BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Kamis, 19 November 2009

UN Meningkatkan Mutu Pendidikan Kita ?

Anjing menggonggong kapilah tetap berlalu. Ini peribahasa yang paling pas untuk menganalogikan banyaknya kritik atas keberadaan dan penyelenggaraan UN di negeri kita tercinta. Para pengamat dan praktisi pendidikan yang tidak setuju dengan penyelengaraan UN biarkan saja dengan berbagai argumentasinya, dan UN tetap terus berjalan dengan berbagai rasionalisasinya. Dan memang filosofi ini dirasakan ampuh untuk menyelenggarakan UN tanpa pantang mundur, sehingga UN masih dapat terus berjalan sejak puluhan tahun lalu hingga saat ini (cukup dengan mengganti nama). Kali pertama “ujian akhir nasional” diselenggarakan pada tahun 1965 dengan nama Ujian Negara. Penggunaan istilah Ujian Negara berlangsung sampai tahun 1971. Mulai tahun 1972 – 1979, model ujian yang terpusat sempat ditiadakan, dan diganti dengan Ujian Sekolah. Namun mulai tahun 1980 – 2000, “ujian nasional” kembali digelar dengan nama “EBTANAS”, dan pada tahun 2001 sampai sekarang kembali lagi ganti “baju” dengan nama UAN/UN.
Setelah sekian puluh tahun, “UN/UAN” dilaksanakan dengan biaya yang tidak sedikit (milyaran rupiah), apakah UN mampu mendorong dan mendongkrak kualitas pendidikan kita. Pertanyaan ini patut disampaikan, karena menurut pihak penyelenggara UN, tujuan utama diselenggarakannya UN adalah untuk mendorong dan mengukur kualitas pendidikan. Pertanyaannya adalah setelah sekian puluh tahun UN dilaksanakan, apakah kualitas pendidikan kita telah berhasil ditingkatkan atau sebaliknya semakin merosot?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu disepakati terlebih dulu apa itu kualitas pendidikan atau pendidikan berkualitas.
Bila kita menilai kualitas sesuatu tentu kita harus menggunakan kriteria yang jelas sebagai indikatornya. Sesuatu dikatakan berkualitas kalau sesuatu itu telah memenuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan sebelumnya. Nah kalau kita akan menilai kualitas pendidikan, apa yang seharusnya kita gunakan sebagai kriteria. Di sinilah saya pikir, yang menyebabkan perbedaan pandangan antara yang pro dan kontra terhadap UN selama ini. Saya melihat, mereka yang pro dengan UN menggunakan angka-angka hasil UN sebagai kriteria menentukan kualitas pendidikan kita. Mereka yang berhasil mendapat skor di atas skor minimal (5,5 untuk tahun 2009) dinyatakan lulus. Sekolah yang berhasil meluluskan 100% siswanya dinyatakan sebagai sekolah yang berkualitas? Apa iya???
Kelompok yang kontra dengan UN memandang bahwa kalau untuk melihat kualitas pendidikan hanya dilihat dari seberapa banyak siswa yang lulus dari UN, sungguh sangat menyedihkan. Karena kita tahu bahwa UN memiliki banyak sekali kelemahan, diantaranya: standar yang ditetapkan sangat rendah (tidak bisa dijadikan sebagai kriteria suatu kualitas), belum lagi penyelenggaraannya yang sangat diragukan karena banyaknya kecurangan, dan yang paling penting adalah UN hanya mengukur aspek kognitif, padahal kita tahu bahwa tujuan pendidikan kita bukan semata-mata mendidik dan menghasilkan anak yang memiliki pengetahuan, tetapi adalah menghasilkan anak-anak bangsa yang cerdas, berkepribadian, beriman & bertaqwa, sehat jasmani dan rohani, dst. Aspek-aspek inilah yang seharusnya dijadikan sebagai kriteria kualitas pendidikan kita. Karena ini adalah amanah dari UU Pendidikan kita.
Baik sekarang kita bicara fakta. Apa yang telah dihasilkan oleh anak-anak bangsa ini yang telah diuji secara nasional dalam rentang lebih dari 30 tahun. Oke, kita telah menyaksikan ada sejumlah anak-anak kita yang telah berhasil menjadi juara olimpiade di leval internasional atau bahkan dunia. Pertanyaannya adalah apakah mereka dididik dalam suatu sistem pembelajaran yang sama dengan mereka yang dipersiapkan menghadapi UN? Apakah prestasi tersebut dapat dijadikan sebagai indikator kualitas sistem pendidikan kita? dengan kata lain bukankah prestasi tersebut karena faktor potensi individu yang sangat dominan (karena memang dasar anaknya genius)? Jadi jelas, prestasi-prestasi itu sifatnya kasuistis. Prestasi itu terjadi karena faktor individu yang lebih dominan, bukan karena faktor sistem pembelajaran kita yang mendorongnya seperti itu. Dengan demikian kita tidak bisa menggunakan prestasi-prestasi tersebut sebagai bukti kualitas pendidikan kita. Karena pendidikan kita mencakup jutaan anak bangsa.
Bukti-bukti yang sangat kuat akan rendahnya mutu pendidikan kita terlihat dari sejumlah hasil survey dan penilaian yang dilakukan oleh berbagai lembaga internasional, seperti Trends in International Mathematic and Science Study (TIMSS), Programme for International Student Assessment (PISA), Progresss in International Reading Literacy Study (PIRLS), The International Association for the Evaluation of Educational Achievement, dan lembaga-lembaga lainnya. Hasil study yang dilakukan oleh PIRLS tentang kemampuan membaca pada anak-anak kelas 4 SD di seluruh dunia menunjukkan prestasi yang sangat rendah. Anak-anak kita dinilai tidak mampu (1) mengidentifikasi, membedakan, dan menunjukkan detail peristiwa yang ada dalam bacaan, (2) menginterpretasi dan mengintegrasikan ide antar bacaan, (3) mengenal dan menginterpretasikan bahasa-bahasa gambar dan pesan abstrak, (4) menguji dan mengevaluasi struktur cerita, dan (5) menjelaskan hubungan antara tindakan, peristiwa, perasaan dalam bacaan. Sementara itu PISA menempatkan anak-anak kita dalam hal literasi membaca pada posisi 48 pada tahun 2006, dalam hal literasi matematika pada posisi 50, dan dalam hal literasi sains pada posisi 53. Satu hal yang patut kita tahu bahwa lembaga-lembaga internasional tersebut melakukan penilaian atas kualitas pendidikan tidak hanya dilihat dari aspek kognitif, dalam hal ini kemampuan menjawab soal pilihan ganda, tetapi mereka menilainya secara komprehensif. Dan inilah sesungguhnya yang menunjukkan indikator kualitas pendidikan kita secara lebih komprehensif.
Pertanyaannya lagi adalah dimana dampak UN yang selama ini dilakukan dengan memakan biaya yang sangat besar?

UN Gengsi Semua Pihak

Oleh: Khaerudin

Mengingat UN adalah “hajat nasional”, yang sekaligus dipersepsikan sebagai rujukan dan kriteria keunggulan pendidikan kita, maka sangatlah wajar, keberhasilan dalam UN menjadi kebanggan dan prestige semua pihak. Siswa akan merasa bangga kalau ia dapat lulus dan mendapatkan nilai yang tinggi; Para orang tua juga merasa bangga kalau anak mereka dapat mengikuti dan lulus dengan baik setelah mengikuti UN; Para guru dan Kepala Sekolah merasa bangga dan puas kalau para siswanya, lebih-lebih kalau seluruh siswanya (100%), lulus dengan nilai di atas rata-rata, atau kalau sekolahnya menjadi 10 besar di kotanya; Para birokrat pendidikan di lingkungan kota (Kasie, sudin, bahkan walikota/bupati, dan tentunya Dinas Pendidikan dan para Gubernur) juga merasa bangga kalau anak-anak sekolah di lingkungan atau di wilayahnya dapat lulus dengan baik.
Oleh karena itu, sangatlah wajar kalau semua pihak yang berkepentingan dengan kesuksesan UN melakukan berbagai upaya agar UN yang diselenggarakan di lingkungannya mendapatkan hasil yang memuaskan. Karena kesuksesan ini akan menjadikan mereka dinilai pihak yang unggul dalam menyelenggarakan pendidikan. Siswa yang mendapat nilai bagus akan mendapat “cap” siswa unggul dan berhak mendapatkan “sekolah” yang lebih baik, sekolah yang juga unggul; Sekolah yang dapat meluluskan 100% siswanya dengan nilai tinggi akan di “cap” sebagai sekolah unggul yang menjadi angan-angan semua manajemen sekolah; Demikian seterusnya, sampai pada Kasie, Sudin (Walikota/Bupati), dan Dinas Pendidikan (Gubernur).
Kalau saja semua kebanggaan di atas menjadi pemicu dan motivasi untuk berbuat lebih (lebih keras, lebih baik, lebih tekun, lebih giat), maka tentunya UN akan dinilai sebagai sesuatu yang sangat positif. Namun kenyataannya, di era serba instant seperti saat ini — keberhasilan yang seharusnya diperoleh melalui perencanaan yang sistematis dan sistemik, perjuangan keras pada saat persiapan dan pelaksanaannya — maunya didapatkan dengan cara mudah dan jalan pintas.
Berbagai upaya dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan “cap” unggul pada saat menjelang terselenggaranya UN. Mulai dari upaya yang bersifat religius, seperti melakukan do’a bersama (istighosah) atau melakukan sembahyang di Pura, sampai upaya-upaya yang sangat memalukan dan “menjijikan” sebagaimana dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, mencari celah “bocoran” soal dan memberikannya kepada para siswa. Dengan menghalalkan berbagai cara, mereka berusaha mencapai tujuannya “menjadi yang unggul”, tanpa menghiraukan etika dan norma-norma yang ada, bahkan mungkin tidak terlintas dalam pikiran mereka akan dampak edukasi dari tindakannya terhadap perkembangan mental anak-anak didik kita.
Siapa yang bersalah?
Tentu tidak akan ada orang yang mau disalahkan. Untuk itu barangkali masing-masing kitalah yang harus berentrospeksi.

PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DASAR MELALUI PAKEM

A. Pendahuluan

Sejak tiga tahun terakhir bangsa kita terus dilanda musibah, baik yang disebabkan oleh faktor alam yang memang kejadiannya sulit dicegah maupun oleh karena ulah manusia yang seharusnya tidak perlu terjadi. Musibah gempa tektonik yang disusul tsunami di Aceh belum juga pulih, sudah di susul oleh gempa dan tsunami lain di Yogyakarta dan Pangandaran. Musibah lumpur Lapindo di Sidoarjo sudah hampir satu tahun belum ada tanda-tanda berhenti, bahkan kalau tidak dapat diatasi dan menunggu berhenti sendiri akan memakan waktu 31 tahun. Musibah dalam bidang transportasi terjadi di laut, darat, dan udara. Permasalahan lain yang selalu terulang pada hampir setiap tahun adalah masyarakat kita selalu kekeringan dan tidak ada air bila musim kemarau tiba, dan sebaliknya terjadi banjir dimana-mana bila musim hujan datang. Endemi demam berdarah dan flu burung yang terjadi di hampir seluruh wilayah juga selalu berulang dan akar permasalahannya belum juga terpecahkan. Kerugian yang diderita akibat musibah-musibah tersebut sudah tidak terhitung lagi jumlahnya; berapa nyawa yang melayang; berapa banyak harta benda milik masyarakat hilang; bahkan di Sidoarjo, bukan hanya nyawa dan harta, tetapi juga ”peradaban” masyarakat Sidoarjo lenyap ”ditelan” lumpur. Hal yang lebih mengenaskan dari semua peristiwa tersebut adalah tidak atau belum ada dari peristiwa tersebut yang teratasi secara tuntas; selalu menyisakan masalah.
Bila coba kita renungkan dan kaji secara seksama mengapa semua itu terjadi, dan mengapa semua permasalahan tersebut tidak teratasi secara tuntas, jawaban sementara penulis adalah karena kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa kita yang rendah. Hal ini sebagaimana juga ditunjukkan dari hasil survey Human Development Index (HDI) tahun 2005, yang berada pada posisi 112 dari 175 negara.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa kualitas SDM kita rendah, karena mutu pendidikan kita rendah. Bicara mutu pendidikan, maka pendidikan formal di sekolah lah yang harus lebih banyak mendapat sorotan. Karena pendidikan di sekolah dilaksanakan secara terencana dan sistematis, sehingga seharusnya lebih banyak memberi kontribusi pada kualitas pendidikan. Itu artinya, kualitas pembelajaran yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita selama ini rendah. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah adalah pada pembelajaran di kelas. Pola pikir seperti inilah yang pernah dilontarkan oleh senator Amerika, John F. Kennedy pada tahun 1967, pada saat Amerika Serikat merasa kalah oleh Rusia yang lebih dulu meluncurkan roketnya ke luar angkasa. Saat itu Kennedy mengajukan pertanyaan ”Apa yang salah dengan pembelajaran kita di kelas?”

B. Mutu Pendidikan Kita

Rendahnya mutu sumber daya manusia bangsa kita diakibatkan oleh karena dunia pendidikan gagal melaksanakan perannya. Arief Rachman mengidentifikasi ada sembilan titik lemah pendidikan di Indonesia (Arief Rachman, 2006, 114) yang mengakibatkan dunia pendidikan kita “carut marut”. Kesembilan titik lemah tersebut adalah (1) selama ini keberhasilan pendidikan hanya diukur dari keunggulan ranah kognitif, dan mengabaikan ranah afektif dan psikomotorik, sehingga pembinaan dan pengembangan watak bangsa menjadi terabaikan, (2) model evaluasi yang digunakan selama ini hanya mengukur kemampuan berpikir konvergen, sehingga siswa tidak dipacu untuk berpikir kreatif dan imajinatif, (3) proses pendidikan berubah menjadi proses pengajaran, yang berakibat materi pelajaran menjadi tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari, (4) kemampuan menguasai materi tidak disertai dengan pembinaan kegemaran belajar. (5) titel atau gelar menjadi target pendidikan, tidak disertai dengan tanggung jawab ilmiah yang mumpuni, (6) materi pendidikan dan buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang monoton, tidak menantang dan tidak menstimulasi daya kritis dan iamjinasi siswa (7) manajemen pendidikan yang menekankan pada tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan kepada pemerintah, bukan kepada stakeholder, (8) profesi guru yang terkesan menjadi profesi ilmiah dan kurang disertai dengan bobot profesi kemanusiaan, dan (9) upaya pemerataan pendidikan yang tidak didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, serta lemahnya political will pemerintah terhadap upaya perbaikan pendidikan.
Dengan kondisi permasalahan sebagaimana diungkapkan oleh Arief Rahman, terutama dengan permasalahan nomor 1 – 4 yang secara langsung menyangkut proses pembelajaran, sangat wajar kalau proses pembelajaran yang terjadi di kelas tidak mampu menghasilkan orang-orang yang cerdas sebagaimana yang diamanatkan UUD ’45. Keberhasilan pembelajaran yang hanya diukur oleh penguasaan pengetahuan (kognitif) hanya akan mendorong proses pembelajaran menghasilkan orang-orang pintar, tetapi bisa jadi tidak punya hati nurani, egois, tidak mampu bekerja sama, dan sifat-sifat lain yang menyangkut afeksi. Sifat peduli terhadap kepentingan orang banyak, takut melakukan kecurangan karena akan merugikan orang lain, sopan santun terhadap orang yang lebih tua, kasih dan sayang terhadap yang lebih muda, semangat berkorban untuk kepentingan bersama, bersikap disiplin, adalah diantara sifat-sifat afeksi yang sulit diukur secara kuantitas dan hasilnya tidak dapat dilihat dengan segera. Karena itu pembelajaran yang mengembangkan sifat-sifat ini menjadi luput dari perhatian dalam pembelajaran. Padahal sifat-sifat ini terkait dengan kecerdasan emosi yang banyak berpengaruh pada kesuksesan seseorang dalam melaksanakan tugasnya di masyarakat dan dunia kerja. Belum lagi kalau dilihat tingkat penguasaan aspek kognitifnya yang dikembangkan. Apakah perkembangan kognitif yang dikembangkan sampai pada tahap kognitif yang lebih tinggi, seperti kemampuan mengaplikasi, menganalisis, mensistesis, mengevaluasi, bahkan membuat dan menemukan ilmu baru? Lebih penting lagi apakah perkembangan kognitifnya sampai pada tahap kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah, terutama berkenaan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari? Ini adalah satu permasalahan besar dengan pembelajaran di kelas kita.
Permasalahan kedua juga sangat besar dampaknya terhadap proses pembelajaran di kelas. Soedijarto, dalam penelitiannya menemukan bahwa sistem evaluasi ternyata mempengaruhi kualitas proses belajar, khususnya pada tingkat partisipasi belajar pada siswa. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh B.S. Bloom, yang menyatakan bahwa setiap siswa akan berusaha mempelajari apa yang diperkirakan akan ditanyakan pada saat dilaksanakan tes (Soedijarto, 1993: 81) Ini berarti, kalau bentuk evaluasi yang diberikan kepada siswa hanya pada penguasaan konsep dan fakta, maka siswa akan belajar dengan cara menghafal dan drilling menjawab soal. Bentuk evaluasi seperti itu tidak akan mendorong siswa untuk berpikir secara kritis, kreatif, dan menemukan jawaban yang berbeda.
Berkenaan dengan permasalahan yang ketiga, banyak bukti di sekitar kita, siswa-siswa kita yang telah lulus dari sekolah tidak mampu berbuat banyak di lingkungannya; Mereka menjadi terasing dengan lingkungannya. Karena apa yang mereka pelajari di bangku sekolah adalah apa yang ada dalam buku (textbook), bukan permasalahan lingkungan yang sehari-hari mereka temukan dan rasakan. Pembelajaran yang dilaksanakan lebih bersifat tekstual, dan tidak kontekstual, sehingga ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan hanya bisa disimpan dalam memori dan tidak bermanfaat bagi kehidupannya. Israel Scheffler menyebut pembelajaran yang demikian tidak memiliki relevansi sosial/moral.
Sejalan dengan permasalahan-permasalahan sebelumnya, pembelajaran di kelas-kelas sekolah kita cenderung hanya mendorong siswa untuk ”belajar untuk tahu” atau learning to know. Strategi pembelajaran yang mendorong siswa untuk senang untuk belajar dan menguasai kemampuan bagaimana belajar dilakukan (learning how to learn) tidak banyak dilakukan, sehingga pada saat mereka telah menempuh ujian dan dinyatakan lulus, maka mereka menganggap tugas belajar telah selesai; Mereka tidak memiliki kemauan dan kemampuan belajar mandiri untuk mengembangkan dirinya, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan dunia kerjanya.

C. Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM)

1. Apa itu PAKEM?
PAKEM atau Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, pertama kali diperkenalkan menyertai program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang dikembangkan UNICEF-UNESCO-Pemerintah RI (Kompas, 8 Desemer 2003). PAKEM adalah pembelajaran yang membuat siswa aktif dan kreatif sehingga menjadi efektif tetapi tetap menyenangkan. Model ini dikembangkan untuk menciptakan situasi pembelajaran yang dialami para siswa lebih menggairahkan dan memotivasi siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara aktif yang pada akhirnya mencapai hasil belajar yang optimal.
Pembelajaran aktif dimaksudkan bahwa proses pembelajaran tersebut menuntut siswa dan guru secara aktif melakukan tugas dan fungsinya masing-masing. Guru secara aktif merancang dan mengkondisikan siswanya untuk belajar, bahkan berupaya memfasilitasi kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajarnya. Sementara siswa aktif melakukan tugasnya sebagai pelajar untuk belajar. Bentuk aktifitas yang dilakukan siswa bukan hanya aktifitas fisik tetapi dan terutama aktifitas mental, karena inti dari kegiatan belajar adalah adanya aktifitas mental. Tanpa keterlibatan mental dalam suatu aktifitas yang dilakukan siswa maka tidak akan pernah terjadi proses belajar di dalam dirinya. Pembelajaran aktif ini merupakan respon terhadap pembelajaran yang selama ini bersifat pasif, dimana para siswa hanya menerima informasi dari gurunya melalui metode ceramah.
Pembelajaran yang kreatif dimaksudkan pembelajaran yang beragam, sehingga mampu mengakomodir gaya belajar dan tingkat kemampuan belajar siswa yang bervariasi. Disisi lain pembelajaran kreatif juga dapat diartikan sebagai pembelajaran yang mampu menstimulasi daya imajinasi siswa untuk menghasilkan sesuatu. Dalam pembelajaran kreatif, peran guru bukan sebagai penyampai informasi/materi yang sudah siap “dicerna” oleh siswa, tetapi lebih pada sebagai stimulator ide yang mendorong pikiran dan imajinasi siswa muncul dan terealisasi melalui kegiatan belajar. Pembelajaran kreatif juga diartikan sebagai pembelajaran yang mendorong para siswanya menjadi kreatif, yaitu lancar, luwes, dan orisinil.
Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang mampu “membawa” para siswanya menguasai kemampuan yang diharapkan di akhir proses pembelajaran. Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi guru yang melaksanakan pembelajaran, dan dari sisi siswa yang belajar. Dilihat dari sisi guru, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran mampu menstimulasi aktifitas siswa secara optimal untuk melakukan kegiatan belajar dan seluruh atau sebagian besar aktifitas yang direncanakan dapat terlaksana. Sementara bila dilihat dari sisi siswa, pembelajaran dikatakan efektif apabila pembelajaran tersebut dapat mendorong siswa untuk melakukan berbagai kegiatan belajar secara aktif, dan di akhir pembelajaran para siswa mampu menguasai seluruh atau sebagai besar tujuan pembelajaran yang ditetapkan, dan penguasaan pengetahuan tersebut dapat bertahan dalam waktu yang relatif lama.
Melalui seluruh proses pembelajaran di atas, diharapkan pembelajaran yang dialami siswa menjadi menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan tidak identik dengan pembelajaran yang gaduh, berisik, dan tidak terkendali. Pembelajaran yang menyenangkan adalah pembelajaran yang dilakukan oleh siswa secara sukarela, tanpa ada unsur paksaan dari luar; siswa melakukan aktifitasnya dengan hati yang senang dan tidak terkekan. Pembelajaran yang menyenangkan akan terjadi apabila situasi pembelajaran terbuka, demokratis, dan menantang. Para siswa memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai aktifitas tanpa harus takut salah dan dimarahi oleh siapapun. Melalui pembelajaran yang menyenangkan, siswa akan dapat mencurahkan perhatiannya secara penuh pada belajar sehingga waktu curah perhatiannya (time on task) tinggi. Menurut berbagai hasil penelitian, tingginya time on task terbukti meningkatkan hasil belajar.
Untuk dapat mengenali pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan dapat mencermati ciri-cirinya sebagaimana dikemukakan oleh Lynne Hill, yaitu:
a. Pembelajaran tersebut direncanakan dengan baik, yang didasarkan pada hasil identifikasi tujuan dan kemampuan awal siswa, dan mencakup urutan pembelajaran, pengorganisasian kelas, pengelolaan sumber belajar, dan cara penilaian yang akan digunakan.
b. Pembelajaran tersebut menarik dan menantang yang ditandai oleh peran guru yang tidak terlalu dominan, sementara siswa aktif melakukan aktifitas belajar. Pembelajaran juga dapat meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, termasuk tugas-tugas terbuka.
c. Siswa sebagai pusat pembelajaran, yang ditandai oleh adanya tuntutan agar siswa aktif terlibat, berpartisipasi, bekerja, berinteraksi antarsiswa, menemukan dan memecahkan masalah
(www.mbeproject.net/mbe511.html)
Dengan demikian secara garis besar, PAKEM dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Siswa terlibat dalam berbagai kegiatan yang mengembangkan pemahaman dan kemampuan mereka dengan penekanan pada belajar melalui berbuat.
b. Guru menggunakan berbagai alat bantu dan berbagai cara dalam membangkitkan semangat, termasuk menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk menjadikan pembelajaran menarik, menyenangkan, dan cocok bagi siswa.
c. Guru mengatur kelas dengan memajang buku-buku dan bahan belajar yang lebih menarik dan menyediakan ‘pojok baca’
d. Guru menerapkan cara mengajar yang lebih kooperatif dan interaktif, termasuk cara belajar kelompok.
e. Guru mendorong siswa untuk menemukan caranya sendiri dalam pemecahan suatu masalah, untuk mengungkapkan gagasannya, dan melibatkam siswa dalam menciptakan lingkungan sekolahnya (Depdiknas, 2005, 77)

2. Mengapa PAKEM?


Sebagai sebuah profesi yang professional, maka semua tindakan yang dilakukan guru harus didasarkan pada kerangka teori dan kerangka pikir yang jelas. Demikian juga dengan pilihan untuk memilih dan memanfaatkan pendekatan PAKEM, harus didasari pada suatu rasional mengapa kita memilih dan menggunakan pendekatan tersebut. Berkenaan dengan hal ini perlu dikemukakan sejumlah alasan dan dasar teoritik sekaligus landasan filosofis dikembangkannya pendekatan PAKEM.
Salah satu perkembangan teori pembelajaran yang mendasari munculnya pendekatan PAKEM adalah terjadinya pergeseran paradigma proses belajar mengajar, yaitu dari konsep pengajaran menjadi pembelajaran yang berimplikasi kepada peran yang harus dilakukan guru yang tadinya mengajar menjadi membelajarkan. Konsep pembelajaran yang merupakan terjemahan dari kata instructional pada dasarnya telah lama dikenal di Indonesia, yaitu sejak tahun 1975, yang tergambar dalam rumusan tujuan yang harus dibuat guru, yaitu rumusan tujuan instruksional khusus. Namun implementasi dari konsep pembelajaran di dalam kelas belum juga terjadi secara sesungguhnya.
Dalam konsep pengajaran peran yang paling dominan ada pada guru, yaitu sebagai pengajar yang melaksanakan tugasnya mengajar. Dalam kegiatan pengajaran komunikasi sering terjadi hanya satu arah, yaitu dari guru kepada siswa, sehingga siswa lebih banyak pasif. Pada saat guru menyampaikan materi pelajaran, yang biasanya dilakukan melalui ceramah, para siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru. Permasalahannya yang paling mendasar adalah pada saat seorang guru mengajar apakah ada jaminan bahwa para siswanya belajar? (Belajar dalam pengertian sebagaimana dikemukakan oleh para penganut aliran kognitivistik, yaitu adanya aktifitas mental dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang menghasilkan perubahan perilaku yang relatif konstan.) Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Mel Silberman: Belajar bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi ke dalam kepala seorang peserta didik. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan tindakan pelajar itu sendiri. (Mel Silberman, 1996)
Berbeda dengan konsep pengajaran, konsep pembelajaran lebih mengutamakan pada aktifitas siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya. Dalam konsep pembelajaran tugas guru adalah membelajarkan siswa. Artinya berbagai upaya yang dilakukan guru dalam rangka mengkondisikan para siswanya untuk belajar. Dengan demikian, fokus dari interaksi dan komunikasi ”di dalam kelas” ada pada siswa, yaitu melakukan aktifitas belajar. Melalui penerapan konsep pembelajaran ini maka siswa akan menjadi aktif melakukan berbagai aktifitas belajar, yang tidak hanya mendengarkan, tetapi mereka harus terlibat secara aktif mencari, menemukan, mendiskusikan, merumuskan, dan melaporkan hasil belajarnya. Melalui proses seperti ini maka kegiatan belajar anak akan menjadi lebih bermakna (meaningfull learning).
Bila dilihat dari pendekatannya, dapat dikatakan bahwa konsep pengajaran menggunakan pendekatan yang berorientasi pada guru, sedangkan konsep pembelajaran menggunakan pendekatan yang berorientasi pada siswa. Perbedaan karakteristik dari kedua pendekatan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Berpusat Pada Guru Berpusat Pada Siswa
Lebih tradisional
Guru sebagai pengajar
Guru menentukan apa yang mau diajarkan dan bagaimana mengajarkannya  Guru sebagai fasilitator bukan penceramah
Fokus pembelajaran pada siswa bukan guru
Siswa aktif belajar
Siswa mengontrol proses belajar dan menghasilkan hasil karya mereka sendiri, tdk mengutip dari guru.

Di samping didasarkan pada upaya optimalisasi implimentasi konsep pembelajaran, pendekatan PAKEM juga didasarkan pada sejumlah asumsi tentang apa itu belajar. Sejumlah asumsi tentang belajar yang dimaksud, diantaranya:

a. Belajar adalah proses individual
Artinya kegiatan belajar tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, hanya orang yang bersangkutanlah yang dapat melakukannya. Ini berarti kegiatan belajar menuntut aktifitas orang yang sedang belajar.
b. Belajar adalah proses sosial
Kegiatan belajar harus dilakukan melalui interaksi sosial dengan lingkungan sekitar. Ini berarti seseorang yang belajar harus secara aktif berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, karena melalui interaksi sosial inilah akan diperoleh pengalaman sebagai hasil belajar.
c. Belajar adalah menyenangkan
Apabila kegiatan belajar dilakukan dengan sukarela, atas kesadaran dan kemauan sendiri, dan tanpa ada paksaan, maka kegiatan belajar akan menyenangkan. Karena itulah, setiap orang yang belajar harus melakukannya dengan penuh kesadaran bahwa belajar itu yang akan membawa manfaat bagi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian maka kegiatan belajar benar-benar akan menyenangkan.
d. Belajar adalah aktifitas yang tidak pernah berhenti
Proses belajar akan terus berlangsung selama manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Pada saat seseorang berinteraksi dengan lingkungan – apakah itu disadari ataupun tidak – dan terjadi perubahan perilaku dalam dirinya (kognitif, afektif, atau psikomotorik) maka pada dasarkan orang tersebut telah belajar. Proses ini tidak akan pernah berhenti selama seseorang masih hidup dan beraktifitas.
e. Belajar adalah membangun makna
Pada saat seseorang melakukan kegiatan belajar, pada hakikatnya ia menangkap dan membangun makna dari apa yang diamatinya. Hal ini sejalan dengan pembelajaran kontekstual (contextual learning) yang mengasumsikan bahwa otak secara alamiah mencari makna dari suatu permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan dimana seseorang tersebut berinteraksi (http://www.texascollaborative.org)
Di samping pada pertimbangan perkembangan teori belajar dan pembelajaran, pentingnya PAKEM didasarkan pada pemahaman dan kepentingan siswa sebagai pembelajar. Disadari bahwa para siswa yang belajar adalah individu-individu yang memiliki potensi dan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Karenanya, mereka harus diberi kesempatan untuk memikirkan segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungannya; guru hendaknya menstimulasi daya pikir mereka dengan mengajukan sejumlah pertanyaan dan permasalahan yang harus dipecahkan (problem solving). Melalui penciptaan kondisi yang menantang dan pemberian kebebasan yang luas kepada siswa untuk beraktifitas, memungkinkan siswa menganalisis permasalah secara kritis, dan mencari pemecahannya secara kreatif. Sebab kreatifitas akan muncul dalam suasana dan lingkungan yang menantang namun dirasa aman, dan tidak takut akan mendapat hukuman apabila terjadi kesalahan. Proses belajar yang dialami siswa juga harus melatih dan meningkatkan kematangan emosional dan sosialnya. Pada akhirnya seluruh proses belajar yang dilakukan siswa akan membawanya pada peningkatan produktivitas menjadi lebih tinggi. Untuk menciptakan proses pembelajaran yang akan membawa siswa pada peningkatan berbagai kemampuan tersebut diperlukan suasana dan pengalaman belajar yang bervariasi.
Dengan kata lain, proses belajar yang dialami siswa harus mendorong dan mengembangkan dirinya menjadi orang-orang yang mampu berpikir kritis, kreatif, mampu memecahkan masalah, memiliki kematangan emosional/sosial, dan memiliki produktivitas yang tinggi dengan menciptakan proses pembelajaran yang bervariasi.

3. Bagaimana PAKEM dilaksanakan?

Dalam penerapannya, model PAKEM memerlukan lingkungan belajar yang kondusif, yang mendukung berbagai aktifitas siswa dalam melakukan proses belajar. Karena melalui penerapan PAKEM diharapkan akan terlihat siswa aktif mengeksplorasi materi melalui berbagai percobaan, melakukan observasi, diskusi kelompok, melakukan latihan-latihan praktis, memanfaatkan perpustakaan dan sudut-sudut kelas untuk pojok baca dan dinding kelas untuk memajang karya siswa (www.mbeproject.net/Apa itu.htm)

Hal yang harus dilakukan dalam melaksanakan PAKEM adalah:
a. Memahami sifat yang dimiliki anak
Setiap anak unik. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Namun pada dasarnya mereka juga memiliki sifat umum yang sama, yaitu memiliki rasa ingin tahu dan daya imajinasi. Kedua sifat ini merupakan modal dasar untuk mengembangkan sikap/berpikir kritis dan kreatif. Karena itu, pembelajaran diharapkan dapat menjadi wahana dan sarana mengembangkan kedua potensi tersebut. Suasana pembelajaran yang kondusif perlu dikembangkan melalui, diantaranya, pujian terhadap karya anak, mengajukan pertanyaan terbuka dan menantang, memotivasi siswa untuk berani melakukan percobaan, dan lain-lain.
b. Mengenal anak secara perorangan
Para siswa memiliki latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya yang bervariasi dan memiliki kemampuan yang berbeda. Dengan PAKEM diharapkan perbedaan tersebut dapat terakomodir, sehingga pembelajaran yang dialami anak yang satu berbeda dengan yang lainnya sesuai dengan kecepatan belajarnya masing-masing. Siswa yang memiliki kecepatan belajar yang lebih dapat membantu temannya sebagai tutor sebaya.
c. Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian belajar
Ciri lain yang dimiliki anak-anak adalah kesenangannya untuk bermain, berteman secara berkelompok. Kondisi ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Siswa dapat dikondisikan untuk melakukan kegiatan belajarnya melalui kegiatan bermain dan berkelompok. Melalui kegiatan bermain dan berkelompok siswa akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, karena ia melakukannya dengan penuh kesenangan dan mereka mudah untuk berinteraksi dan bertukar pikiran.
d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kemampuan memecahkan masalah
Salah satu fungsi pembelajaran adalah menyiapkan peserta didik untuk siap terjun ke masyarakat dengan berbagai permasalahannya. Mereka harus mampu menghadapi dan memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Untuk itu diperlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menyadari, mengenali, menganalisis, dan merumuskan masalah, dan kreatif dalam menemukan dan mengembangkan alternatif pemecahannya. Pembelajaran diharapkan dapat mengembangkan kedua kemampuan tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka dan menantang, bahkan pertanyaan yang tidak ”lumrah”. Pertanyakan kembali cara kerja yang biasa kita lakukan, benda-benda di sekitar kita, dan hal-hal lain yang sudah biasa terjadi. Namun untuk sementara, pertanyaan diarahkan pada aspek teknologis (alat dan cara kerja), seni dan artifisial budaya, dan jangan pada hal-hal yang bersifat melawan norma hukum, agama, dan kesusilaan. Kemudian ajak para siswa untuk memikirkannya dan membuat perubahan terhadap hal-hal yang dipertanyakan tersebut ”agar tampil beda”. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menambah, mengurangi, menggabungkan, memperkecil, memperbesar, dst.
e. Mengembangkan ruangan kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik
Ruang kelas sebagai lingkungan belajar merupakan salah satu sumber belajar. Karenanya, ruang kelas harus ditata sedemikian rupa agar dapat mendukung terjadinya proses belajar yang dilakukan siswa. Ruang kelas yang menarik merupakan hal yang disarankan dalam PAKEM. Pada dinding ruang kelas dapat dipasang ”ikon-ikon” dan motto yang dapat memotivasi siswa belajar. Hasil karya siswa sebaiknya dipajangkan di dinding ruang kelas dengan tata letak yang baik dan harmonis. Karena pemajangan hasil karya ini dapat memotivasi siswa dan sekaligus dapat menjadi inspirasi untuk mengembangkan karya lain yang lebih baik.
f. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Setting atau lingkungan (alam, sosial, dan budaya) merupakan salah satu sumber belajar yang sangat kaya dengan bahan belajar. Lingkungan dapat dijadikan sebagai media belajar dan sekaligus sebagai obyek belajar. Sebagai media belajar, lingkungan dapat membantu para siswa memahami bahan belajar lebih mudah dan menarik, sedangkan sebagai obyek belajar, lingkungan mengandung banyak hal yang dapat dipelajari dan berarti bagi kehidupan siswa.
g. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan belajar
Umpan balik yang disampaikan guru dapat memberi informasi tentang kualitas belajar yang dilakukan siswa. Umpan balik yang positif dapat menimbulkan motivasi siswa untuk mempertahankan dan sekaligus meningkatkan perilaku positifnya; mendorong siswa untuk lebih percaya diri dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya. Untuk itu, guru harus konsisten memeriksa setiap tugas dan pekerjaan siswa, memberi komentar dan catatan, serta mengembalikannya kepada siswa.
h. Membedakan aktif fisik dengan aktif mental

Kata ”aktif” dalam model PAKEM, bukan semata-mata merujuk pada keaktifan fisik, tetapi pada keaktifan mental. Aktif mental lebih diutamakan daripada aktif fisik. Kondisi siswa yang sering bertanya dan mempertanyakan gagasan orang lain, dan mengungkapkan gagasannya sendiri merupakan tanda-tanda aktif mental. Syarat untuk tumbuhnya aktif mental adalah tumbuhnya perasaan tidak takut: takut ditertawakan, takut salah, takut dihukum, takut disepelekan, takut disebut orang bodoh, takut mencoba, dan takut-takut yang lainnya. Untuk itu tugas guru adalah menciptakan kondisi dan suasana yang dapat menghilangkan rasa takut, serta mendorong untuk tumbuhnya keberanian siswa.

Untuk dapat melaksanakan pembelajaran dengan model PAKEM, ada sejumlah kemampuan yang harus dikuasai dan sekaligus dilakukan guru, diantaranya: (Depdiknas, 2005, 78)
a. Guru harus merancang dan mengelola pembelajarannya yang mampu mendorong siswa berperan aktif di dalamnya. Untuk itu guru harus mampu melaksanakan pembelajaran secara variatif, seperti mengkondisikan siswa untuk melakukan percobaan, diskusi kelompok, mencari informasi, berkunjung ke suatu tempat, dan melaporkan hasil observasi.
b. Guru harus menggunakan alat bantu dan sumber belajar yang beragam (multi media). Hal ini akan membantu terciptanya interaksi yang bervariasi, bukan hanya antara guru dengan siswa, tetapi juga antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan lingkungannya. Untuk itu sesuai dengan mata pelajaran yang akan diajarkan, guru dapat menggunakan alat dan benda sekitar, atau media lain yang dibuat sendiri atau dari membeli.
c. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilannya. Untuk itu guru dapat membantu siswa untuk melakukan percobaan dan pengamatan atau wawancara, mengumpulkan fakta dan data serta mengolah dan mengambil kesimpulan; membantu memecahkan masalah, mencari dan menemukan rumus, menulis laporan/hasil karya dengan bahasa sendiri.
d. Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya sendiri secara lisan dan tulisan. Kesempatan ini penting untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan berani berpendapat. Kondisi ini dapat diciptakan melalui kegiatan diskusi, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka.
e. Guru menyesuaikan bahan dan kegiatan belajar dengan kemampuan siswa. Siswa akan termotivasi untuk belajar apabila tugas dan aktivitas yang harus dilakukannya ada pada batas kemampuannya. Bahan dan kegiatan belajar yang berada di atas kemampuannya atau terlalu sulit hanya akan membawa siswa frustasi, dan sebaliknya. Untuk itu siswa dapat dikelompokkan sesuai dengan kemampuannya, dan bahan pelajaran dikelompokkan sesuai dengan kelompok tersebut.
f. Guru mengaitkan pembelajaran dengan pengalaman siswa sehari-hari. Bahan belajar akan lebih bermakna apabila bahan tersebut memang menyangkut kehidupan dan permasalahan yang dihadapi siswa sehari-hari. Untuk itu guru dapat meminta siswa untuk menceritakan dan memanfaatkan pengalamannya sendiri sebagai topik pembicaraan dalam pembelajaran.
g. Menilai pembelajaran dan kemajuan belajar siswa secara terus menerus. Kegiatan ini digunakan untuk memantau kinerja siswa dan sekaligus memberikan umpan balik.
Sebagai contoh konkrit bagaimana PAKEM dilaksanakan dapat digambarkan berikut:
Untuk sebuah pembelajaran Ilmu Sosial ditetapkan sebuah tema Banjir. Mengapa tema banjir yang diangkat? Karena isu itu yang sedang hangat dan banyak diberitakan terjadi di mana-mana.
Dalam melaksanakan pembelajaran tersebut, guru memberikan pengantar tentang banjir. Kemudian guru meminta siswa bekerja kelompok. Masing-masing kelompok diberikan 2 buah kliping koran tentang banjir. Tiap kelompok membaca, mencerna, dan mencatat informasi dari kliping, kemudian mempresentasikan. Terakhir antar kelompok compare notes. Siswa diminta menyimpulkan.

D. Peningkatan Mutu Pendidikan Formal Melalui PAKEM

Dengan asumsi bahwa proses pembelajaran yang terjadi di kelas adalah inti dari proses pendidikan di sekolah, maka perbaikan mutu pendidikan harus dimulai dengan menata dan meningkatakan mutu pembelajaran di kelas. Mutu pendidikan yang diindikasikan oleh para lulusannya memiliki kemampuan berpikir kritis dan kreatif, perkembangan afeksi yang kuat (karakter, kesadaran diri, komitmen, dll), serta keterampilan psikomotor yang memadai. Artinya kriteria mutu pendidikan bukan hanya diukur oleh aspek kuantitatif, seperti NEM, nilai raport, banyaknya lulusan yang diterima di perguruan tinggi negeri, dan sebagainya, tetapi lebih pada aspek penguatan karakter dan watak siswa, keimanan kepada Tuhan, sopan santun, akhlak mulia, budi pekerti luhur, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan menghasilkan karya dan produk inovatif, dan lain-lain.
Upaya untuk mencapai mutu pendidikan dengan kriteria sebagaimana digambarkan di atas tentu akan sulit dilakukan apabila pembelajaran yang dilakukan di kelas masih konvensional, yang hanya menuntut siswa untuk melakukan DDCH (datang, duduk, catat, dan hafal); Model pembelajaran yang didominasi oleh guru melalui ceramah-ceramahnya menyampaikan sejumlah informasi/materi pelajaran yang sudah disusun secara sistematis. Sebab pembelajaran dengan model ini tingkat partisipasi siswa sangat rendah; siswa sering ada dalam situasi ”tertekan”, yang berakibat pada tidak optimalnya pemusatan perhatian pada kemampuan yang harus dikuasainya (time on task) menjadi rendah. Siswa tidak mendapat kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan sekitar, sehingga membuat mereka terasing dengan lingkungannya dan tidak memiliki kemampuan untuk mencari dan menemukan informasi yang diperlukannya; dan yang paling penting siswa hanya terfokus pada pengembangan ranah kognitif, dan kurang memperhatikan aspek afeksi (emosional, mental, dan spiritual), serta keterampilannya. Dengan kondisi pembelajaran seperti ini akan sulit mengharapkan para siswa memiliki kemampuan berpikir yang kritis, kreatif, dan inovatif, serta memiliki karakter dan watak yang kuat untuk menghadapi berbagai permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya sehari-hari.
Ada banyak inovasi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mendorong terciptanya pembelajaran yang berkualitas yang berangkat dari pendekatan pembelajaran student active learning, diantaranya adalah apa yang disebut PAKEM. Dengan PAKEM para siswa akan mengikuti pembelajaran secara aktif, kreatif, dan demokratis; Siswa diberi kesempatan untuk berbuat dan berpikir secara bertanggung jawab; Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan proses belajar yang sesungguhnya, dimana siswa berinteraksi langsung dengan lingkungannya; Siswa belajar bekerjasama untuk memecahkan masalah, sehingga akan terbentuk watak dan kemampuan bekerja tim; Siswa diberi kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungannya yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran akan pentingnya lingkungan dan kemampuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan; Akan tumbuh semangat dan kepercayaan diri untuk berpikir dan berbuat pada diri siswa.

E. Kesimpulan

Peningkatan kualitas sumber daya manusia haruslah menjadi prioritas dalam pembangunan nasional kita. Itu berarti pembangunan dunia pendidikan harus mendapatkan perhatian yang serius, komitmen yang kuat dan tindakan nyata dari seluruh stakeholder. Pembangunan dunia pendidikan memang harus dilakukan secara sistemik, melalui pembenahan berbagai sektor yang terkait. Khusus untuk pembangunan pendidikan formal (sekolah), semua perbaikan yang dilakukan harus mengarah dan mendukung pada peningkatan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan di ”kelas”. Karena inti dari proses pendidikan di sekolah ada pada proses pembelajaran.
Kualitas proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kualitas interaksi antara siswa dengan sumber belajar. Artinya kualitas pembelajaran dikatakan baik apabila para siswanya secara aktif melakukan berbagai kegiatan untuk mengembangkan dirinya secara utuh (kognitif, afektif, dan psikomotorik) melalui interaksinya dengan berbagai sumber belajar. Untuk dapat terjadi seperti itu perlu diciptakan lingkungan dan suasana belajar yang mendukung, yaitu lingkungan yang mendorong anak untuk melakukan eksplorasi pada lingkungannya; memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara divergen, kritis, kreatif, dan inovatif; dan melatih anak untuk bekerja secara kooperatif dan kolaboratif; Salah satu model pembelajaran yang mampu mendorong itu semua adalah apa yang disebut PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan).

SERTIFIKASI DAN LISENSI PROFESI PENGEMBANG KURIKULUM DAN PENGEMBANG TEKNOLOGI PENDIDIKAN PROFESIONAL

Pendahuluan

Harapan mendapatkan perlindungan akan profesi yang digeluti merupakan harapan semua orang. Hal ini dimaksudkan agar profesi tersebut benar-benar dapat dilakukan dengan baik dan dapat memberikan hasil yang juga baik. Di samping itu, agar orang yang menggeluti profesi tersebut merasa aman dalam melaksanakan pekerjaannya karena jelas dilindungi oleh aturan yang telah disepakati oleh kelompok profesi tersebut dan diakui oleh kelompok profesi lain. Di sisi lain ada hak, kewajiban, dan kewenangan yang jelas akan lingkup pekerjaan dari profesi yang digelutinya.

Permasalahan utama yang harus mendapat perhatian dari kita semua adalah bahwa sebuah profesi untuk dapat diklaim sebagai bidang kerjanya menuntut batas dan karakteristik yang jelas, yang benar-benar membedakan antara satu profesi dengan profesi lainnya. Tumpang tindih bidang kerja antara satu profesi dengan profesi lain akan menimbulkan permasalahan saling mengklaim bidang kerja tersebut.

Berkenaan dengan profesi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan, perlu kejelasan terlebih dahulu mana batas-batas dan karakteristik pekerjaan yang dapat dilakukan oleh profesi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan dan diakui oleh profesi bidang lain. Ini perlu dilakukan, karena kalau tidak ada banyak jenis keahlian dan pekerjaan yang selama ini dikembangkan untuk dipelajari oleh calon profesional dalam bidang pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan juga dipelajari oleh bidang-bidang lain. Sebagai contoh, program studi Teknologi Pendidikan mengklaim bahwa pengelolaan diklat adalah menjadi bidang keahlian teknolog pendidikan, karena itu pekerjaan-pekerjaan dalam bidang diklat adalah menjadi bidang garapannya. Namun, klaim ini tidak bisa dilakukan secara sepihak karena ternyata ada pihak lain yang juga mengklaim bahwa bidang diklat adalah bidang garapannya, seperti Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Manajemen Pendidikan, Psikologi dan lainnya.

Lebih jauh lagi adalah bahwa selama ini bidang keahlian Pengembangan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan masih terlalu general, sehingga seolah-olah siapapun dapat melakukannya. Seperti keahlian dalam mendisain pembelajaran. Kenyataan saat ini pekerjaan itu dapat dilakukan oleh siapapun, karena kompetensi ini menjadi kompetensi generik yang harus dikuasai oleh setiap guru. Dengan demikian kita tidak bisa lagi mengklaim bahwa pekerjaan mendisain pembelajaran adalah bidang garapan orang yang berprofesi Pengembang Kurikulum atau Teknolog Pendidikan.

Karena itulah sekali lagi, perlu ada ketajaman kompetensi dan bidang keahlian dengan karakteristik yang khas dan dengan lingkup yang juga jelas bagi profesi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan. Sehingga setiap orang dapat membedakan style seorang pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan dengan orang yang berprofesi lainnya. Sebagai contoh adalah profesi koki. Banyak orang yang mampu memasak, namun cara dan hasil masakan orang yang berprofesi sebagai koki, berbeda dengan orang-orang yang memasak secara “amatir”. Demikian juga perbedaan akan tampak baik menyangkut kemampuan, maupun proses mendapatkan kemampuannya, dan juga pada akhirnya pengakuan dari masyarakat akan profesi tersebut.

Dengan demikian perlindungan terhadap suatu profesi melalui pemberian suatu sertifikat dan lisensi menjadi suatu keharusan. Karena itulah wacana sertifikasi dan lisensi profesi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dibicarakan.

Apa?
Secara umum sertifikat diartikan sebagai tanda bukti penguasaan suatu kompetensi dalam bidang profesi tertentu yang dikeluarkan oleh instansi berwenang. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2004 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi, pada Bab I, pasal 1, ayat 1 dalam kaitannya dengan sertifikasi kompetensi kerja menyatakan bahwa Sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia dan/atau internasional.

Sertifikat profesi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan adalah tanda bukti yang diberikan kepada seseorang yang telah memiliki dan menguasai kompetensi utama sebagai seorang pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan. Ini berarti, orang yang telah memiliki sertifikat sebagai pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan dianggap telah kompeten untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan.

Lisensi adalah ijin melaksanakan suatu profesi tertentu yang dikeluarkan oleh instansi berwenang. Orang yang telah memiliki lisensi untuk melaksanakan profesi tertentu berarti telah berhak melaksanakan fungsi dan peran profesi yang disandangnya. Dengan demikian lisensi yang diterima oleh seseorang yang berprofesi sebagai pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan berarti orang tersebut telah mendapatkan kewenangan dan legalitas untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan profesi sebagai pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan.

Mengapa?
Menjawab pertanyaan mengapa perlu diberikan sertifikat dan lisensi pada seseorang yang menggeluti profesi tertentu, paling tidak ada tiga alasan di bawah ini.
1. Memberikan jaminan kualitas profesi.
Melalui sertifikasi maka profesi yang digeluti oleh seseorang benar-benar diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan. Dengan sertifikat yang dimiliki oleh seseorang, dapat dijadikan sebagai jaminan paling tidak indikasi bahwa orang tersebut telah memiliki kompetensi yang berkaitan dengan bidang tugasnya. Demikian juga dengan dimilikinya lisensi menunjukkan bahwa orang tersebut telah mendapatkan ijin dari organisasi profesinya untuk melaksanakan peran dan fungsi profesinya.
2. Melindungi bidang profesi dari intervensi bidang lain.
Dengan sertifikat dan lisensi yang dimiliki oleh seorang profesi yang sah, maka akan dapat diidentifikasi orang-orang yang berhak dan tidak berhak melaksanakan pekerjaan tertentu. Apabila seseorang melaksanakan pekerjaan dalam profesi tertentu namun ia tidak memiliki sertifikat dan lisensi untuk menjalani profesi tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai malpraktek.
3. Memberikan jaminan kualitas pekerjaan.
Bagi seseorang yang telah memiliki sertifkat dan lisensi yang sah, berarti ia telah memiliki kompetensi yang dapat diandalkan untuk melakukan pekerjaan yang digelutinya. Suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh orang yang memiliki kompetensi dalam bidang itu maka dapat dijamin akan kualitas hasil pekerjaannya itu.

Siapa?
Berbicara tentang “siapa” dalam kaitannya dengan proses sertifikasi dan pemberian lisensi, ada dua sasaran yang dapat menjadi fokus pembicaraan, yaitu siapa yang akan mendapatkan sertifikat dan lisensi, dan siapa yang akan memberikan sertifikat dan lisensi itu. Orang yang berhak mendapatkan sertifikat dan lisensi sebagai pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan adalah mereka yang telah menempuh pendidikan dan/atau telah mengikuti program pendidikan dan pelatihan khusus untuk mendapatkan sertifikat/lisensi dalam profesi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan di program studi pengembangan kurikulum dan/atau teknologi pendidikan, dan dinyatakan telah menguasai kompetensi utama dari program studi Pengembangan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Sebagaimana esensi dari sebuah sertifikat adalah sebagai bukti penguasaan kompetensi dalam bidang tertentu, maka orang yang telah memiliki sertifikat Pengembang Kurikulum dan Teknolog Pendidikan dapat diartikan orang yang telah memiliki kemampuan dan kompeten dalam bidang pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan.

Sementara orang yang berhak mendapatkan lisensi dalam profesi Pengembang Kurikulum dan Teknolog Pendidikan adalah mereka yang telah memiliki sertifikat sebagai Pengembang Kurikulum dan Teknolog Pendidikan dan telah lulus dalam mengikuti tes khusus berkenaan dengan bidang kerja profesi Pengembang Kurikulum dan Teknolog Pendidikan.

Dengan demikian pihak yang kompeten memberikan sertifikat adalah lembaga penghasil lulusan (profesi) atau program studi pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan. Hal ini jelas dinyatakan dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 61 ayat (3) bahwa sertfikat diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu ….

Lembaga yang kompeten memberikan lisensi adalah organisasi profesi yang bersangkutan. Karena lembaga ini merupakan kumpulan orang-orang yang telah memiliki kompetensi dan pengalaman dalam melaksanakan tugas-tugas profesi di lapangan/dunia kerja. Dalam hal organisasi profesi teknologi pendidikan saat ini adalah Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan (IPTPI).

Bagaimana?
Proses sertifikasi dilakukan dengan cara melaksanakan ujian (tes tulis dan praktek) untuk mengukur tingkat penguasaan kompetensi utama program studi Pengembangan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Secara umum proses sertifikasi dapat dilakukan secara bertingkat sesuai dengan tingkat pendidikan peserta, yaitu mereka yang berlatar belakang pendidikan strata-1, strata-2, dan strata-3, karena mereka masing-masing memiliki tingkat dan jenis penguasaan kompetensi yang berbeda. Kemudian mereka dapat dikategorisasi – mengacu pada pendapat Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc. – ke dalam 3 kategori, yaitu terampil, mahir, dan ahli.

Untuk profesi Teknolog Pendidikan pada strata-1 terdapat lima rumpun kompetensi yang dapat dijadikan acuan dan sekaligus kriteria dalam proses sertifikasi, yaitu perekayasaan pembelajaran, pemahaman peserta didik, penguasaan pembelajaran yang mendidik, pengembangan kepribadian dan keprofesionalan, dan penguasaan bidang studi.

Untuk mendapatkan lisensi sebagai pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan, seseorang harus mengikuti serangkaian tes yang mengukur tingkat penguasaan kompetensi dengan mengacu pada kompetensi utama program studi Pengembangan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Instrumen evaluasi/tes harus terus dikembangkan dengan mempertimbangkan tuntutan stakeholder dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni (Ipteks). Sehingga kompetensi pemegang lisensi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan akan terus berkembang untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Hal ini penting, mengingat tuntutan dunia kerja tentang profesionalitas pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan sebagai akibat dari perkembangan ipteks yang sangat pesat semakin nyata. Tentu hal ini tidak bisa diabaikan agar profesi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan bisa terus eksis dan dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia kerja.

Kapan?
Sertifikat diberikan kepada mereka yang telah menempuh dan menyelesaikan program pendidikan di program studi pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan dan memenuhi semua persyaratan untuk dapat menyandang profesi tersebut. Sertifikat diberikan pada saat mereka dinyatakan telah lulus atau saat wisuda bersamaan dengan penerimaan ijazah sarjana dan/atau akta mengajar.

Lisensi diberikan kepada mereka yang telah mengikuti serangkaian tes yang diberikan oleh organisasi profesi dan dinyatakan lulus. Dengan kata lain, sertifikat tidak secara otomatis diterima kepada para lulusan suatu program studi. Lisensi diberikan dan berlaku untuk jangka waktu 5 tahun, setelah itu pemegang lisensi harus dites kembali kompetensinya untuk mendapatkan perpanjangan lisensinya.

Penutup

Demikian beberapa pemikiran yang dapat saya sampaikan dalam pertemuan ini, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua dan memberi konstribusi bagi perkembangan profesi pengembang kurikulum dan teknolog pendidikan. Semoga Allah memberi kemudahan atas semua pekerjaan kita, dan memberkahi-Nya. Amin.

MENIMBANG BHP UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN TINGGI

A. Pendahuluan

TERMAKTUBNYA badan hukum pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan dalam Pasal 53 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa implikasi pro dan kontra di kalangan pemerhati dan pelaku pendidikan di tanah air.
Kebijakan pemerintah untuk menyeragamkan bentuk hukum penyelenggara pendidikan dimaksudkan agar pendidikan tidak dijadikan ladang usaha dan bisnis untuk memperoleh keuntungan yang besar. Sebaliknya penyelenggaraan pendidikan haruslah turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Menjadi pertanyaan, apakah kebijakan tersebut merupakan solusi yang efektif dalam dunia pendidikan?
Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) memang belum ditetapkan. Akan tetapi, sebagian masyarakat yang telah membaca draft RUU tersebut menjadi pesimistis bahwa pembentukan BHP sebagai pelaksana dan penyelenggara pendidikan menjadi jalan keluar yang efektif dan komprehensif untuk memperbaiki mutu dan kualitas pendidikan nasional, mengingat dunia pendidikan kini sudah pada puncak kemerosotannya.
Di dalam Pasal 2 draf RUU BHP memang disebutkan bahwa satuan pendidikan tinggi yang didirikan pemerintah atau masyarakat berbentuk BHP sedangkan satuan pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat dapat berbentuk badan hukum pendidikan.
Kata dapat sengaja dicetak miring untuk menegaskan bahwa memang yang wajib berbentuk badan hukum pendidikan adalah satuan pendidikan tinggi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pendidikan sehingga terwujud kemandirian serta otonomi pada pendidikan tinggi yang pada akhirnya berkembang kreativitas, inovasi, mutu, fleksibilitas dan mobilitas.
Dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat, yang berbunyi: “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Selain itu, Ayat (4) pasal tersebut menyatakan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”.
Dibukanya kesempatan masyarakat umum untuk turut serta menyelenggarakan pendidikan memang membawa konsekuensi positif dan negatif. Pengaturan yang membatasi privatisasi dan komersialisasi pendidikan sudah sepatutnya menjadi fokus perhatian kita semua.

B. Persoalan Pendidikan Tinggi

Di perguruan tinggi, konsep otonomi sebenarnya sudah berjalan kurang lebih enam tahun seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Pemikiran akan perlunya otonomi inilah yang melahirkan RUU BHP, yang saat ini masih menunggu untuk disahkan, sebagai konsekuensi diberlakukannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena Pasal 53 mengamanatkan dibentuknya badan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan.
Suasana kemandirian dan otonomi dalam pendidikan sekilas memang berpotensi besar menciptakan pendidikan dengan kualitas, kredibilitas, efisiensi, dan profesionalisme yang bagus. Pihak penyelenggara pendidikan bisa bebas sesuai dengan kreativitasnya memajukan pendidikan yang dijalankan berdasarkan pemetaan dan strategi yang telah dirancang. Penyelenggara pendidikan pun tidak perlu terhambat akan adanya jeratan birokrasi yang berbelit-belit seperti yang terjadi selama ini.
Namun, adanya konsep otonomi, secara makro, mengesankan upaya terselubung pemerintah untuk menghindari tanggung jawab penyisihan dana APBN sebesar 20 persen bagi pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi. Masalahnya adalah kemandirian institusi pendidikan yang dibuat pemerintah juga sampai pada adanya kemandirian dari segi pendanaan. Institusi pendidikan harus memutar otak untuk bisa membiayai jalannya aktivitas pendidikan secara independen.
Konsep BHP secara mudah bisa diidentikkan dengan sebuah korporasi dalam dunia bisnis, yang menyebabkan komersialisasi pelayanan pendidikan. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan mengubah nuansa akademik secara langsung ataupun tidak langsung. Konsep akademis dan bisnis menjadi “dua sahabat” baru yang selalu bergandengan tangan kemanapun mereka pergi.
Padahal, secara falsafah dunia pendidikan harus terpisah dari bisnis. Selain bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang ”competence” dan ”skill” yang tangguh terhadap suatu disiplin ilmu, pendidikan juga bertujuan mencetak pribadi-pribadi yang bertakwa, berkepribadian handal, dan memiliki moral dan akhlak yang baik. Sisi inilah yang mesti diperhatikan dengan seksama, terutama jika dikaitkan dengan dunia bisnis yang identik dengan dunia kepentingan. Hal lain lagi yang ditakutkan adalah jika ”bisnis” ini berkembang dengan pesat, bisa jadi perguruan tinggi atau institusi pendidikan akan menjadi ”pesaing baru” masyarakat menjadi pelaku usaha bisnis.
Masalah lain yang perlu dicermati adalah apakah pihak penyelenggara pendidikan dengan menjalankan ”usaha bisnisnya,” benar-benar bisa menghidupi semua aktivitas universitas yang begitu banyak. Mungkin bagi institusi yang punya manajemen yang sangat bagus, dan benar-benar berhasil, perkara ini tidak menjadi masalah, namun bagaimana dengan institusi yang ”usaha bisnisnya” tidak berjalan dengan baik, atau hanya dengan mengandalkan”usaha bisnis” saja tidak mencukupi?
Di kebanyakan negara, University Cooperation sebagai koperasi yang biasa melakukan usaha bisnis di lingkungan universitas memang memegang peran dalam menghidupi aktivitas universitas, namun sedikit sekali atau bahkan tidak ada perguruan tinggi negeri di negara maju yang menggantungkan sumber dana untuk menghidupkan aktivitasnya hanya dari usaha bisnis semata.
Konsekwensinya, uang masuk dan uang sumbangan pendidikan yang tinggi harus dipikul mahasiswa. Penerimaan mahasiswa jalur “patas” menjadi pilihan banyak universitas. Fakta menunjukkan, meskipun pemerintah memberikan subsidi sekitar 40% untuk perguruan tinggi, biaya pendidikan tinggi masih mahal. Lalu apa jadinya jika subsidi itu tidak ada dan pihak perguruan tinggi sedikit mendapat pemasukan?
Pendanaan yang minim dianggap sebagai sumber utama terpuruknya pendidikan nasional. Berbagai masalah akut, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, ditengarai disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Hal inilah yang selalu didengung-dengungkan ketika ada kritikan tentang dunia pendidikan kita. Kelak, tidak ada lagi perbedaan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Seperti tertuang dalam lembar penjelasan atas RUU BHP tersebut, lembaga pendidikan diharapkan kemampuannya secara mandiri dan bertanggung jawab memanfaatkan sumber daya pendidikan. Hal tersebut dimaksudkan untuk melaksanakan proses pembelajaran yang menghasilkan keluaran bermutu.
Rencana pemerintah membuat Badan Hukum Pendidikan (BHP) menuai reaksi keras dari masyarakat. Pelik permasalahan mulai dari prinsip-prinsip usaha, independensi, bentuk dan fungsi kelembagaan, dan yang paling menonjol, akses komersialisasi, kerap ditakutkan akan menjadikan pendidikan bangsa ini semakin terpuruk.
Di sisi lain, BHP dimaksudkan agar mampu meningkatkan kualitas, kredibilitas, efisiensi dan profesionalisme pendidikan, seiring dengan otonomi yang diberikan kepada pihak penyelenggara atau satuan pendidikan. Apakah BHP mampu memajukan pendidikan bangsa ini atau sebaliknya?
Dalam konteks BHP kelak menjadi lembaga nirlaba – juga berarti BHP sebagai legal entity yang berbadan hukum, lebih mengutamakan upaya peningkatan mutu daripada mencari keuntungan. Jika ada hasil usaha, maka dana itu diinvestasikan untuk upaya peningkatan mutu dan tidak akan dikenai pajak. Sementara pengelolaan secara korporatif, dimaksudkan sebagai upaya mendorong kemandirian lembaga pendidikan. Prinsip kemandirian sebagai entitas legal, BHP dapat bertindak sebagai subjek hukum mandiri.
Dengan demikian, BHP dapat mengikatkan diri melalui perjanjian dengan pihak lain yang berkonsekuensi kepada kekayaan, hak, utang atau kewajiban. BHP harus pula membukakan kekayaan utang dan hasil operasinya dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku. Mereka juga harus siap diaudit oleh lembaga independen atau akuntan publik atas biaya sendiri. Namun, model yang ada dalam RUU BHP mempersempit ruang bagi seluruh warga negara untuk mengenyam layanan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Ketidakjelasan sikap pemerintah, meski Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan agar sektor pendidikan diberi anggaran minimal 20 persen dari total APBN dan APBD, pemerintah tak kunjung mematuhinya. Justru yang dilakukan sebaliknya, mendorong agar Rancangan Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan secepatnya disahkan. RUU tersebut akan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan.
Sikap pemerintah tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, pengeluaran pendidikan masih dilihat dari perspektif biaya. Dalam ekonomi, biaya atau sering kali disebut beban adalah penurunan dalam modal pemilik yang biasanya melalui pengeluaran uang atau penggunaan aktiva. Karena itu, sesuai dengan prinsip ekonomi, semua biaya harus dipangkas atau sedapat mungkin ditekan. Penempatan pendidikan dalam perspektif biaya disebabkan oleh tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang menjadi kewajibannya atau malah pemerintah tidak mengetahui pentingnya pendidikan. Jika dua asumsi tersebut benar, upaya untuk terus meneriakkan bahkan memaksa pemerintah agar sadar dan mau menjalankan kewajibannya merupakan langkah penting. Kedua, belum ada program yang jelas.
Proses penganggaran tidak hanya berkaitan dengan uang, tapi juga dengan apa yang akan dilakukan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentu saja, apabila pemerintah memiliki rencana mengenai pendidikan, disediakan dana untuk mendukung rencana tersebut. Kemungkinan lain, bisa saja pemerintah telah memiliki rencana (program) tapi tidak membutuhkan dana yang besar. Tanpa menyediakan anggaran minimal 20 persen dari total APBN/APBD seperti amanat UUD 1945, program sudah bisa dijalankan. Mengenai program pendidikan, memang hanya pemerintah yang mengetahuinya. Hal tersebut tergambar dalam mekanisme penganggaran keuangan Departemen Pendidikan. Jelas terlihat, dari penentuan dan penjabaran kebijakan hingga monitoring dibuat sangat sentralistis. Jika demikian kondisinya, memaksa pemerintah menyediakan anggaran besar tidak membawa dampak apa pun bagi peningkatan mutu pendidikan. Sebab, masalahnya bukan pada kekurangan dana, melainkan pemerintah tidak mengetahui apa yang akan dilakukan. Apabila ini tetap dipaksakan, bukan tidak mungkin dana yang melimpah akan habis di korupsi.
Kewajiban pemerintah? Sesuai bunyi Pasal 31 UUD 1945 Ayat 1, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan Pasal 31 Ayat 2 yang berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Artinya pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia secara cuma-cuma bagi semua orang. Ini berarti, pemerintah memiliki kewajiban penuh memikul seluruh beban biaya pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun kenyataannya adalah sampai saat ini warga negara (rakyat) masih saja dibebani dengan biaya pendidikan yang sangat tinggi. Dalam UU Sisdiknas pasal 9 meminta masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Walaupun dengan dalih sebagai sumbangan sukarela, namun kenyataannya adalah masyarakat memang diwajibkan untuk membayar biaya pendidikan yang seharusnya gratis. Demikian juga dengan RUU BHP yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika RUU BHP disahkan, setiap SD-SLTA negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP. Konsep BHP sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah “peran serta masyarakat” itu cenderung disalahartikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha.

C. BHP: privatisasi atau kapitalisasi


Istilah privatisasi pasti kental dengan pendekatan modal. Sebagai pranata yang lekat dengan kepentingan publik, tidaklah pantas lembaga pendidikan berhitung-hitung dengan modal seperti layaknya lembaga bisnis. Sama halnya dengan layanan kesehatan, sektor pendidikan pun hendaknya dianggap sebagai hak dasar bagi setiap warga negara di mana pemerintah wajib memenuhinya. Jika model pelayanan di sektor tersebut sudah terjerumus pada privatisasi, taruhannya adalah pada generasi penerus bangsa. Privatisasi itu memang berangkat dari konsep liberalisme dan kapitalisme, di mana model pelayanan sudah membidik segmen tertentu demi perputaran modal. Konsekuensi logis dari privatisasi saat ini perguruan tinggi seakan berlomba membuka program baru atau menjalankan strategi penjaringan mahasiswa baru untuk mendatangkan dana. Saat ini saja perguruan tinggi negeri (PTN) sudah berlomba-lomba membuka program studi baru, seperti diploma dan ekstensi, yang bisa “membunuh” keberadaan perguruan tinggi swasta.
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu, negaralah yang seharusnya mengelola bidang pendidikan, baik pembiayaan maupun kurikulumnya. Karena, baik/buruknya pendidikan akan berdampak langsung bagi baik/buruknya suatu negara. Paradigma baru dalam bidang pendidikan tersebut, seperti sebuah gagasan yang mulia. Akan tetapi, dampak yang nampak saat ini adalah privatisasi dan komersialisasi pendidikan.
Privatisasi pendidikan tentu saja akan melepaskan negara dari tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya akan pendidikan. Dampak yang langsung terlihat adalah berkurangnya subsidi pendidikan, sehingga biaya pendidikan akan semakin mahal. Dengan kondisi ini, maka tidak menutup kemungkinan pendidikan (tinggi) hanya menjadi sebuah khayalan bagi sebagian besar warga negara negeri ini sebagaimana di jaman kolonial Belanda dulu. Akibatnya, persentase rakyat yang bodoh semakin tinggi.
Konsep subsidi silang dalam dunia pendidikan, yaitu pemberian beasiswa bagi golongan tidak mampu yang diambil dari biaya pendidikan dari golongan kaya, tidak akan efektif. Hal ini karena jumlah golongan tidak mampu lebih banyak daripada golongan mampu. Di samping itu juga harus diperhatikan dampak psikis yang mungkin akan muncul, jika biaya pendidikan golongan tidak mampu menjadi beban bagi golongan mampu. Oleh karena itu, menjadikan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat adalah lebih bijak.
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah tidak bisa dielakkannya praktik komersialisasi pendidikan. Ilmu pengetahuan layaknya sebuah komoditas perdagangan. Istilah Dirjen Dikti bahwa “The distinction between knowledge and commodity has narrowed”. Pendapat ini tidak jauh dari tafsiran “jika ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka harus rela membayar mahal”. Akibatnya, konsep ’mengamalkan’ ilmu lebih karena dorongan materi daripada untuk ’ibadah’, yaitu untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kuliah. Di sisi lain, hubungan peserta didik/mahasiswa dengan guru/dosen yang diibaratkan seperti anak dan orang tua akan luntur. Hal ini karena mereka merasa telah membayar mahal dan harus mendapatkan pelayanan terbaik. Tuntutan lebih diakibatkan karena dorongan materialisme. Sebagaimana dalam dunia perdagangan, konsumen adalah raja. Tidak menutup kemungkinan, kondisi ini akan merubah norma yang selama ini kita yakini, bahwa guru adalah orang tua kedua yang juga harus kita hormati.
Privatisasi membuat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, berlomba-lomba mencari mahasiswa baru sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan dana. Hal ini bisa menyebabkan perubahan yang negatif pada hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang diharapkan dapat melepaskan bangsa ini dari belenggu kebodohan dan keterbelakangan dapat menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Peserta didik dari keluarga miskin tidak akan mampu membayar biaya kuliah di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang mahal. Alhasil, apabila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mereka terpaksa mencari universitas “ecek-ecek”. Dampak nyata dari kebijakan privatisasi PTN adalah merosotnya mutu pendidikan tinggi negeri karena dasar penerimaan mahasiswa baru tidak murni tes, tetapi tawar menawar modal yang disetorkan. Lama-kelamaan PTN-PTN terkemuka dihuni orang-orang di bawah standar, tetapi mampu membayar sumbangan besar. Hal itu akan kian memarjinalkan kaum miskin dari akses pendidikan tinggi yang bermutu.
BHP adalah upaya pengalihan tanggungjawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika RUU ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah terlanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar.
Akibat industrialisasi, hubungan tidak linear antara PT dan sektor ekonomi disebabkan oleh pergeseran paradigma penyelenggaraan PT sebagai akibat langsung industrialisasi modern pasca-Perang Dunia II. Para pakar ekonomi sosial, seperti Castells (2000), Callinicos (1999), dan Rifkin (2000), mencatat, semangat membangun kembali setelah perang melalui industrialisasi modern menumbuhkan tuntutan pragmatis masyarakat atas peran PT. Pola pengelolaan modal industri membentuk persepsi masyarakat bahwa investasi ekonomi dalam bidang pendidikan juga harus kembali dalam bentuk profit ekonomi. Akibatnya, tolok ukur masyarakat atas keberhasilan pendidikan adalah kerja yang mengembalikan investasi. Dewasa ini penyelenggaraan PT dijauhkan dari diskursus perubahan sosial (Giroux, 2001) dan lebih terfokus melayani secara pragmatis kebutuhan perkembangan ekonomi. Ini membuat pengelola PT tak konsisten. Dampak lebih buruk dari privatisasi PTN adalah hilangnya solidaritas sosial di masa datang. Apabila seseorang masuk fakultas kedokteran dengan membayar Rp 250 juta, bahkan Rp 1 miliar, apa motivasi mereka setelah lulus? Pasti mencari uang agar modal mereka untuk kuliah cepat kembali. Maka seharusnya ada peninjauan kembali terhadap RUU BHP sehingga perguruan tinggi, khususnya PTN, menjalankan fungsinya sebagai kampus kerakyatan yang dapat diakses orang miskin. Karena jelas ketika kita bercermin pada pengalaman di empat PTN terkemuka yang proses privatisasinya merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat. Perlu ada suatu pemikiran untuk membangun dan mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat, tetapi berkualitas. Pendidikan tinggi berbasis masyarakat ini diharapkan dapat menjadi satu pilihan yang tepat bagi calon peserta didik yang tak mampu dan tak sanggup membayar uang masuk yang mahal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, diperlukan pengawasan dari berbagai pihak agar pengelolaan pendidikan tinggi ini tidak lepas kendali sehingga mengarah ke komersialisasi pendidikan.

D. Solusi Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi

Peranan perguruan tinggi (PT) sangat dominan karena paling diharapkan oleh masyarakat menjadi motor perubahan. Inovasi teknologi seharusnya datang dari institusi itu, namun sampai saat ini kita menyadari bahwa PT di Indonesia belum mampu diharapkan. Apalagi sebagai motor perubahan, untuk mengejar perubahan pun masih terlalu berat.
Perguruan Tinggi masih banyak dihadapkan pada masalah internal terutama yang berkaitan dengan kualitas, relevansi, kapasitas, budaya akademik dan manajemen pendidikan. Diperparah lagi dengan kendala dana dan rigiditas penggunaannya. Dinamika perubahan eksternal ternyata lebih banyak menimbulkan kendala bagi pendidikan tinggi daripada peluang.
Perubahan perundang-undangan baik yang secara langsung berkaitan dengan sistem pendidikan maupun yang tidak langsung mempengaruhi kinerja. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional seharusnya memberikan peluang yang sangat luas bagi kebebasan akademik dan pengembangan profesionalisme sumber daya manusia (SDM). Namun kendala utama adalah pada SDM, budaya akademik dan keterbatasan dana.
Sebagaimana institusi pemerintah yang lain, PT negeri dalam pengelolaan keuangannya harus mengikuti sistem pengelolaan keuangan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2002. Berdasarkan sistem pengelolaan keuangan, yang walaupun tujuannya sangat baik, yaitu dalam rangka transparansi pengelolaan, menimbulkan kesulitan yang sangat berarti bagi pendidikan tinggi. Hal itu karena sering tidak match dengan kegiatan operasional pendidikan tinggi yang memerlukan sistem pengelolaan keuangan yang lebih fleksibel.
Oleh karenanya diperlukan suatu sistem pengelolaan yang mampu menjamin fleksibilitas perguruan tinggi, agar perguruan tinggi mampu menghadapi perubahan lingkungan eksternal yang sangat dinamis dan cenderung turbelensi.
Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHP) menawarkan solusi akan fleksibilitas tersebut. Apabila PT sudah menjadi badan hukum, maka perguruan tinggi diberi wewenang untuk menggali sumber- sumber dana secara lebih fleksibel, demikian juga penggunaannya. Banyak pihak yang mengartikan BHP dengan kemandirian dalam arti sempit. Banyak orang mengartikan dengan BHP, perguruan tinggi harus mampu self financing.
Seluruh lembaga yang ada di PT tersebut diarahkan untuk mampu menghasilkan uang untuk pengembangan institusi. Sering diartikan juga bahwa setelah BHP, pemerintah tidak lagi banyak memberikan subsidi lagi sehingga dikhawatirkan akan meningkatkan beban SPP mahasiswa. Sebetulnya hal tersebut tidak seluruhnya benar. Jadi walaupun PT sudah menyatakan menjadi BHP, subsidi pemerintah tetap akan diberikan.
Bahkan untuk dunia pendidikan sesuai dengan amanat UUD, anggaran pendidikan secara bertahap akan naik sampai 20 % dari APBN. Demikian juga untuk Pemerintah Daerah, nantinya juga secara bertahap akan ada alokasi APBD untuk dunia pendidikan sampai 20 %. Pertanyaannya adalah mengapa Banyak Perguruan Tinggi yang seolah-olah menunda untuk menjadi BHP.
Beberapa hal memang harus dipertimbangkan secara masak apabila kita akan BHP. Terutama yang berkaitan dengan masalah SDM dan kultur akademik. Karena dalam BHP ada perubahan yang sangat mendasar yang harus diterima oleh komponen-komponen stake – holder dari PT. Misalnya nanti akan ada Wali Amanah yang mempunyai kewenanganan untuk merumuskan arah kebijakan yang selama ini diambil oleh Senat . Oleh karena itu nantinya tidak semua Guru Besar otomatis menjadi Senat Akademik Perguruan Tinggi.
Apabila sudah menjadi BHP, diperlukan juga kesiapan untuk menerima orang luar sebagai pengelola. Kesiapan unit-unit (baik fakultas maupun unit-lain di lingkungan uiversitas) untuk responsif terhadap dinamika pasar. Hal ini mengingat keterbatasan kemampuan uiversitas untuk melakukan subsidi silang.
BHP juga memerlukan kesiapan lembaga (walaupun tidak seluruhnya) untuk tidak selalu menjadi cost centre.Kalau bisa justru menjadi profit centre. Persiapan inilah terutama yang harus dilakukan agar PT dapat menjadi BHP secara baik.
Di samping itu ada persyaratan-persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya, misalnya persyaratan administrasi, harus mampu melakukan identifikasi aset yang dimiliki dan sebagainya. Kontroversi dan perdebatan tentang rencana perubahan kelembagaan universitas atau pendidikan tinggi umumnya menjadi badan hukum pendidikan (BHP) masih berlanjut. Dalam beberapa tahun terakhir ini, memang sebuah rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan kelembagaan universitas menjadi BHP telah dirumuskan dan dibahas di kalangan perguruan tinggi, maupun kalangan lainnya, khususnya DPR. Tetapi, tampaknya, kian dikaji kian meningkat pula kontroversi tersebut.
Kalangan penentang RUU BHP mencemaskan perubahan perguruan tinggi menjadi BHP sebagai kecenderungan lebih lanjut dari komodifikasi dan komersialisasi pendidikan. Kecemasan yang berlanjut menjadi penentangan terhadap konsep BHP itu pada dasarnya bersumber dari pengamatan kalangan publik atas pengalaman beberapa universitas negeri yang sejak tahun 2000 berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Kini ada tujuh perguruan tinggi negeri yang telah menjadi BHMN: UI, ITB, UGM, IPB, UPI, USU, dan terakhir Universitas Airlangga.
Meski niat dan tujuan perubahan universitas negeri tersebut menjadi BHMN, antara lain, adalah untuk membuat mereka menjadi lebih otonom dalam berbagai aspek pengelolaannya, tetapi apa yang dilihat publik adalah kian meningkatnya berbagai pembiayaan untuk belajar di perguruan tinggi negeri BHMN, khususnya. Karena itulah, banyak kalangan publik melihat bahwa perubahan tersebut tidak lain hanyalah komodifikasi dan komersialisasi pendidikan tinggi, khususnya yang diselenggarakan negara melalui perguruan tinggi negeri.
Kecenderungan pendidikan tinggi menjadi sebuah komoditas yang mencakup proses komersialisasi dan bahkan ‘marketization’ pada dasarnya bertentangan dengan gagasan, wacana, dan konsep tentang pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai sebuah public good, kebajikan publik. Pendidikan tinggi khususnya dalam konteks sebagai sebuah public good memang bertugas bukan hanya untuk melaksanakan proses transfer dan transmisi ilmu pengetahuan dan keahlian, tetapi juga membentuk kepribadian dan watak anak didik dan bangsa.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, sebagai public good bisa terlihat antara lain dari tujuan pendidikan itu sendiri. Misalnya, pendidikan Indonesia bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan guna mencapai tingkat dan harkat kehidupan lebih baik. Lebih jauh, pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan semangat patriotisme dan kebangsaan, cinta Tanah Air, solidaritas sosial, dan orientasi masa depan. Begitu luhur dan mulianya; pendidikan sebagai public good tidak hanya bermanfaat bagi individu-individu, tetapi juga bagi masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.
Universitas di Tanah Air sebagai public good terlihat dari tugas pokoknya yaitu menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, sehingga para lulusannya dapat menjadi SDM yang unggul. Dan universitas lebih-lebih lagi menjadi public good ketika ia juga diharapkan menjadi kekuatan moral dalam mendukung pembangunan nasional.
Karena itu, sebagai public good semestinyalah pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, menjadi tanggung jawab negara, tidak hanya dari segi kurikulum, tetapi juga dalam pembiayaannya. Masih dalam kerangka berpikir itu, negara seharusnya tidak membiarkan public good menjadi komoditas, dan melepaskannya kepada hukum pasar yang cenderung membuatnya menjadi entitas swasta (private entity) belaka. Proses-proses ini tidak lain hanya membawa pendidikan tinggi ke arah marketization dan komodifikasi.
Inilah keprihatinan publik. Dan, keprihatinan tersebut tidak hanya berkembang di Indonesia, tapi juga di hampir seluruh kawasan dunia. Gejala transisi pendidikan tinggi sebagai public good menjadi private entity yang melibatkan proses marketization dan komodifikasi juga telah lebih dahulu dan kini sedang dan terus berlangsung semakin lebih intens di berbagai penjuru dunia.
Dalam Senior Seminar yang diselenggarakan East-West Center, Honolulu, Hawaii, pada 6-11 September 2006. Senior Seminar yang bertajuk ”The Tension between Education as a Public Good and Education as a Private Commodity” merupakan bagian dari The International Forum for Education 2020 East-West Center, untuk mengantisipasi perkembangan pendidikan dalam beberapa dasawarsa mendatang. Pengalaman pendidikan tinggi Indonesia dalam transisi seperti itu, kompleksitas dalam dinamika pendidikan tinggi di berbagai tempat di muka bumi ini. Di tengah kompleksitas itu, satu hal kelihatannya sulit dielakkan; universitas tetap mengemban amanah sebagai public good. Universitas boleh saja menjadi milik pemerintah maupun swasta, tetapi misi dan tujuannya untuk mencapai public good tidak dikorbankan begitu saja. Dalam konteks terakhir ini, maka diperlukan pemikiran dan langkah terobosan di mana perubahan kelembagaan yang terjadi, misalnya menjadi BHMN atau BHP, tidak merugikan tugas mulia universitas sebagai sebuah public good.

E. Penutup

Dengan berkaca dari berbagai pembahasan di atas, maka konsep Badan Hukum Milik Negara (BHP) untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
Pertama, bahwa RUU BHP hanyalah penyempurnaan dari pelaksanaan konsep PP no.60 dan 61 tahun 1999 soal BHMN. Dalam konsep ini di perkenalkan soal otonomi pendidikan yang diharapkan lembaga pendidikan lebih otonom dalam menggali dana dan lepas dari beban anggaran pemerintah. Sebenarnya konsep otonomi kampus bagi pemerintah itu hanyalah satu aspek yakni pembiayaan (anggaran), tapi dalam aspek lain semisal kurikulum, kebebasan berekspresi, dan lain-lain, pemerintah masih mengintervensi. Karena tanggung jawab negara di hilangkan (baca; subsidi pendidikan) maka kampus/lembaga pendidikan harus menggali dana sendiri dari masyarakat. Bagaimana bentuk penggalian dana tersebut; (1). Dengan mengundang swasta, dalam hal ini korporasi karena merekalah yang punya anggaran. (2). Dengan jalan menaikkan biaya pendidikan karena lembaga pendidikan belum sanggup melakukan diversifikasi penggalian anggaran selain itu.
Kedua dalam Pasal 3 Ayat 4. Pasal 3 Ayat 4 RUU BHP sangat jelas bahwa semangat utama dari UU ini adalah swastanisasi pendidikan (baca;komersialisasi) karena negara dihapuskan tanggung jawabnya dan selanjutnya diserahkan dalam mekanisme pasar. Posisi yayasan dalam lembaga BHP akan di lebur dengan badan yang disebut Majelis Wali Amanat (WMA), didalamnya adalah perwakilan anggota masyarakat (funding).
Ketiga Mutu pendidikan akan sangat buruk karena orientasi pendidikan adalah labour market, sehingga jurusan, study, dan spesialisasi keilmuan sekedar disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Ini semakin meneguhkan pendapat bahwa pendidikan hanya mencetak orang untuk menjadi robot perusahaan industrialis. Di kampus-kampus yang sudah menjalankan konsep BHP, didirikan lembaga yang bernama University Research, yang hak paten penemuannya akan di beli oleh korporasi.

OPTIMALISASI TUGAS PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

oleh: Drs. Khaerudin, M.Pd.

Pendahuluan

Telah banyak laporan baik yang disampaikan oleh lembaga dalam negeri maupun luar negeri, yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan kita rendah, bahkan sangat rendah. Laporan tersebut jelas, sangat memprihatinkan kita semua, terutama kita yang bergelut dalam dunia pendidikan. Laporan itu juga menunjukkan kepada kita akan kegagalan proses pendidikan yang kita laksanakan selama ini. Pertanyaannya adalah apa yang salah dalam sistem pendidikan kita? Lebih khusus adalah apa yang salah dalam pembelajaran di kelas? Jawaban atas pertanyaan ini patut kita temukan melalui suatu analisis yang mendalam dan komprehensif; tanpa harus saling menyalahkan dan merasa pihaknya yang paling benar dan telah melaksanakan tugas dengan baik.
Analisis terhadap sistem pendidikan dengan menggunakan pendekatan sistem adalah salah satu cara yang mungkin kita lakukan untuk menemukan kelemahan yang terjadi dalam sistem pendidikan kita. Apabila kita amati pendidikan sebagai suatu sistem, maka pada dasarnya pendidikan itu terdiri dari banyak komponen yang saling terkait, saling bergantung, dan saling mempengaruhi, sehingga apabila ada salah satu komponen yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka proses kerja sistem secara keseluruhan akan terganggu. Artinya adalah apabila hasil dari pendidikan kita tidak seperti yang kita harapkan, terpuruk, dan berkualitas rendah, maka berarti ada diantara komponen pendidikan kita yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Komponen-komponen yang yang dimaksud diantaranya adalah pendidik (guru) dan tenaga kependidikan, siswa, orang tua, masyarakat, sarana dan prasarana, materi (kurikulum), sistem evaluasi, dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Idealnya setiap komponen tersebut dianalisis dan dievaluasi, seberapa jauh masing-masing komponen tersebut telah berfungsi sesuai tugas dan fungsinya. Salah satu komponen yang patut kita telusuri akan kekuatan dan kelemahannya adalah komponen pendidik dan tenaga kependidikan. Penulis tertarik membicarakan komponen ini, karena pendidik dan tenaga kependidikan merupakan komponen yang paling vital dan strategis dalam menentukan keberhasilan proses dan hasil pendidikan; Pendidik dan tenaga kependidikan menentukan kualitas proses pembelajaran serta hasil belajar yang dialami oleh siswa. Sebagus dan selengkap apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan, kalau tenaga pendidik dan kependidikannya tidak kompeten maka sarana dan prasarana itu pun tidak akan banyak membantu para siswa dalam melaksanakan proses belajarnya; sebagus apapun konsep dan isi kurikulum yang dikembangkan oleh pemerintah, namun apabila tenaga pendidik dan kependidikannya tidak mampu mengimplementasikannya dengan baik, maka kurikulum itupun tidak akan berdampak apa-apa pada siswa; pengalaman belajar yang diharapkan dimiliki siswa pun akan menjadi sangat lemah. Intinya adalah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan hendaknya berangkat dari perbaikan dan peningkatan kualitas dan kompetensi para pendidik dan tenaga kependidikan agar mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, yaitu melaksanakan proses pembelajaran yang kondusif dan efektif.

Peran dan Tugas Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pendidik dan tenaga kependidikan adalah dua “profesi” yang sangat berkaitan erat dengan dunia pendidikan, sekalipun lingkup keduanya berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pengertian keduanya yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sementara Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dari definisi di atas jelas bahwa tenaga kependidikan memiliki lingkup “profesi” yang lebih luas, yang juga mencakup di dalamnya tenaga pendidik. Pustakawan, staf administrasi, staf pusat sumber belajar. Kepala sekolah adalah diantara kelompok “profesi” yang masuk dalam kategori sebagai tenaga kependidikan. Sementara mereka yang disebut pendidik adalah orang-orang yang dalam melaksanakan tugasnya akan berhadapan dan berinteraksi langsung dengan para peserta didiknya dalam suatu proses yang sistematis, terencana, dan bertujuan. Penggunaan istilah dalam kelompok pendidik tentu disesuaikan dengan lingkup lingkungan tempat tugasnya masing-masing. Guru dan dosen, misalnya, adalah sebutan tenaga pendidik yang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi.
Hubungan antara pendidik dan tenaga kependidikan dapat digambarkan dalam bentuk spektrum tenaga kependidikan berikut: (Miarso, 1994)

secara langsung guru akan berhadapan dengan para peserta didik, namun ia tetap memerlukan dukungan dari para tenaga kependidikan lainnya, sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Karena pendidik akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya apabila berada dalam konteks yang hampa, tidak ada aturan yang jelas, tidak didukung sarana prasarana yang memadai, tidak dilengkapi dengan pelayanan dan sarana perpustakaan serta sumber belajar lain yang mendukung. Karena itulah pendidik dan tenaga kependidikan memiliki peran dan posisi yang sama penting dalam konteks penyelenggaraan pendidikan (pembelajaran). Karena itu pula, pada dasarnya baik pendidik maupun tenaga kependidikan memiliki peran dan tugas yang sama yaitu melaksanakan berbagai aktivitas yang berujung pada terciptanya kemudahan dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Hal ini telah dipertegas dalam Pasal 39 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang menyatakan bahwa (1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan, dan (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Mencermati tugas yang digariskan oleh Undang-undang di atas khususnya untuk pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan sekolah, jelas bahwa ujung dari pelaksaan tugas adalah terjadinya suatu proses pembelajaran yang berhasil. Segala aktifitas yang dilakukan oleh para pendidik dan tenaga kependidikan harus mengarah pada keberhasilan pembelajaran yang dialami oleh para peserta didiknya. Berbagai bentuk pelayanan administrasi yang dilakukan oleh para administratur dilaksanakan dalam rangka menunjang kelancaran proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru; proses pengelolaan dan pengembangan serta pelayanan-pelayanan teknis lainnya yang dilakukan oleh para manajer sekolah juga harus mendorong terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas dan efektif. Lebih lagi para pendidik (guru), mereka harus mampu merancang dan melaksanakan proses pembelajaran dengan melibatkan berbagai komponen yang akan terlibat dalamnya. Sungguh suatu tugas yang sangat berat.
Ruang lingkup tugas yang luas menuntut para pendidik dan tenaga kependidikan untuk mampu melaksanakan aktifitasnya secara sistematis dan sistemik. Karena itu tidak heran kalau ada tuntutan akan kompetensi yang jelas dan tegas yang dipersyaratkan bagi para pendidik, semata-mata agar mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik jelas telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (1), (4), dan (5) PP No. 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Karakteristik Teknologi Pembelajaran


Apa yang dapat dilakukan dan disumbangkan oleh disiplin ilmu teknologi pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia? Pertanyaan mendasar ini patut direspon secara cermat dan tuntas. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan di atas dapat kita lakukan melalui kajian yang komprehensif apa itu teknologi pembelajaran.
Teknologi pembelajaran didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber untuk belajar. Definisi ini menunjukkan kepada kita bahwa bidang teknologi pembelajaran memokuskan kajiannya pada bidang-bidang disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian berbagai proses dan sumber yang diperlukan peserta didik untuk belajar. Masing-masing bidang kajian sekaligus menjadi kawasan teknologi pembelajaran yang mengandung kerangka pengetahuan yang didasarkan pada hasil penelitian dan pengalaman. Karena itulah pengkajian dalam setiap kawasan dilakukan secara teori dan praktek.
Masing-masing kawasan memiliki fokus studi yang lebih dalam dan rinci. Kawasan disain, misalnya, meliputi studi tentang disain sistem pembelajaran, disain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik pebelajar. Kawasan pengembangan dikategorikan ke dalam empat kategori, yaitu teknologi cetak, teknologi audio visual, teknologi berbasis komputer, dan teknologi terpadu. Kawasan pemanfaatan juga dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu pemanfaatan media, difusi inovasi, implementasi dan pelembagaan, dan kebijakan dan regulasi. Sama halnya dengan kawasan-kawasan sebelumnya, kawasan pengelolaan juga dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu pengelolaan proyek, pengelolaan sumber, pengelolaan sistem penyampaian, dan pengelolaan informasi. Demikian juga dengan kawasan penilaian dibagi menjadi empat kategori, yaitu analisis masalah, pengukuran beracuan patokan, penilaian formatif, dan penilaian sumatif.
Konsep teknologi pembelajaran juga dapat dilihat dari dua dimensi lain, yaitu pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, dan sebagai suatu pendekatan yang komprehensif dan terpadu dalam memecahkan masalah belajar. Pada dimensi yang pertama suatu pembelajaran dikatakan telah menggunakan teknologi pembelajaran apabila di dalamnya telah dimanfaatkan berbagai teknologi, baik itu teknologi sederhana (konvensional) maupun teknologi tinggi (komunikasi dan informasi). Sementara itu bila teknologi pembelajaran dipandang sebagaimana dimensi kedua, maka teknologi pembelajaran akan dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai masalah belajar anak dengan “memanipulasi” berbagai faktor eksternal (external intervention) secara komprehensif dan terpadu. Proses yang dilakukan mencakup kegiatan pengelolaan (personil dan organisasi), pengembangan (konsep dan teori berdasarkan riset), dan pengembangan sistem pembelajaran.
Kegiatan pengelolaan berfungsi mengatur agar peran dan fungsi organisasi dapat berjalan dengan baik, karena dilakukan oleh para personil yang tahu akan tugas dan tanggung jawabnya. Melalui pengelolaan organisasi dan personil yang baik akan terjadi proses belajar dan pembelajaran yang kondusif, sehingga siswa dapat melaksanakan kegiatan belajarnya dengan baik. Aspek pengembangan berfungsi mengembangkan berbagai konsep dan teori (melalui riset) yang akan dapat digunakan untuk menganalisis berbagai kesulitan yang dialami oleh siswa dan memberikan solusi atas masalah yang ada; mendisain pembelajaran dan rencana produksinya; mengembangkan evaluasi yang tepat, menrancang logistiknya, dan mengembangkan cara pemanfaatnya serta menyebarluaskannya. Sementara aspek sistem pembelajaran berfungsi mengembangkan sistem pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa belajar, dengan cara mengatur komponen-komponen sistem secara terpadu dan bersistem. Komponen sistem pembelajaran: orang, pesan, bahan, alat, teknik, dan setting (latar).
Mengamati karakteristik teknologi pembelajaran yang sangat konsern terhadap proses dan hasil belajar anak, dan berusaha mengatasi masalah-masalah belajar anak, maka sangat wajar kalau teknologi pembelajaran memiliki potensi yang besar untuk memberi konstribusi bagi keberhasilan pembelajaran yang berlangsung. Hal inipun telah terbukti dari hasil pengkajian empirik di Amerika Serikat yang dilakukan oleh The Commission on Instructional Technology yang menunjukkan potensi teknologi instruksional sebagai berikut:
1. Meningkatkan produktivitas pendidikan
2. Memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual
3. Memberikan dasar pembelajaran yang ilmiah
4. Meningkatkan kemampuan pembelajaran
5. Memungkinkan belajar lebih akrab
6. memungkinkan pemerataan pendidikan yang bermutu.

Peran Teknologi Pembelajaran dalam Mendukung Tugas Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Bila kita cermati peran dan tugas para pendidik dan tenaga kependidikan di atas, yang intinya adalah menciptakan berbagai aktivitas untuk keberhasilan siswa belajar, dan karakteristik teknologi pembelajaran yang memokuskan kajiannya pada disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian proses dan hasil belajar, maka nyata bahwa teknologi pembelajaran akan dapat membantu para pendidik dan tenaga kependidikan melaksanakan tugasnya dengan baik. Di atas dinyatakan bahwa salah satu tugas pendidik (guru) adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran serta menilai hasil belajar. Tugas ini akan dapat dilaksanakan dengan baik dengan memanfaatkan bidang teknologi pembelajaran, khususnya pada kawasan disain, pengembangan, dan penilaian.
Dalam kawasan disain akan dibahas dan dikembangkan berbagai aspek yang diperlukan oleh para pendidik (guru) dalam proses merencanakan pembelajaran. Kemampuan mendisain sistem pembelajaran, pemahaman tentang strategi pembelajaran dan karakteristik pebelajar akan sangat membantu para pendidik dalam membuat perencanaan pembelajarannya. Dengan perencanaan yang baik, maka proses pembelajaran yang akan dilaksanakan akan berjalan dengan baik pula.
Kawasan pengembangan akan banyak membantu para pendidik (guru) dalam melaksanakan pembelajarannya, karena pada kawasan ini dibahas berbagai teknologi yang dapat digunakan dalam melaksanakan pembelajaran. Pada saat melaksanakan pembelajaran seorang guru memerlukan banyak sumber belajar. Saat ini sumber belajar tidak cukup hanya dengan mengandalkan guru, tetapi diperlukan sumber belajar yang bervariasi. Berbagai teknologi baik yang konvensional maupun yang berbasis teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran. Teknologi cetak menghasilkan berbagai sumber belajar dalam bentuk bahan ajar cetak yang seraca sengaja didisain untuk pembelajaran. Teknologi Audio visual dan teknologi berbasis komputer memungkinkan pebelajar dengan berbagai variasi gaya belajarnya akan terakomodir dengan baik, sehingga mereka dapat melaksanakan kegiatan belajar dengan efektif.
Sementara kawasan penilaian akan membantu para pendidik (guru) dalam melaksanakan tugasnya dalam menilai hasil belajar. Penilaian merupakan bagian integral dalam kegiatan pembelajaran, karenanya menjadi tugas yang tidak dapat diabaikan. Penilaian sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang keberhasilan proses dan hasil belajar. Karena itu baik pada saat proses pembelajaran berlangsung, maupun di akhir proses pembelajaran harus dilakukan evaluasi. Dalam hal ini evaluasi formatif dan sumatif menjadi sangat penting keberadaannya.

Secara lebih spesifik, apabila para pendidik (guru) menerapkan konsep teknologi pembelajaran dalam sistem pembelajarannya, maka akan dapat dilihat ciri-ciri umum berikut:
1. telah dimanfaatkannya sumber-sumber belajar secara bervariasi baik berupa orang, pesan, bahan, peralatan, teknik, dan latar yang memungkinkan orang untuk belajar secara terarah dan terkendali
2. dilaksanakannya fungsi pengelolaan atas organisasi dan personil yang melakukan kegiatan pengembangan dan atau pemanfaatan sumber belajar
3. diterapkannya berbagai jenis pola instruksional dengan terintegrasinya sumber belajar baru dalam kegiatan belajar mengajar
4. adanya standar mutu bahan ajar dan tersedianya sejumlah pilihan bahan ajar yang mutunya teruji
5. berkurangnya keragaman proses pengajaran, namun dengan mutu yang lebih baik
6. dilakukannya perancangan dan pengembangan pembelajaran oleh para ahli yang khusus bertanggung jawab untuk itu dalam suatu kerjasama tim
7. tersedianya bahan ajar dengan kualitas lebih baik, serta jumlah dan macam yang lebih banyak
8. dilakukannya penilaian dan penyempurnaan atas segala tahap dalam proses pembelajaran
9. diselenggarakannya pengukuran hasil belajar berdasarkan penguasaan tujuan yang ditetapkan
10. berkembangnya pengertian dan peranan guru.

Kesimpulan


Salah satu tugas pendidik (guru) adalah membuat disan dan melaksanakan proses pembelajaran serta melaksanakan penilaian hasil belajar. Tugas ini akan dapat dioptimalkan dengan memanfaatkan teknologi pembelajaran. Kawasan teknologi pembelajaran yang komprehensif, yang menyangkut tahap disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian, dapat membantu para pendidik (guru) dalam mengoptimalkan pelaksanaan tugasnya sebagai perancang dan pengelola pembelajaran, serta penilai hasil belajar.
Di sisi lain, pelaksanaan tugas pendidik (guru) pada akhirnya adalah untuk membantu para pebelajar melakukan kegiatan belajar dan memecahkan masalah belajar. Hal ini pula yang menjadi obyek utama teknologi pembelajaran, yaitu masalah belajar manusia, dan melakukan intervensi eksternal dengan memanipulasi berbagai sumber belajar untuk mengatasinya.