@blogger.com0