BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 04 Januari 2010

Cara meningkatkan SDM yg berada di dunia pendidikan

SUMBER DAYA MANUSIA

Yang dimaksud dengan SDM dalam artikel ini adalah tenaga pendidik yakni kepala sekolah dan guru dan tenaga kependidikan yang meliputi pegawai tata usaha, laboran, pustakawan, teknisi dan pembantu pelaksana. Walaupun pada dasarnya peserta didik adalah bagian terbesar dari SDM di sekolah, tetapi artikel ini tidak mengangkat isu tentang peserta didik. baik guru maupun kepala sekolah, tenaga pendukung (tenaga komputer, laboran, pustakawan, tata usaha, dsb)harus memiliki sumber daya manusia yang profesional dan tangguh.

STRATEGI PENGEMBANGAN SDM MELALUI JALUR BELAJAR

Terdapat deretan panjang strategi perubahan SDM melalui jalur belajar yang dapat dilaksanakan di lingkup sekolah. Tetapi, dalam artikel ini hanya akan dimunculkan beberapa yang paling umum dipakai.Berikut adalah cara-cara tersebut:

1. Peningkatan kualifikasi pendidikan

Peningkatan kualifikasi pendidikan akan sangat menguntungkan baik kepada individu maupun bagi lembaga. Keuntungan individual diperoleh karena peningkatan kualifikasi pendidikan disamping merupakan agen pencerahan (enlightment agent) bagi guru juga menambah poin untuk kepentingan sertifikasi dan kenaikan jabatan guru dan pangkatnya. Bagi tenaga kependidikan, peningkatan kualifikasi ini sangat mungkin akan membantu memperlancar kenaikan jabatan dan pangkat mereka. Secara institusional, perbaikan kualifikasi pendidikan disamaping berarti perbaikan konformitas kriteria SDM juga berarti peningkatan kompetensi SDM yang diperlukan demi mutu proses dan hasil pekerjaan yang diharapkan. Dengan alasan ini, mereka yang sudah memenuhi kualifikasi-pun hendaknya terus didorong untuk melanjutkan pendidikannya. Dorongan yang dimaksud dapat berupa satu atau gabungan dari a) pemberian motivasi yang sungguh-sungguh dan terus menerus, b) pemberian status tugas belajar atau setidaknya ijin belajar, c) dispensasi waktu jika diperlukan, dan jika mungkin, d) penyediaan fasilitas termasuk pemberian beasiswa baik penuh maupun sebagian.
Masalah yang sering muncul dan teramati di lapangan berkaitan dengan pendidikan formal ini adalah sebagai berikut. Menempuh pendidikan relatif makan waktu. Sering juga terjadi pendidikan yang berkualitas berbanding lurus dengan waktu tempuh. Sehingga, justru lembaga pendidikan yang kurang berorientasi mutu menjadi pilihan. Fokus diarahkan pada perolehan ijasah tanpa mempedulikan peningkatan nyata pada kualitas.
Oleh karenanya, perlu diingatkan agar mereka yang bekerja pada sekolah memperhatikan betul unsur mutu dalam pemilihan lembaga kependidikan. Hendaknya dipilih lembaga pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri, yang secara nyata mengedepankan kualitas Para pemangku kepentingan (stake holders) sekolah: kepala sekolah, komite sekolah, kepala dinas pendidikan, pejabat-pejabat departemen pendidikan nasional, dan bupati/walikota, selain membantu mempermudah para pendidik dan tenaga kependidikan untuk melanjutkan studinya, hendaknya juga memperhatikan benar-benar unsur kualitas agar terjaga kesetaraan kualitas dengan kualifikasi pendidikan yang disandang oleh mereka. Selain itu pemilihan jurusan syang sesuai dengan bidang tugas juga perlu mendapat perhatian.

2. Pendidikan dan Pelatihan (diklat)

Diklat umumnya diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi yang memiliki tugas pembinaan terhadap sekolah berkisar mulai dari tingkat Kabupaten/Kota sampai tingkat pusat bahkan tingkat internasional. Berbeda dengan pendidikan formal, diklat bersifat luwes dalam hal waktu. Diklat dapat dilangsungkan dari bilangan jam sampai bilangan bulan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Diklat dapat diselenggarakan dengan materi sesuai dengan kebutuhan atau keinginan sehingga hampir semua fungsi pendidikan di sekolah dapat di-diklat-kan: manajemen, kepemimpinan, proses belajar mengajar, administrasi, dsb. Disamping itu, instruktur diklat dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan. Mereka dapat dipilih dari kalangan akademisi, teknisi, maupun praktisi sehingga diklat dapat bersifat teoritis, teknis, maupun praktis.

Karena keluwesan diklat hampir pada seluruh aspeknya, diklat sering dijadikan jalan keluar untuk mengatasi masalah kualitas SDM. Catatan yang perlu diungkap agar diklat dapat benar-benar menjadi solusi bagi masalah mutu SDM adalah bahwa pelaksanaan diklat hendaknya setia kepada tujuan. Tidak jarang dijumpai diklat dipakai sebagai ’proyek’ yang secara ekonomis menguntungkan para penyelenggara sehingga fokus perhatian mereka bukan pada tercapainya tujuan diklat secara efektif. Hasilnya bukan diklat bermutu yang benar-benar menjadi solusi masalah mutu SDM tetapi sebaliknya menurunkan kadar kepercayaan peserta diklat. Kontrol yang ketat dari mereka yang berwenang agar diklat tidak disalahgunakan perlu dilakukan dengan serius.

3. Kursus
Seperti halnya diklat, kursus diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah. Bedanya, diklat diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi nirlaba sedangkan kursus biasanya oleh organisasi berorientasi laba. Karena berorientasi bisnis, lembaga pengelola kursus umumnya berusaha menjual produk jasanya dalam kualitas maksimal yang dapat mereka tawarkan. Umumnya, harga jasa mereka berbanding lurus dengran kualitas jasa yang mereka tawarkan. Jika tidak, mekanisme pasar akan ’bertindak’. Oleh karena mekanisme pasar ini, memilih lembaga kursus yang bermutu relatif lebih gampang dibanding dengan menentukan kulaitas pada sebuah diklat. Jika kursus menjadi pilihan, yang penting dilakukan adalah penyiapan dana yang sesuai dengan mutu kursus yang dipilih. Yang perlu dilakukan oleh pemakai jasa kursus agar tidak membeli terlalu mahal adalah membandingkan kualitas jasa yang mereka jual dengan jasa sejenis dari penjual lain.

4. In-house training (IHT)
Berbeda dengan diklat dan kursus yang diselenggarakan oleh lembaga atau organisasi di luar sekolah, IHT dilaksanakan sendiri oleh sekolah. Instruktur dapat diambil dari kalangan dalam sekolah atau dari luar sekolah. Karena diselenggarakan oleh sekolah, materi IHT dapat lebih dispesifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan sekolah penyelenggaranya. Karena diselenggarakan di sekolah, IHT merupakan kegiatan yang sangat mungkin diikuti oleh semua tenaga pendidik dan kependidikan karena disamping murah, mereka juga tidak harus meninggalkan tugas dinas mereka. Disamping itu, IHT juga sangat baik untuk menjadi wahana peningkatan penguasaan materi bagi para instruktur dari dalam sekolah karena menjadi instruktur sesunggguhnya merupakan cara belajar yang sangat efektif. IHT dapat juga menjadi media untuk mempererat hubungan batin antar warga sekolah sehingga ikatan kekeluargaan bisa menjadi lebih baik. Hasilnya, IHT dapat menjadi forum yang baik untuk membentuk kultur baru sekolah atau memperkuat kultur lama yang dipertahankan.

Untuk menghindari masalah mutu seperti yang diungkap dalam diskusi tentang diklat, penyelenggaraan IHT perlu taat tujuan dan kualitas perlu dijadikan pusat perhatian. Jika, misalnya, penetapan instruktur dari dalam sekolah dirasa kurang mendatangkan efek peningkatan mutu yang memadai, mendatangkan instruktur dari luar dapat menjadi solusinya; atau sebaliknya.

5. Peningkatan Budaya Membaca
Tanpa perlu dibicarakan panjang lebar membaca masih terbukti sebagai cara belajar yang sangat efektif. Bahan dan waktu membaca dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kesempatan yang dimiliki oleh individu. Problem yang paling dominan berkenaan dengan membaca di Indonesia adalah masih rendahnya minat baca dan terbatasnya bahan bacaan. Untuk meminimalisasikan problem ini, para pemimpin kalangan pendidikan hendaknya terus-menerus memotivasi anak buah untuk meningkatkan kebiasaan membacanya.
Disamping itu tentu diperlukan penyediaan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan. Dewasa ini masalah bahan bacaan cetak yang relatif mahal dapat dibantu diatasi dengan menambah sumber bacaan dari CD dan internet. Penyediaan fasilitas ICT canggih ini dan pengenalan cara mencari bahan bacaan elektronik ini aharus dilakukan oleh sekolah jika kebiasaan membaca betul-betul ingin didongkrak.

6. Aktif dalam Mail list
Mail list adalah group e-mail yang biasanya diikuti oleh orang-orang dalam kelompok minat tertentu. Para guru dan tenaga kependidikan di sekolah akan mendaptkan keuntungan besar jika mereka aktif dalam mail list yang beranggotakan sejawat baik dari dalam maupun luar sekolah, baik dari dalam maupoun luar negeri. Ikut dalam mail list internasional: teachers helping teachers (http://www.pacificnet.net/~mandel/math.html), sebagai contoh, akan sangat membantu guru memperoleh banyak pengetahuan baru di bidang tugasnya. Melalui kelompok ini banyak informasi dapat di sebar luaskan dan banyak masalah mungkin dapat dicarikan jalan keluarnya. Jika ingin membuat mail-list sendiri, diperlukan fasilitaor yang berdedikasi tinggi dan tegas dalam menyaring arus informasi yang layak untuk di up-load dalam mail list. Disamping itu, diperlukan pula keaktifan masing-masing anggota dalam sharing informasi, masalah dan jalan keluarnya.

7. Naratif (Narrative)
Naratif berkaitan dengan cerita seseorang tentang pengalamannya kepada orang lain. Walaupun naratif dengan sengaja dapat difasilitasi untuk disampaikan pada pertemuan resmi, naratif umumnya berkembang dalam suasana informal pada waktu luang. Melalui naratif, baik penutur maupun pendengar dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan (Lieblich et al., 1998, h.7). Disinilah keunggulan naratif. Sebab, pengetahuan tidak selalu berbentuk pengetahuan ‘resmi’ seperti dalam tradisi akademik, tetapi dapat pula berbentuk ‘subjugated knowledge’ [pengetahuan terselubung] seperti ‘type of knowledge … in teachers’ conversations either in formal or informal settings’ [tipe pengetahuan… dalam percakapan guru baik dalam situasi formal maupun informal (Doecke, 2001, p.111). Percakapan sering didominasi oleh naratif. Karenanya, naratif memainkan peranan pentingnya dalam membentuk dan mentransfer pengetahuan sejak jaman purba (Kreiswith, 2000, h.295).

Naratif tidak selalu berisi kisah sukses seseorang. Kisah kegagalan-pun, jika dinaratifkan dapat menjadi sumber belajar yang berharga bagi penutur dan pendengar. Jika naratif tumbuh subur di kalangan personel seprofesi di sekolah, transfer dan penguatan pengetahuan akan terjadi dengan kuantitas dan kualitas yang luar biasa banyak tanpa harus didukung oleh dana mahal oleh sekolah. Suasana ini relatif gampang dikembangkan sebab ’a man is always a teller of tales [manusia selalu merupakan penutur cerita] (Kreiswith, 2000, p.293) atau ’people are story tellers by nature’ [orang pada dasrnrya adalah penutur cerita] (Lieblich et al., 1998, h 7) . Naratif bahkan telah diakui sebagai salah satu metode ilmiah (Kreiswith, 2000, h.295). Yang terpenting untuk dilakukan oleh sekolah agar naratif dapat berkembang adalah, pertama, pengembangan suasana kekeluargaan yang sehat di sekolah dan pemberian kesempatan yang cukup bagi kelompok-kelompok guru/tenaga kependidikan untuk memiliki waktu luang bersama. Yang kedua penciptaan suasana sekolah agar waktu luang sebanyak mungkin digunakan untuk bercerita tentang pelaksanaan pekerjaan. ’Nothing is more credence to a teacher than the word of another teacher’ [Tidak ada yang lebih dapat dipercaya oleh seorang guru kecuali kata-kata sesama guru] (Weller, 1996, p.4). Weller (1996) menambahkan ’saling hubungan antara teman lebih banyak berpengaruh dalam meningkatkan kualitas daripada model instruksional seperti lokakarya, seminar atau program pengembangan staf’ (h.4)


STRATEGI PENGEMBANGAN SDM MELALUI MANAJEMEN DAN KEPEMIMPIN-AN PERUBAHAN

Sampai dengan akhir diskusi kita tentang stategi pengembangan SDM melalui jalur belajar, dapat kita simpulkan bahwa bahkan pada tingkat individu, perubahan perlu dukungan manajemen. Apalagi jika perubahan yang kita kehendaki bersifat institusional. Manajemen perubahan yang benar dan kuat adalah mutlak. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengenalkan dan mengelola perubahan di tingkat sekolah disamping banyak strategi lain.

Perubahan melalui Transformasi Standar Kelompok

Sosiolog Amerika Serikat pertengahan abad 20 Kurt Lewin menyatakan bahwa perubahan akan lebih berhasil jika dilakukan dalam kelompok. Agar terjadi perubahan, harus ada transformasi standar kelompok yang diterima dan seyogyanya dilakukan bersama-sama. (Lewin, 1958, h.210) . Sayangnya, kondisi ideal seperti itu tidak tipikal. Yang umum terjadi, menurut Weller adalah terbaginya sikap anggota kelompok terhadap perubahan yang sedang diperkenalkan. Hasil penelitian Hoy and Miskel (1991) menunjukkan bahwa sikap anggota kelompok terhadap perubahan terbagi sesuai dengan kecenderungan kurva normal (bell shaped curve), yakni 2,5% innovators, yakni mereka yang selau siap mengadopsi sesuatu yang baru demi perbaikan 13.5% early adopters, yaitu seperti para innovator, gampang tidak puas dengan status quo dan senang mencari sesuatu yang baru, 34 % early majority, ialah mereka yang terbuka terhadap sesuatu yang baru, 34% late majority, adalah mereka yang skeptis dan enggan berubah dan 16% late adopters, adalah merekas yang memiliki pola pikir negatif terhadap perubahan dan menjadi benteng anti perubahan (dalam Weller, 1996, h. 27). Oleh karena fenomena ini, agar perubahan berhasil dilaksanakan diperlukan dua hal. Pertama, keyakinan bahwa standar lama sudah tidak layak lagi dipertahankan dan harus ditinggalkan menuju standar baru (Evans 1996, h.57). Kedua, diperlukan pemimpin perubahan yang kuat agar mayoritas anggota kelompok dapat diyakinkan (Weller, 1996, h.27). Jika mayoritas anggota kelompok sudah berubah, kelompok resistant pada akhirnya mungkin akan mengikuti juga sebab bagaimanapun mereka tidak akan merasa nyaman berada di luar standar kelompok (Lewin, 1958, h. ). Jika standar baru sudah tercapai melalui sebuah proses perubahan, manajemen sekolah perlu menghentikan proses perubahan itu sampai standar tersebut menjadi mantap dan menjadi budaya baru (freezing) (Lewin, 1958, h. 210 ). Ini perlu dilakukan agar tidak terjadi bounch back [pantulan kembali] ke praktik lama (Eric Development Team, 2003, h.3).

Budaya baru yang seyogyanya menjadi target perubahan pada sekolah sebagimana didiskusikan di atas, adalah budaya mutu (Dit.PSMP, 2007, h. 50). Jika budaya berarti nilai atau keyakinan yang dianut oleh kelompok yang dijadikan ’penggalangan konformisme’ perilaku anggota kelompok (Slamet PH, 2005 dalam Dit.PSMP, 2007 h. 50), budaya mutu mengandung makna bahwa hanya perilaku yang mengutamakan mutu-lah yang dianggap benar dalam kelompok itu. Untuk mencapai tahapan ini, diperlukan manajemen perubahan yang kuat yang dengan konsisten melakukan ’pemberdayaan, [memberi] arahan, bimbingan, modelling, coaching, pujian, seremoni... keberhasilan mutu, dan pemberian hadiah atas prestasi mutu’ (Dit.PSMP, 2007, h. 51). Apabila budaya mutu benar-benar dijadikan sasaran perubahan, jangan kepalang tanggung, sekolah hendaknya menerapkan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management), (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.13) seperti akan diuraikan lebih lanjut pada bagian belakang artikel ini.

Kepemimpinan Transformasional

Pada dasarnya orang cenderung nyaman berada pada status quo (Evans, 1996, h.26) oleh karenanya agar terjadi perubahan diperlukan kepemimpinan yang kuat dengan tipe yang sesuai untuk itu. Salah satu tipe kepemimpinan yang cocok untuk ini adalah kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional bukan hanya berpihak pada perubahan tetapi berintikan perubahan itu sendiri.
Istilah “transformational’ leadership diusulkan oleh Bass sebagai pengganti dari istilah ‘transforming’ leadership yang diperkenalkan oleh Burns pada tahun 1978 (Bass, 1995, h.467). Oleh Burns, istilah transforming digunakan sebagai nama sebuah ujung ekstrim garis kontinum yang mengilustrasikan tipe kepemimpinan dengan ujung lain bernama transaksional (Bass, 1995, h.466). Kepemimpinan transaksional adalah gaya memimpin yang ditandai dengan ciri: apabila pengikut melaksanakan tugas dengan benar mereka akan mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya (Bass, 1995, h. 466). Adapun kepemimpinan tranformasional adalah kepemimpinan yang memiliki visi ke depan yang jelas dan bagaimana membawa pengikut untuk mencapainya (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h. 14). Jika kepemimpinan transformasional diterapkan di sekolah, proses transformasi dilakukan melalui tahap: 1) melihat kondisi nyata/kondisi obyektif sekolah, 2) menetapkan kondisi yang diinginkan, 3) menetapkan besarnya tantangan dengan cara membandingkan kondisi obyektif dengan kondisi yang diinginkan, dan 4) bergerak dari kondisi nyata menuju kondisi yang diinginkan (Ditjen Mandikdasmen, 2007, h.14).

Bass mendiskripsikan ciri pemimpin tranformasional adalah mereka yang 1) memotivasi pengikut untuk berbuat lebih dari yang biasanya, 2) meningkatkan tingkat kesadaran pengikut terhadap masalah-masalah penting, 3) menaikkan tingkat kebutuhan dari kebutuhan akan keamanan atau pengakuan menjadi kebutuhan untuk berprestasi dan mengaktualisasikan diri [lihat: Maslow, 1954), dan/atau 4) membimbing pengikut untuk mengubah [orientasi dari] kepentingan diri sendiri menjadi kepentingan tim atau organisasi (Bass, 1995, h.469). Model kepemimpinan transformasional inilah yang sejak dikenalkan cenderung terus mendapat sambutan positif di seluruh dunia karena diyakini, dan barangkali juga sudah terbukti, mampu membawa organisasi, termasuk sekolah, menuju keadaan yang dicita-citakan. Salah satu bentuk dari kepemimpinan transformasional, berdasarkan cirinya, adalah kepemimpinan dalam menerapkan total quality management (TQM)

Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management/TQM)

Kegagalan yang umum terjadi pada manajemen perubahan, menurut Weller and Hartley (1994) disebabkan oleh sebuah alasan fundamental yakni ‘fragmented programmes and approaches lack a coherent systematic plan or structured process to implement … reforms’ [program yang terfragmentasi, pendekatan kekurangan rencana sistematis yang koheren atau proses terstruktur untuk mengimplementasikan … reformasi] (h.23). Oleh karena itu, untuk menghindari kegagalan tersebut, mereka menyarankan agar sekolah melakukan perencanaan yang jelas yang berdasarkan pola pikir yang terstruktur dan sistematis (h.23). Intinya, seluruh aspek manajemen: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan segala yang berkaitan dengan itu, dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu dengan berorientasi kepada mutu.

Dari karya Weller dan Hartley ini, dapat ditarik pengertian bahwa TQM adalah upaya sistematis yang menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk mengintervensi setiap unsur dalam sistem pendidikan sehingga seluruh aspek memenuhi standar mutu yang ditetapkan. The International Standard Organisation (ISO), mendifinisikan TQM sebagai

“a management approach for an organization, centered on quality, based on the participation of all its members and aiming at long-term success through customer satisfaction, and benefits to all members of the organization and to society."

[pendekatan manajemen untuk sebuah organisasi, yang dipusatkan pada kualitas, berdasarkan partisipasi seluruh anggotanya dan diarahkan pada sukses jangka panjang melalui kepuasan pelanggan, dan keuntungan kepada seluruh anggota organisasi dan masyarakat] (Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/ Total_Quality_ Management, 27 Agustus 2007)

Berdasarkan dua pengertian di atas, dapat dideduksikan bahwa upaya sistematis yang menyeluruh dan sungguh-sungguh dalam TQM untuk mengintervensi setiap unsur dalam sistem pendidikan sehingga seluruh aspek memenuhi standar mutu yang ditetapkan, ditujukan untuk mencapai sukses jangka panjang dan dilakukan bersama-sama oleh seluruh warga sekolah.

Disini terjadi proses rekursif; yakni, agar mampu menyelenggarakan TQM, sekolah harus menyiapkan SDM yang berkualitas pada semua lapisan agar intervensi terhadap seluruh aspek dalam sistem pendidikan di sekolah dapat dilaksanakan. Dengan kata lain, SDM diubah dulu agar TQM dapat dijalankan. Sebaliknya, penerapan TQM di sekolah adalah cara yang baik untuk meningkatkan kualitas SDM sebab SDM yang tidak mengikuti perubahan itu akan tertinggal. Proses ini akan berhasil dengan syarat pelaksanaan TQM disepakati oleh seluruh warga sekolah dan bersifat partisipatif; bukan paksaan. Pengikut mau berubah karena mereka menginginkannya, bukan karena terpaksa (Evans, 1996, h. 171).

Weller dan Hartley (1994) menyarankan agar TQM tidak mengalami kegagalan, sekolah perlu melakukan hal-hal berikut. 1) Lakukan intervensi terhadap masukan mentah, yakni calon siswa baru, dengan cara menyelenggarakan program untuk menyiapkan mereka mengikuti PBM yang berkualitas. Ini yang disebut Dit. PSMP sebagai program ”bridging course’ 2) Untuk menghindari pengaruh buruk yang menghambat TQM, ciptakan budaya kerja, tetapkan visi dan misi bersama, dan jadikan ‘continuous improvement’ sebagai norma sekolah. 3) Kerucutkan tujuan pendidikan dari tujuan yang terlalu luas menjadi tujuan pendidikan di sekolah tersebut secara spesifik. 4) Jangan berfokus pada hasil kerja jangka pendek, misalnya hasil ujian, tetapi harus ada komitmen terhadap tujuan jangka panjang (commitment to constancy of purpose). 5) Evaluasi terhadap performa siswa harap didasarkan pada harapan pelanggan (orang tua siswa/ dunia kerja). 6) Dengarkan pelanggan, dan usahakan memenuhi harapan-harapan mereka agar mereka mau mendukung sekolah. 7) Ciptakan cara mengembangkan dan mengelola SDM untuk mengatasi kekurangan SDM yang bermutu. 8) Bangunlah sistem yang tidak memungkinkan lagi menghasilkan hasil yang tidak bermutu (h.23-28).

Sekali lagi, perlu penegasan disini dalam penerapan TQM terjadi proses rekursif. Untuk melaksanakan TQM diperlukan SDM berkualitas; dan di sisi lain, SDM berkualitas akan terdorong dengan penerapan TQM.

Perubahan karena Penerapan Teknologi

Evans mensinyalir, ’virtually every aspect of our existence has been tranformed by technology, by the revolution of computing, [and] by mass communication’ [hampir setiap aspek keberadaan kita telah berubah karena teknologi, revolusi komputasi, dan komunikasi massal] (Evans, 1996, p.22). Jika kita setuju bahwa pengaruh pemakaian teknologi utamanya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terhadap perubahan gaya dan kualitas hidup termasuk dalam kehidupan berorganisasi sangat kuat, maka tidak terlalu sulit bagi kita untuk percaya bahwa penerapan TIK dapat dijadikan strategi untuk mengubah SDM di sekolah. Seperti halnya pada penerapan TQM, juga terjadi proses rekursif dalam aplikasi TIK di sekolah. Agar TIK dapat diaplikasikan dengan maksimal, diperlukan SDM yang bermutu. Sebaliknya, penggunaan TIK secara sungguh-sungguh akan membantu meningkatkan kualitas SDM.
Berikut adalah nama dan ciri dari ke empat kelompok dimaksud. 1) Survival stage; ditandai dengan a) berjuang keras melawan teknologi, b) mendapatkan banyak masalah dengan teknologi, c) tidak mengubah kondisi status quo di kelas yang dia ajar, d) menggunakan teknologi hanya jika diperintah, e) menghadapi masalah ketika harus memfasilitasi siswa untuk memperoleh akses ke komputer, dan f) memiliki harapan yang aneh yakni percaya bahwa pemanfaatan teknologi saja sudah akan mampu mendongkrak prestasi akademik. 2) Mastery stage; memiliki ciri a) toleransi terhadap problem hardware dan software telah meningkat, b) mulai menggunakan bentuk interaksi baru dengan siswa di kelas, c) kompetensi teknisnya telah meningkat dan mulai bisa mengatasi masalah-masalah ringan pada komputernya. 3) Impact stage, bercirikan a) secara teratur mengembangkan inter-relasi kerja dan struktur kelas baru, b) menyeimbangkan perintah dengan inisiatif pengembangan, c) jarang mendapatkan masalah dengan teknologi, dan d) dengan teratur mengembangkan unit-unit pembelajaran yang memanfaatkan teknologi. 4) Innovation stage, memiliki tanda: memodifikasi lingkungan kelasnya agar dapat mengambil keuntungan maksimal dari kurikulum dan kegaitan pembelajaran yang didukung oleh teknologi (Eric Development Team, 2003, h.2-3)

Untuk mendorong agar tenaga pendidik dan kependidikan dapat segera bergerak dari survival stage ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi, berikut adalah saran-sarannya. Pelatihan IT untuk guru harap dilaksanakan dengan model-model yang dapat dipilih, antara lain: 1) IHT sesudah sekolah dengan kendala utama kepayahan guru, 2) Individual coaching, yakni bantuan terhadap individu-individu yang mendapatkan kesulitan, 3) mengkursuskan personel terutama pada saat libur, 4) memberi grant kepada guru yang mampu melatih temannya sampai bisa, dan 5) mengikuti belajar jarak jauh. (Eric Development Team, 2003, h. 4). Saran tentang cara pembelajaran bagi SDM sekolah ini tentu dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah. Yang terpenting adalah usaha sungguh-sungguh dari jajaran manajemen sekolah untuk mentransformasikan guru dan tenaga kependidikan di sekolah tersebut setidaknya sampai tingkat impact dengan beberapa tokoh yang berada pada tingkat innovation.

KESIMPULAN

agar sekolah dapat menjalankan peran yang dibebankan kepadanya dengan baik, diperlukan SDM yang berkualitas tinggi Untuk pemenuhan kebutuhan SDM sesuai dengan kriteria tersebut, disamping dapat dilakukan pengangkatan atau mutasi, perlu juga dilakukan dengan pengembangan SDM yang ada. Karena untuk berkembang seseorang perlu berubah, maka diperlukan pemahaman yang baik terhadap seluk perubahan baik pada tingkat individu maupun pada tingkat organisasi. Untuk berubah orang perlu belajar sehingga agar terjadi perubahan, berbagai strategi membelajarkan SDM perlu dilakukan. Disamping itu, perubahan kolektif memerlukan manajemen dan kepemimpinan perubahan. Dengan demikian, agar terjadi perubahan yang efektif diperlukan manajemen dan kepemimpinan yang secara jeli dapat memanfaatkan strategi dan kepemimpinan perubahan yang mendukung.

PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN

Keberadaan guru sudah ada sejak jaman dulu. Sejak manusia paling awal diciptakan, yaitu Nabi Adam A.S. Guru Nabi Adam A.S. adalah guru dari segala guru, guru dari para penemu, guru dari makhluk paling soleh, yaitu Allah SWT. yang Maha Tahu. Dalam Al Quran diterangkan Allah SWT. yang mengajarkan pada Adam segala sesuatu tentang benda yang ada di dunia. Selanjutnya Nabi Adam mengajarkannya pada Siti Hawa, begitu seterusnya.

Istilah guru pada saat ini mengalami penyempitan makna. Guru adalah orang yang mengajar di sekolah. Orang yang bertindak seperti guru seandainya di berada di suatu lembaga kursus atau pelatihan tidak disebut guru, tetapi tutor atau pelatih. Padahal mereka itu tetap saja bertindak seperti guru. Mengajarkan hal-hal baru pada peserta didik.

Terlepas dari penyempitan makna, peran guru dari dulu sampai sekarang tetap sangat diperlukan. Dialah yang membantu manusia untuk menemukan siapa dirinya, ke mana manusia akan pergi dan apa yang harus manusia lakukan di dunia. Manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembangannya memerlukan bantuan orang lain, sejak lahir sampai meninggal. Orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah dengan harapan guru dapat mendidiknya menjadi manusia yang dapat berkembang optimal.

Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individu, karena antara satu perserta didik dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Mungkin kita masih ingat ketika masih duduk di kelas I SD, gurulah yang pertama kali membantu memegang pensil untuk menulis, ia memegang satu persatu tangan siswanya dan membantu menulis secara benar. Guru pula yang memberi dorongan agar peserta didik berani berbuat benar, dan membiasakan mereka untuk bertanggungjawab terhadap setiap perbuatannya. Guru juga bertindak bagai pembantu ketika ada peserta didik yang buang air kecil, atau muntah di kelas, bahkan ketika ada yang buang air besar di celana. Guru-lah yang menggendong peserta didik ketika jatuh atau berkelahi dengan temannya, menjadi perawat, dan lain-lain yang sangat menuntut kesabaran, kreatifitas dan profesionalisme.

Memahami uraian di atas, betapa besar jasa guru dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan para peserta didik. Mereka memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan Negara dan bangsa.

Guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru harus kreatif, professional dan menyenangkan, dengan memposisikan diri sebagai :

1. Orang tua, yang penuh kasih saying pada peserta didiknya.

2. Teman, tempat mengadu dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.

3. Fasilitator, yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan dan bakatnya.

4. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.

5. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.

6. Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan dengan orang lain secara wajar.

7. Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya.

8. Mengembangkan kreativitas.

9. Menjadi pembantu ketika diperlukan.

Demikian beberapa peran yang harus dijalani seorang guru dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh para siswanya.

Saat ini permasalahan yang menimpa bidang pendidikan sangat beragam dan tergolong berat. Mulai dari sarana dan prasarana pendidikan, tenaga pengajar yang kurang, serta tenaga pengajar yang belum kompeten. Kondisi sekolah yang memprihatinkan, ruang kelas bocor bila hujan dan sebagian sekolah ambruk. Maka tidaklah aneh kalau kondisi pendidikan kita jauh dari harapan.

Salah satu permasalahan yang menimpa dunia pendidikan adalah kompetensi guru. Guru yang harusnya memiliki kompetensi sesuai ketentuan dan kebutuhan, nyatanya hanya sedikit yang masuk kategori tersebut. Sisanya sungguh memprihatinkan. Program sertifikasi guru yang sekarang sedang digalakkan adalah salah satu bagian dari usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Program sertifikasi guru merupakan program yang menyentuh langsung kompetensi guru. Salah satu kriterianya yaitu menilai kemampuan guru dari segi kreatifitas dan inovasi dalam pembelajaran. Diharapkan guru dapat melakukan pembelajaran yang dapat menghantarkan siswa ke arah sikap kreatif dan inovatif serta trampil. Kondisi tersebut harus dimulai dari gurunya sendiri.

Sebagai contoh derasnya informasi serta cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memunculkan pertanyaan terhadap tugas utama guru yang disebut “mengajar”. Masih perlukah guru mengajar di kelas seorang diri, menginformasikan, menjelaskan dan menerangkan? Permasalahan lain akibat derasnya informasi dan munculnya teknologi baru adalah kesiapan guru untuk mengikuti perkembangan tersebut. Seorang guru dituntut harus serba tahu bila tidak tahu guru harus berkata jujur “Saya tidak tahu”. Namun kalau terlalu sering guru berkata demikian alangkah naifnya guru tersebut. Seyogyanya dia terus mencari tahu, belajar terus sepanjang hayat, memanfaatkan teknologi yang ada.

Di masyarakat, seorang guru diamati dan dinilai masyarakat, di sekolah dinilai oleh murid dan teman sejawatnya serta atasannya. Peran apakah yang harus dilakoni seorang guru supaya penilaian mereka positif? Suatu pertanyaan -yang menjadi salah satu permasalahan- yang sekarang muncul di masyarakat.

Dalam proses pembelajaran, guru dituntut untuk dapat membentuk kompetensi dan kualitas pribadi anak didiknya. Untuk mencapai hal demikian timbul pertanyaan, sebenarnya peran apa saja yang harus dimiliki oleh seorang guru sehingga anak didik bisa berkembang optimal? Cukupkah peran guru seperti yang telah disampaikan di atas ataukah ada peran lain yang harus dilakoni seorang guru ?

Beragam pertanyaan tadi dapat menyebabkan demotivasi bagi seorang calon guru ataupun guru yang sudah lama mengabdi. Apakah saya mampu menjadi guru yang ideal? Peran apa yang harus saya lakoni untuk menjadi guru yang ideal? Demikian pertanyaan yang timbul dalam hati seorang guru yang berniat mengabdikan sisa hidupnya di dunia pendidikan.

Pertanyaan tersebut sebelumnya telah menggugah sejumlah pengamat dan akhli pendidikan. Mereka telah meneliti peran-peran apa yang harus dimiliki seorang guru supaya tergolong kompeten dalam pembelajaran maupun pergaulan di masyarakat.

Para pakar pendidikan di Barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang harus dilakoni. Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan Young (1988), Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Guru Sebagai Pendidik

Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.

2. Guru Sebagai Pengajar

Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika factor-faktor di atas dipenuhi, maka melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah.

Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran, yaitu : Membuat ilustrasi, Mendefinisikan, Menganalisis, Mensintesis, Bertanya, Merespon, Mendengarkan, Menciptakan kepercayaan, Memberikan pandangan yang bervariasi, Menyediakan media untuk mengkaji materi standar, Menyesuaikan metode pembelajaran, Memberikan nada perasaan.

Agar pembelajaran memiliki kekuatan yang maksimal, guru-guru harus senantiasa berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan semangat yang telah dimilikinya ketika mempelajari materi standar.

3. Guru Sebagai Pembimbing

Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggungjawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.

Sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal berikut.

Pertama, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai.

Kedua, guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.

Ketiga, guru harus memaknai kegiatan belajar.

Keempat, guru harus melaksanakan penilaian.

4. Guru Sebagai Pelatih

Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa latihan tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar.

5. Guru Sebagai Penasehat

Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat berharap untuk menasehati orang.

Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.

6. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator)

Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam pendidikan.

Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini kedalam istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai jembatan antara generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru harus menjadi pribadi yang terdidik.

7. Guru Sebagai Model dan Teladan

Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru : Sikap dasar, Bicara dan gaya bicara, Kebiasaan bekerja, Sikap melalui pengalaman dan kesalahan, Pakaian, Hubungan kemanusiaan, Proses berfikir, Perilaku neurotis, Selera, Keputusan, Kesehatan, Gaya hidup secara umum

Perilaku guru sangat mempengaruhi peserta didik, tetapi peserta didik harus berani mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri.

Guru yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap merasa dan berusaha untuk tidak mengulanginya.

8. Guru Sebagai Pribadi

Guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru”. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani.

Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang dianutnya, maka dengan cara yang tepat disikapi sehingga tidak terjadi benturan nilai antara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta didik.

Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.

9. Guru Sebagai Peneliti

Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang didalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti. Menyadari akan kekurangannya guru berusaha mencari apa yang belum diketahui untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas. Sebagai orang yang telah mengenal metodologi tentunya ia tahu pula apa yang harus dikerjakan, yakni penelitian.

10. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas

Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan cirri aspek dunia kehidupan di sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu.

Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan menilaianya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja. Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari yang telah dikerjakan sebelumnya.

11. Guru Sebagai Perubah Pandangan

Dunia ini panggung sandiwara, yang penuh dengan berbagai kisah dan peristiwa, mulai dari kisah nyata sampai yang direkayasa. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memberikan dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada pesarta didiknya. Mengembangkan fungsi ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang fungsi ini.

12. Guru Sebagai Pekerja Rutin

Guru bekerja dengan keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang amat diperlukan dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya.


13. Guru Sebagai Aktor

Sebagai seorang aktor, guru melakukan penelitian tidak terbatas pada materi yang harus ditransferkan, melainkan juga tentang kepribadian manusia sehingga mampu memahami respon-respon pendengarnya, dan merencanakan kembali pekerjaannya sehingga dapat dikontrol.

Sebagai aktor, guru berangkat dengan jiwa pengabdian dan inspirasi yang dalam yang akan mengarahkan kegiatannya. Tahun demi tahun sang actor berusaha mengurangi respon bosan dan berusaha meningkatkan minat para pendengar.

14. Guru Sebagai Emansipator

Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap insane dan menyadari bahwa kebanyakan insan merupakan “budak” stagnasi kebudayaan. Guru mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik dari “self image” yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak dan rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang dicampakkan secara moril dan mengalami berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi pribadi yang percaya diri.

15. Guru Sebagai Evaluator

Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.

Penilaian harus adil dan objektif.

16. Guru Sebagai Pengawet

Salah satu tugas guru adalah mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya, karena hasil karya manusia terdahulu masih banyak yang bermakna bagi kehidupan manusia sekarang maupun di masa depan.

Sarana pengawet terhadap apa yang telah dicapai manusia terdahulu adalah kurikulum. Guru juga harus mempunyai sikap positif terhadap apa yang akan diawetkan.

17. Guru Sebagai Kulminator

Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.

Guru sejatinya adalah seorang pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak didik.

Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.

Minggu, 03 Januari 2010

Penghargaan Kekayaan Intelektual Luar Biasa

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) akan menyelenggarakan program pemberian penghargaan kekayaan intelektual. Kegiatan yang baru diselenggarakan pertama kali i
ni ditujukan bagi dosen, peneliti, dan masyarakat yang menghasilkan kekayaan intelektual luar bias
a. Kepada 50 pemenang terpilih akan diberikan penghargaan berupa piagam dan uang tunai sebanyak Rp.250.000.000,00.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengungkapkan, masih rendahnya produktivitas para peneliti. Dia menyebutkan, kemampuan ilmuwan di Indonesia memberikan kontribusi terhadap jurnal internasional sebanyak 0,8 artikel per satu juta penduduk. Sementara, kata dia, negara – negara lain lagi sudah menunjukkan angka yang berlipat – lipat dibandingkan dengan Indonesia. “Penelitian bukan untuk penelitian saja, tetapi penelitian itu har
us menjawab permasalahan – permasalahan yang riil yang ada di masyarakat. Bukan hanya untuk publikasi internasional saja,” katanya saat memberikan keterangan pers di Gerai Informasi dan Media, Depdiknas, Senin (14/04/2009) .

Hadir pada acara Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Ditjen Dikti Depdiknas Suryo Hapsoro Tri Utomo, Asisten Deputi Urusan Pengembangan Sistem Legislasi Iptek Deputi Bidang Pengembangan SIPTEKNAS Sadjuga, Kepala Pusat Perlindungan Varietas T
anaman Departemen Pertanian Hindarwati, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim Usaha Perdagangan Departemen Perdagangan Tri Mardjoko, dan Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan Paten II Direktorat Paten Ditjen Hak Atas Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Ham Said Nafik.

Fasli mengatakan, penelitian dilakukan untuk menghasilkan kekayaan intelektual yang asli dan diakui. Selanjutnya, kata dia, hasil penelitian digunakan untuk mendukung dunia usaha menghasilkan produk baru atau memperkaya produk lama. Selain itu, kata dia, untuk membuat usaha – usaha masyarakat lebih produktif dibandingkan dengan sebelum menggunakan hasil penelitian ter
sebut. “Apalagi kalau hasil penelitian itu juga diperbantukan untuk menjawab hal – hal yang dihadapi oleh pemerintah daerah baik kabupaten, kota, maupun provinsi,” katanya.

Penghargaan akan diberikan berdasarkan klaster kekayaan industri, khususnya paten dan perlindungan varietas tanaman dan hak cipta meliputi klaster ilmu pengetahuan dan klaster industri kreatif. Klaster kekayaan industri terbagi dalam 14 subklaster, klaster ilmu pengetahuan terbagi dalam 26 subklaster, dan klaster industri kreatif terbagi dalam sepuluh subklaster.

Fasli menyebutkan, klaster kekayaan industri meliputi diantaranya sub kluster pangan, ener
gi, air, obat, kesehatan, lingkungan, material baru, teknologi informasi dan komunikasi, dan varieta. Untuk klaster ilmu pengetahuan, lanjut dia, meliputi diantaranya subklaster kedokteran, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat atau keolahragaan, matematika atau statistika, fisika atau astronomi, sedangkan klaster industri kreatif meliputi diantaranya subklaster periklanan, arsitektur, desain, fesyen, film, video, dan fotografi, serta permainan interaktif.
Pendaftaran dapat dilakukan melalui laman www.anugerahkekayaanintelektual.com atau melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Ditjen Dikti, Depdiknas Jl.Pintu Satu Senayan telepon 021-57946043, faksimili 021-5731846.

Asisten Deputi Urusan Pengembangan Sistem Legislasi Iptek Deputi Bidang Pengembangan SIPTEKNAS Sadjuga mengatakan, kegiatan penghargaan ini merupakan suatu upaya untuk memperkuat sistem inovasi nasional. Menurut dia, dalam menggerakkan ekonomi masyarakat, yang saat ini memasuki ekonomi kreatif, kekayaan intelektual menjadi sangat penting.

Sadjuga menambahkan, penghargaan karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal internasional adalah yang memiliki peringkat indeks sitasi tinggi. “Jadi misalnya sekedar diterbitkan, tetapi tidak diacu orang lain berarti kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dianggap kurang luar biasa,” katanya.

Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan Paten II Direktorat Paten Ditjen Hak Atas Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Ham Said Nafik membacakan sambutan tertulis Dirjen HAKI mengatakan, pemberian penghargaan bagi penghasil kekayaan intelektual luar biasa ini diharapkan dapat memotivasi para dosen, peneliti, dan masyarakat umum untuk berkarya, sehingga tumbuh budaya inovatif dan inventif.

“Dengan tumbuh budaya inovatif dan inventif kita berharap dan bercita – cita akan menjadi bangsa yang makmur, bermartabat, serta diperhitungkan bangsa – bangsa lain. Tidak lagi menjadi kuli bangsa – bangsa diantara bangsa – bangsa. Tidak lagi menjadi bangsa pencari upah belaka dan juga tidak lagi sebagai bangsa pemakan upah diantara bangsa – bangsa, ” katanya.

Guru di Indonesia Kebanyakan

Menurut Direktur Profesi Pendidik Departemen Pendidikan Nasional, Achmad Dasuki, di Jakarta, Kamis (29/10), jumlah guru yang ada saat ini sudah lebih dari cukup.”Rasio guru dan siswa SMP saja saat ini sudah 1:15. Ini lebih besar dari rasio guru dan siswa di Jepang dan Korea yang hanya 1:20. Kalau ke-580 ribu guru honorer itu diangkat, rasionya bisa menjadi 1:10,” katanya.

Di samping itu, kata dia, kemampuan finansial pemerintah juga terbatas, sehingga tidak mungkin mengangkat seluruh guru honorer menjadi PNS. Guru-guru honorer yang akan diangkat menjadi PNS hanya yang memenuhi kualifikasi termasuk di antaranya yang berpendidikan S1 dan telah mengikuti pendidikan profesi minimal selama satu tahun.

Lebih lanjut dia menjelaskan, selain mengangkat lebih banyak guru, pemerintah juga akan berupaya memeratakan sebaran guru. Pemerintah sekarang sedang menyiapkan regulasi untuk mengatur sebaran guru. Meski jumlahnya terhitung cukup, hingga kini sebaran guru belum merata di seluruh daerah. Sebagian besar guru terkonsentrasi di kawasan perkotaan. Sementara, sekolah-sekolah di daerah terpencil dan kawasan pedalaman masih kekurangan guru.

“Nanti akan diatur supaya sebarannya merata,” katanya. Saat ini, pemerintah belum bisa berbuat banyak karena kewenangan untuk menempatkan guru berada di tangan pemerintah daerah. Pemerintah pusat belum mempunyai payung hukum untuk terlibat dalam pengaturan distribusi guru.

Tambahan Penghasil bagi Guru PNS yang Belum Mendapatkan Tunjangan Profesi

Jakarta, Selasa (1 Desember 2009) — Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan, pemerintah akan memberikan tambahan penghasilan bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) yang belum mendapatkan tunjangan profesi sebanyak Rp 250.000,00. Tambahan penghasilan yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2009 ini diberikan terhitung mulai 1 Januari 2009.

“Dengan keluarnya peraturan presiden itu, syukur Alhamdulillah penghasilan guru terendah dapat mencapai sekurang – kurangnya 2.000.000 rupiah per bulan,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara Puncak Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2009 dan HUT Ke-64 PGRI di Stadion Tenis Indoor, Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (1/12/2009).

Presiden menyebutkan saat ini terdapat sekitar 2,1 juta guru di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan sekitar 400.000 guru di lingkungan Departemen Agama yang belum mendapatkan tunjangan sertifikasi. Kebijakan pemberian tambahan penghasilan ini, kata Presiden, adalah sebagai penghargaan pemerintah terhadap profesi guru dan tindak lanjut dari pidato kenegaraan yang disampaikan di depan Sidang Paripurna DPR RI pada 15 Agustus 2009 yang lalu.

Presiden mengatakan, sebagian dari anggaran pendidikan yang besar di tahun 2009 telah dialokasikan antara lain untuk mengangkat martabat guru dan dosen, meningkatkan kompetensi guru dan dosen, memajukan profesi, memberikan perlindungan hukum dan profesi, serta untuk perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja para guru. “Anggaran yang besar itu juga telah dialokasikan untuk mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antar daerah dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan juga kompetensi,” katanya.

Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan guru, pemerintah telah memberikan berbagai tunjangan. Presiden menyebutkan, hingga saat ini pemerintah telah membayarkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok kepada lebih dari 350.000 orang guru. “Pada 2009 ini, pemerintah juga telah menetapkan sasaran pemberian subsidi tunjangan fungsional kepada sekitar 478.000 orang guru bukan PNS,” katanya.

Presiden menyebutkan, pemerintah juga telah memberikan bantuan kesejahteraan kepada lebih dari 30.000 orang guru yang bertugas di daerah terpencil. “Ke depan, pemerintah bertekad untuk melanjutkan berbagai upaya dalam pengembangan profesi guru agar dapat meningkatkan empat dimensi pendidikan yaitu pendidikan berdimensi keimanan, keilmuan, keterampilan, dan pengembangan kepribadian,” katanya.

Presiden menambahkan, pemerintah juga memberikan perhatian yang besar pada upaya peningkatan kualifikasi bagi para guru setara S1 dan D4 dengan cara memberikan beasiswa. “Insya Allah dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama guru kita telah memenuhi semua sertifikasi pendidik sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Kehadiran para guru dan dosen yang makin profesional Insya Allah akan mengakselerasi terbentuknya masyarakat yang maju di negeri kita,” ujarnya.***


Sumber: Pers Depdiknas

Akreditasi sekolah/madrasah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia ditegaskan bahwa pendidikan merupakan sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yaitu :
” Melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Untuk mewujudkan itu semua perlu diusahakan terselenggaranya satu sistem pendidikan nasional yang bermutu dan mengikatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Agar mutu pendidikan itu sesuai dengan apa yang seharusnya dan apa yang diharapkan oleh masyarakat, maka perlu ada standar yang dijadikan pagu (benchmark). Setiap sekolah/madrasah secara bertahap dikembangkan untuk menuju kepada pencapaian standar yang dijadikan pagu itu. Acuan ini seharusnya bersifat nasional, baik dilihat dari aspek masukan, proses, maupun lulusannya. Apabila suatu sekolah/madrasah, misalnya telah mampu mencapai standar mutu yang yang bersifat nasional, diharapkan sekolah/madrasah tersebut secara bertahap mampu mencapai mutu yang kompetitif secara internasional. Jadi, pada dasarnya pagu mutu pendidikan nasional merupakan acuan minimal yang harus dicapai oleh setiap satuan dan atau program pendidikan.
Sebagaimana diketahui, upaya peningkatan mutu pendidikan secara nasional merupakan salah satu program yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Upaya ini diarahkan agar setiap lembaga pendidikan selalu berupaya untuk memberikan jaminan mutu layanannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Yang dimaksud dengan mutu layanan adalah jaminan bahwa proses penyelenggaraan pendidikan disekolah sesuai dengan yang seharusnya terjadi dan sesuai pula dengan yang diharapkan. Apabila setiap satuan pendidikan selalu berupaya untuk memberi jaminan mutu dan upaya ini secara nasional akan terus meningkat. Peningkatan mutu pendidikan ini akan berdampak pada peningkatan mutu sumber daya manusia secara nasional. Hal ini sangat penting mengingat dewasa ini kita dihadapkan pada berbagai kesempatan dan tantangan, baik yang bersifat nasional maupun global, sedangkan berbagai kesempatan dan tantangan itu hanya dapat diraih dan dijawab apabila sumber daya manusia yang dimiliki bermutu tinggi.
Berangkat dari pemikiran tersebut dan untuk dapat membandingkan serta memetakan mutu dari setiap satuan pendidikan, perlu dilakukan akreditasi bagi setiap lembaga dan program pendidikan. Proses akreditasi ini dilakukan secara berkala dan terbuka dengan tujuan membantu dan memberdayakan satuan pendidikan agar mampu mengembangkan sumber dayanya dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam menggunakan instrumen akreditasi yang komprehensif dan dikembangkan berdasarkan standar mutu yang ditetapkan, diharapkan profil mutu sekolah/madrasah dapat dipetakan untuk kepentingan peningkatan mutu sekolah/madrasah oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

B. Pengertian Akreditasi Sekolah/Madrasah
Akreditasi sekolah/madrasah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan/atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik.
Di dalam proses akreditasi, sebuah sekolah/madrasah dievaluasi dalam kaitannya dengan arah dan tujuannya, serta didasarkan kepada keseluruhan kondisi sekolah/madrasah sebagai sebuah institusi belajar. Walaupun beragam perbedaan dimungkinkan terjadi antar sekolah/madrasah, tetapi sekolah/madrasah dievaluasi berdasarkan standar tertentu. Standar diharapkan dapat mendorong dan menciptakan suasana kondusif bagi pertumbuhan pendidikan dan memberikan arahan untuk evaluasi diri yang berkelanjutan, serta menyediakan perangsang untuk terus berusaha mencapai mutu yang diharapkan.
Akreditasi merupakan alat regulasi diri (self-regulation) agar sekolah/madrasah mengenal kekuatan dan kelemahan serta melakukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kekuatan dan memperbaiki kelemahannya. Dalam hal ini akreditasi memiliki makna proses pendidikan. Di samping itu akreditasi juga merupakan penilaian hasil dalam bentuk sertifikasi formal terhadap kondisi suatu sekolah/madrasah yang telah memenuhi standar layanan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses akreditasi dalam makna proses adalah penilaian dan pengembangan mutu suatu sekolah/madrasah secara berkelanjutan. Akreditasi dalam makna hasil menyatakan pengakuan bahwa suatu sekolah/madrasah telah memenuhi standar kelayakan yang telah ditentukan.

C. Ruang lingkup
Ruang lingkup akreditasi sekolah/madrasah maliputi TK/RA, TKLB, SD/MI, SMP/MTs, SMPLB, SMA/MA, SMK/MAK dan SMLB, baik berstatus negeri maupun swasta.
Untuk TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, akreditasi dilakukan terhadap kelembagaan secara menyeluruh, sedangkan untuk SMK/MAK, akreditasi dilakukan terhadap program keahlian. Untuk TKLB, SDLB, SMPLB dan SMLB, akreditasi dilakukan terhadap kelembagaan sesuai dengan jenis kelainannya (kekhususannya).


BAB II
TUJUAN DAN FUNGSI AKREDITASI

A. Tujuan Akreditasi Sekolah/Madrasah

Akreditasi sekolah/madrasah bertujuan untuk :
1. Memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan.
2. Memberikan pengakuan peringkat kelayakan.
3. Memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan atau satuan pendidikan yang diakreditasi dan pihak terkait.
Manfaat hasil akredtasi sekolah/madrasah sebagai berikut :
1. Membantu sekolah/madrasah dalam menentukan dan mempermudah kepindahan peserta didik dari suatu sekolah ke sekolah lain, pertukaran guru, dan kerjasama yang saling menguntungkan.
2. Membantu mengidentifikasi sekolah/madrasah dan program dalam rangka pemberian bantuan pemerintah, investasi dana swasta dan donatur atau bentuk bantuan lainnya.
3. Acuan dalam upaya peningkatan mutu sekolah/madrasah dan rencana pengembangan sekolah/madrasah.
4. Umpan balik salam usaha pemberdayaan dan pengembangan kinerja warga sekolah/madrasah dalam rangka menerapkan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, dan program sekolah/madrasah.
5. Motivator agar sekolah/madrasah terus meningkatkan mutu pendidikan secara bertahap, terencana, dan kompetitif baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional bahkan regional dan internasional.
6. Bahan informasi bagi sekolah/madrasah sebagai masyarakat belajar untuk meningkatkan dukungan dari pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta dalam hal profesionalisme, moral, tenaga, dan dana.

Untuk kepala sekolah/madrasah, hasil akreditasi diharapkan dapat menjadi bahan informasi untuk pemetaan indikator kelayakan sekolah/madrasah, kinerja warga sekolah/madrasah, termasuk kinerja kepala sekolah/madrasah selama periode kepemimpinannya. Disamping itu, hasil akreditasi juga diperlukan kepala sekolah/madrasah sebagai bahan masukan untuk penyusunan program serta anggaran pendapatan dan belanja sekolah/madrasah.
Untuk guru, hasil akreditasi sekolah/madrasah merupakan dorongan bagi guru untuk selalu meningkatkan diri dan bekerja keras untuk memberikan layanan yang terbaik bagi peserta didiknya. Secara moral, guru senang bekerja di sekolah/madrasah baik yang di akui sebagai sekolah/madrasah baik, oleh karena itu, guru selalu beruasaha untuk meningkatkan diri dan bekerja keras untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu sekolah/madrasah.
Untuk masyarakat dan khususnya orang tua peserta didik, hasil akreditasi diharapkan menjadi informasi yang akurat tentang layanan pendidikan yang ditawarkan oleh setiap sekolah/madrasah, sehingga secara sadar dan bertanggung jawab masyarakat dan khususnya orang tua dapat membuat keputusan dan pilihan yang tepat dalam kaitannya dengan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Untuk peserta didik, hasil akreditasi juga menumbuhkan rasa percaya diri bahwa mereka memperoleh pendidikan yang baik, dan harapannya, sertifikat dari sekolah/madrasah yang terakreditasi merupakan bukti bahwa mereka menerima pendidikan yang bermutu.

B. Fungsi Akreditasi Sekolah/Madrasah
Dengan menggunakan instrumen akreditasi yang komprehensif, hasil akreditasi diharapkan dapat memetakan secara utuh profil sekolah/madrasah. Proses akreditasi sekolah/madrasah berfungsi untuk :
1. Pengetahuan, yaitu sebagai informasi bagi semua pihak tentang kelayakan sekolah/madrasah dilihat dari berbagai unsur terkait yang mengacu pada standar minimal beserta indikator-indikator.
2. Akuntabilitas, yaitu sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah/madrasah kepada publik, apakah layanan yang dilakukan dan diberikan oleh sekolah/madrasah telah memenuhi harapan atau keinginan masyarakat.
3. Pembinaan dan pengembangan, yaitu sebagai dasar bagi sekolah/madrasah, pemerintah, dan masyarakat dalam upaya peningkatan atau pengembangan mutu sekolah/madrasah.

C. Komponen Akreditasi Sekolah/Madrasah
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002 tanggal 14 Juni 2002 tentang Akreditasi Sekolah/Madrasah, komponen-komponen sekolah yang menjadi bahan penilaian adalah:
1. Kurikulum dan Proses Pembelajaran
2. Administrasi dan Manajemen Sekolah/Madrasah
3. Oraganisasi dan Kelembagaan Sekolah/Madrasah
4. Sarana dan Prasarana
5. Ketenagaan
6. Pembiayaan
7. Peserta didik
8. Peran serta masyarakat
9. Lingkungan dan Budaya Sekolah/Madrasah
Setiap komponen dijabarkan kedalam berbagai aspek dan indikator. Selanjutnya indikator-indikator yang dikembangkan tersebut dijadikan acuan dalam pengembangan instrumen akreditasi dan penilaian yang digunakan dalam proses akreditasi sekolah/madrasah.
2Kurikulum dan Proses Pembelajaran
a. Pelaksanaan Kurikulum
Standar kurikulum dibuat untuk memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa apa yang diperoleh di sekolah/madrasah benar-benar konsisten dengan prinsip dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam kurikulum nasional. Meskipun sekolah diperkenankan untuk mengembangkan atau melaksanakan kurikulum yang menjadi ciri khas dari sekolah/madrasah yang bersangkutan, namun kurikulum nasional tetap harus dilaksanakan sepenuhnya. Kekhasan kurikulum yang dilaksanakan di sekolah/madrasah merupakan tambahan terhadap kurikulum nasional sehingga tidak mengurangi porsi kurikulum nasional. Selain itu, sekolah/madrasah juga seharusnya melaksanakan kurikulum muatan lokal atau pilihan sebagai upaya pelestarian dan pengembangan berbagi aspek yang menjadi ciri dan potensi daerah tempat sekolah berada atau kurikulum yang berorientasi pada kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni secara global. Semua ini dikemas sehingga silabus yang dikembangkan dan alokasi waktu yang disusun benar-benar menjamin bahwa kurikulum nasional dan muatan lokal atau pilihan tersebut terlaksana dengan baik.
b. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Ketiga hal tersebut merupakan rangkaian utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
· Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran adalah penyusunan rencana tentang materi pembelajaran, bagaimana melaksanakan pembelajaran, dan bagaimana melakukanpenilaian. Termasuk dalam perencanaan ini juga adlah memilih sumber belajar, fasilitas, waktu, tempat, harapan-harapan, dan perangkat informasi yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan proses belajar mengajar. Esensi perencanaan pembelajaran adalah kesiapan yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pembelajaran.
· Pelaksanaan Pembelajaran
Proses pembelajaran adalah interaksi antara pendidik dan peserta didik yang diharapkan menghasilkan perubahan pada peserta didik, yaitu dari belum mampu menjadi mampu, dari belum terdidik menjadi terdidik, dari belum kompeten menjadi kompeten. Inti dari proses belajar mengajar adalah efektivitasnya. Tingkat efektivitas pembelajaran sangat dipengharui oleh perilaku pendidik dan perilaku peserta didik. Perilaku pendidik yang efektif , antara lain, mengajar dengan jelas, menggunakan variasi metode pengajaran, menggunakan variasi sumber belajar, antusiasme, memberdayakan peserta didik, menggunakan konteks (lingkungan) sebagai sarana pembelajaran, menggunakan jenis penugasan dan pertanyaan yang membangkitkan daya pikir dan keingintahuan. Sedang perilaku peserta didik mencakup antara lain motivasi/semangat belajar, keseriusan, perhatian kerajinan, kedisiplinan, keingintahuan, pencatatan, pertanyaan, senang melakukan latihan, dan sikap belajar yang positif.

· Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi pembelajaran adalah suatu proses untuk mendapatkan informasi tentang hasil pembelajaran. Fokus evaluasi pembelajaran adalah pada hasil, baik hasil yang berupa proses maupun produk. Informasihasil pembelaran ini kemudian dibandingkan dengan hasil pembelajaran yang diharapkan.
2Administrasi dan Pembelajaran
Standar administrasi dan manajemen sekolah meliputi:
a Perencanaan Sekolah
Sekolah memiliki rencana yang akan dicapai dalam jangka panjang ( rencana strategis) yang dijadikan acuan dalam rencana operasional. Dalam rencana ini wawasan masa depan (Visi) dijadikan paduan bagi rumusan misi sekolah/madrasah. Dengan kata lain, wawasan masa depan atau visi sekolah adalah gambaran masa depan masa depan yang dicita-citakan oleh sekolah.
b Manjemen Sekolah
Manajemen sekolah adalah pengelolaan sekolah yang dilakukan dengan dan melalui sumberdaya untuk mencapai tujuan sekolah/madrasah secara efektif dan efisien. Dua hal yang merupakan inti dari manajemen sekolah adalah aspek dan fungsi. Manajemen dipandang sebagai aspek meliputi kurikulum, tenaga/sumberdaya manusia, peserta didik, sarana dan prasarana, dana, dan hubungan masyarakat. Manajemen dipandang sebagai fungsi meliputi pengambilan keputusan, perumusan tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pengaturan ketenagaan, pengkomunikasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, supervisi, dan pengendalian.
c Kepemimpinan
Manajemen memfokuskan diri pada sekolah sebagai sistem dimana kepemimpinan menekankan pada orang sebagai jiwanya. Kepala sekolah/madrasah berperan sebagai manajer dan pemimpin sekaligus. Tugas dan fungsi manajer adalah mengelola para pelaksananya dengan sejumlah masukan (input) manajemen seperti tugas dan fungsi, kebijakan, rencana, program, aturan main, serta pengendalian agar sekolah sebagai sistem mampu berkembang. Kepala sekolah/madrasah sebagai manajer berurusan dengan sistem dan sebagai pemimpin berurusan dengan tanggung jawab tentang pelaksanaan tugas dari orang - orang yang di pimpinnya.
d Pengawasan
Pengawasan (supervisi) merupakan salah satu fungsi penting dalam manajemen sekolah. Dalam pelaksanaan pengawasan ini terkandung pula fungsi pemantauan yang diarahkan untuk melihat apakah semua kegiatan berjalan lancar dan semua sumberdaya dimanfaatkan secara optimal, efisien dan efisien. Pengawasan dan monitoring dilakukan secara berkala dan tepat sasaran sehingga hasilnya dapat digunakan untuk melakukan perbaikan.
e Administrasi Sekolah/Madrasah
Penyelenggaraan sekolah akan berjalan lancar jika didukung olehadministrasi yang efektif dan efisien. Sekolah yang administrasinya kurang efisien dan kurang efektif akan mengalami hambatan dalam penyelenggaraan program sekolah. Secara umum, administrasi sekolah dapat di artikan sebagai upaya pengaturan dan pendayagunaan seluruh sumberdaya sekolah/madrasah dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan disekolah/madrasah secara optimal.
3Organisasi dan kelembagaan
Standar organisasi dan kelembagaan mencakup dua hal utama, yaitu organisasi dan legalitas serta regulasi sekolah/madrasah.
a. Organisasi
Program sekolah/madrasah akan berjalan lancar, terorganisasi, dan terkoordinasi secara konsisiten jika didukung oleh organisasi sekolah/madrasah yang cepat tanggap terhadap kebutuhan sekolah. Sekolah/Madrasah diorganisasikan secara tersistem sehingga memiliki struktur hirarkis yang terorganir secara rapi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengorganisasian sekolah dilakukan secara cermat yang ditampilkan dalam bentuk struktur organisasi yang mampu meningkatkan efisiendan efektivitas pemanfaatan sumberdaya manusia di sekolah/madrasah. Selain itu, Dengan adanya kejelasan siapa mengerjakan apa dan siapa melapor kepada siapa, Struktur organisasi sekolah/madrasah mampu menerjemahkan strategi kedalam pelaksanaan operasional yang produktif.
b. Legalitas dan Regulasi Sekolah/Madrasah
Sekolah/Madrasah merupakan satuan pendidikan yang secara legal diakui oleh publik. Sebagai lembaga legal yang diakui oleh publik, sekolah harus memiliki sejumlah dokumen legal dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh sekolah/madrasah yang bersangkutan. Dokumen-dokumen legal dan persyaratan-persyaratan yang dimaksud diperoleh dari pemerintah atau pemerintah daerah, antara lain SK pendirian sekolah/madrasah, status sekolah, dan dokumen-dokumen terkait lainnya. Untuk memperoleh dokumen-dokumen yang dimaksud, tentunya sekolah/madrasah harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang diperlukan.
4 Sarana dan Prasarana
Sekolah/Madrasah menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan program pendidikan, Penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menyelenggarakan program pendidikan. Penyediaan sarana dan prasarana yang memenuhi tuntutan pedagonik diperlukan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dan memberdayakan sesuai karakterisitik mata pelajaran dan tuntutan pertumbuhan dan perkembangan efektif, kognitif, psikomotor, peserta didik.
5 Tenaga Kependidikan dan Tenaga Penunjang
Tenaga kependidikan sekolah/madrasah adalah mereka yang berkualifikasi sebagai pendidik dan pengelola pendidikan. Pendidik bertugas merencanakan, melaksanakan, dan menilai serta mengembangkan proses pembelajaran.
Tenaga kependidikan meliputi guru, konselor, kepala sekolah/madrasah dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya. Secara umum tenaga kependidikan sekolah/madrasah bertugas melaksanakan perencanaan, pembelajaran, pembimbingan, pelatihan, pengelolaan, penilaian, pengawasan, pelayanan teknis dan kepustakaan, penelitian dan pengembangan hal-hal praktis yang diperlukan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran.
Selain memerlukan tenaga pendidik, sekolah/madrasah juga memerlukan tenaga penunjang, yang meliputi tenaga administratif, laporan, dan pustakawan yang kompeten, tenaga penunjang bekerjasama dengan tenaga pendidik, terutama dalam memberikan pelayanan kepada peserta didik.
6 Pembiayaan/Pendanaan
Sekolah/Madrasah dana yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan. Sekolah/Madrasah menggunakan dana yang tersedia untuk terlaksananya proses belajar mengajar yang bermutu. Sekolah/Madrasah harus menyediakan dana pendidikan secara terus menerussesuai dengan kebutuhan sekolah/madrasah. Untuk itu sekolah/madrasah harus menghimpun dana untuk mencapai tujuan sekolah
7 Peserta Didik
a Penerimaan dan Pengembangan Peserta Didik
Peserta didik adalah warga masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi dirinya melelui proses pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu. Peserta didik merupakan salah satu masukan yang sangat menentukan bagi berlangsungnya proses pembelajaran. Namun demikian prestasi belajar yang dicapai oleh para peserta didik pada dasarnya merupakan upaya kolektif antara peserta didik dan guru.
b Keluaran
Keluaran sekolah/madrasah mencakup output dan outcome. Output sekolah/madrasah adalah hasil belajar yang merefleksikan seberapa baik peserta didik memperoleh pengalaman bermakna dalam proses pembelajaran. Hasil belajar harus mengekspresikan tiga unsur kompetensi, yaitu kognitif, efektif dan psikomotor.
Sekolah/Madrasah memiliki kepedulian terhadap nasib lulusannya. Kepedulian tersebut diwujudkan dalam bentuk penelusuran, atau pelacakan terhadap lulusannya. Juga untuk mencari umpan balik bagi perbaikan program di sekolah/madrasahnya sehingga mutu dan relevansi program sekolah dapat ditingkatkan.
8 Peran Serta Masyarakat
Sekolah/Madrasah mengajarkan peserta didik tentang kecakapan yang diperlukan untuk menjalani hidup dan kahidupan di masyarakat tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Sekolah/Madrasah memiliki komite Sekolah/Madrasah atau organisasi sejenis untuk memberi peluang pada masyarakat berperan sebagai pemberi pertimbangan (advisor), Pendukung (supporter), Penghubung (mediator), dan pengontrol (controller).
9 Lingkungan dan Budaya Sekoalah
Sekolah/Madrasah berada dalam lingkungan yang dinamis yang mempengharui penyelenggaraan sekolah/madrasah. Sekolah/Madrasah menginternalisasikan lingkungan kedalam penyelenggaraan sekolah/madrasah dan menempatkan sekolah/madrasah sebagai bagian dari lingkungan.
Budaya sekolah/madrasah adalah karakter atau pandangan hidup sekolah yang mereflesikan keyakinan, norma, nilai, dan kebiasaan yang dibentuk dan disepakati oleh warga sekolah/madrasah.
D. Akreditasi Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan
Mutu sekolah/madrasah merupakan konsep multidimensi yang tidak hanya terkait dengan satu aspek tertentu dari sekolah/madrasah. Untuk kepentingan akreditasi, mutu sekolah/madrasah dilihat dari tingkat kelayakan penyelenggaraan sekolah/madrasah dan sekaligus kinerja yang dihasilkan sekolah/madrasah dengan mengacu pada komponen utama sekolah/madrasah yang meliputi komponen (1) kurikulum dan proses pembelajaran, (2) administrasi dan manajemen sekolah/madrasah, (3) organisasi dan kelembagaan sekolah/madrasah, (4) sarana dan prasarana,(5) ketenagaan, (6) pembiayaan, (7) peserta didik, (8) peran serta masyarakat, (9) lingkungan dan budaya sekolah/madrasah.
Akreditasi sebagai proses penilaian terhadap kelayakan dan kinerja sekolah/madrasah merupakan kegiatan yang bersifat menyeluruh dalam memotret kondisi nyata sekolah/madrasah dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan diperoleh onformasi yang komprehensif tersebut, hasil akreditasi sangat berguna sebagai bahan masukan dalam penyusunan rencana strategis sekolah/madrasah untuk masa lima tahun dan rencana operasional sekolah/madrasah. Mengacu kepada rencana strategis dan operasional sekolah/madrasah tersebut, sekolah/madrasah menyusun program kegiatan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah/Madrasah (RAPBS/M) yang bersifat tahunansebagai langkah implementasi dalam pengembangan dan peningkatan mutu sekolah/madrasah secara terencana, terarah, dan terukur.
Dalam rangka menempatkan program akreditasi sebagai bagian dari upaya sekolah/madrasah untuk meningkatkan mutunya secara berkelanjutan, maka sistem akreditasi dikembangkan dengan karakteristik yang memberikan:
1) Keseimbangan antara fokus penilaian kelayakan dan kinerja sekolah/madrasah;
2) Keseimbangan antara penilaian internal melalui evaluasi diri oleh sekolah/madrasah dan evaluasi eksternal oleh asesor;
3) Keseimbangan hasil akreditasi antara pemeringkatan status sekolah/madrasah dan umpan balik untuk peningkatan mutu sekolah/madrasah;

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
1.Untuk mewujudkan cita-cita pemerintah indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa perlu diusahakan terselenggaranya satu sistem pendidikan yang bermutu;
2.Agar mutu pendidikan itu sesuai yang diharapkan oleh masyarakat perlu dilaksanakan suatu standar pagu mutu pendidikan, dalam hal ini pemerintah sudah melaksanakan Akreditasi Sekolah/Madrasah bagi lembaga maupun program satuan;
3.Akreditasi Sekolah/Madrasah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan/atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai akuntabilitas publik;
4. Akreditasi Sekolah/Madrasah bertujuan untuk memberikan informasi tentang kelayakan sekolah/madrasah atau program yang dilaksanakannya berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, memberikan rekomendasi tentang penjaminan mutu pendidikan kepada program dan atau satuan pendidikan yang diakreditasi;
5. Fungsi Akreditasi/Sekolah adalah:
1) Pengetahuan, yaitu sebagai informasi bagi semua pihak tentang kelayakan sekolah/madrasah dilihat dari berbagai unsur terkait yang mengacu pada standar minimal beserta indikator-indikator.
2) Akuntabilitas, yaitu sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah/madrasah kepada publik, apakah layanan yang dilakukan dan diberikan oleh sekolah/madrasah telah memenuhi harapan atau keinginan masyarakat.
3) Pembinaan dan pengembangan, yaitu sebagai dasar bagi sekolah/madrasah, pemerintah, dan masyarakat dalam upaya peningkatan atau pengembangan mutu sekolah/madrasah.

sumber: BADAN AKREDITASI PROVINSI SEKOLAH/MADRASAH

STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN

A. Pengertian
1. Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.

2. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.

3. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan, melakukan perbaikan pembelajaran, dan menentukan keberhasilan belajar peserta didik.

4. Ulangan harian adalah kegiatan yang dilakukan secara periodik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu Kompetensi Dasar (KD) atau lebih.

5. Ulangan tengah semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan 8 – 9 minggu kegiatan pembelajaran. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan seluruh KD pada periode tersebut.

6. Ulangan akhir semester adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan semua KD pada semester tersebut.

7. Ulangan kenaikan kelas adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik di akhir semester genap untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester genap pada satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket. Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang merepresentasikan KD pada semester tersebut.

8. Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik yang dilakukan oleh satuan pendidikan untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan. Mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan dalam ujian nasional dan aspek kognitif dan/atau psikomotorik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian yang akan diatur dalam POS Ujian Sekolah/Madrasah.

9. Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran pencapaian kompetensi peserta didik pada beberapa mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan.

10. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan pendidikan untuk kelompok mata pelajaran selain ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan nilai batas ambang kompetensi.

B. Prinsip Penilaian
Penilaian hasil belajar peserta didik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Sahih, berarti penilaian didasarkan pada data yang mencerminkan kemampuan yang diukur.

2. Objektif, berarti penilaian didasarkan pada prosedur dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.

3. Adil, berarti penilaian tidak menguntungkan atau merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan gender.

4. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.

5. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan.

6. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan kemampuan peserta didik.

7. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.

8. Keracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.

9. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi teknik, prosedur, maupun hasilnya.

C. Teknik dan Instrumen Penilaian
1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik.

2. Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja.

3. Teknik observasi atau pengamatan dilakukan selama pembelajaran berlangsung dan/atau di luar kegiatan pembelajaran.

4. Teknik penugasan baik perseorangan maupun kelompok dapat berbentuk tugas rumah dan/atau proyek.

5. Instrumen penilaian hasil belajar yang digunakan pendidik memenuhi persyaratan (a) substansi, adalah merepresentasikan kompetensi yang dinilai, (b) konstruksi, adalah memenuhi persyaratan teknis sesuai dengan bentuk instrumen yang digunakan, dan (c) bahasa, adalah menggunakan bahasa yang baik dan benar serta komunikatif sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik.

6. Instrumen penilaian yang digunakan oleh satuan pendidikan dalam bentuk ujian sekolah/madrasah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, dan bahasa, serta memiliki bukti validitas empirik.

7. Instrumen penilaian yang digunakan oleh pemerintah dalam bentuk UN memenuhi persyaratan substansi, konstruksi, bahasa, dan memiliki bukti validitas empirik serta menghasilkan skor yang dapat diperbandingkan antarsekolah, antardaerah, dan antartahun.

D. Mekanisme dan Prosedur Penilaian
1. Penilaian hasil belajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah.

2. Perancangan strategi penilaian oleh pendidik dilakukan pada saat penyusunan silabus yang penjabarannya merupakan bagian dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

3. Ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas dilakukan oleh pendidik di bawah koordinasi satuan pendidikan.

4. Penilaian hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak diujikan pada UN dan aspek kognitif dan/atau aspek psikomotorik untuk kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah/madrasah untuk memperoleh pengakuan atas prestasi belajar dan merupakan salah satu persyaratan kelulusan dari satuan pendidikan.

5. Penilaian akhir hasil belajar oleh satuan pendidikan untuk mata pelajaran kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan ditentukan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik.

6. Penilaian akhir hasil belajar peserta didik kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan oleh satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik berdasarkan hasil penilaian oleh pendidik dengan mempertimbangkan hasil ujian sekolah/madrasah.

7. Kegiatan ujian sekolah/madrasah dilakukan dengan langkah-langkah: (a) menyusun kisi-kisi ujian, (b) mengembangkan instrumen, (c) melaksanakan ujian, (d) mengolah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah, dan (e) melaporkan dan memanfaatkan hasil penilaian.

8. Penilaian akhlak mulia yang merupakan aspek afektif dari kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, sebagai perwujudan sikap dan perilaku beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dilakukan oleh guru agama dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.

9. Penilaian kepribadian, yang merupakan perwujudan kesadaran dan tanggung jawab sebagai warga masyarakat dan warganegara yang baik sesuai dengan norma dan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, adalah bagian dari penilaian kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian oleh guru pendidikan kewarganegaraan dengan memanfaatkan informasi dari pendidik mata pelajaran lain dan sumber lain yang relevan.

10. Penilaian mata pelajaran muatan lokal mengikuti penilaian kelompok mata pelajaran yang relevan.

11. Keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan diri dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh pembina kegiatan dan kepala sekolah/madrasah.

12. Hasil ulangan harian diinformasikan kepada peserta didik sebelum diadakan ulangan harian berikutnya. Peserta didik yang belum mencapai KKM harus mengikuti pembelajaran remedi.


13. Hasil penilaian oleh pendidik dan satuan pendidikan disampaikan dalam bentuk satu nilai pencapaian kompetensi mata pelajaran, disertai dengan deskripsi kemajuan belajar.

14. Kegiatan penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui UN dengan langkah-langkah yang diatur dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN.

15. UN diselenggarakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) bekerjasama dengan instansi terkait.

16. Hasil UN disampaikan kepada satuan pendidikan untuk dijadikan salah satu syarat kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.

17. Hasil analisis data UN disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.



E. Penilaian oleh Pendidik
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan, bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Menginformasikan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat rancangan dan kriteria penilaian pada awal semester.

2. Mengembangkan indikator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran.

3. Mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk dan teknik penilaian yang dipilih.

4. Melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang diperlukan.

5. Mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan kesulitan belajar peserta didik.

6. Mengembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai balikan/komentar yang mendidik.

7. Memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.

8. Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh.

9. Melaporkan hasil penilaian akhlak kepada guru Pendidikan Agama dan hasil penilaian kepribadian kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan sebagai informasi untuk menentukan nilai akhir semester akhlak dankepribadian peserta didik dengan kategori sangat baik, baik, atau kurang baik.

F. Penilaian oleh Satuan Pendidikan
Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian kompetensi peserta didik pada semua mata pelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. Menentukan KKM setiap mata pelajaran dengan memperhatikan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan melalui rapat dewan pendidik.

2. Mengkoordinasikan ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.

3. Menentukan kriteria kenaikan kelas bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem paket melalui rapat dewan pendidik.

4. Menentukan kriteria program pembelajaran bagi satuan pendidikan yang menggunakan sistem kredit semester melalui rapat dewan pendidik.

5. Menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran estetika dan kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga dan kesehatan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik.

6. Menentukan nilai akhir kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan hasil penilaian oleh pendidik dan nilai hasil ujian sekolah/madrasah.

7. Menyelenggarakan ujian sekolah/madrasah dan menentukan kelulusan peserta didik dari ujian sekolah/madrasah sesuai dengan POS Ujian Sekolah/Madrasah bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.

8. Melaporkan hasil penilaian mata pelajaran untuk semua kelompok mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada orang tua/wali peserta didik dalam bentuk buku laporan pendidikan.

9. Melaporkan pencapaian hasil belajar tingkat satuan pendidikan kepada dinas pendidikan kabupaten/kota.

10. Menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan melaluirapat dewan pendidik sesuai dengan kriteria:
a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran.
b. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruhmata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran estetika; dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.
c. Lulus ujian sekolah/madrasah.
d. Lulus UN.

11. Menerbitkan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) setiap peserta didik yang mengikuti Ujian Nasional bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.

12. Menerbitkan ijazah setiap peserta didik yang lulus dari satuan pendidikan bagi satuan pendidikan penyelenggara UN.

G. Penilaian oleh Pemerintah
1. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah dilakukan dalam bentuk UN yang bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. UN didukung oleh suatu sistem yang menjamin mutu dan kerahasiaan soal serta pelaksanaan yang aman, jujur, dan adil.

3. Dalam rangka penggunaan hasil UN untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, Pemerintah menganalisis dan membuat peta daya serap berdasarkan hasil UN dan menyampaikan ke pihak yang berkepentingan.

4. Hasil UN menjadi salah satu pertimbangan dalam pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.

5. Hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan kelulusan peserta didik pada seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.

6. Hasil UN digunakan sebagai salah satu penentu kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan yang kriteria kelulusannya ditetapkan setiap tahun oleh Menteri berdasarkan rekomendasi BSNP.

sumber: http://alexemdi.wordpress.com/2008/10/17/standar-penilaian-pendidikan