BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Senin, 28 Desember 2009

Profesionalisme Guru Pasca Undang-Undang Guru dan Dosen

oleh Asep Suryana, M.Pd

Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen diharapkan dapat memberikan dorongan pada peningkatan martabat guru sebagai sebuah profesi, martabat dari sisi pengakuan atas profesi baik secara formal maupun pengakuan dari masyarakat sebagai pengguna jasa profesi. Martabat dari sisi keterdukungan perubahan sisi ekonomis karena ketercukupan materi yang meningkatkan kedudukan tidak hanya pada social level tapi juga economic level yang memberikan jaminan rasa aman sehingga dapat bekerja dan berkarya.

Harapan dan keinginan meningkatkan economic level sebagai sebuah profesi masih riskan melihat angka-angka guru yang belum memenuhi kualifikasi pada tahun 2004 masih banyak, dan hal ini mengundang pertanyaan apakah ketika peningkatan kesejahteraan menaik akan sejalan dan signifikan dengan peningkatan kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan? Boleh saja memang pada tahun 2004 yang lampau angka-angka guru yang tidak sesuai kualifikasinya tinggi, dimana menunjukan bahwa guru taman kanak-kanak sebanyak 78.1% atau sekitar 119.470 orang belum memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar. Sedangkan untuk guru sekolah dasar masih sekitar 391.507 orang atau 34.0% belum memenuhi kualifikasi. Pada tingkat SMP masih sekitar 71,2% belum memenuhi kualifikasi sesuai tuntutan, dan pada tingkat SMA 46,6% belum memenuhi kualifikasi. (Direktorat Tenaga Kependidikan;24) Optimistik dengan kesungguhan dalam penataan ketenagaan merupakan bekal bahwa pemenuhan kualifikasi ketenagaan guru dapat dipenuhi dengan peningkatan kualifikasi guru melalui berbagai program yang mengarah ke sana.
Dengan demikian tidak usah kawatir dan menganggap bahwa hanya euphoria semata bahwa guru memiliki asa dan harapan dengan keluarnya Undang-Undang guru dan dosen tersebut. Karena memang diimbangi dengan berbagai program dan proyek yang mengarahkan peningkatan kualifikasi guru.

Daftar Isi
1. Pendahuluan
2. Metodologi Pengembangan Profesi Guru
3. Kajian Teori Tentang Guru yang Profesional
4. Temuan dan Pembahasan
5. Kesimpulan
6. Rujukan

1. Pendahuluan
Secercah harapan tersirat dari setiap muka para pengajar kita, terutama setelah lahirnya undang-undang guru dan dosen. Memang sebelumnya banyak mengundang polemik dengan kelahiran peraturan perundangan tersebut, masalah yang muncul berkisar diantara jati diri dan pengakuan terhadap profesi guru.

Semuanya berbicara, memberikan pendapat dan sumbang saran karena memang semunya merasa dan memang benar merupakan bagian atau hanya ingin mengambil bagian dalam permasalahan ini. Orang tua bagian dari permasalahan guru karena memang merekalah yang akan merasakan langasung melalui anaknya, masyarakat umum juga merasakan dampak dari permasalahan guru karena memang mereka akan menerima kembali lulusan yang dididik dan diajar oleh guru. Pemerintah, badan usaha, ekonomi, dan sektor lainnyapun akan terkena imbas langsung maupun tidak langsung.

Pertanyaan pertama dan selanjutnya; ada apa dengan profesi guru sebelum turunya undang-undang nomor 14 tentang guru dan dosen tersebut? Banyak gunjingan yang bahkan juga agak sedikit memojokan profesi guru, bahwa mereka tidak dapat lebih baik dari profesi lainnya seperti dokter, akuntan dan lain-lain. Guru belum professional, benarkah? Apa yang menjadi ukurannya? Bisakah disamakan antara guru dan profesi lainnya? Siapa yang paling bertanggungjawab dengan permasalahan-permasalahan dengan kegagalan dalam pendidikan ini, gurukah? Tidaklah sederhana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk menjawabnya kita harus berpikir sistem, bijak, dan mekanisme yang dipakainya disesuaikan dengan filosofis pendidikan dan keguruan.
‘Euforia’ pasca kelahiran peraturan perundangan tersebut baru pada sebatas akan membaiknya ‘upah jiwa’ (materil) bagi guru. Sedangkan pada tuntutan lebih jauhnya masih mengandalkan kepada upaya-upaya pemerintah, guru sendiri banyak yang belum sadar bahwa hal itu akan banyak menuntut pada kualifikasi individu masing-masing. Dengan gaji minimal 3 juta rupiah perbulan maka memang akan memberikan peluang terhadap perbaikan kehidupan, tapi disisi lain pemenuhan dari terisinya tiga juta tersebut banyak tuntutan seperti peningakatan kualifikasi pendidikan dari diploma 2 minimal menjadi strata 1 minimal untuk guru SD, kompetensi yang harus dimiliki maksimal menyangkut kompetensi professional, kompetensi pedagogis, kompetensi sosial dan kompetensi individual/kepribadian. Secara keseluruhan bekal modal intelektual dan perubahan pola-pola pikir lama menjadi pola pikir baru, beban baru merubah manusia dewasa yang akan mendewasakan manusia yang belum dewasa.
2. Metodologi Pengembangan Profesi Guru
Untuk meningkatkan guru menjadi guru professional, pendekatan yang digunakan secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut;

Pemenuhan berbagai persyaratan untuk profesi harus dipenuhi, guru harus memiliki kualifikasi akademik yang sesuai dengan tuntutan perundangan yang berlaku seperti untuk SD minimal Strata 1 dengan kesesuaian untuk guru bidang studi maupun guru kelas. Memenuhi tuntutan dengan memiliki kompetensi pedagogis, kompetensi professional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian, yang selanjutnya dipertegas dengan pengesahan bahwa guru berhak untuk mengajar atau tidak melalui sertifikasi yang harus dimiliki. Apabila ketiga tuntuntutan tersebut telah dimiliki maka jabatan professional melekat pada diri dan profesinya, sedangkan apabila tidak dapat dipenuhi maka kegiatan-kegiatan wajib diikuti oleh guru seperti penataran, uji kompetensi, penelitian, pengawasan, penghargaan, pendidikan, studi banding, magang, kemitraan, seminar, dll sebagai persyaratan untuk memegang dan menyandang gelar profesional.

3. Kajian Teori Tentang Guru yang Profesional
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan yang utama. Peranan guru adalah menciptakan serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya. (Wrightman, 1977)
Guru merupakan jabatan profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan jaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahab serta pergeseran nilai yang bervariasi. Hal ini membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan paranan dan kompetensinya. Adapun kata profesional dalam kamus umum Bahasa Indonesia diartikan (1) bersangkutan dengan profesi, dan (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya (Depdikbud,1997). Sedangkan profesi (profession) dalam Oxford Dictionary (dalam Arikunto, 1993:229) diartikan “a vocation in which a professed knowledge of same departement of learning or science is used in it’s application to the affairs of others or in the practice of an art founded upon it�.
Dalam pelaksanaanya, guru dituntut memiliki berbagai keterampilan mengajar, strategi belajar mengajar yang tepat, dan kemampuan melaksanakan evaluasi yang baik. Menurut Dardjo Sukardja (2003), pada dasarnya ada tiga hal pokok yang harus dimiliki seorang guru dalam menghadapi situasi apapun, termasuk dalam menghadapi tantangan yang penuh persaingan pada era globalisasi. Ketiga hal tersebut adalah : Kepribadian yang mantap, Wawasan yang luas, dan kemampuan profesional yang memadai.
Dengan wawasan yang luas diharapkan guru mampu memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi dengan pertimbangan kondisi sekarang dan pengalaman masa lalu. Guru yang berwawasan luas mampu mengatasi berbagai hambatan yang dihadapi, inovatif, dan kreatif, serta mempunyai pandangan yang realistik dan optimistik. Selanjutnya guru harus prifesional. Jurnal Education Leadership edisi Maret 1993 menyebutkan, untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki empat hal yaitu :
1. Guru memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya;
2. Guru menguasai secara mendalam bahan mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa;
3. Guru bertanggung jawab memantau hal belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku sampai tes belajar;
4. Guru seyogyanya bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan propesinya (misalnya dalam PGRI atau organisasi profesi lainnya.
Secara praktis guru harus senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya dalam hal ini guru harus memiliki kemampuan sebagai berikut :
• Mampu menguasai materi pelajaran;
• Mampu merencanakan program belajar mengajar;
• Mampu melaksanakan proses belajar mengajar;
• Mampu melaksanakan evaluasi;
• Mampu mendiagnosa kesulitan belajar siswa;
• Mampu melaksanakan administrasi, kurikulum atau administrasi guru.

Keterkaitan kebijakan pendidikan dengan peningkatan profesionalisme guru, harus bertumpu pada misi peningkatan mutu pendidikan. Dari misi ini antara lain dijabarkan pada program-program :
1. Pembinaan profesionalisme dan kepribadian para guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan oleh para pengawas dan/atau para pejabat struktural terkait. Pendidikan dan pelatihan bagi para guru, kepala sekolah, pengawas sekolah, pamong belajar, tutor dan tenaga kependidikan lainnya harus sesuai dengan kebutuhan lapangan. Pendidikan kualifikasi bagi para guru, tenaga kependidikan lain dan tenaga administratif kejenjang pendidikan yang lebih tinggi; dan
2. Pembinaan dan pengembangan guru melalui wadah KKG, KKKS, KKPS, MGMP, dan MGP pada semua jenjang dan jenis pendidikan.
Normal menjelaskan Taxonomy For Teachers Competencies Normal Doele dalam buku Balnadi Sutadipura (1995) sebagai berikut:
1. Kompetensi guru untuk “Assessing and Evaluating Students Behavior.�
Mengenal jiwa anak didik merupakan syarat mutlak dalam proses pembentukan kepribadian individu, menemtukan sifat dan tingkah laku anak tidak bisa dilakukan dengan cepat, harus ditempuh dengan jalan Assessing, memperkira-kirakan untuk kemudian dievaluasi dengan tepat, minat, motivasi, angan-angan dan sebagainya merupakan faktor penghambat dalam proses pendidikan dan pengajaran.
2. Kompetensi guru untuk “Planning Instruction�
Instruction artinya pengajaran/pelajaran. Planning Instruction artinya kompetensi guru dalam membuat persiapan mengajar.
3. Kompetensi guru untuk “Conduction or Implementing Intruction�
Conducting artinya seorang pemimpin pagelaran.

To Emplement berarti to perform atau Fulfield menampilkan atau malaksanakan interaksi PBM.
Sub Competencies Conducting or implementing
1. Structuring (waktu yang diperlukan)
1. Pengantar : Introduction, melakukan apersepsi sebanyak 10% waktu seluruh penampilan;
2. Inti atau Core, waktunya 70/80% dari keseluruhan
3. Penutup atau Closure (Posttest, waktunya 10/15%)
4. Motivating and Reinforcing
Kompetensi untuk memupuk memberikan motivasi kepada para anak didiknya supaya lebih bergairah belajar dengan menonjolkan mengapa mereka harus mempelajari bidang studi tertentu dalam rangka mencapai cita-cita hidupnya.
5. Conducting Discussing Small Group Activities
Proses belajar- mengajar dengan metode diskusi.
6. Conducting Individual Aktivities
Kemampuan guru untuk diberikan pada anak didiknya kegiatan-kegiatan perorangan dengan tujuan mengisi kekurangan yang ada pada diri anak baik dalam bidang akademik, emosional, mental dan sebagainya. Remedial Teaching sebagai Feollovo-up nya.
7. Providing For Feedback / menyedikan umpan balik.
8. Presenting in Formations
Guru harus mampu menuangkan buah pikirannya secara tertulis dalam kata-kata yang dapat ditangkap dengan mudah oleh siswa.
9. Utilizing Inductive or Problem Solving
Prosedur deduktif bertolak dari yang umum ke yang khusus.
10. Questioning and Responding
Komunikasi oleh guru yang dilakukan dengan tanya jawab.
11. Kompetensi Operating Hardware
Hardware : alat-alat pembantu komunikasi pendidikan seperti OHP, projektor dan sebagainya.
2. Kompetensi Performing Administrative Duties
Menyelenggarakan kewajiban yang bersangkut paut dengan administrasi sekolah
 Buku induk
 Buku kas
 Mengkaver rapat sekolah
 Korespondensi (membuat surat/membahas surat)
 Administrasi yang berhubungan dengan manajemen kelas khususnya dalam bidang edukatif : daftar kemampuan siswa (Unecdobel records)
3. Kompetensi Communicating
Kemampuan komunikasi baik secara vertikal maupun secara horizontal Guru melakukan komunikasi dengan dirinya sendiri, anak didik, atasan, masyarakat atau dengan sesama guru.
4. Kompetensi Developing Personal Skills
Pengembangan keterampilam pribadi perlu dilakukan secara kontinue mengingat cepatnya kemajuan yang dicapai teknologi dewasa ini. Guru harus mampu melakukan dalam bentuk tindakan yang berupa teknologi dan keterampilan psikomotorik yang ditunjang teori-teori yang harus diperoleh dari buku yang ditulis dalam bahasa asing.
5. Kompetensi Developing Pupil Self
Developing yang yang bermodalkan potensi-potensi yang tidak ada pada anak itu itu sendiri. Potensi yang dimiliki setiap individu murid berbeda. Developing seorang murid yang potensinya minim dalam waktu yang belum tentu lama, akan lebih kecil dari mereka yang modalnya lebih besar. Interaksi guru dan murid harus lebih tepat.
Profesionalisme guru lahir tidak hanya karena kebertulan, akan tetapi membutuhkan usaha dan waktu. Lahirnya profesi didukung juga oleh teori yang terus berkembang, mengapa profesi guru membutuhkan ketrdukungan dari sisi perkembangan teori? Karena teori memang memiliki kepentingan sebagai dasar dalam pengembangan dan teori memberikan dukungan terhadap keajegan sebuah ilmu dan profesi. Pentingnya teori bagi profesional membawa implikasi, dari sisi pendidikan akademis yang cukup lama diperguruan tinggi sesuatu yang mutlak dan dinyatakan dengan tanda keberhasilan, dan hanya orang-orang tertentu yang dapat melaksanakan dan memiliki kemampuan intelektual tersebut, selanjutnya seleksi untuk calon profesi harus melalui saringan dan pendidikan yang teliti dan tegas.

Unsur lainnya dalam profesi adalah kewenangan yang melekat, pendidikan dalam bidang ilmunya memberi seorang profesional jenis pengetahuan yang tidak dimiliki oleh orang yang bukan ahli dalam bidang itu. Contoh seorang guru memiliki kewenangan penuh dalam memberikan penilaian terhadap peserta didiknya.

Penegasan dalam profesi guru adalah juga adanya pengakuan dari masyaraka, setiap kelompok profesi berusaha agar masyarakat menguatkan dan mengakui kewenangannya dengan memberikan dukungan dan kepercayaan. Pengakuan tersebut bisa berbentuk formal maupun non formal. Pengakuan formal ialah adanya pengakuan dari kekuatan hukum. Pengakuan non formal dengan lahirnya bentuk-bentuk dukungan terhadap profesi oleh lembaga-lembaga yang di dirikan oleh masyarakat.

Berkembang dan tegaknya sebuah profesi sehingga profesi menjadi tumbuh dan berkembangan sesuai dengan tujuannya adalah adanya kode etik. Kode etik adalah bentuk perilaku normatif yang menjadi acuan bagi setiap anggota profesi dan sebagai jaminan bagi orang di luar anggota profesi yang bersangkutan. Kode etik keguruan sangat menekankan pengabdian pada masyarakat, profesi, dan kesejahteraan kliennya, serta menolak penyalahgunaan keterampilan profesinya untuk tujuan pribadi dan melarang seseorang mengaku sebagai bagian dari profesi itu tanpa menjadi anggota secara formal.

Profesi berkembang membentuk budaya profesi. Kebudayaan profesi terdiri dari norma-norma, simbol-simbol dan konsep karier. Simbol-simbol itu dapat berupa lencana, lambang, pakaian, sejarahnya, dan pahlawan-pahlawannya. Profesi memandang bahwa jasanya itu suatu kebajikan sosial, dan kesejahteraan masyarakat akan sangat dirugikan oleh ketidak hadirannya. Budaya profesi dan unsur-unsurnya tersebut diikat dalam satu kebersamaan dan persatuan profesi. Suatu profesi secara keseluruhan mempunyai tanggung jawab atas kualitas jasa yang diberikan, pengembangan karier anggotanya, rekrutmen calon profesi, pendidikan calon profesi dan tindakan-tindakan anggota profesi.
Dengan demikian sebuah profesi (profesi guru) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
0. Memiliki fungsi yang signifikan dalam kehidupan masyarakat dimana profesi tersebut berada;
1. Memerlukan keahlian dan keterampilan tertentu yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat awam pada umumnya;
2. Keahlian yang diperoleh dikembangkan berdasarkan disiplin ilmu yang jelas dan sistematik;
3. Memerlukan pendidikan atau pelatihan yang panjang, sebelum seseorang mampu memangku profesi tersebut;
4. Memiliki otonomi dalam membuat keputusan yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya;
5. Memiliki kode etik jabatan yang menjelaskan bagaimana profesi itu harus dilaksanakan oleh orang yang memegangnya;
6. Memiliki organisasi yang merupakan tempat pemegang profesi berasosiasi dan mengembangkan profesi tersebut.

4. Temuan dan Pembahasan
Sejarah membuktikan bahwa unsur profesi juga tidak bisa terlepas dari sebuah birokrasi yang ada. Demikian halnya dengan profesi guru dari dulu sampai sekarang belum bisa terlepas dari unsur-unsur birokrasi yang melekat. Kadang kita menafsrirkan bahwa kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan dalam profesi guru yang terjadi karena kepatuhan yang muncul terlalu didominasi oleh kepatuhan birokrasi, sementara kepatuhan dalam ranah profesinya sendiri belum muncul dan belum merupakan otonomi penuh kepemilikan sebuah profesi.
Keterbelengguan dalam birokrasi menyebabkan guru sangat-sangat konformitas sehingga sebagian diantaranya mematikan kreativitas dan daya inovatif guru. Budaya konformitas mejadi bagian dari sebuah birokrasi yang kaku dan menyeret profesionalisme guru menjadi semu, juklak dan juknis menjadi bagian dari penentu bergerak dan bekerjanya guru. Dalam pengembangan profesi birokrasi masih menjadi pijakan utama, naik atau turunya kedudukan seseorang dalam jabatan dan pekerjannya.

Akan tetapi tidak selamanya bahwa budaya birokrasi itu salah dan gagal, sebetulnya hanya karena ada unsur kekuasaan berlebih yang terselewengkan maka birokrasi itu menjadi tidak efektif. Kepatuhan birokrasi perlu dimiliki profesi guru, kepatuhan yang mengarah kepada pemenuhan sebagai bagaian dari birokrasi Negara yang berlaku. Birokrasi yang menghambat perkembangan profesi seperti kegiatan-kegiatan yang muncul yang sebenarnya hal tersebut tidak ada, uang administrasi yang kadang mebebani dalam pengembangan karier kepegawaian. Birokrasi yang diselewengkan tersebut menyebabakan adanya penyelewengan pula dalam pelaksanaan profesi.

Di beberapa kota/kabupaten ada kasus dan masih juga berlangsung bahwa profesi guru jadi ajang komoditi birokrasi, jual beli dalam rekruitasi profesi guru tidak lagi melihat the right man on the right place, karena memang dimulai dari penugasan orang yang berkuasa dalam birokrasi yang menempatkan orang karena memang adanya unsur keterbelengguan dalam status politik. Ada beberapa kabupaten atau kota yang pernah mengalami bahwa pendidikan dipimpin dan diatur oleh orang yang memiliki jalur dan latar belakang yang berlainan dengan yang harus dikerjakannya. Atau ada kabupaten/kota yang dipimpin oleh orang yang sejalur akan tetapi dia memegang jabatan itu meloncat-loncat tidak seperti trek/jalur tahapan yang harus dilaluinya, seorang guru sekolah dasar tiba-tiba jadi kepala sub dinas karena memang orang terdekat dengan para birokrat.

Bisakah budaya birokrasi dan budaya professional dikawinkan sehingga memunculkan bentuk kepatuhan yang sesuai dengan harapan, kalau meminjam istilah Getzel dan Guba dalam teori organisasi sebagai system social, ada dua sisi yang harus diperhatikan yaitu sisi nomotetis dan sisi idiographis sehingga bagaimana keduanya dapat memunculkan perilaku yang diharapkan. Dalam kasus kepatuhan birokrasi dan kepatuhan professional yang “dikawinkan� dan menghasilakn bentuk kepatuhan (budaya professional) yang diharapkan dapat digambarkan sebagai berikut:

Berkaitan dengan kualifikasi yang ada sekarang per-tahun 2004 menunjukan data-data sebagai berikut:
1. Jenjang Taman Kanak-kanak dari jumlah guru 153.062 orang memiliki kualifikasi pendidikan SLTA 32.510 orang, D1 86.960 orang, D2 18.071 orang, D3 2.770 orang, S1 12.609 orang, S2 131 orang, dan S3 11 orang;
2. Jenjang Sekolah Dasar dari jumlah guru 1.150.554 orang memiliki kualifikasi pendidikan SLTA 378.740 orang, D1 12.767 orang, D2 544.082 orang, D3 19.506 orang, S1 195.457 orang, S2 2 orang, dan S3 0 orang;
3. Jenjang SMP dari jumlah guru 445.175 orang memiliki kualifikasi pendidikan SLTA 0 orang, D1 130.753 orang, D2 82.788 orang, D3 103.571 orang, S1 128.005 orang, S2 56 orang, dan S3 3 orang;
4. Jenjang SMA dari jumlah guru 187.00 orang memiliki kualifikasi pendidikan SLTA 0 orang, D1 164 orang, D2 15.589 orang, D3 71.380 orang, S1 99.625 orang, S2 228 orang, dan S3 14 orang.
Dari jumlah guru taman kanak-kanak 153.062 orang sebesar 21.9% memenuhi kualifikasi atau sekitar 33.592 orang dan sebanyak 78.1% atau sekitar 119.470 orang belum memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengjar di tingkat taman kanak-kanak. Sedangkan untuk guru sekolah dasar sudah mencapai 66.0% atau sekitar 758.947 orang telah memenuhi kualifikasi pendidikan dasar dan masih sekitar 391.507 orang atau 34.0% belum memenuhi kualifikasi. Pada tingkat SMP dari jumlah 445.175 orang masih sekitar 71,2% belum memenuhi kualifikasi ssuai tuntutan dan baru 28.8% yang baru memenuhi kualifikasi. Pada tingkat SMA dari 187 orang guru baru 53,4% yang telah memenuhi kualifikasi dan sisanya 46,6% belum memenuhi kualifikasi (Direktorat Tenaga Kependidikan;24).

5. Kesimpulan
Perubahan untuk perbaikan seperti semangat kaizen dalam meningkatkan profesionalisme guru sebagai bagian dari semangat untuk merupabah profesi guru menajadi profesi yang memiliki tingkat kebanggaan seperti dahulu para guru sebelum kita. Mereka sangat disegani mereka sangat dipatuhi karena pada mereka ada sebuah kebenaran, ada sebuah nilai kepercayaan yang patut diteladani “digugu dan ditiru�. Hari ini keterguguan dan ketertiruan tersebut bukan hanya karena jarang atau hal yang baru akan tetapi harus merupakan “roh� dari profesinya itu sendiri.

Peningkatan kesejahteraan adalah bentuk pengakuan atas kerja keras dan kewajiban yang berat untuk berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini, meneruskan kehidupan sebagai masyarakat dunia yang meiliki daya saing yang tinggi dengan cirri-ciri kebudayaan yang tersu terjada dan tidak terbawa arus perubahan yang mengglobal. Memainkan peranan sentral dalam pergaulan kehidupan dunia sehingga bisa mengarahkan dan mengendalikan nilai dan norma kehidupan yang kita anut.
Strategi pengembangan profesi guru harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, sistematis artinya bahwa pengembangan profesi harus merupakan bagian dari pola-pola pengembangan sumber daya manusia secara makro yang menjunjung azas keadilan dan pemerataan. Berkelanjutan menggambarkan keseriusan yang terus menerus berupaya untuk memperbaiki dan menata profesi.
Prosedur pengembangan kearah guru yang professional seperti yang diharapkan harus merupakan bagian integral dari program kerja dinas pendidikan nasional, secara sederhana prosedur tersebut dapat digamarkan sebagai berikut:

Prosedur Pengembangan Profesional Guru
6. Rujukan
1. Abin Syamsudin Makmun, (1996), Pengembangan Profesi dan Kinerja Tenaga Kependidikan, Program Pasca Sarjana IKIP Bandung.
2. Catetter, B. William, (1996), The Human Resources Function In Education Administration, A Simon & Schuster Company Englewood cliffs, New Jersey.
3. Direktorat Tenaga Kependidikan, (2003), Pedoman Pelaksanaan Program Guru Bantu Tahun 2003, Direktorat Tenaga Kependidikan; Dirjen Dikdasmen; Departemen Pendidikan Nasional.
4. …………………………………., (2003) Pedoman Umum Program Guru Bantu Tahun 2003, Direktorat Tenaga Kependidikan; Dirjen Dikdasmen; Departemen Pendidikan Nasional.
5. Guskey, R. Thomas and Huberman, (1995), Professional Development in Education; New Paradigms and Practices, Teachers College Press New York.
6. Gilley, Jerry W., (1989), Principles of Human resources Development, Addison-Wesley Publishing Company, USA.
7. Manullang, (1985), Management Personalia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
8. Schuler, Randall S., (1987), Personnel and Human Resources Management, West Publishing company, USA
9. Samana, (1994), Profesionalisme Keguruan, Kanisius, Yogyakarta.
10. Surya, H.M, (2002), Aspirasi Peningkatan Kemampuan Profesionalisme dan Kesejahteraan Guru, Dalam Jurnal Pendidikan Kebudayaan No.021 Tahun ke-5 Balitbang Dikbud, Jakarta.
11. Sutadipura, Balnadi, (1995), Kompetensi Guru dan Kesehatan Mental, Angkasa, Bandung.
12. Usman, Uzer, (2002), Menjadi Guru Profesional, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung.
________________________________________
1. UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
2. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
3. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

0 komentar: